Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PART 2 MEMUASKAN ISTRI JURAGANKU

 PART 2

ISTRI JURAGANKU YANG MEMINTANYA

Di meja makan Ngadiman dan istrinya telah menungguku.

Silakan duduk, Mbah. Kita makan malam dulu,” ucap Ngadiman sopan.

Dengan perasaan sungkan aku pun menuruti ucapan Ngadiman.

Aku duduk berhadapan dengan mereka berdua, kemudian sekali lagi Ngadiman pun mempersilakan aku untuk menyantap hidangan yang ada di atas meja makan tersebut.

Sambil makan Ngadiman pun bercerita kalau ia dan istrinya sudah menikah hampir 10 tahun. Mereka juga sudah mempunyai dua orang anak.

Anak pertama mereka laki-laki berusia 12 tahun. Anak kedua mereka baru berusia 4 tahun.

Ngadiman sendiri ternyata sudah berusia 48 tahun, sementara istri Ngadiman sudah berusia 40 tahun.

Istri Ngadiman memang terlihat cantik. Ia juga masih sangat seksi meskipun ia sudah melahirkan dua orang anak.

Sepertinya istrinya Ngadiman memang rajin merawat dirinya, apalagi melihat kemewahan yang diberikan suaminya. Kehidupan Ngadiman memang sangat mewah.

Ternyata semua kebun sawit yang mengelilingi rumahnya itu adalah miliknya.

Kebun itu sangat luas. Hasilnya juga sangat banyak.

Selain itu, Ngadiman juga punya kebun sawit di tempat lain yang tak kalah luasnya.

Ngadiman ternyata adalah seorang pengusaha kebun sawit yang sangat sukses. Dia juga punya banyak pekerja di setiap kebunnya. Karena itu juga Ngadiman pun menawarkanku untuk bekerja dengannya di kebun sawitnya.

Kebetulan kami memang sedang membutuhkan pekerja baru, Mbah,” ucap Ngadiman.

“Ning kulo mboten ngertos perkawis sawit, Juragan,” ucapku dengan menyebutnya juragan. Ya, menurutku Ngadiman memang layak disebut juragan, Juragan sawit, sebutan yang tadi kudengar dari Bi Ijah saat memanggilnya juragan.

“Sudah. Njenengan tenang saja, Mbah. Nanti Njenengan akan dibimbing oleh Pak Dengkek. Dia itu orang kepercayaan saya untuk mengurus semua kebun yang ada di sekeliling rumah ini.”

“Rumah Pak Dengkek ada di belakang. Besok kita bisa menemuinya, lagi pula ada banyak pekerja di sini, hanya saja mereka semuanya tinggal di belakang. Ada rumah khusus tempat mereka tinggal di sana.”

Begitu juga dengan kebun-kebun sawitku di tempat lain. Semua sudah ada yang mengurusnya, Mbah.”

“Aku niki hanya menerima laporan dari mereka, tapi kadang harus mengunjungi setiap bebun sawit untuk melihat perkembangannya,” jelas Juragan Ngadiman panjang lebar.

Aku merasa lega tiba-tiba, setidaknya ke depannya aku sudah punya pekerjaan meskipun pekerjaan berat, tapi aku tidak perlu kelaparan lagi, aku tidak perlu tidur di jalanan lagi, aku tidak lagi harus jadi gelandangan.

****

Keesokan harinya.

Aku pun diperkenalkan oleh Juragan Ngadiman kepada Pak Dengkek dan juga para pekerja lainnya. Ternyata ada banyak pekerja yang tinggal di perkebunan tersebut. Mereka tinggal di rumah-rumah yang sengaja dibuat di dalam kebun sawit tersebut. Mereka juga berasal dari berbagai daerah.

Pak Dengkek pun mulai menjelaskan beberapa hal padaku tentang apa yang akan kulakukan di perkebunan tersebut.

Juragan Ngadiman memang sengaja meninggalkanku di sana karena ia harus pergi ke kebun sawitnya yang lain.

****

Hari itu aku mulai belajar banyak dari Pak Dengkek dan juga dari para pekerja lainnya. Mulai dari perawatan, pemupukan, juga cara panen sawit.

Pak Dengkek pun menempatkanku di bagian pemupukan karena bagian itulah yang paling mudah katanya.

Sebagai orang baru aku harus mulai dari yang termudah

****

Hari-hari pun berlalu.

Aku pun mulai memahami pekerjaanku. Aku mulai merasa betah bekerja di sini, karena selain saat ini aku memang tidak punya pilihan lain, juga karena semua pekerja di sini sangat baik dan ramah. Aku seakan menemukan keluarga baru di sini.

