PAKDE NOTO PENJUAL SOSIS
PART 1
PENJUAL SOSIS
Sebenarnya aku tidak terlalu suka makan sosis, apalagi menurutku itu
termasuk jajanan untuk anak-anak, tapi sejak mengenal Pakde Noto
penjual sosis langgananku tersebut, aku jadi suka makan sosis.
Pakde Noto adalah penjual sosis
berkumis tebal
yang biasa berjualan di dekat lapangan voli tempatku biasa bermain voli setiap
sore.
Aku seorang mahasiswa semester
awal dan baru
beberapa
bulan yang lalu aku mulai kuliah. Kebetulan di tempatku tinggal, tepatnya di belakang rumah
yang aku sewa ada sebuah lapangan voli.
Karena aku yang memang hobi
bermain voli sejak SMA, jadi aku ikut main voli di sana. Ada banyak pemain voli yang
bermain di situ. Mulai dari pemain amatiran sampai yang profesional. Ada mahasiswa, karyawan, dan juga penduduk setempat.
Setiap sore aku bermain voli
di lapangan tersebut. Di sana juga banyak anak-anak yang bermain dengan permainan
mereka sendiri. Intinya lapangan voli itu selalu ramai setiap sorenya.
Ada banyak pedagang makanan
juga di sana, salah satunya adalah Pakde Noto si penjual sosis tersebut.
Awalnya aku tidak begitu mengenal Pakde Noto. Bahkan aku hampir
menganggapnya tidak ada karena tujuanku ke situ hanyalah untuk bermain
voli, tapi karena sering berada di sana dan hampir setiap hari bertemu Pakde
Noto, aku mulai merasa tertarik padanya.
Selain karena Pakde Noto
orangnya ramah, ia juga terlihat sangat tampan dan bertubuh sedikit kekar.
Pakde Noto sudah berusia 53 tahun lebih. Ia juga sudah menikah dan
sudah punya tiga cucu. Setidaknya begitulah yang aku tahu tentang Pakde
Noto.
Karena merasa tertarik dengannya, aku jadi rajin membeli sosis
padanya dan aku juga sengaja meluangkan waktu untuk bercerita bersama Pakde
Noto. Setidaknya saat sebelum aku bermain voli dan juga ketika aku
sedang beristirahat, dari sekian banyak laki-laki yang berada di sana bahkan para
pemain voli pun banyak yang berwajah tampan dan bertubuh gagah, tapi entah mengapa aku lebih
tertarik pada Pakde Noto. Mungkin karena Pakde Noto
punya daya tarik tersendiri di mataku. Yang pasti semakin hari aku semakin suka
sama Pakde Noto.
Hampir setiap malam aku selalu
berkhayal tentangnya, membayangkan betapa indahnya dunia andai aku bisa memilikinya
meski hanya satu malam saja, tapi aku benar-benar tidak
tahu bagaimana caranya agar aku bisa mewujudkan impianku tersebut.
Meskipun aku sudah sangat sering mengobrol dengan Pakde
Noto, tapi selama ini pembicaraan kami hanya sebatas pembicaraan
biasa. Aku tidak berani terlalu blak-blakan pada Pakde Noto
terutama tentang perasaanku padanya.
Dulu waktu aku SMA, aku pernah jatuh cinta pada
teman cowokku teman sekelas, tapi aku hanya bisa memendam
perasaan tersebut hingga kami sama-sama lulus SMA dan sekarang saraku sudah
berhasil melupakan teman SMAku tersebut aku malah jatuh cinta pada Pakde Noto
si penjual sosis yang sudah berusia 53 tahun tersebut, tapi kali ini rasanya beda. Keinginan untuk bisa
mendapatkan Pakde Noto tumbuh begitu kuat di hatiku.
Aku harus bisa mendapatkannya apapun caranya.
Oh iya, aku anak kedua dari dua
bersaudara. Kakakku perempuan, masih kuliah semester akhir.
Ayahku seorang juragan sawit di kampung.
Kehidupanku secara ekonomi
memang terbilang cukup mewah, apalagi aku adalah anak
laki-laki satu-satunya.
Orang tuaku juga cukup
memanjakanku. Apapun yang aku inginkan pasti akan mereka penuhi, termasuk uang belanja yang
lebih dari cukup setiap bulannya. Karena itu aku pun
berinisiatif untuk memborong dagangan Pakde Noto hampir setiap sore dan sengaja aku bagikan kepada
anak-anak yang sedang bermain di sana. Semua itu sengaja aku lakukan hanya
untuk menarik perhatian Pakde Noto.
Terdengar gila dan bodoh
sebenarnya, tapi aku tak peduli, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada
Pakde Noto dan apapun akan aku lakukan untuk bisa mendapatkan tubuh dan
hatinya.
