GAIRAH TERLARANG 5

PROLOG
Dua lelaki tanpa busana terkapar di atas tempat tidur dengan tubuh salah satunya bermandikan peluh.
"Apakan Bapak, sungguh-sungguh bisa menjaga rahasia ini?" ucap lelaki sedikit kurus tapi berotot itu lalu memeluk lelaki tegap di sampingnya itu.
"Kita sudah sepakat 'kan? Kita akan sama-sama menjaga rahasia ini dan aku sudah berjanji akan selalu mengajakmu saat aku dapat proyek baru," balas lelaki satunya seraya mengecup bibir lelaki yang terus memeluknya.
Cup!
"Bapakku memintaku untuk mengawasi pembangunan proyek perumahan elite yang sedang ia bangun dan tentu saja kamu tetap menjadi kepala tukang. Aku serahkan semua pekerja kepadamu."
Cup!
Kecupnya lagi.
"Terus sekarang bagaimana? Sekarang giliranku 'kan?"
Lelaki yang terlihat lebih tua itu lantas bangkit dan mengangkangi lelaki yang kini mengangkat kedua kakinya di pundak lelaki yang siap melesakkan pusakanya.
"Ohh ...." Desah terdengar begitu bagian tubuh mereka kini menyatu.
Selanjutnya derit tempat tidur yang akan menceritakan gairah terlarang itu.
****
Sebelumnya jangan lupa Subscribe Blog ini karena akan banyak kisah-kisah menarik lainnya yang sayang untuk dilewatkan.
****
GAIRAH TERLARANG JILID 5
"Asmara Pak Mandor"
****
BAB 1
Sebut saja namaku Noto. Untuk orang-orang yang umurnya rata-rata denganku biasanya memanggilku dengan sebutan Kang Noto, bahkan anak-anak di lingkunganku memanggil dengan sebutan Pakde atau Mbah To.
Aku akan bercerita tentang pengalamanku. Kisah ini terjadi saat aku bekerja sebagai tukang bangunan.
Kehidupanku memang terbilang cukup miskin, karena itu aku mulai bekerja serabutan di kampung hingga akhirnya aku bertemu dengan Kang Tarji, seorang laki-laki paruh baya yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan.
Aku sering kerja ikut rombongan Kang Tarji dan itu sudah berbulan-bulan.
Biasanya berbulan-bulan juga aku meninggalkan istri di kampung halaman saat proyek yang dikepalai Kang Tarji selesai.
Aku berumur lebih tua empat tahun dari Kang Tarji, meski begitu aku tetap memanggilnya 'Kang' tak lebih rasa hormatku padanya karena ia memang terkenal sebagai kepala tukang yang memberikan pekerjaan untuk orang-orang di kampungku.
Banyak anak-anak muda bekerja kepada Kang Tarji sebagai kuli, sementara untuk yang sebaya denganku biasanya ikut dan menjadi tukang.
Kang Tarji memang banyak job. Tak heran bila orang-orang hormat kepadanya sebab sering menawarkan pekerjaan sebagai kuli atau tukang bangunan. Sebab itulah aku memanggilnya Kang Tarji.
Sering aku ikut Kang Tarji merantau ke kota, ikut bekerja dengannya sebagai tukang bangunan.
Ya, aku bisa kerja apa saja. Bahkan dari bujang aku sudah menjadi kuli dan akhirnya menjadi tukang karena ya, aku sering belajar dan menggantikan tukangku saat ia istirahat sekadar untuk merokok.
Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi pas-pasan, aku selalu ikut ke mana Kang Tarji dapat job.
Ah, baik sekali memang dia. Aku selalu diajaknya begitu dia mendapat job baru.
Tempat kerja kami selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya.
Sudah banyak proyek bangunan yang berhasil rombongan kami selesaikan.
Kadang saat job kosong karena belum ada job baru, aku dan Kang Tarji pulang ke kampung halaman.
Kang Tarji memang sudah punya istri dan anak di kampung. Biasanya kalau tidak bisa pulang, Kang Tarji hanya mengirimkan uang.
