PART 3 JURAGAN NGADIMAN
PART 3
JURAGAN NGADIMAN TERNYATA MENCINTAIKU DAN MEMINTAKU UNTUK MEMUASKANNYA
“Ampun.
Mangke juragan ningali niki kulo saget ….”
Kontan dia
beranjak berdiri setelah tadi sempat memasukkan kepalanya ke dalam sarungku.
“Kalau Njenengan tidak mau, aku akan minta suamiku untuk memecat Njenengan dan Njenengan
akan kembali menjadi gelandangan, Mbah!” ancamnya.
Aku hanya
diam dan tak bias berkata apalagi saat mendengar ancaman itu. Sejurus kemudian
dia melepas gulungan sarungku.
Sret!
Aku yang tak
biasa mengenakan dalaman saat pakai sarung seketika terlihat seperti bayi
telanjang.
Dia mulai
meraih jimat keramat milikku, memainkannya dengan penuh nafsu.
“Oh …” Aku
hanya bisa mendesah saat hangat mulai menjalar ke seluruh aliran darahku.
Saat dia
berdiri, aku memberanikan diri untuk melepas semua pakaiannya.
“Lakukan,
Mbah. Oh ….” Dia terus mendesah saat tanganku mulai menyentuh bagian itu.
Dengan sangat terpaksa,
kini aku pun akhirnya
harus memenuhi keinginannya meskipun aku merasa sangat takut. Bagaimana kalau Juragan
Ngadiman mengetahuinya? Pasti ia akan sangat marah padaku, padahal selama ini ia sangat
baik padaku. Juragan Ngadiman telah menyelamatkan hidupku, tapi apa yang aku lakukan
dengan istrinya benar-benar sebuah kesalahan yang sangat fatal.
“Mbah, Oh.”
Aku segera
memeluknya dan dalam sekejap aku membawanya rebah di atas tempat tidurku.
Kuhujani
wajahnya dengan tusukan kumisku.
“Oh, Mbah …
aku … aku ….”
Puas
membuatnya menggeliat, selanjutnya aku yang sudah puasa lama melebarkan jarak
kedua paha mulusnya.
“Lakukan,
Mbah. Lakukan sebagaimana Ngadiman melakukannya padaku,” ucapnya dengan terus
memohon.
“Lakukanlah,
Mbah.”
Terbersit
ragu untuk melakukan apa permintaannya, tapi sejenak saja rasa ragu itu pupus
ketika dia mulai melebarkan kakinya seakan sudah siap saat jimat keramatku
meronta membuat darahku berdesir hebat.
Sejenak aku
memandang tubuh terawat itu lalu aku juga mulai membuka kedua kaki pertanda
puasaku akan segera berakhir.
Aku mulai mengantar jimat keramatku melesak ke dalam.
“Oh, Mbah!”
pekiknya.
“La pripun?”
tanyaku menghentikan gerak menekan.
“Besar sekali
rasanya, Mbah.”
Aku tak
menggubrisnya dan langsung mendekap tubuh terawat itu.
Tak ada kata
yang terlontar dari mulut kami berdua, hanya derit tempat tidur yang
menjerit-jerit di antara desah dan napasnya yang memburu.
“Oh, Mbah
Darmo.”
“Oh, Nur ….”
****
Hari-hari selanjutnya jadi terasa berbeda
bagiku.
Ndoro putriku jadi sering menyelinap ke
kamarku malam-malam, terutama kalau Juragan Ngadiman tidak sedang di rumah.
Aku selalu tak pernah kuasa
untuk menolaknya, selain karena aku memang menginginkan hal tersebut, juga karena
ndoroku selalu memberiku sejumlah
uang setiap kali kami selesai melakukan hal tersebut.
Meskipun sejujurnya aku selalu
merasa bersalah pada Jurgan Ngadiman, aku merasa telah
mengkhianatinya. Dia begitu baik padaku. Namun, apa yang bisa aku lakukan jika
Nur
sendiri yang terus memaksaku. Sementara itu, Juragan Ngadiman juga tetap baik padaku. Aku diperlakukan seperti keluarganya
sendiri. Hal itu justru semakin membuat aku merasa bersalah.
****
Sampai pada
suatu hari.
Juragan Ngadiman mengajakku untuk ikut
dengannya. Ia memintaku untuk menemaninya melihat salah satu kebun
sawitnya di daerah lain.
Kebun sawit itu memang berada
cukup jauh dari rumah Ngadiman setidaknya Butuh Waktu setengah hari untuk bisa
sampai ke sana.
