Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PRING UKUR MAYIT



PRING UKUR MAYIT


 "Ko ngendi jane?" (Dari mana?).

"Ngising, Kang. Nangapa sih?" (Berak, Kang. ada apa?), jawab Saimun berakhir tanya.

"Eram men! Ngiseng kok wong loro. Kate gede-gedean ta piye!" (Terlalu! Berak kok berdua. Mau adu besar apa bagaimana!).

"Sekalian membuka bab tadi," timpal Sugito.

"Wis ulih urung, Kang?" (Sudah dapat belum, Kang?).

"Blas! Iwak saiki wes gak doyan cacing." (Sama sekali! Ikan sekarang sudah tidak doyan cacing).

Saimun kemudian duduk di sebelah kiri Kuswanoto yang menyangga dagu seraya memandang pelampung. "Jarku sih iyak. Apa wis langka iwake, yak?" (Perasaan iya. Apa sudah tidak ada ikannya, ya?)

"Heran. Umpan apa ya yang cepat dapat ikan?" Sugito kini duduk di sebelah kanan Kuswanoto.

"Ki." (Ini). Kuswanoto seraya menggesek telunjuk dan jempol.

"Nek iku nyonge sih weruh. Gari mangkat reng pasar mbok. Menang milih." (Kalau itu saya tahu. Tinggal berangkat ke pasar. Menang pilih).

"Namanya juga orang memancing, Kang. Harus sabar. Memancing itu menguji kesabaran. Sabar adalah sebagian dari imam."

Kuswanoto lantas mengambil sandal yang ia duduki.

Plok!

"Ceramah! Kono neng Mejid kono!" (Ceramah! Sana di Masjid sana!).

"Aduh! Aku, 'kan cuma bilang. Orang memancing itu, ya harus sabar."

"Kang! Kang, kimpule Rika, kuwe delep ngambang!" (Kang! Kang, pelampung Anda, itu bergerak-gerak!), pekik Saimun.

Semua kini memandang pelampung pancing milik Kuswanoto yang tiba-tiba tenggelam.

"Sendal, Kang!" (Sentak, Kang!).

Bahkan kini ujung joran milik Kuswanoto ikut melengkung tajam.

"Tarik, Kang! kan besar itu sepertinya!" perintah Sugito.

"Ngenteni apa maning sih, Kang!" (Tunggu apa lagi, Kang!).

"Tarik, Kang!" Sugito kini.

Kuswanoto segera beranjak seraya terus mempertahankan joran yang melengkung makin dalam.

"Tarik, Kang!"

"Tarik!"

"Oh!" Kuswanoto terlihat mencoba untuk menarik joran.

"Tarik, Kang!"

"Tarik!"

Perlahan-lahan tali senar terangkat. Tak ada perlawanan dari ikan yang ada di bawah air, itu terlihat karena senar tak bergoyang akibat ikan yang berontak.

"Uah!" Kuswanoto berhasil mengangkatnya dari dalam air.

"Empft!" Sugito mencoba menahan tawa.

"Ha ha ha." Saimun yang tak bisa menahannya.

Kuswanoto hanya berdiri geram seraya memegang senar. Sebuah popok bayi yang tersangkut di mata kailnya.

"Asu!" (Sialan!).

"Popok, Kang. Bukan anjing. Ha ha ha."

"Matane suwek! Jane sopo to seng mbuwak popok neng kali!" (Matanya sobek! Siapa yang membuang popok di sungai!).

"Ha ha ha." Saimun masih terus menertawakan benda yang menyangkut di mata kail.

"Ko tak jejeli iki ngisan lo cangkemu, Mun!" (Nanti saya sumpal ke mulutmu, Mun!).

Sontak Saimun terdiam seraya menutup mulut.

"Dino iki oleh popok! Kesok-kesok opo neh!" (Hari ini dapat popok! Besok-besok apa lagi!).

"Mantan!" jawab Sugito.

"Mantan lambemu suwek iku!" (Mantan bibirmu sobek itu!)

"Ya, 'kan mantan juga sampah loh, Kang."

