CERKAK EIKE BUKAN BENCONG (LOVE & PRIDE: SHOW YOUR COLOUR CHALLENGE)
CERKAK EIKE BUKAN BENCONG
KARYA: PAKDE NOTO
"Wah ini mesti ditinggal dulu, Kang Noto. Sepertinya ini kupu-kupu setang sedikit bengkok."
"Wadoh, hes jan. Oleh bantuan malah entek nggo dandan montor," (Aduh, bagaimana ini. Dapat bantuan malah habis untuk dandan motor), batin Kuswanoto, lalu menoleh ke arah Sapulina yang terus mengusap peluh dengan lengan, ada di pinggir jalan sebuah bengkel motor.
Wandi, sang pemilik bengkel juga ikut melempar pandang ke arah Sapulina, lalu mengulum senyum. "Anu-nya, Kang?"
"Anune opo?" (Anu apanya?).
"Garek didandani ae kok." (Tinggal dibetulkan saja kok).
"Itu?" Yang dimaksud Sapulina.
"Gak ngomong seng macem-macem! Anake kuntilanak iko ncen nyoro tok!" (Tidak bicara yang macam-macam! Anaknya kuntilanak itu memang menyusahkan saja!).
"O? Anaknya kuntilanak toh? La saya kira ...."
"La mbok kiro opo? Gendakanku! Opo kon adu engkol!" (Kamu kira apa? Selingkuhanku! Apa disuruh adu engkol!).
"He he he. Siapa tahu. Ha ha ha."
"O, motomu iku!" (O, matamu itu!).
"La saya, 'kan tidak tahu? Biasanya yang dibonceng Yuk War, kok ...."
"Wes gek ndang didandani iku montorku. Entek piro kiro-kiro, Ndi?" (Sudah cepat diperbaiki itu motorku. Habis berapa kira-kira, Ndi?).
"Saya bongkar dulu, Kang. Mudah-mudahan yang lainnya tidak rusak. Makanya toh, kalau mau ...."
Plok!
"Seng doyan demit ngono iko yo sopo! Diler 'o yo podo! Gedene yo paling sak peli ketek!" (Yang doyan demit seperti itu siapa! Disuguhkan ya sama! Besarnya paling seperti burungnya monyet!).
"Ha ha ha." Wandi tergelak-gelak.
"Wes pokok dandanono. Enteke piro ngko urusane, yo." (Sudah pokok diperbaiki. Habis berapa nanti urusannya, ya).
"Siap, Kang."
"Wes tak balek nek no." (Sudah saya pulang kalau begitu).
"Jalan?" tanya Wandi.
"Mbrangkang!" (Merangkak!), jawab Kuswanoto.
"Jangan digarap di hutan loh, Kang. Ha ha ha."
"Ow, lambemu!" (O, bibirmu!).
Kuswanoto meninggalkan Wandi yang masih tertawa, lalu menghampiri Sapulina.
"Wes kono awakmu minggato kono." (Sudah sana kamu pergi sana).
"Kumis, kok bilang begitu. Eike, 'kan mau ikut pulang, Say."
"Gurung ae ko omah wes gawe ciloko! Ndahno ngko!" (Belum juga sampai rumah sudah membuat celaka! Apalagi nanti!).
"Ah, pokok eike enggak mau. Pokoknya ikut ...."
"Gak, enggak! Wes gak!" (Tidak, tidak! Pokoknya tidak!).
"Kumis, ih."
"Gah, wegah." (Tidak, tidak mau). Kuswanoto mencoba menangkis tangan Sapulina yang berusaha untuk memegangnya.
"Kumis."
"Gah! Minggato adoh-adoh. Kono!" (Tidak mau! Pergi sana jauh-jauh. Sana!).
"Kumis."
"Gah!" (Tidak mau!).
"Kumis."
"Tak brakot lo ngko awakmu!" (Saya gigit nanti kamu!).
"Ih, geli, ah. Main gigit aja, deh. Apa eike sepong aja, yiuk."
"Sepang sepong, sepang sepong. Sepak gelem!" (Sepang sepong, sepang sepong. Tendang mau!). (Kuswanoto mengeloyor pergi meninggalkan Sapulina yang mencoba mengejarnya.
"Kumis, tunggu. Ih, hidup gini-gini amat. Kumis, tunggu eike!"
****
Sapulina terengah-engah mengimbangi langkah Kuswanoto yang terlihat tak memedulikan.
Di tangan, sepasang sendal bertali dia tenteng, sementara letak rambut palsunya yang panjang sebahu sedikit miring, dihias bando warna merah jambu.
"Kumis!"
"Kumis!"
"Opo! Ngopo to jane awakmu ngetutno awakku terus, ha! Golek dalan padang kono lo! Wong gak lanang, gak wedok!" (Apa! Kenapa kamu mengikuti aku terus, ha! Cari jalan terang sana! Orang kok tidak laki-laki, tidak perempuan!).
"Ih, emang eike tersesat kali, ah," rutuk Sapulina dengan sedikit mempercepat langkah saat Kuswanoto menunggunya di ujung jalan menanjak.
"Lecet deh kaki eike."
