CERKAK ALI-ALI KEMBANG KENONGO
CERKAK ALI-ALI KEMBANG KENONGO
(Bab ke-9)
Lap!
Duar!
Petir terus menyambar disertai langit yang bergemuruh.
Krek.
Krok.
Krek.
Krok.
Kuswanoto segera menutup jendela saat bunyi derit terus dihasilkan oleh angin yang memainkan jendela.
Sekali dilihatnya langit begitu pekat.
Lap!
Duar!
"Pak, pintu belakang tolong ditutup!" teriak Warsinah dari dapur.
"Ngono kok yo gak godak!" (Begitu saja kok tidak bisa!). Kuswanoto melangkah ke samping dapur.
"Njenengan, tidak lihat saya lagi apa, he?" Seraya meniriskan pisang goreng.
Kuswanoto kembali setelahnya dengan menggulung sarung.
"Udane kok eram men yo, Mak. Dweress gak umum." (Hujannya kok terlalu benar ya, Mak. Deras tidak umum).
"Sudah lama tak hujan, Pak. Sekali hujan, ya biasanya deres."
"Koyok awakku ya, Mak." (Seperti aku ya, Mak).
"La apa hubungannya dengan Njenengan."
"Nek suwe gak diudani. Sekali diudani yo, deres. He he he." (Kalau lama tidak dihujani. Sekali dihujani ya, deras. He he he).
Pet!
Mendadak lampu mati.
"Kulino! Anger wajahe udan pesti mati lampu. Nggregetno tenan ki PLN!" (Kebiasaan! Kalau hujan pasti mati lampu. Menjengkelkan ini PLN!).
"Pak, ini senteri!"
"Opo neh to jane!" (Apa lagi!).
"Ini loh! Gosong nanti!"
"Sek! Tak njupuk HP sek!" (Sebentar! Saya ambil HP dulu!).
Kuswanoto melangkah dalam gelap ruangan dapur, menerka arah pintu untuk sampai ke ruangan di mana dia biasa mengecas HP.
"Ngene ki lak yo, menakno wong seng kate kelon. Ndi iki malem jemuah ngisan," (Begini ini, 'kan ya, mengenakkan yang mau kelon. Mana ini malam Jumat lagi), katanya.
"Sudah cepat! Merutuk saja!" seru Warsinah, beruntung nyala api kompor masih memberikan gambaran kalau Kuswanoto berjalan seperti orang buta yang kehilangan tongkatnya.
Selangkah Kuswanoto berjalan, tiba-tiba.
Dak!
"Aduh yong!" (Aduh mak!).
"Matane suwek! Jane sopo to seng mindah lawang neng kene ki!" (Matanya sobek! Siapa yang memindah pintu di sini!).
Kuswanoto mengusap-usap jidatnya yang mendadak sakit setelah membentur sisi gawang pintu.
"Yang memindah pintu ya siapa? La wong dari dulu ya di situ kok. Njenengan, kok malah misuh-misuh."
"Joh njaran!" (Kencing kuda!)
"Pintu kok disalahkan," gumam Warsinah.
Kuswanoto datang kembali dengan sinar dari HP setelah mengaktifkan senter.
Lap!
Gemuruh kembali terdengar di langit.
Geluduk! Geluduk!
"Ini malam Jumat, 'kan, Pak?"
"Iyo. Ki ngko yasinan nggone Kang Giman." (Iya. Ini nanti yasinan di tempat Kang Giman).
"Pergi?" tanya Warsinah.
"Nek gak mangkat gak kepenak to, Mak." (Kalau tidak berangkat tidak enak toh, Mak).
"Hujan loh belum berhenti."
"Yo nganggo jaket utowo mantel. Mesakno nek wong duwe gawe tapi gak onok seng mangkat." (Ya pakai jaket atau mantel. Kasihan kalau orang punya hajat tapi tidak ada yang berangkat).
"Sampek kapan ki kiro-kiro mati lampu?" (Sampai kapan ini mati lampu kira-kira?). Masih berdiri di samping kompor dengan mengarahkan sinar ke penggorengan.
"Iso drop HP-ku." (Bisa drop HP-ku).