Juragan Ngadiman membawa mobilnya
sendiri meskipun di rumahnya ada sopir yang siap mengantarnya ke mana saja, namun kali ini ia memilih
untuk menyetir sendiri.
Aku duduk di sampingnya dengan
perasaan tak karuan. Belum pernah sebelumnya Juragan Ngadiman mengajakku ikut
dengannya seperti ini.
Pikiranku tiba-tiba saja
menjadi kacau, aku takut kalau-kalau Juragan Ngadiman sudah mengetahui tentang
perbuatanku bersama istrinya, apalagi sepanjang perjalanan Juragan
Ngadiman tidak
banyak bicara, ia lebih sering diam dan hanya fokus menyetir.
****
Setelah perjalanan yang cukup panjang.
Juragan Ngadiman memarkir mobilnya di depan sebuah rumah
kecil di dalam kebun sawit tersebut.
Rumah itu ternyata kosong, tidak ada siapapun yang
tinggal di sana, semua pekerja yang bekerja di kebun ini semuanya tinggal di belakang
rumah.
“Ini khusus kubuat untuk beristirahat jika
berkunjung ke kebun ini. Jadi, tidak ada siapapun di sini,” jelas Juragan
Ngadiman melihat
kebingunganku.
“Rumah para pekerja tidak jauh dari sini. Jadi, biasanya aku jalan kaki saja ke sana. Kalau malam aku tidak pulang. Ya, aku tidurnya di sini
sendirian, Mbah,” lanjutnya lagi.
Kemudian Juragan
Ngadiman pun
mengajakku masuk ke dalam rumah tersebut.
Rumah itu hanya ada satu kamar
tidur, kamar mandi di belakang, dan sebuah dapur kecil.
Ruangan tengah Juragan
Ngadiman jadikan
tempat untuk ia bekerja. Ada meja kerja dan sebuah
komputer di ruangan itu, juga sebuah lemari tempat arsip.
“Mbah, karena sudah sore, kita istirahat saja dulu di sini. Besok pagi kita baru ke sana, ke tempat para pekerja,” ucap Juragan Ngadiman.
****
Saat kami sudah selesai mandi kami pun
makan malam bersama.
Juragan Ngadiman memang menyempatkan untuk
membeli makan malam tadi di jalan, setelah itu dia pun mengajakku masuk ke
kamarnya.
Dengan sedikit sungkan aku pun
ikut masuk.
“Di rumah ini hanya ada satu
kamar tidur. Jadi, Njenengan tidur bersamaku saja,” ucap Juragan
Ngadiman.
“Kulo tilem
teng njogan mawon, Juragan,” balasku.
“Aku meminta Njenengan untuk
tidur bersamaku di kamar. Jadi, Njenengan jangan membantah lagi!” tegasnya
membalas.
Aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengikuti
perintah Juragan Ngadiman untuk tidur di kamar tersebut.
Di dalam kamar itu terdapat
sebuah ranjang dan juga sebuah lemari pakaian. Juragan Ngadiman pun mengajakku untuk duduk di
tepian ranjang.
“Sebelum kita tidur, ada yang ingin aku sampaikan
sama Njenengan, Mbah,” ucap Juragan Ngadiman saat ia sudah duduk di
sampingku.
Hatiku pun berdebar hebat. Pikiranku mulai kacau kembali. Jangan-jangan JUragan
Ngadiman ingin
membahas tentang hubunganku dengan istrinya.
“Njenengan tidak pernah bertanya kenapa aku begitu
baik pada Njenengan, Mbah?” ucapnya ringan.
“Kulo mboten
ngertos, Juragan. Kulo nggeh pingin nangletaken perkawies niku. Tenopo Juragan
apik lan open kaleh kulo? Ning kulo ajrih Juragan tersinggung.”
“Iya, aku ngerti, tapi apa Njenengan tidak
ingin tahu alasannya?” tanya Juragan Ngadiman.
“Menawi
angsal nggeh kulo pingin ngertos, Juragan,” balasku.
“Aku melakukan semua itu
karena karena aku suka sama Njenengan, Mbah.” Suara Juragan Ngadiman serak, namun pernyataannya itu benar-benar
di luar dugaanku, dan aku masih tak percaya kalau Juragan Ngadiman akan berucap
demikian.
Maksut … maksute
pripun, Juragan?” tanyaku tak
yakin.
No comments:
Post a Comment