Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PAKDE NOTO PENJUAL SOSIS

 PART 1

PENJUAL SOSIS

Sebenarnya aku tidak terlalu suka makan sosis, apalagi menurutku itu termasuk jajanan untuk anak-anak, tapi sejak mengenal Pakde Noto penjual sosis langgananku tersebut, aku jadi suka makan sosis.

Pakde Noto adalah penjual sosis berkumis tebal yang biasa berjualan di dekat lapangan voli tempatku biasa bermain voli setiap sore.

Aku seorang mahasiswa semester awal dan baru beberapa bulan yang lalu aku mulai kuliah. Kebetulan di tempatku tinggal, tepatnya di belakang rumah yang aku sewa ada sebuah lapangan voli.

Karena aku yang memang hobi bermain voli sejak SMA, jadi aku ikut main voli di sana. Ada banyak pemain voli yang bermain di situ. Mulai dari pemain amatiran sampai yang profesional. Ada mahasiswa, karyawan, dan juga penduduk setempat.

Setiap sore aku bermain voli di lapangan tersebut. Di sana juga banyak anak-anak yang bermain dengan permainan mereka sendiri. Intinya lapangan voli itu selalu ramai setiap sorenya.

Ada banyak pedagang makanan juga di sana, salah satunya adalah Pakde Noto si penjual sosis tersebut.

Awalnya aku tidak begitu mengenal Pakde Noto. Bahkan aku hampir menganggapnya tidak ada karena tujuanku ke situ hanyalah untuk bermain voli, tapi karena sering berada di sana dan hampir setiap hari bertemu Pakde Noto, aku mulai merasa tertarik padanya.

Selain karena Pakde Noto orangnya ramah, ia juga terlihat sangat tampan dan bertubuh sedikit kekar.

Pakde Noto sudah berusia 53 tahun lebih. Ia juga sudah menikah dan sudah punya tiga cucu. Setidaknya begitulah yang aku tahu tentang Pakde Noto.

Karena merasa tertarik dengannya, aku jadi rajin membeli sosis padanya dan aku juga sengaja meluangkan waktu untuk bercerita bersama Pakde Noto. Setidaknya saat sebelum aku bermain voli dan juga ketika aku sedang beristirahat, dari sekian banyak laki-laki yang berada di sana bahkan para pemain voli pun banyak yang berwajah tampan dan bertubuh gagah, tapi entah mengapa aku lebih tertarik pada Pakde Noto. Mungkin karena Pakde Noto punya daya tarik tersendiri di mataku. Yang pasti semakin hari aku semakin suka sama Pakde Noto.

Hampir setiap malam aku selalu berkhayal tentangnya, membayangkan betapa indahnya dunia andai aku bisa memilikinya meski hanya satu malam saja, tapi aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa mewujudkan impianku tersebut.

Meskipun aku sudah sangat sering mengobrol dengan Pakde Noto, tapi selama ini pembicaraan kami hanya sebatas pembicaraan biasa. Aku tidak berani terlalu blak-blakan pada Pakde Noto terutama tentang perasaanku padanya.

Dulu waktu aku SMA, aku pernah jatuh cinta pada teman cowokku teman sekelas, tapi aku hanya bisa memendam perasaan tersebut hingga kami sama-sama lulus SMA dan sekarang saraku sudah berhasil melupakan teman SMAku tersebut aku malah jatuh cinta pada Pakde Noto si penjual sosis yang sudah berusia 53 tahun tersebut, tapi kali ini rasanya beda. Keinginan untuk bisa mendapatkan Pakde Noto tumbuh begitu kuat di hatiku.

Aku harus bisa mendapatkannya apapun caranya.

Oh iya, aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku perempuan, masih kuliah semester akhir.

Ayahku seorang juragan sawit di kampung.

Kehidupanku secara ekonomi memang terbilang cukup mewah, apalagi aku adalah anak laki-laki satu-satunya.

Orang tuaku juga cukup memanjakanku. Apapun yang aku inginkan pasti akan mereka penuhi, termasuk uang belanja yang lebih dari cukup setiap bulannya. Karena itu aku pun berinisiatif untuk memborong dagangan Pakde Noto hampir setiap sore dan sengaja aku bagikan kepada anak-anak yang sedang bermain di sana. Semua itu sengaja aku lakukan hanya untuk menarik perhatian Pakde Noto.

Terdengar gila dan bodoh sebenarnya, tapi aku tak peduli, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada Pakde Noto dan apapun akan aku lakukan untuk bisa mendapatkan tubuh dan hatinya.

