Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PART 3 JURAGAN NGADIMAN

 PART 3

JURAGAN NGADIMAN TERNYATA MENCINTAIKU DAN MEMINTAKU UNTUK MEMUASKANNYA

“Ampun. Mangke juragan ningali niki kulo saget ….”

Kontan dia beranjak berdiri setelah tadi sempat memasukkan kepalanya ke dalam sarungku.

“Kalau Njenengan tidak mau, aku akan minta suamiku untuk memecat Njenengan dan Njenengan akan kembali menjadi gelandangan, Mbah!” ancamnya.

Aku hanya diam dan tak bias berkata apalagi saat mendengar ancaman itu. Sejurus kemudian dia melepas gulungan sarungku.

Sret!

Aku yang tak biasa mengenakan dalaman saat pakai sarung seketika terlihat seperti bayi telanjang.

Dia mulai meraih jimat keramat milikku, memainkannya dengan penuh nafsu.

“Oh …” Aku hanya bisa mendesah saat hangat mulai menjalar ke seluruh aliran darahku.

Saat dia berdiri, aku memberanikan diri untuk melepas semua pakaiannya.

“Lakukan, Mbah. Oh ….” Dia terus mendesah saat tanganku mulai menyentuh bagian itu.

Dengan sangat terpaksa, kini aku pun akhirnya harus memenuhi keinginannya meskipun aku merasa sangat takut. Bagaimana kalau Juragan Ngadiman mengetahuinya? Pasti ia akan sangat marah padaku, padahal selama ini ia sangat baik padaku. Juragan Ngadiman telah menyelamatkan hidupku, tapi apa yang aku lakukan dengan istrinya benar-benar sebuah kesalahan yang sangat fatal.

“Mbah, Oh.”

Aku segera memeluknya dan dalam sekejap aku membawanya rebah di atas tempat tidurku.

Kuhujani wajahnya dengan tusukan kumisku.

“Oh, Mbah … aku … aku ….”

Puas membuatnya menggeliat, selanjutnya aku yang sudah puasa lama melebarkan jarak kedua paha mulusnya.

“Lakukan, Mbah. Lakukan sebagaimana Ngadiman melakukannya padaku,” ucapnya dengan terus memohon.

“Lakukanlah, Mbah.”

Terbersit ragu untuk melakukan apa permintaannya, tapi sejenak saja rasa ragu itu pupus ketika dia mulai melebarkan kakinya seakan sudah siap saat jimat keramatku meronta membuat darahku berdesir hebat.

Sejenak aku memandang tubuh terawat itu lalu aku juga mulai membuka kedua kaki pertanda puasaku akan segera berakhir.

Aku mulai mengantar jimat keramatku melesak ke dalam.


“Oh, Mbah!” pekiknya.

“La pripun?” tanyaku menghentikan gerak menekan.

“Besar sekali rasanya, Mbah.”

Aku tak menggubrisnya dan langsung mendekap tubuh terawat itu.

Tak ada kata yang terlontar dari mulut kami berdua, hanya derit tempat tidur yang menjerit-jerit di antara desah dan napasnya yang memburu.

“Oh, Mbah Darmo.”

“Oh, Nur ….”

****

 

 

Hari-hari selanjutnya jadi terasa berbeda bagiku.

Ndoro putriku jadi sering menyelinap ke kamarku malam-malam, terutama kalau Juragan Ngadiman tidak sedang di rumah.

Aku selalu tak pernah kuasa untuk menolaknya, selain karena aku memang menginginkan hal tersebut, juga karena ndoroku selalu memberiku sejumlah uang setiap kali kami selesai melakukan hal tersebut.

Meskipun sejujurnya aku selalu merasa bersalah pada Jurgan Ngadiman, aku merasa telah mengkhianatinya. Dia begitu baik padaku. Namun, apa yang bisa aku lakukan jika Nur sendiri yang terus memaksaku. Sementara itu, Juragan Ngadiman juga tetap baik padaku. Aku diperlakukan seperti keluarganya sendiri. Hal itu justru semakin membuat aku merasa bersalah.

****

Sampai pada suatu hari.

Juragan Ngadiman mengajakku untuk ikut dengannya. Ia memintaku untuk menemaninya melihat salah satu kebun sawitnya di daerah lain.