"Wis ayuh pindah ngana yuh!" (Sudah ayo pindah ke sana, ayo!) ajak Saimun.

"Pindah ke mana lagi. Ini tempat yang ketujuh, Kang Mun!"

"Langka iwake reng kene. Pindah kali ngana bae yuh." (Tidak ada ikannya di sini. Pindah sungai yang di sana saja).

"Wes gak usah kokean polah, Mun. Neng kene ae!" (Tidak usah kebanyakan polah, Mun. Di sini saja!).

"Wis genah-genah mbok. Sejam wis ura ulih babar blas." (Sudah jelas. Satu jam sudah tidak dapat sama sekali).

"Gantien umpanmu. Cacingmu lo wes bosok." (Ganti umpanmu. Cacingmu itu sudah busuk).

"Besok kepriwe? Nembe bae nyong genti." (Busuk bagaimana? Baru saja saya ganti).

****

Saimun melipat tangan dilutut. Kuswanoto menyangga dagu. Sementara Sugito meluruskan kaki menumpu badan dengan kedua lengan ke belakang.

Tak ada obrol terdengar, hanya gemercik air yang berarus sedang di bawah mereka.

Bosan mulai melanda saat sekian waktu tak satu pun pelampung pancing terlihat bergerak.

Kuswanoto terus menghembuskan asap keretek saat satu sandal bergerak terbawa arus melintas ujung pelampung pancingnya.

Tak lama kemudian satu plastik, serta sampah-sampah rumah tangga.

Ketiganya menoleh ke kiri berbarengan. Tampak di ujung sana satu perempuan sedang menuang karung yang berisi sampah.

"O Layak iwake do wedi!" (Pantas ikannya takut!). Kuswanoto beranjak seraya mengangkat joran.

"Wes ayo pindah! Kali isine gur plastik indomi." (Ayo pindah. Sungainya berisi plastik Indo mi).

Saimun dan Sugito sepakat untuk segera pindah.

"Pindah ke mana, Kang?"

"Nyong weruh. Wis ayuh ngana!" (Saya tahu. Sudah ayo ke sana!), ajak Saimun.

****

Singkat waktu ketiganya sudah kembali meletakkan pancing di salah satu anak sungai yang ada di pinggir pematang sawah. Galangan berumput tempat mereka duduk bertiga.

Saimun mendongak. Matahari sudah jauh lengser untuk mencapai kaki langit bagian barat.

"Sedina dek. Siji bae ura ulih," (Sehari penuh. Satu saja tidak dapat), gerutunya.

Kuswanoto menoleh ke arah Saimun yang kini terlihat bosan.

"Bali bae yuh!" (Pulang saja ayo!).

"Sabar. Ini ujian, Kang Mun. Ujian." Sugito yang membalasnya.

"Memancing itu hanya untuk hiburan, Kang." kepada Saimun.

"Hiburan apa. Kesuh nyong kat mau ura disenggol blas umpane." (Hiburan apa. Kesal saya dari tadi tidak disenggol sama sekali umpannya).

"Atau begini saja. Besok kita memancing ke sungai yang ada di utara sana. Kalau tidak salah, aku pernah mendengar dari Wagiman. Katanya dia pulang dengan lima ekor ikan nila."

"Temenan kuwe. Ulih pira sih?" (Sungguh itu. Dapat berapa?).

"Lima, Kang."

"Gur limak?" (Hanya lima?).

"La iya. Lima tapi besarnya seperti ini." Sugito menunjukkan telapak tangannya.

"Halah. Iklane tok." (Halah. Hanya iklannya saja).

"Serius, Kang. Ini bukan iklan."

"Ngana bae yuh apa?" (Ke sana saja apa?).

"Ya, besok. Lagi pula ini hampir sore, Kang."

"Wagiman neng kali kono oleh nila. Suroso neng kali kidul oleh kutuk sekempol. Sutris jare mancing neng kali kulon oleh lembat bobot sekilo. Gur iklane ae!" (Wagiman di sungai sana dapat nila. Suroso di sungai selatan dapat gabus sebesar betis. Sutris katanya memancing di sungai barat dapat lele beratnya satu kilo. Hanya iklannya saja!).

