MBAH SURO 9

“Bahkan kamu bisa melakukan lebih dari pada Karso.” Akhir ucapan Sumitro membuat juragan Ngadiman tertunduk membayangkan kejadian itu, saat nama orang yang bermula membentuk ‘sang ke pilih’.
Setelah semua dilucuti pakde Karso, yang terlihat hanya tubuh Ngadiman yang tergolek tanpa pakaian, kedua tangannya digunakan untuk menutupi kemaluan kecil miliknya.
“Kamu sudah tahu belum, kalau sudah disunat nanti bentuk burungmu akan sama seperti burung pakde ini.”
Entah apa yang dipikirkan pakde Karso, dia membuka sarungnya, memperlihatkan kemaluannya yang hitam dengan bulu-bulu lebat di bagian pangkalnya.
Ngadiman buru-buru menutup matanya dengan kedua telapak tangan.
“Lo … yo ndak usah ditutupi matamu le … coba kamu lihat ini.”
Perlahan Ngadiman membuka jari kecilnya, diantara celah jari, dilihatnya kemaluan pakde Karso yang lemas tergantung, memperhatikan bentuk dengan kepala gundul di bagian ujungnya.
“Coba kamu duduk.” perintah pakde Karso, yang diikuti dengan melepas gulungan sarung.
Kini tak ada bedanya antara Ngadiman dan pakdenya, sama-sama telanjang diatas bale.
Lalu pakde Karso maju ke arah wajah Ngadiman kecil, kemaluan besar menggantung itu hanya berjarak sejengkal kini di hadapannya.
Ngadiman hanya bingung, sesekali menatap wajah pakde yang tersenyum dengan hidung yang mulai kempis mengembang.
“Pegang … peganglah!”
“Kita hanya akan lelah mengejarnya juragan, siapa lagi yang akan membuat bahagia kalau bukan kita sendiri, semoga di Tanggor Joyo tempat mu membuka harapan untuk segera lepas dari pesona dukun itu.”
Juragan Ngadiman tak bisa berkata kini, benar kata Sumitro, lelah memang mengejar cinta mbah Suro, dukun dengan sejuta pesona di matanya.
Sumitro baru saja kembali dari Tanggor Joyo, Lima gerobak dengan berbagai alat gamelan terlihat sesak di atasnya.
“Kalian berangkatlah dulu, sore ini susun semua peralatan,” perintah Sumitro sewaktu sampai di depan iringan gerobak yang terlihat siap berangkat saat Sumitro memerintahnya.
Sementara di sudut sebelah kanan, juragan Ngadiman hanya duduk di undakan pendopo.
“Aku sudah menemui Bawor, dia menyanggupi untuk membantumu,” ucap Sumitro lalu duduk di samping juragan Ngadiman.
“Entahlah kakang, aku sendiri kurang yakin,” potong juragan Ngadiman.
“Besok kamu temui dia, ah … aku hanya kasihan terhadapmu.” Sumitro menoleh juragan Ngadiman.
“Tak ada yang perlu di kasihani kakang, sang ke pilih akan selalu membawa langkahku untuk yang aku pilih, maka dari itu, aku kurang yakin akan pilihan Bawor,” ujar juragan Ngadiman mengadu tatap dengan Sumitro.
“Yahhh … semua aku kembalikan kepadamu, aku hanya ingin membantu,” kata Sumitro menahan napas.
“Cobalah membuka hati untuk orang lain, jangan terus dirimu di buat buta oleh sosok dukun itu.”
“Bagaimana dengan kakang sendiri?” Tanya juragan Ngadiman membuat Sumitro sedikit gugup.
“A … aku, aku bahkan bisa mendapatkan perempuan yang aku mau, ti … dak ada masalah bagiku,” jawab Sumitro setengah terbata.
“Darti,” ucap juragan Ngadiman menyebut nama itu.
Sumitro lantas terdiam, mata mereka masih saling tatap.
“Bagaimana mungkin aku akan melakukannya dengan lelaki lain kalau di benakku selalu ada mbah Suro,” kata juragan Ngadiman dingin.
“Hati tak bisa untuk kita bohongi kakang,” tambahnya lagi.
“Jangan kau sudutkan aku, aku sudah belajar melupakan nama itu, belum ada sejarahnya, satu pergi saat aku telah dapat pengganti, tapi sekarang lihatlah … aku bahkan harus berselimut sepi,” ucap Sumitro dengan nada lirih.
“Dan aku tak mau larut oleh pesona janda Waru Telu itu, walaupun aku masih mengharap dia datang dalam pelukanku.” Sumitro menambah ucapannya.
“Jangan kau pedulikan aku, aku mudah mencari pengganti Darti,” kata Sumitro dengan senyum mengembang.
Juragan Ngadiman masih terlibat pembicaraan dengan Sumitro, pendopo dengan lima belas tiang penyangga soko guru dengan tumpang sari, menjadi saksi bahwa juragan Ngadiman sudah tak lagi membicarakan awal kedatangannya kemari, tawaran dengan alasan ingin membahagiakan terucap oleh Sumitro di undakan pendopo
~*~
Suara ketuk berpadu dengan gong, terdengar diantara orang-orang yang mulai berduyun. Sebagian sudah berdiri di halaman rumah yang akan menggelar jaranan Setyo Budoyo milik Sumitro. Perpaduan alat gamelan bak mantra penyihir yang membawa langkah-langkah mereka untuk mendatangi.
Sumitro terlihat berdiri di depan meja yang sesak akan sajen. Di sisi bawah asap putih mengepul dari pembakaran sabut, aroma kemenyan menyeruak memenuhi halaman.