“Maturnuwun yo, Le. Angger sore koyok ngene ki awakku gak kudu repot-repot dodol mergo pasti entek mbok borong kiabeh,” ucap Pakde Noto dengan nada senang.

“Nggeh, Pakde. Aku hanya ingin berbagi pada loh sama Pakde Noto juga sama anak-anak,” balasku berlagak polos.

“Awakmu arek apik. Mandar mugo rezekine tansah lancer yo, Le,” ucap Pakde Noto lagi.

“Kalau Pakde butuh apa-apa ngomong saja sama saya. Pasti akan saya bantu,” balasku kemudian sengaja memberi Pakde Noto peluang agar ia semakin terkesan denganku.

Weladalah. Pakde nggak mau merepotkanmu. Mergo awakmu wes mborong daganganku ngeneki awakku wes bungah, Le,” ucap Pakde Noto membalas.

“Memangnya hasil penjualan sosis Pakde setiap hari apa cukup untuk kehidupan Pakde dan keluarga?” tanyaku kemudian.

“Yo cukup nggak cukup to. La piye neh? Yo gur iki usahaku. Pakde iki dodol sosis wes sue. Wes bertahun-tahun,” balas Pakde Noto sedikit lirih.

****

Hari ini Pakde Noto tidak berjualan seperti biasa.

Aku merasa kehilangan dan bertanya-tanya dalam hati kenapa Pakde Noto tidak berjualan batin.

Hingga keesokan harinya Pakde Noto kembali berjualan.

Karena penasaran, aku pun mempertanyakan hal tersebut pada Pak Noto.

Kenapa Pakde kemarin tidak jualan?” tanyaku.

“Putuku mlebu rumah sakit, Le. Demam dan harus dirawat selama beberapa hari. Sekarang ia juga masih di rumah sakit. Istriku yang jaga, karena pakde harus tetap jualan untuk menebus obatnya,” balas Pakde Noto dengan wajah terlihat sedih.

Pakde Noto, butuh berapa?” tanyaku.

Butuh berapa opone, he?” Pakde Noto balik bertanya dengan mimik heran.

“Untuk menebus obat cucu Pakde dan untuk biaya rumah sakitnya,” balasku sedikit lebih jelas.


“Yo kiro-kiro sakyuto utowo rong yuto, Le.”

“Kalau satu atau dua juta, saya ada, Pakde.”

Pakde Noto boleh pakai dulu buat bayar rumah sakit dan menebus obatnya. Pakde, nggak usah jualan dulu setidaknya sampai cucu Pakde sembuh,” ucapku sedikit hati-hati, takut Pakde Noto merasa tersinggung.

“Weh. Nggak usah, Le. Pakde ini nggak mau merepotkan, hanya nanti akan cari pinjaman ae,” balas Pakde Noto dengan suara berat.

“Saya nggak merasa direpotkan kok Pakde. Justru saya merasa senang bisa membantu Pakde. Daripada Pakde Noto nyari pinjaman, lebih baik Pakde pakai uang saya saja dulu. Kalau Pakde, merasa tidak enak, anggap saja ini pinjaman dari saya,” ucapku berusaha meyakinkan Pakde Noto.

Traktir Pakde segelas kopi: Di sini

Pakde Noto terlihat berpikir sejenak.

Ia menarik nafasnya beberapa kali.

“Baiklah, Le, tapi pakde menganggapnya ini sebagai hutang. Nanti kalau pakde dapat uang pasti akan pakde bayar,” lanjutnya.

Terserah Pakde Noto saja. Kalau nggak dibayar juga nggak apa-apa kok. Saya ikhlas,” balasku kemudian.

Pakde Noto, tunggu di sini sebentar, ya. Saya ke rumah dulu ambil uangnya,” lanjutku lagi.

“Iyo, Le. Weh jan. Maturnuwun lo, Le.”

 Aku pun dengan sedikit berlari segera menuju rumah yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari lapangan voli tersebut.

Setelah mengambil uang di dalam lemari, aku segera kembali menemui Pakde Noto dan menyerahkan uang tersebut padanya.

“Ini, Pakde.”

“Walah jan. Sekali lagi terima kasih banyak, yo, Le,” ucap Pakde Noto saat uang itu sudah berpindah ke tangannya.

PART 2

PART 3


GAIRAH TERLARANG SERIES 4, 5, DAN 6 SEGERA HADIR! IKUTI BLOG UNTUK JADI YANG PERTAMA BACA

KLIK DI SINI: PILIH CERITAMU UNTUK DIBACA

Ritual Dukun Cabul baca di: Di sini 






PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search