"Mandose jalaludin berbatu. Hidup gini-gini amir." (Mana jalannya berbatu. Hidup begini amat). Terus menggerutu dengan sedikit mendongak.
Matahari makin tinggi, angin datang menerpa lalang yang ada di kiri dan kanan jalan.
"Kita mau ke mana sih, Kumis. Eike capek."
"Balek," (Pulang), jawab Kuswanoto, berpaling, lalu berjalan diikuti Sapulina.
"Kita berteduh dulang yiuk." (Kita berteduh dulu yuk).
"Aleman," (Manja), sahut Kuswanoto.
"Kumis?"
"Opo neh to jane!" (Apalagi!). Kuswanoto membalikkan badan menghadap Sapulina yang terlihat cemberut.
"Eike tuh binunah." (Eike itu bingung).
"Yo jelas bingung lah, wong tuwomu pesti luweh bingung. Awakmu ki anak seng ketuker." (Ya jelas bingung, orang tuamu pasti lebih bingung. Kamu ini anak yang tertukar).
"Awakmu ki maune wedok tak roso, iku nek awakku ndelok pasuryanmu, ning koyoke awakmu ki kanslupan lelembut lanang, manggon neng rogomu iku. Yo ngono iku dadine. Kemenyek! Kelemar-kelemur. Ngondek ngisan." (Kamu ini tadinya perempuan saya kira, itu kalau aku melihat wajahmu, tetapi sepertinya kamu ini kerasukan lelembut laki-laki, tinggal di ragamu itu. Ya begitu itu jadinya. Kemayu, kelemak-kelemek. Gemulai lagi).
"Ndi jal ndelok drijimu." (Coba lihat jarimu).
Sapulina menjulurkan sepuluh jari, wajahnya dibungkus rasa bingung.
"Lurus ngono lapo to!" (Luruskan!).
"Iya ini sudah lurus, Kumis. Ih rempong."
"Lurus opone, ngruwel ngono kok." (Lurus apanya, keriting lentik begitu kok).
"Ngene lo lah!" (Begini loh!). Kuswanoto lalu menarik tangan Sapulina, bermaksud untuk meluruskan jari yang terlihat keriting.
Diperlakukan demikian, Sapulina sejenak hilang keseimbangan. Tarikan Kuswanoto terlalu kuat baginya untuk berdiri dengan paha merapat.
"Auw!"
Dengan sedikit mengibas rambut, tubuh Sapulina meluncur nyaris jatuh. Dalam gerak lambat, Sapulina terlihat memejamkan mata, sementara Kuswanoto yang tahu akan seperti apa akhirnya, mencoba menangkap tubuh Sapulina.
"Ku ...."
"... Mis."
Tep!
Sapulina langsung bergayut dalam pelukan Kuswanoto. Bulu mata anti petir melintir seketika mengedip-kedip seiring merekah senyum semringah.
Mata keduanya saling tatap, banyak lambang hati beterbangan di mata Sapulina. Tidak dengan Kuswanoto yang terus menahan Sapulina agar tak jatuh, matanya merah dengan kobar api di kepala.
"Kumis, cacamarica tempat, yiuk. Hi hi hi." Diakhiri tawa kemayu. (cacamarica/cari).
Kuswanoto langsung melepas pelukannya.
Bruk!
"Auw! Sekong tahu!"
"Nggilani!" (Menjijikkan!). Seraya berlalu.
"Kumis!" Sapulina bangkit dengan bersungut, meraih sandal yang terserak lalu kembali bergegas. "Ih, sebel deh, ah. Lekong gak ada perhatian sirkuit samsara pewong." (... sirkuit samsara pewong/sedikit dengan perempuan).
"Kumis."
"Opo neh to jane! Modaro kono lo!" (Apa lagi! Mampus saja sana!).
"Tega ya samsara eike."
"Gak ki lo. La opoku!" (Kenapa tidak. Memang apa saya!).
"Dasar lekong!" kesal Sapulina.
"Dasar bencong!" balas Kuswanoto.
"Kumis, gendong!"
"Adoh ... adoh ayune? Opo? Gendong?" (Aduh ... aduh cantiknya? Apa? Gendong?).
"Iya."
"Iko ... iko. Roh to onok wit mentru, ha, iko." (Itu ... itu. Itu pohon mentru, ha, itu).
"Terus?"
"Yo ngetapelo kono!" (Ya peluk sana!).
"Begindang deh." (Begitu deh).
"La opo bedone?" (La apa bedanya?).
"Emang eike monyet."
"Yo podo to? Duwe buntut." (Sama, 'kan? Punya buntut).
Sapulina menunduk mengikuti yang dimaksud telunjuk Kuswanoto.
"Ih, Kumis. Kanua jugriya penyami buntut."
"Berati eike dan kanua monyet. Yuk, ah, kitring monyet-monyetan. Eike di bawah. Kumis, di atas. Yiuk cari tempat."
"Ngko tak cangap lo lambemu! Nghetek ae!" (Saya buka paksa loh mulutmu! Ganjen!).