Aku juga sering mengirim uang untuk istriku di kampung, terutama untuk membantu biaya cucuku yang ketiga karena sudah mulai sekolah.
****
Waktu terus bergulir.
Aku masih sangat betah menjadi seorang tukang bangunan karena sebenarnya saat ini memang tidak banyak pilihan pekerjaan untuk seseorang seperti diriku.
Hingga suatu saat kami pulang kampung karena memang sudah selesai job kami, dan Kang Tarji mendapat sebuah proyek yang cukup besar lagi, sebuah proyek pembangunan perumahan yang cukup elit. Proyek perumahan itu berada di sebuah kota yang cukup besar.
"Weh! Bakal suwi neng kono, Kang," ucapku senang karena akhirnya aku kembali bekerja.
"Neng kuto to?"
Kang Tarji hanya tersenyum mendengarnya.
"Benar, Kang. Lumayan lama sepertinya karena ini perumahan elit," ucapnya.
"La kapan mangkate?"
"Besok, Kang. Hari ini aku mau kasih kabar kepada yang lain supaya bersiap-siap."
****
Keesokan harinya.
Setelah meninggalkan kampung, aku dan beberapa kuli serta tukang yang lain berangkat menuju tempat proyek itu dengan naik truk yang dicarter Kang Tarji untuk ngirit ongkos.
Begitu sampai, Kang Tarji langsung menemui mandor untuk menanyakan di mana sementara rombongan kami tinggal.
"Piye?" tanyaku setelah Kang Tarji menghampiri kami yang menunggu di pinggir jalan.
"Kita sudah disiapkan rumah untuk sementara sampai proyek selesai. Tak jauh dari sini. Ayo!" jawabnya.
Akhirnya aku berjalan mengikuti Kang Tarji beserta beberapa kuli bangunan lainnya.
Setelah sampai, akhirnya kami tinggal di sebuah rumah kosong tak jauh dari tempat pembangunan perumahan elit tersebut.
Di sanalah aku baru tahu kalau rombongan kami disambut oleh mandor, orang yang akan mengawasi kami dalam pengerjaan proyek.
"Kalian semua akan tinggal di rumah ini hingga proyek selesai," ucapnya memberitahu.
Usianya kutaksir sekitar lebih muda dariku atau sebaya Kang Tarji, sekitar 51 tahun kurang lebih.
Setelah memberi sedikit penjelasan tentang rumah yang akan kami tinggali, aku dan rombongan bergegas masuk meninggalkan Kang Tarji yang masih kulihat berbicara dengan mandor.
****
Hari berganti.
Aku melakukan tugasku sebagai tukang bangunan dengan dibantu oleh Yanto, anak muda yang ditunjuk oleh Kang Tarji untuk menjadi kuli, peladenku.
Semua mulai bekerja melakukan tahap awal untuk membuat pondasi.
Kang Tarji dan mandor juga melakukan tugasnya masing-masing. Meski ikut menjadi tukang, tapi Kang Tarji juga ikut bertanggung jawab atas pengerjaan proyek selaku orang yang membawa rombongan.
Kerja di bawah pengawasan mandor bagiku sudah biasa. Itu karena aku sering bekerja di proyek-proyek pemerintah atau perumahan bersama Kang Tarji.
"To, Yanto. Tolong jupukno gegep!" perintahku pada Yanto yang terlihat sudah menganyam besi.
"Nggeh, De."
Hari ini sebagian merakit besi untuk balok cor pondasi, sementara yang lain diminta oleh Kang Tarji untuk pasang mal kemudian untuk digali.
****
Singkat waktu.
Suatu malam saat semua rombongan baru saja selesai makan malam tiba-tiba mandor itu datang ke rumah di mana kuli dan tukang kumpul.
"Pakde, dicari mandor," kata Solikin yang sudah di depan pintu kamarku.
Selanjutnya hanya tersedia dalam versi Ebook.
Boleh kalau mau traktir pakde segelas kopi: Traktir Di sini
Yang mau beli Ebook Gairah Terlarang 5 Full Episode silakan hubungi pakde, ya.
No comments:
Post a Comment