Kali kedua bagi juragan Ngadiman menyaksikan Setyo Budoyo tampil. Sendra tari pimpinan sahabatnya memang mempunyai pesona di setiap tempat yang menanggap, termasuk Tanggor Joyo.
Kedua tangan sang juragan Waru Telu itu bersedekap, mengamati satu-persatu penduduk yang datang. Kepalanya sesekali menggeleng pelan, seakan dia sedang memilih. Hingga rombongan penari dasaran keluar lengkap dengan pakaian tari dan kuda anyaman.
Empat penari putra dan Lima penari putri berdiri dan mulai menari seiring gamelan yang mulai di tabuh, mengangkat kaki kanan dan kaki kiri secara berganti dengan kaki agak ditekuk ke belakang. Dengan gerakan menari, tangan memegang kuda anyaman.
Di antara penonton yang berdiri, tampak Bawor berjalan menuju ke arah juragan Ngadiman dengan di kawal Bongkos, dan dua rekannya. Bukan kedatangan Bawor yang menjadi perhatian juragan Ngadiman, tetapi lelaki yang berjalan paling belakang diantara mereka.
“Itu Bawor, hahahaha … apa yang tak bisa baginya, Bawor … Bawor ,” ucap Sumitro yang sudah berdiri di samping juragan Ngadiman.
“Aku bawakan seperti keinginannya,” bisik Bawor kepada Sumitro.
“Ssstt..! sini.” Lambai Bawor kepada lelaki di belakang Bongkos.
“Saya Den,” ucap lelaki paruh baya itu.
“Kamu duduk di sampingnya,” bisik Bawor.
Tak banyak ucap, lelaki itu lalu duduk di samping juragan Ngadiman, sejenak di menyapa juragan dengan senyum menggantung.
Sejenak mata keduanya tertuju ke arah halaman, di mana para penari kini dengan kaki merentang kesamping, sedang kaki kanan menjadi tumpuan. Dalam gerak masih menari, kuda kepang anyaman bambu itu bergerak-gerak oleh hentak tangan yang menarik, layaknya orang mengendarai kuda. Sedangkan kepala digerakkan ke kanan dan ke kiri secara perlahan dalam gerakan pacak gulu, menyelaraskan dengan iringan gamelan.
“Dari mana asal sampean?” Tanya juragan Ngadiman kepada lelaki yang duduk di sampingnya.
“Dari desa ini Tuan … dan na.”
“Panggil saja juragan, jangan panggil Tuan.” Potong juragan Ngadiman.
“Nggeh juragan,” jawabnya lalu menundukkan kepala.
“Juragan, juragan, hemm,” ujar Sumitro lalu mengulurkan tangan, seakan mempersilahkan juragan Ngadiman untuk segera meninggalkan tempat itu.
“Di rumahku tak ada siapa-siapa, hanya orang pawon,” bisik Sumitro di telinga juragan Ngadiman.
Sumitro hanya tersenyum puas lalu meninggalkan Bawor dan juragan Ngadiman, Rampatan akan segera di mulai, dan Sumitro selaku pemilik Setyo Budoyo siap memanggil para danyang untuk segera hadir di arena jaranan.
“Harus kupanggil siapa sampean?” Tanya juragan Ngadiman memecah kecanggungan dari lelaki paruh baya di sampingnya.
“Karsono, juragan.” Lelaki berkulit hitam dengan beberapa keriput di wajah menyebut namanya.
Sejenak juragan Ngadiman tersentak, nama Karsono, mengingatkan juragan Ngadiman kembali kepada lelaki bejat yang mengalirkan sang ke pilih lewat mani kala itu.
Pun tak ada rona bahagia, seperti puluhan penonton di hadapannya. Karsono hanya duduk terlihat dengan berbagai pertanyaan di hatinya.
~*~
“Babon dan bunganya sudah di bayar lunas oleh Sumitro, tugasmu selanjutnya hanya berterima kasih lah kepadanya.” Ucap Bawor malam itu.
Sementara di belakang Karsono, satu anak perempuan yang menggendong cucunya, hanya menghela napas lega di samping sang ibu.
“Saya ucapkan terima kasih kepada Romo Sumitro, biar saya sendiri yang akan datang kepadanya,” ucap Karsono.
“Sumitro hanya berpesan satu hal kepadaku, dan itu harus aku sampaikan,” ujar Bawor yang duduk di seberang meja.
Sejurus kemudian mata lelaki dengan jambang itu menatap dua perempuan di belakang Karsono.
“Hemm,” dehem Bawor dengan bola mata yang bergerak ke arah istri dan anak Karsono.
“Kita bicara di luar,” kata Bawor lirih.
Sejenak Karsono memandang dua orang di belakangnya. Dua pasang mata itu juga menatap Karsono dengan tanda tanya.
“Kalian tidurlah,” ucap Karsono lalu bangkit mengikuti Bawor yang sudah melangkah keluar.
Karsono menghembuskan napas panjang mengingat itu. Lamunannya buyar saat sorak penonton menariknya dari lamunan.
~*~
Satu penari laki-laki dengan kaki kanan berada di depan, kemudian loncat ke depan, badan membungkuk, sedangkan tangan mengarahkan kuda kepang ke bawah di barengi gerakan terakhir, tangan kanan memukul kuda dengan pecut.
“Cetasss!”
Juragan Ngadiman hanya bisa menatap sahabatnya, Sumitro, yang mengangguk kepadanya, tanda bahwa juragan Ngadiman boleh meninggalkan tempat itu dengan Karsono, tanpa harus menunggu Barongan selesai.
No comments:
Post a Comment