Kuswanoto menuju batang kelandara yang ada di sisi jalan, menghempas bokong, seraya melepas peci hitam. Gerah memeras peluh, mengalir dari dahinya.
Sapulina datang, duduk di samping Kuswanoto.
"Lapo nyedak-nyedak, ngadoh. Nulari ngko, iso-iso ngko bengi awakku mengetik cerito jentiku melok jenggat." (Kenapa terus mendekat, menjauh. Menular nanti, bisa-bisa nanti kelingkingku ikut lentik). Kuswanoto lalu meraih keretek andalan berbungkus merah dengan gambar gudang.
"Kumis, eike ini cantik tintus?" (tintus/tidak?).
"Blas." (Tidak sama sekali). Enteng dan meyakinkan jawab Kuswanoto.
"Ih." Sapulina cemberut seraya memutar arah dengan kedua kaki merapat.
"Ayu opone. Jek ayu botol sirop." (Cantik apanya. Masih cantik botol sirop).
Sapulina menarik bibir kesal.
"Ngudud gak?" (Merokok tidak?). Kuswanoto menawarkan keretek.
"Bunaken indang." (Bukan itu).
"La duwene keretek abangan kok, pilter gak duwe. Biosone bencong ngudud." (La hanya punya keretek merah kok, filter tidak punya. Biasanya bencong merokok).
"Indang." (Itu).
"Iku opo?" (Itu apa?).
"Itu."
"Rokok indang, yang adinda tembakaunya."
"Opo to, ngomong ki seng ceto, seng jelas!" (Apa toh, bicara itu yang jelas!).
Sapulina berbalik, kembali bersisian. "Itu, di dalam celana."
"Alak masa Allah. Gak duwe udud neh, ki gur duwek bantuan." (Masa Allah. Tidak punya rokok lagi, ini hanya uang bantuan).
"Ih, Kumis, tintus peka. Itu, kenti."
"Anuku?"
"Sini eike sepong."
"Njijiki lo awaku ki. Tak uyuhi lo awakmu ngko." (Menjijikkan loh kamu ini. Saya kencingi loh kamu nanti).
"La biosone mbek sopo kok," (La biasanya dengan siapa kok), imbuh Kuswanoto.
"Ya amplop, Kumis. Udin minang kabo, belumbung dapat langganan. Mangkalita di Bina Ria jugria tintus dapat lekong."
"La potonganmu koyok tetek melek. Sopo yoan seng gelem." (La rupamu seperti topeng monyet. Siapa juga yang mau).
"Kumis?"
"Gak ngalem po 'o!" (Tidak manja kenapa!).
"Dorayaki lahir." (Dari lahir).
"Gawan bayi dengkulmu iku." (Bawaan bayi dengkulmu).
"Kalau nanti eike metong, almarhum atau almarhumah."
"Eike mawaria insaf," lanjut Sapulina.
"Hayo apik. Wedok kok mlebu rogone lanang." (Ya bagus. Perempuan kok masuk raga laki-laki).
"Lalu eike nanda apose?"
"Opo yo." (Apa ya).
"O? Roh, roh saiki, nek wedok iku almarhumah. Nek lanang almarhum. A nek bencong, iku aluminium." (O, tahu, tahu sekarang, kalau perempuan almarhumah. Kalau laki-laki almarhum. Kalau bencong, itu aluminium).
"Eike banci, bukan panci." Suara sengau keluar.
"Piye nek ...." (Bagaimana kalau ....).
Ting!
Muncul bola bohlam di benak Kuswanoto. "Piye nek awakmu takon ae mbek Ustad Sopyan. Tak roso wonge yo doyan mbek wong model awakmu." (Bagaimana kalau kamu tanya saja dengan Ustaz Sopyan. Saya rasa orangnya doyan dengan orang seperti kamu).
"Lekong?" (Laki?).
"Duk! Bencong! Yo iyolah, mosok ustaz bencong!" (Bukan! Bencong! Ya iyalah, masak ustaz bencong!).
"Ganteng?"
"Guantengggg bianget." (Ganteng sekali).
"Aduh ya amplop. Adinda kumisnya?"
"Nek seng nduwur gak onok, koyoke seng ngesor kwetel." (Kalau yang atas tidak ada, sepertinya yang bawah lebat).
"Ih, ya amplop. Mewong deh eike." (Ih, ya ampun. Saya mau).
"Yo wes ayo, ko tak terno neng omahe." (Ya sudah ayo, nanti aku antar ke rumahnya). Kuswanoto bangkit.
"Gendong."
"Mari iku tak uncalno neng ledokan. Gelem ta?" (Setelah itu saya lembar ke lubang. Mau?).
"Jahara deh sama perempuan."
"Wedok opo? Wedok gak genah ngono kok." (Perempuan apa? Perempuan tidak jelas begitu kok).
"Pokoknya gendong, Kumis. Gendong depan."
"Kok jek panggah aleman, tak udani terus tak bondo neng wit mentru iko, ben diruyuk angkrang. Wes gak endang, wetengku wes luwe." (Nanti kalau terus manja, saya telanjangi terus saya ikat di pohon mentru itu, biar dikerubung angkrang).
No comments:
Post a Comment