PART 1 SKANDAL MBAH DARMO BERSAMA ISTRI DAN JURAGANNYA
PART 1
MBAH DARMO
Orang-orang sering memangilku pengemis atau gelandngan, tapi namaku sebenarnya Darmo atau kerap dipanggil Mbah Darmo. Usiaku 63 tahun.
Aku menjadi gelandangan, tidur di jalanan, makan makanan sisa, minum air comberan, baju yang lusuh tidak pernah terkena
air.
Kulitku menghitam kotor. Aku tak lebih dari seonggok
sampah busuk yang selalu dihindari orang-orang.
Aku menjadi hina di mata siapa
saja. Setiap orang yang melihatku selalu memandangku rendah dan tak
berharga.
Akhirnya aku memutuskan untuk
meninggalkan kota kelahiranku, kota yang penuh dengan kenangan, tapi aku memang harus pergi.
Aku harus pergi ke tempat di mana tidak seorangpun yang
mengenalku. Aku harus memulai hidupku yang baru dan meninggalkan semua
kenangan yang pernah terjadi di kota ini.
Aku tak mungkin terus berada
di sini, sementara orang-orang terus mencibirku. Aku berjalan tanpa tujuan melangkah tanpa
harapan.
Aku hanya ingin pergi dari sini meski aku tidak tahu harus ke mana.
Siang malam aku berjalan
dengan tertatih, tidur di pinggiran jalan saat malam tiba, merintih menahan dinginnya angin yang menembus
setiap sobekan di bajuku, memungut apa pun yang aku temukan di jalan
untuk bisa kumakan.
Panas dan hujan tak pernah
lagi aku hiraukan. Aku tak pedulikan perihnya telapak kakiku menahan tajamnya kerikil-kerikil
yang kuinjak, tanpa alas apa pun.
****
Aku hanya terus melangkah sampai pada suatu daerah.
Aku tak tahu di mana sebenarnya aku berada. Aku hanya merasa telah
berjalan sangat jauh berhari-hari, bermalam-malam mungkin, sudah hampir sebulan.
****
Aku sedang beristirahat duduk di pinggiran jalan
ketika seorang lelaki menghampiriku.
“Mbah,
Njenengan mau
mau ke mana?” tanya lelaki itu. Ia mengeluarkan kepalanya dari
jendela mobil mewahnya.
Aku diam tak menjawab karena
aku memang tidak tahu mau ke mana saat ini.
“Ke mana tujuan
Njenengan?” Lelaki itu mengulang pertanyaannya, kepalanya masih di luar jendela
mobil.
Kali ini aku menggeleng.
Lelaki itu memasukkan kepalanya kembali. Aku pikir ia akan pergi, tapi justru ia semakin
memarkir mobilnya ke pinggir jalan.
Beberapa saat kemudian ia pun turun dari mobil mewah
itu.
Di luar dugaanku,
lelaki tersebut
ikut duduk di sampingku.
“Sebenarnya ke mana tujuan
Njenengan, ha?”
tanya lelaki itu pelan.
“Kulo mboten
gadah tujuan,” balasku serak.
“Apa Njenengan lapar?” Lelaki itu bertanya lagi seakan
mengabaikan jawabanku.
Sebelum aku sempat menjawab, lelaki itu tiba-tiba berdiri. Ia berjalan menuju mobilnya
lalu membuka pintu memasukkan badannya separuh, kemudian ia keluar lagi. Sepertinya ia sedang mengambil
sesuatu di dalam mobil tersebut.
Sesaat kemudian lelaki itu sudah berjalan lagi
menuju ke arahku.
Di tangannya ia membawa
sesuatu di dalam kresek biru yang transparan. Lelaki itu duduk lagi di dekatku.
“Ini, Mbah. Ada beberapa potong roti dan juga air mineral. Kalau Njenengan lapar, Njenengan boleh mengambilnya,” ucap lelaki itu pelan.
Aku meliriknya. Sekilas ia terlihat sangat
tulus.
Aku segera meraih kantong
plastik biru transparan itu, membukanya, lalu kemudian mengambil sepotong
roti, memakannya dengan lahap.
“Njenegan kelihatan sangat lapar. Sebenarnya Njenengan
dari mana?” tanya lelaki itu.
“Kulo amung gelandangan,” jawabku lemah.
Aku pun mengambil sebuah botol air mineral dari dalam
kantong itu lagi lalu meneguknya sampai hampir habis. Sudah lama sekali aku tidak
minum air seperti itu.
“Njenengan mau ikut denganku?” Lelaki itu bertanya lagi.
“Teng pundi?” tanyaku sedikit heran.
“Ke rumahku,
Mbah. Njenengan bisa tinggal di rumahku dan
juga bisa bekerja di sana kalau Njenengan mau,” jelas lelaki itu terdengar serius.
“Nopo Sampean mboten ajrih kaleh kulo?” tanyaku ingin tahu.
“Njenengan belum gila, hanya stres. Jadi, aku nggak perlu takut,” jawab lelaki itu lugas.
“Ning kulo niki kotor,” ucapku.
“Kotor masih bisa dibersihkan,
Mbah. Yang penting Njenengan mau
ikut denganku,” balas lelaki itu.