Aku juga masih tinggal di rumah Juragan Ngadiman atas permintaan juraganku sendiri karena kebetulan semua rumah yang ada di dalam kebun tersebut sudah terisi.

Di rumah juraganku selain Bi Ijah, ada beberapa orang pembantu lain yang tinggal di rumah tersebut. Mereka punya tugas dan peran masing-masing. Ada yang jadi pengasuh anak-anak Juragan Ngadiman, ada yang memasak, mencuci pakaian, ataupun membersihkan rumah, ada juga yang bertugas merawat dan membersihkan pekarangan rumah, ada sopir pribadi dan ada juga penjaga keamanan.

Semua pembantu yang bekerja di rumah Juragan Ngadiman juga sangat baik padaku, mungkin karena yang mereka tahu aku adalah orang tua yang hidup sebatang kara. Mungkin mereka merasa kasihan melihatku. Namun, apa pun itu, aku benar-benar menemukan hidup baru di sini, sebuah kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

****

Hari-hari pun masih terus berlalu

Aku sudah terbiasa dengan semua rutinitasku. Sampai pada satu malam saat aku hendak tertidur di kamar, aku mendengar suara ketukan ringan di pintu kamarku.

Tok! Tok! Tok!

“Sinten?”

“Saya, Mbah.”

Aku pun segera bangkit untuk membukakan pintu.

Krek.

“Ndoro? Wonten nopo, nggeh?” tanyaku setengah kaget saat melihat ndoro putriku sudah berdiri di ambang pintu kamar.

Ndoroku tidak menjawab, dia justru mendorong pintu kamar itu agar lebih melebar, kemudian ndoroku pun menyelinap masuk ke dalam kamar.

Tutup pintunya, Mbah!” perintah ndoroku saat ia sudah berada di dalam.

“Ning, Ndoro ….” ucapku ragu.

Njenengan tutup aja pintunya, Mbah. Tidak usah banyak suara.”

Karena merasa takut meskipun sedikit ragu, aku pun segera menutup pintu kamar tersebut.

“Wonten nopo niki, Ndoro?” tanyaku setelah pintu kamar tertutup.

“Tidak usah pangil ndoro, Mbah. Panggil saja Nur.”

“Nggeh, Ndor … eh, Nur.”

“Aku butuh Njenengan malam ini, Mbah,”

“La butuh nopo to, Ndor … eh, Nur?” tanyaku heran.

“Aku butuh Njenengan untuk mengisi kesepianku malam ini, Mbah,” balasnya.

“Mak … Mak … maksute nopo to, Nur?” tanyaku masih merasa heran.

Njenengan tidak usah pura-pura, Mbah.”

“Ning kulo mboten ngertos. Sumpah kulo mboten ngerto,” ucapku polos.


Aku pengen tidur sama Njenengan malam ini, Mbah. Aku merasa kesepian dan Njenengan terlalu menarik. Aku suka sama Njenengan ucapnya seraya melangkah mendekat dan meraba dadaku yang tanpa baju.

“Ning … kulo ajrih mangke juragan nesu kaleh kulo,” balasku seraya menjauhkan tangannya saat tangan Nur mulai melepas gulungan sarungku.

“Juragan Ngadiman tidak pulang malam ini. Dia memang jarang pulang, Mbah. Karena itu aku merasa kesepian. Jadi, aku butuh Njenengan, Mbah,” katanya seraya mulai memelukku.

Sungguh aku sangat risi terhadap istri juraganku itu.

“Ampun, Nur. Mangke juragan nesu ninggali niki.”

Justru yang aku dengan napasnya mulai menderu tak beraturan saraya menarik tanganku ke dadanya.

“Aku akan bayar Njenengan berapa saja asal Njenengan mau denganku malam ini, Mbah,” ucapnya lagi dengan melingkarkan tangan ke pundakku.

Aku sungguh gelagapan saat jarinya mulai mengelus-elus kumis tebalku.

“Kulo ajrih.”

Njenengan tidak usah takut, Mbah. Ngadiman tidak akan pernah tahu, tidak ada siapa pun yang akan tahu selama Njenengan bisa jaga rahasia. Semuanya pasti baik-baik saja, Mbah.”

Diakhir ucap, tanganya bergerak cepat meraih isi dalam sarungku.

“Oh, Mbah.”

“Ini lebih besar dari milik suamiku.”

Tiba-tiba saja aku merasa bingung kenapa ndoro putriku jadi seperti ini padaku, padahal selama ini dia terlihat acuh saja padaku, dan bagaimana pula aku bisa menolaknya saat ia mulai menyingkap bagian bawah sarungku.

BERSAMBUNG KE PART 3





NGAWULO bisa baca di sini gratis!

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search