Kebun sawit itu memang berada cukup jauh dari rumah Ngadiman setidaknya Butuh Waktu setengah hari untuk bisa sampai ke sana.

Juragan Ngadiman membawa mobilnya sendiri meskipun di rumahnya ada sopir yang siap mengantarnya ke mana saja, namun kali ini ia memilih untuk menyetir sendiri.

Aku duduk di sampingnya dengan perasaan tak karuan. Belum pernah sebelumnya Juragan Ngadiman mengajakku ikut dengannya seperti ini.

Pikiranku tiba-tiba saja menjadi kacau, aku takut kalau-kalau Juragan Ngadiman sudah mengetahui tentang perbuatanku bersama istrinya, apalagi sepanjang perjalanan Juragan Ngadiman tidak banyak bicara, ia lebih sering diam dan hanya fokus menyetir.

****

Setelah perjalanan yang cukup panjang.

Juragan Ngadiman memarkir mobilnya di depan sebuah rumah kecil di dalam kebun sawit tersebut.

Rumah itu ternyata kosong, tidak ada siapapun yang tinggal di sana, semua pekerja yang bekerja di kebun ini semuanya tinggal di belakang rumah.

“Ini khusus kubuat untuk beristirahat jika berkunjung ke kebun ini. Jadi, tidak ada siapapun di sini,” jelas Juragan Ngadiman melihat kebingunganku.

“Rumah para pekerja tidak jauh dari sini. Jadi, biasanya aku jalan kaki saja ke sana. Kalau malam aku tidak pulang. Ya, aku tidurnya di sini sendirian, Mbah,” lanjutnya lagi.

Kemudian Juragan Ngadiman pun mengajakku masuk ke dalam rumah tersebut.

Rumah itu hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi di belakang, dan sebuah dapur kecil.

Ruangan tengah Juragan Ngadiman jadikan tempat untuk ia bekerja. Ada meja kerja dan sebuah komputer di ruangan itu, juga sebuah lemari tempat arsip.

“Mbah, karena sudah sore, kita istirahat saja dulu di sini. Besok pagi kita baru ke sana, ke tempat para pekerja,” ucap Juragan Ngadiman.

****

Saat kami sudah selesai mandi kami pun makan malam bersama.

Juragan Ngadiman memang menyempatkan untuk membeli makan malam tadi di jalan, setelah itu dia pun mengajakku masuk ke kamarnya.

Dengan sedikit sungkan aku pun ikut masuk.

“Di rumah ini hanya ada satu kamar tidur. Jadi, Njenengan tidur bersamaku saja,” ucap Juragan Ngadiman.

“Kulo tilem teng njogan mawon, Juragan,” balasku.

Aku meminta Njenengan untuk tidur bersamaku di kamar. Jadi, Njenengan jangan membantah lagi!” tegasnya membalas.

Aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengikuti perintah Juragan Ngadiman untuk tidur di kamar tersebut.

Di dalam kamar itu terdapat sebuah ranjang dan juga sebuah lemari pakaian. Juragan Ngadiman pun mengajakku untuk duduk di tepian ranjang.

“Sebelum kita tidur, ada yang ingin aku sampaikan sama Njenengan, Mbah,” ucap Juragan Ngadiman saat ia sudah duduk di sampingku.

Hatiku pun berdebar hebat. Pikiranku mulai kacau kembali. Jangan-jangan JUragan Ngadiman ingin membahas tentang hubunganku dengan istrinya.

Njenengan tidak pernah bertanya kenapa aku begitu baik pada Njenengan, Mbah?” ucapnya ringan.

“Kulo mboten ngertos, Juragan. Kulo nggeh pingin nangletaken perkawies niku. Tenopo Juragan apik lan open kaleh kulo? Ning kulo ajrih Juragan tersinggung.”

Iya, aku ngerti, tapi apa Njenengan tidak ingin tahu alasannya?” tanya Juragan Ngadiman.

“Menawi angsal nggeh kulo pingin ngertos, Juragan,” balasku.

Aku melakukan semua itu karena karena aku suka sama Njenengan, Mbah.”  Suara Juragan Ngadiman serak, namun pernyataannya itu benar-benar di luar dugaanku, dan aku masih tak percaya kalau Juragan Ngadiman akan berucap demikian.

Maksut … maksute pripun, Juragan?” tanyaku tak yakin.

BERSAMBUNG KE PART 4


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search