SEGORO LAN PESISIRE
Pemimpin pekerja biasanya ditentukan oleh pengalaman dan harus bisa
memperbaiki mesin diesel yang berbobot rata rata seratus delapan puluh kilo,
belum lagi ditambah pondasi mesin, pompa beserta perangkat klaher yang memiliki as sepanjang enampuluh senti sebesar pergelangan tangan , terhubung kedalam
Keong Pompa untuk memutar Wayer, kipas dari lempengan besi yang akan
menyemburkan pasir dan timah menuju Sakan. Pindah lokasi bila hasil sudah tak
sesuai, itu tantangan tersendiri bagi para pekerja untuk memindahkan alat alat
mesin, menaikannya dari dasar lubang, hanya dengan memikulnya menggunakan
sebatang pipa kuat, menyisakan lubang galian yang menganga sedalam belasan
meter.
Hamparan pasir dari limbah tambang bak gurun pasir tak ada tumbuhan akan
hidup di atasnya, rumput alang alang pun enggan tumbuh disana, indahnya bumi
Serumpun Sebalai pun hanya menyisakan lubang lubang yang kerap disebut Kolong dan gersangnya pasir sisa harta tersembunyi yang
mereka keruk, lalu pindah membuat lubang baru, dan akan selalu begitu.
Malam datang tak berbisik di telinga telinga mereka yang menghuni pondok
pondok sementara di areal lokasi tambang untuk segera menutup mata, berteman
gemercik air yang mengalir menuju lubang galian mereka yang akan mengisi, dan
harus kembali mereka kuras, untuk menumbangkan tanah yang berdiri di dinding
lubang, menghancurkannya dengan semprot air, dan mereka harus sigap di kala
bongkahan tanah dihadapan mereka meluncur, kalau tak ingin mati terkubur.
Diatas pasir terlihat kaleng
bekas berisi solar penuh, bercampur arang yang terus menyala di permukaan
minyak yang mengapung, menerangi malam di lokasi pondok tak berpenghuni hingga para pekerja kembali lagi kesini,
meniupnya.
Bintang-bintang kerlip di ujung daun-daun Seruk yang diam tak bergerak,
perlahan kelopak Bunga berwarna putih itu mekar perlahan, batang batang tegak
itu tumbuh di kiri kanan jalan yang mengarah kearah barat, dimana seorang lelaki
bersarung dengan selop hitam yang akan setia melangkah mengikuti kakinya menyusuri gelap di bawahnya. Sekali waktu
terlihat titik merah dari ujung kreteknya. Tak jauh lagi dia sampai di sebuah
rumah yang berlampu minyak beratap daun Rembiak.
“Aku sudah bilang! kalau aku gak kerja, apa bayaranmu
mencukupi!” Noto hampir saja
menghentikan langkahnya didepan rumah itu.
“Kenapa sampai masalah kerja sampai kau ungkit ungkit!” suara Pariyo
tak kalah kerasnya.
“Lo, lo, lo … lha wong sudah malam gemberah ae! apa kalian ndak malu
kalau didengar tetangga!"
Noto hadir diantara kedua orang yang sedang bertengkar. Pariyo yang
masih duduk di bangku dengan wajah
kesal. Sementara di hadapannya berdiri Sainah
dengan raut tak kalah kesal.
“Mbok yo sudah to kalian ini.” Noto menggulung sarungnya lalu duduk
dihadapan Pariyo.
“Dia itu lo kang yang ndak tahu terima kasih, aku sebagai wong wedok
hanya ingin membantu lelaki cari uang, malah dituduh selingkuh sama lanangan
liyo!” Sainah lalu duduk di tikar
bawah, hatinya masih dongkol, seandainya yang datang bukan kang Noto pasti
sudah sekalian dia maki-maki sekalian.
“Lha to! salah lagi, hei Sainah! aku ini bukan melarang kamu untuk bekerja, yang menjadi ganjalan hati ku cuma pakaianmu itu lo! koyok Senuk, macak gak karuan Jatak!” Pariyo menuding Sainah dengan telunjuk bergetar.
“Uwes, uwes! masalah begitu saja kok yo di besar besarkan." Noto ikut membentak kedua orang yang sudah seperti adiknya ini, bukan kali pertama dia hadir diantara kedua orang yang kerap bertengkar ini, dan Noto tahu permasalahannya. Pariyo gak bisa menafkahi batin Sainah, perkututnya gak bisa manggung, impoten! seperti yang sudah dia ceritakan dulu kepadanya.
“Kalau kamu sudah gak cocok lagi hidup denganku, ceraikan saja kang!”
Sainah menangis.
SEGERA.
No comments:
Post a Comment