"Ya sana ke warungnya Pondi sebentar. Cari lilin."
"Lah. Males." (Malas).
"Kok memikirkan diri sendiri. Kalau Njenengan nanti berangkat yasinan apa aku di rumah sendiri gelap-gelapan, he?"
"Wes kono goleko." (Sudah sana cari).
"La ini siapa yang goreng? Njenengan?"
"Kok kere men!" (Tidak sudi!).
"La Njenengan, bagaimana toh? Disuruh beli lilin tidak mau. Menggoreng ini tidak mau."
"Lah wes kono gak usah kokean cangkem. Gek goleko kono." (Sudah sana tidak usah banyak bicara. Sana cari).
Pemantik kompor diputar.
Tik!
"Njenengan, memang ingin menangnya sendiri."
"Kalau lagi butuh saja, usluk-usluk."
"Kate metu, Mak 'e ... kate metu. Aduh, Mak 'e, kepenak, Mak 'e. Kate metu, Mak 'e. Tidak urung tetap saja aku yang jadi gedibal!" kesal Warsinah, dan segera berlalu. (... Mau keluar, Mak 'e ... mau keluar. Aduh, Mak 'e, enak, Mak 'e. Mau keluar, Mak 'e. /gedibal=jongos!).
"Mana uangnya!"
"Neng peci kono lo golekono! Ngoceh ae!" (Di peci sana loh cari! Mengoceh saja!).
Lap!
Duar!
"Nggo payung! Ko kudanan!" (Pakai payung! Nanti kehujanan!).
"Halah. Tidak usah sok perhatian!" balas Warsinah.
"Lo ngko nek sampek masuk angin gak urung awakku seng repot. Keroki, Pak 'e ... Keroki, Pak 'e." (La nanti kalau sampai masuk angin tidak urung aku yang repot). Membalas ucapan Warsinah tadi.
"Gak usah gendakan ambek Ustaz Sopyan!" (Tidak usah selingkuh dengan Ustaz Sopyan!), teriak Kuswanoto dari ambang pintu.
Petir terus menyambar-nyambar dibarengi suara geluduk.
Kuswanoto hanya bisa duduk menunggu Warsinah yang pergi ke warungnya Pondi.
****
Sementara itu di rumah Sugito.
Teringat akan uang hasil penjualan cincin yang masih dia bawa, segera dia meraih HP. Dicarinya kontak telepon.
Segera dia mengirimkan SMS kepada kontak yang bernama Saimun.
"Kang, uangnya besok pagi, ya. Malam ini aku mau yasinan dulu di rumah Kang Giman. Atau nanti setelah pulang yasinan saya akan mampir ke rumah Sampean, ya." ✅. Pesan terkirim.
"Jadi berangkat yasinan, Pak?"
"Entah. Mana hujan dari siang tak berhenti-berhenti, Bu."
"Apa tak sebaiknya libur dulu saja?"
"Entah, Bu. Kebetulan malam ini giliran yasinan di rumah Kang Giman. Kalau tidak pergi tidak enak."
"Iya juga. Kang Giman itu orangnya baik. Mana sering bantu Sampean, toh?"
"Makanya, Bu. Kalau sampai tidak berangkat ya tidak enak nanti kalau ketemu dengannya. Padahal sebenarnya aku malas kalau mengingat keadaannya begini, mana Logbook belum aku kerjakan juga."
Meski bilang begitu, tetapi hati Sugito sebenarnya enggan pergi karena baru saja menerima uang lain dari hasil penjualan gas tadi siang.
Lap!
Duar!
"Ya sudah, Bu. Aku berangkat ke Masjid dulu. Mana payungnya."
"La apa tidak bawa motor, Pak?"
"Jalannya loh itu licin. Minta bonceng dengan Kang Noto saja. Sudah sana ambilkan payung."
Sang istri pergi ke dalam untuk mengambil payung. Sugito meraih HP dan terlihat mengetik di WA.
"Berangkat yasinan tidak, Kang." ✅
"Mangkat." ✔️(Berangkat). Balasan dari Kuswanoto.
Istrinya muncul dengan memegang lilin di tatakan serta payung. "Apa sebaiknya bawa motor sendiri, Pak. Kang Noto juga mana tagen kalau jalannya licin begitu?"