"Ya, tidak salah toh, Kang. Semua harus dicoba. Siapa tahu hoki."

"Wes ayo gek dikukuti. Balek." (Sudah ayo dikemas. Pulang).

"Makin sore ikan makin makan, Kang."

"Jare sopo!" (Kata siapa!).

"La memang begitu."

"Wes, Mun. Gek dikukuti iku kepise." (Sudah, Mun. Cepat dikemas itu kepisnya).

"Tunggu dulu, Kang. Setengah jam lagi."

"Setengah jam?"

"Iya. Memang kenapa?"

Kuswanoto lantas menunjuk satu jembatan kecil. Sontak Saimun dan Sugito menoleh ke arah di mana ada satu lelaki yang membelakangi mereka dengan berjongkok.

"Sialan!" Sugito lantas beranjak dan menggulung pancing ketika benda yang terbawa arus itu melintas dekat pelampungnya.

"Kuwe apa sih!" (Itu apa!).

Saimun menunjuk benda kekuningan yang terus bergerak ke arah pelampungnya.

"Tai apa tai kuwe!" (Kotoran apa kotoran itu!).

"Wes genah tai! Ndadak takon mbarang! Pancingen iku!" (Sudah tahu kotoran! Tanya lagi! Kamu pancing itu!).

"Asuk dobol!" (Sialan!).

Saimun juga beranjak seraya menggulung senar. "Sapa kae! Ura weruh apa batire mancing reng kene! Ndobol sepenake bae!" (Siapa itu! Tidak tahu apa temannya memancing di sini! Berak seenaknya saja!).

Ketiganya menoleh ke arah jembatan yang terbuat dari tiga batang bambu. Tampak Mbah Jamari berdiri seraya menoleh ke arah mereka.

"Opo! Oleh tai, yo!" (Apa! Dapat kotoran, ya!) teriaknya.

"Dobol! Tuwek-tuwek gak duwe dugo!" (Sialan! Tua-tua tidak tahu adab!).

"Tai selengen di wehna batire!" (Kotoran satu lengan dikasih temannya!).

Mbah Jamari kemudian melambai seraya memegangi celana untuk mencari dataran rendah berair.

"Wes gek ndang mlakau kono!" (Sudah sana cepat jalan!). Kuswanoto mendorong Sugito untuk lekas berjalan menyusuri galangan sawah.

Sugito yang belum siap lantas tergelincir karena terpeleset membuatnya tercebur.

Byur!

"Tega, ya!"

"Gak sengojo kok." (Tidak sengaja kok).

"Ya ini dibantu kek apa kek!" Sugito masih berdiri dengan memegang rumput yang menutup sisi galangan sawah.

"Mun, tulungono iku, Mun!" (Mun, bantu itu, Mun!).

"Kok nyonge! Rika, mbok!" (Kok saya! Anda, saja!).

"Ko tak delepno neng lendut lo awakmu nek mbantah!" (Nanti saya tenggelamkan di lumpur kamu kalau bantah!).

"Kiye ura masalah mbantah mbok. Rika, sing ndorong Kang Gito." (Ini bukan perkara bantah. Anda, yang mendorong Kang Gito).

"Awakku wes ngomong gak sengaja kok!" (Aku sudah berkata tidak sengaja kok!).

"Woi, mau dibantu tidak ini!" teriak Sugito seraya mengulurkan tangan meminta untuk lekas ditarik, tapi sejenak dia melirik kepada benda yang mengapung dan terus bergerak mendekat ke arahnya.

"Kang Git, awas tai!" (Kang Git, awas kotoran!).

"Tarik!" pinta Sugito.

Saimun hanya memandang Kuswanoto yang mengulum bibir, menyembunyikan senyum di balik kumis tebalnya.

"Sialan kalian semua!" Sugito lantas berenang ke sisi seberangnya saat sesuatu yang dibuang Mbah Jamari nyaris menyentuh pinggang.

Jangan lupa vote dan follow nggeh, Dulur. Sampai bertemu di Wattpad.

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search