Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK DUKUN VERSI 2.0 BAB 1


BAB 1

Dok! Dok! Dok!

"Kurang piye, Mun?" (Kurang bagaimana, Mun?).

"Miring ngana sitik bae, Kang." (Miring ke sana sedikit lagi, Kang).

"Ngana ki neng ndi! Ngiwo opo nengen! Ojo ngana-ngana tok!" (Ke sana ke mana! Kiri apa kanan! Jangan ke sana ke sana saja!).

"Munggah sitik bae." (Naik sedikit lagi).

Dok! Dok!

"Wes gung?" (Sudah belum?).

"Ya, kaya kuwe." (Ya, seperti itu).

"Yakin?"

"Ya."

"Yakin gung?" (Yakin belum?).

"Jabang bayik, nyong tendang temenan kiye dingklike lah!" (Jabang bayi, saya tendang sungguhan nanti ini bangkunya!).

"Ngono ae nesu ... nesu." (Begitu saja marah ... marah).

Dok! Dok! Dok!

Paku tertancap yakin kini di dinding papan. Kuswanoto turun dari bangku kayu, lalu berdiri di samping Saimun, masih memegang palu. Tampak senyumnya mengembang.

"Temenan kiye ura nyalahi praturan, Kang?" (Sungguh ini tidak menyalahi peraturan, Kang?).

"Yo gak to," (Ya tidak toh), jawab Kuswanoto tanpa menoleh ke arah Saimun, matanya terus memandang plang berukuran setengah depa kali empat jengkal.

"Temenan kiye ura nganggo izin apa, Kang." (Sungguh ini tidak perlu izin, Kang).

"Ko tak petil untumu nek jek panggah takok ae!" (Nanti saya palu gigimu kalau masih tanya saja!).

"Rompal, Kang," (Ompong, Kang), rutuk Saimun, yang memegang berlembar-lembar kertas.

"Kenyih ae kon." (Cerewet kok).

Keduanya lalu menatap bersamaan ke arah plang putih dengan tulisan berwarna hitam.

DUKUN SPRIRITUAL VERSI 2.0

Menerima:

Pelet.

Pengasihan.

Susuk Pemikat.

Menambah Ukuran Kejantanan.

Mengobati Berbagai Macam Penyakit Menahun.

Dan Lain-lain.

Melayani Panggilan.

Datang dan Buktikan Sendiri.

Tulisan yang melekat, dan tak jauh dari pintu.

"Deneng ana versine kuwe, Kang?" (Kok ada versinya itu, Kang?).

"O, goblok! HP ae onok versine, aplikasi onok versine. Dukun yo onok." (O, bodoh! HP saja ada versinya, aplikasi ada versinya. Dukun juga ada).

"Dukun saiki gak koyok dukun zaman mbiyen, kudu diperbarui, diupdate. Ben gak ketinggalan zaman. Dong gung?" (Dukun sekarang bukan seperti zaman dulu, harus diperbarui, diupdate. Biar tidak ketinggalan zaman. Paham belum?).

"O? Kayak kuwe. Nyong nembe ruh, Kang." (O, begitu. Saya baru tahu, Kang).

"Awakmu ki roh opo perkoro perdukunan." (Kamu tahu apa perkara perdukunan).

"Tugasmu gur nggolek pasien, lan ojok lali pasang brosur iku." (Tugasmu hanya mencari pasien, dan jangan lupa untuk memasang brosur itu).

"Nyong kat mau bingung, kiye kertas arep nggo ngapa?" (Saya dari tadi bingung, ini kertas buat apa?).

"Pekok ki ojok banget-banget to, Mun." (Bodoh itu jangan kebangetan, Mun).

"Kui arane brosur." (Itu namanya brosur).

"Ngge buntel apa, Kang?" (Untuk bungkus apa, Kang?).

"Mbuntel untekmu seng mbundet iku!" (Membungkus otakmu yang ruwet itu!).

"Sih kayak kuwe. Nyong takon temenan koh." (Kok begitu. Saya bertanya sungguh-sungguh kok).

"Tugasmu yo, Mun ... Saimun. Tempel brosur iku neng uwit-uwit, tiang listrik, warung-warung." (Tugasmu ya, Mun ... Saimun. Menempelkan brosur itu di pohon-pohon, tiang listrik, warung-warung).

"Nek perlu neng lawang Mejid. Ben uwong-uwong seng kate jemuahan ugo ben roh nek awakku saiki buka praktik dukun." (Kalau perlu di pintu Masjid. Biar orang-orang yang mau salat Jumat juga jadi tahu kalau aku sekarang buka praktik dukun).

"Rumangsaku sih wis kayak rental badut, ambi sedot WC." (Perasaan sudah seperti sewa badut, sama sedot WC).

"Badut matamu suwek!" (Badut matamu sobek!).

"Mosok cangkemku mbok padakno blumbangan kakus!" (Masak mulutku kamu samakan dengan lubang kakus!).