"Kang Noto itu lihat kalau soal mengendarai," balas Sugito seraya memasukkan kembali HP ke saku.
"Ya sudah, Bu. Sebentar lagi isya. Aku menunggu Kang Noto di Masjid saja sekalian berjamaah di sana."
"Hati-hati ya, Pak."
"Ya."
Lap!
Duar!
Satu sambaran kilat mengantar langkah Sugito yang mulai menapak ujung halaman di mana sejenak terlihat menggenang air.
****
Di rumah Saimun.
"Kang, uangnya besok pagi, ya. Malam ini aku mau yasinan dulu di rumah Kang Giman. Atau nanti setelah pulang yasinan saya akan mampir ke rumah Sampean, ya." Masih tertulis pesan singkat dari Sugito.
Saimun lalu meletakkan HP jadul diikat karet gelang. "Budal apa uraa kiyelah." (Berangkat apa tidak ini).
Semakin dia merapatkan sarung untuk mengusir dingin.
Tok! Tok! Tok!
Saimun beranjak dari tempat tidur. Bergegas dia meraih lilin, lantas menuju pintu depan.
Tok! Tok! Tok!
"Ya! Sedela!" (Ya! Sebentar!).
Pintu terbuka.
Krek!
Hembus angin dingin memainkan sinar lilin hingga nyaris padam.
Saimun celingak-celinguk saat tak dijumpai orang yang tadi jelas mengetuk pintu rumahnya.
"Sapa sih!"
Tak ada sahut jawab.
Suasana halaman begitu senyap dengan gelap dihampar ke tiap sudutnya.
Saimun memilih menutup pintu dan kembali ke kamar.
"Ana-ana bae jarku sih. Genah mau ana suara ketok-ketok. Sih barang dibuka langka manungsane." (Ada-ada saja. Jelas tadi ada suara ketok-ketok. Barang dibuka tidak ada manusianya).
Tok! Tok! Tok!
Deg!
Jantung Saimun berdetak keras kini setelah jelas kembali ada yang mengetuk pintu lagi.
"Manungsa ura weruh aturan apa yak," (Manusia tidak tahu aturan apa ya), gerutunya seraya kembali melangkah ke pintu depan.
Krek!
Pintu kembali dibuka.
"Sapa!"
Sama, tak ada sahut jawab.
"Rika, apa, Kang Git! Aja gelowehan lah!" (Anda, apa, Kang Git! Jangan bercanda!).
"Kang Git!"
"Sapa jane!" (Siapa sebenarnya!).
Lap!
Duar!
Terang sejenak seluruh halaman, dan itu tak menjawab pertanyaan hati Saimun yang terus bertanya-tanya siapa gerangan yang mengetuk-ketuk rumahnya.
"Medi apa yak? Hi!" (Hantu apa ya? Hi!).
Brak!
Saimun segera menutup pintu dan bergegas kembali ke kamar.
Tok! Tok! Tok!
Saimun malah naik ke tempat tidur dengan menarik sarung hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Jantungnya berdegup cepat. Rasa takut kian menyergap dalam suasana hujan yang belum juga reda.
Tok! Tok! Tok!
Saimun membuka ujung sarung begitu sadar suara ketukan datang arah sampingnya, jendela.
"Sapa! Aja gelowehan!" (Siapa! Jangan bercanda!).
"Mun."
Ragu sebenarnya untuk bangkit, tetapi nama panggilan yang kerap dia dengar memutuskan untuk mendekati jendela.
"Sapa sih!"
"Aku, Mun." Terdengar berat dan samar dalam suara air hujan.
"Aku sapa!"
"Aku, Mun."
"Iya, sapa?" (Iya, siapa?).
"Aku."
"Temenan kiye manungsa yak!" (Sungguh ini manusia!).
Geram Saimun yang penakut, hingga memutuskan untuk membuka jendela.
Krek!
Brak!
"Akh!" Saimun berteriak.
Lap!
Duar!
Bruk!
Seketika tubuhnya lemas terkulai dan jatuh ke lantai.
Bertemu di Wattpad.
No comments:
Post a Comment