“Maturnuwun
yo, Le. Angger sore koyok ngene ki awakku gak kudu repot-repot dodol mergo
pasti entek mbok borong kiabeh,” ucap Pakde Noto dengan nada senang.
“Nggeh,
Pakde. Aku hanya
ingin berbagi pada loh sama Pakde Noto juga sama anak-anak,” balasku berlagak polos.
“Awakmu arek
apik. Mandar mugo rezekine tansah lancer yo, Le,” ucap Pakde Noto lagi.
“Kalau Pakde butuh apa-apa
ngomong saja sama saya. Pasti akan saya bantu,” balasku kemudian sengaja
memberi Pakde Noto peluang agar ia semakin terkesan denganku.
“Weladalah. Pakde nggak mau merepotkanmu.
Mergo awakmu wes mborong daganganku ngeneki awakku wes bungah, Le,” ucap Pakde Noto membalas.
“Memangnya hasil penjualan sosis
Pakde setiap hari apa cukup untuk kehidupan Pakde dan keluarga?” tanyaku kemudian.
“Yo cukup nggak cukup
to. La piye neh? Yo gur iki usahaku. Pakde iki dodol sosis wes sue. Wes
bertahun-tahun,” balas
Pakde Noto sedikit lirih.
****
Hari ini Pakde Noto tidak berjualan seperti biasa.
Aku merasa kehilangan dan
bertanya-tanya dalam hati kenapa Pakde Noto tidak berjualan batin.
Hingga keesokan harinya Pakde
Noto kembali berjualan.
Karena penasaran, aku pun mempertanyakan hal
tersebut pada Pak Noto.
“Kenapa Pakde kemarin tidak
jualan?” tanyaku.
“Putuku mlebu
rumah sakit, Le. Demam dan harus dirawat selama beberapa hari. Sekarang ia juga masih di rumah sakit. Istriku yang jaga, karena pakde harus tetap jualan untuk
menebus obatnya,” balas Pakde Noto dengan wajah terlihat sedih.
“Pakde Noto, butuh berapa?” tanyaku.
“Butuh berapa opone,
he?” Pakde Noto balik bertanya
dengan mimik heran.
“Untuk menebus obat cucu Pakde dan untuk biaya rumah sakitnya,” balasku sedikit lebih jelas.
“Yo kiro-kiro sakyuto utowo
rong yuto, Le.”
“Kalau satu atau dua juta, saya ada, Pakde.”
Pakde Noto boleh pakai dulu buat bayar rumah sakit dan
menebus obatnya. Pakde, nggak usah jualan dulu setidaknya sampai cucu Pakde sembuh,” ucapku sedikit hati-hati, takut Pakde Noto merasa
tersinggung.
“Weh. Nggak usah,
Le. Pakde
ini nggak mau
merepotkan, hanya nanti akan cari pinjaman ae,” balas Pakde Noto dengan
suara berat.
“Saya nggak merasa direpotkan kok
Pakde. Justru saya merasa senang bisa
membantu Pakde. Daripada Pakde Noto nyari pinjaman, lebih baik Pakde pakai uang saya saja dulu. Kalau Pakde, merasa tidak enak, anggap saja ini pinjaman dari saya,” ucapku berusaha meyakinkan Pakde
Noto.
Traktir Pakde segelas kopi: Di sini
Pakde Noto terlihat berpikir sejenak.
Ia menarik nafasnya beberapa
kali.
“Baiklah, Le,
tapi pakde menganggapnya ini sebagai
hutang. Nanti kalau pakde dapat uang pasti akan pakde bayar,” lanjutnya.
“Terserah Pakde Noto saja. Kalau nggak dibayar juga nggak
apa-apa kok. Saya ikhlas,” balasku kemudian.
“Pakde Noto, tunggu di sini sebentar, ya. Saya ke rumah dulu ambil
uangnya,” lanjutku lagi.
“Iyo, Le. Weh
jan. Maturnuwun lo, Le.”
Aku pun dengan sedikit berlari segera
menuju rumah yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari lapangan voli
tersebut.
Setelah mengambil uang di
dalam lemari, aku segera kembali menemui Pakde Noto dan menyerahkan uang
tersebut padanya.
“Ini, Pakde.”
“Walah jan.
Sekali lagi
terima kasih banyak, yo, Le,” ucap Pakde Noto saat uang itu sudah
berpindah ke tangannya.
PART 2
PART 3
GAIRAH TERLARANG SERIES 4, 5, DAN 6 SEGERA HADIR! IKUTI BLOG UNTUK JADI YANG PERTAMA BACA
KLIK DI SINI: PILIH CERITAMU UNTUK DIBACA
No comments:
Post a Comment