"Ura kayak kuwe, Kang. Kiye ...." (Tidak seperti itu, Kang. Ini ...). Saimun menggaruk kepala. Sama bloonnya, membuat Saimun bingung untuk menjelaskan.

"Nyong tahu weruh kertas kayak kiye neng tiang listrik. Genah wacane sewa badut, ngisore ana tulisane sedot WC, kayak kuwe ... sumpah, nyong ura nglomboni, temenan." (Saya pernah melihat kertas seperti ini di tiang listrik. Jelas bacaannya sewa badut, bawahnya ada tulisan sedot WC, seperti itu ... sumpah, saya tidak berbohong, sungguh).

"Wes, gak urusan nek iku. Tempel brosur iku, tempelno seng onok tulisan sewa badut mbek sedot WC." (Sudah, tidak urusan kalau itu. Tempel brosur itu, tempelkan yang ada tulisannya sewa badut sama sedot WC).

"Pokok brosure dewe kudu jelas kewoco!" (Intinya brosur kita jelas terbaca!).

"Pojok-pojokkan kampung pokok tempelono." (Tiap sudut kampung kamu tempel).

"Beduk Mejid yo keneng! Gubuk sawah, cagak anten, lawang-lawange uwong yo gak popo. Pokok uwong weroh." (Beduk Masjid juga boleh! Gubuk sawah, tiang antena, pintu-pintu rumah juga tidak apa-apa).

"O, kayak kuwe ya, Kang?" (O, seperti itu ya, Kang?).

"Mangkane sekolah bisnis! Ha wong cilikanmu gur ngarit ae kon pinter ko ndi, bebel utekmu kejejelan karung adah suket!" (Makanya sekolah bisnis! Waktu kecil kamu itu hanya cari rumput saja mau pintar dari mana, bodoh otakmu tersumbat karung wadah rumput!).

"Wes kono mangkat!" (Sudah sana berangkat!).

"Iya ... iya nyong mangkat! Ngunek-ngunekne batire sak geleme dewek!" (Iya ... iya saya berangkat! Menghina teman seenaknya sendiri!).

Saimun melangkah dari sisi Kuswanoto seraya terus menggerutu.

"Uwong laire dina apa ke jane. Jarku sih ana menungsa kayak kuwe. Teyeng teman ngunek-ngunekna batire dewek. Misuh-misuh kayak wis gagah dewek." (Orang sebenarnya lahir hari apa. Perasaan ada manusia macam itu. Bisa sekali menghina temannya sendiri. Mengumpat-umpat seperti sudah seperti paling gagah sendiri). Merutuk seraya menuju motor yang dia parkir di ujung halaman dengan ciri khas alpukat keju.

"Mun!"

"Saimun!" teriak Kuswanoto yang masih terlihat berkacak pinggang, panadon yang dipadu kolor gombroh, kepala yang dihias udeng podang, seraya melambaikan tangan guna Saimun untuk kembali.

"Nyong apa!" (Saya!).

"Iyo! Wes reneo sek!" (Iya! Sudah sini dulu!).

"Mateng nyong, sakti temenan Kang Noto. Jarku sih wis adoh nyong mbatin, apa iya uwonge krungu! Cilaka nek kayak kuwe," (Matang saya, sungguh sakti benar Kang Noto. Perasaan sudah jauh saya membatin, apa iya orangnya bisa dengar! Celaka kalau begini), batin Saimun.

Berusaha bersikap biasa, Saimun setengah menunduk begitu sampai di depan Kuswanoto.

"Apa maning?" (Apa apalagi?). Saimun mengangkat bola mata, berharap apa yang dia katakan tadi tak jadi masalah baru.

Tampak Kuswanoto memasukkan tangan ke saku gombroh, mengeluarkan isinya. "Nyoh, nggo tuku bensin." (Ini, buat beli bensin).

"Kiye?" (Ini?).

"Iyo, po 'o?" (Iya, kenapa?).

"Nggo tuku bensin," (Buat beli bensin), imbuh Kuswanoto.

"Jarku sih Bangorejo kuwe amba, Kang." (Perasaan Bangorejo itu luas, Kang).

"Tuli mung sepuluh ewuk." (Masak hanya sepuluh ribu).

"Cukup. Sebotol sepuluh ewu neng tokone Pondi. Wes kono isien montormu." (Cukup. Sebotol sepuluh ribu di warungnya Pondi. Sudah sana isi motormu).

"Mider kampung pasang kertas, kiye temenan kuwe upahe sepuluh ewuk?" (Keliling kampung pasang kertas, ini sungguh itu upahnya sepuluh ribu?).

"Yo wes nek gak gelem." (Ya sudah kalau tidak mau). Kuswanoto memasukkan kembali uang ke saku.

"Ya gelem, Kang. Ndi, gangene." (Ya mau, Kang. mana, bawa sini).

"La kok ceriwis ae cangkemu!" (La kok cerewet mulutmu!).

"Aja kayak kuwe lah, nyong mung guyon mbok. Gangene, ya wis nyong isi motore inyong." (Jangan begitu, saya hanya bercanda. Bawa sini, ya sudah saya isi motornya).