“Tenopo Sampean apik kaleh kulo.
Kulo lan Sampean mboten kenal to?” ucapku lagi.
“Namaku Ngadiman,
Mbah. Panggil Ngadiman, dan kenapa aku baik sama Njenengan, ya, karena menurutku Njenengan
terlihat seperti orang baik. Orang baik yang sedang
tersesat atau orang baik yang sedang mencari jati dirinya, dan sebenarnya juga aku sudah memperhatikan
Njenengan sejak tadi pagi.”
“Aku melihat Njenengan sudah
berjalan sepanjang hari di daerah ini. Aku memang selalu lalu lalang di jalan ini. Jadi, aku sudah hafal betul setiap
orang yang lewat di sini.”
“Ketika aku melihat Njenengan
tadi, awalnya aku coba mengabaikannya. Namun, saat aku melihat Njenengan
termenung sendirian di sini, aku pun berinisiatif untuk mendekati Njenengan
karena belum pernah sebelumnya ada orang yang berjalan seperti Njenengan di daerah
sini.”
“Setelah aku perhatikan, Njenengan sepertinya orang baik,” jelas lelaki
yang mengaku bernama Ngadiman itu panjang lebar. Meskipun sebenarnya aku tidak terlalu mengerti
dengan semua penjelasan Ngadiman itu, tapi aku pun akhirnya menerima tawarannya
untuk ikut dengannya.
“Purun nggeh,
Mbah?”
“Nggeh. Kulo
purun,” jawabku.
****
Singkat waktu.
Daerah itu memang cukup sunyi
sebenarnya. Itu seperti daerah di jalan lintas antar kota yang berpenduduk
sangat sedikit, hanya ada beberapa rumah di daerah tersebut, selebihnya masih banyak
hutan dan kebun-kebun sawit ataupun kebun karet.
Karena itu juga sebenarnya aku
memutuskan untuk menerima tawaran dari Ngadiman, lagi pula nggak ada salahnya
menurutku untuk ikut dengannya.
Kalaupun Ngadiman berniat
jahat padaku apa juga yang ia harapkan dariku. Iya to?
Mobil mewah itu pun memasuki
sebuah pekarangan rumah yang cukup luas dan mewah. Rumah itu berada di pinggiran jalan
raya sebenarnya, hanya saja di sekeliling rumah itu terdapat kebun sawit yang
sangat luas.
Sepanjang perjalanan tadi, Ngadiman terus bertanya padaku, setidaknya ia ingin tahu siapa aku sebenarnya.
Aku sudah menjadi gelandangan sejak lama. Aku mengatakan demikian karena
menurutku, aku tidak mungkin menceritakan secara keseluruhan tentang siapa aku
sebenarnya.
Setelah memarkir mobil di
garasi, Ngadiman segera mengajakku turun dari mobil tersebut. Kemudian ia mengajakku masuk
ke dalam rumah mewah itu.
Di dalam rumah itu kami
disambut oleh seorang wanita cantik yang terlihat masih sangat muda.
“Ini istriku,
Mbah,” ucap Ngadiman.
Wanita yang disebut istri oleh
Ngadiman itu menatapku penuh tanya lalu ia pun mengulurkan tangannya. “Nama saya
Nur, Mbah,”
ucapnya lembut sambil kami berjabat tangan.
“Darmo,” balasku ringan.
“Untuk sementara Mbah
Darmo akan
tinggal di sini bersama kita,” ucap Ngadiman.
Istri Ngadiman segera
memanggil nama seseorang. “Bi Ijah!”
Sesaat kemudian seorang wanita
tua muncul dari arah dapur.
“Kulo,
Ndoro.”
“Tolong antar Mbah
Darmo ke kamar belakang,
ya.”
Kali ini Ngadiman yang berucap
lagi.
“Baik, Ndoro,” balas wanita tua itu sopan.
“Njenengan boleh mandi dulu
kemudian istirahat di kamar. Nanti kita bicara lagi,
Mbah,” ucap Ngadiman
padaku.
Aku pun mengikuti langkah Bi Ijah menuju dapur.
Di sana ada sebuah kamar yang masih
kosong. Kamar itu cukup luas. Ada kamar mandi juga di
dalamnya.
Setelah Bi
Ijah pergi, aku pun segera menutup pintu
kamar itu.
Aku pun segera mandi untuk
membersihkan tubuhku yang sudah lebih dari sebulan tidak mandi.
Setelah itu aku pun
beristirahat dan tidur.
****
Malam itu aku terbangun saat Bi
Ijah mengetuk pintu kamarku.
Tok! Tok!
Tok!
Aku segera
membukanya.
Krek.
“Wonten nopo,
Ndoro?” tanyaku.
“Njenengan ditunggu Juragan di ruang makan,” ucap Bi
Ijah.
Aku pun segera melangkah menuju ruang makan yang memang berada tidak terlalu jauh dari kamarku tersebut.
PART 2
PART 3
PART 4
Cerkak: AMBAL WARSO bisa dibaca di sini.
SOSIS PAKDE NOTO segera hadir! Ikuti Blog, nggeh.
No comments:
Post a Comment