"Nyoh." (Ini). Kuswanoto kembali menyodorkan uang tadi. Saimun menerimanya.

"Ngomong opo nek diwei duwek, he?" (Bilang apa kalau dikasih uang, he?).

"Iyak! Maternuwun, Kang Noto," (Iya! Terima kasih, Kang Noto), jawab Saimun dengan wajah kecut seraya menartik sudut bibir.

"E ... e ... e ... gobloke to kumat." (E ...e ...e ... Bodohnya kambuh).

"Apa maning sih, jarku sih salah terus nyong! Nangapa maning." (Apa lagi, perasaan saya salah terus! Ada apa lagi).

"Sopo kon nyeluk jenengku, ha?" (Siapa yang suruh panggil namaku, ha?).

"Lah? Sih kon nyeluk apa. La kuwe jenenge Rika mbok?" (La? Terus panggil apa. Bukannya itu nama Anda?).

"Awakmu ki lak kokean mangan iwak asin ki yo ngeneki." (Kamu ini kalau kebanyakan makan ikan asin ya jadinya begini).

"Apa nyong salah maning? Nangapa gerih digawa-gawa?" (Apa saya salah lagi? Kenapa ikan asin dibawa-bawa?). tanya Saimun bingung.

"Awakmu mau nyelok opo?" (Kamu tadi panggil apa?).

"Kang Noto. Nangapa sih?" (Kang Noto, memangnya kenapa?).

"Goblok ... goblok! Iku nek gurung diupdate! Ki wes diperbarui, blok! Ojok nyelok awakku Kang Noto neh!" (Bodoh ... bodoh! Iku kalau belum diupdate! Ini sudah diperbarui, bodoh! Jangan panggil aku Kang Noto lagi!).

"Sih, nyeluk apa?" (Lalu, panggil apa?).

"Kang Dukun!" (Kang Dukun!).

"Kang Dukun? Empft ...."

"Ngguyu 'o! Opo pingin tak santet ngaceng ben gak iso suwalan, he?" (Silakan tertawa! Apa ingin saya santet ngaceng biar tidak bisa pakai celana, he?).

"Pokok mulai saiki, ngundang awakku Mbah Dukun, dong gung, he?" (Mulai sekarang ini, panggilanku Mbah Dukun, paham belum, he?).

"Iya ... iya! Mudeng nyong mudeng! Wis lah nyong mangkat!" (Iya ... iya! Paham saya paham! Sudahlah saya berangkat!).

"Yo wes kono!" (Ya sudah sana!).

Kembali menggerutu Saimun sewaktu menuju motor. "Dukun kere, masak nyong mung disangoni sepuluh ewuk." (Dukun miskin, masak saya hanya dikasih sepuluh ribu).

Saimun segera melepas ikatan karet ban yang biasa dia pakai untuk mengangut sesuatu di atas jok motor. Meletakkan brosur, lalu bergegas pergi.

Brumm!

Bruumm!

Makin menjauh, meninggalkan Kuswanoto yang tak juga beranjak dari plang baru sebagai pengubah statusnya menjadi dukun kini.

"Mugo-mugo okeh pasien, he he he." (Mudah-mudahan banyak pasien, he he he).

Keluar dari pintu Warsinah dengan kebaya serta bawahan jarit, tampak tas yang biasa dia bawa kondangan, ada di lengan kirinya.

"E ... e ... e, kate neng ndi, Mak?" (E ... e ... e, mau ke mana, Mak?).

"Njenengan ini bagaimana, he? 'Kan mau ke rumahnya Sutris. Katanya Njenengan suruh aku ke bank? Bagaimana toh, Pak?" (Njenengan/ panggilan atau sapaan untuk orang yang lebih tua atau dihormati).

"He? Sopo seng kon nyeluk awakku Pak. Wes ogak ... wes gak maneh! Undanganku saiki Mbah?" (He? Siapa yang suruh panggil aku Pak. Sudah tidak ... sudah tidak lagi!).

"Mbah? Mbahnya Menur?" (Mbah? Embahnya Menur?).

"Bojo goblok yo ngeneki? Gak iso mbedakno ta piye, ha?" (Istri goblok ya begini ini? Tidak bisa membedakan atau bagaimana, ha?).

"Mbah Dukun, versi tu poin o! Paham?" (Mbah Dukun , versi 2.0! Paham?).

"Cek! Terserah Njenengan!" Warsinah berlalu dengan wajah kesal.

"Wes diomongi. Dukun versi tu poin o, kok jek panggah lali. Hes jan!" (Sudah dibilang. Dukun versi 2.0, kok masih saja lupa!).

Kuswanoto melangkah masuk, meninggalkan plang yang dia pesan ke percetakan Arka Media, sebagai pembuatnya.


BACA KELANJUTANNYA DI BAWAH INI

BACA BAB 2


BACA BAB 3


BACA BAB 4


BACA BAB 5


BACA BAB 6


BACA BAB 7


BACA BAB 8


BACA BAB 9


BACA BAB 10


BACA BAB 11


BACA BAB 12-END

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search