PART 2 MEMUASKAN ISTRI JURAGANKU
PART 2
ISTRI JURAGANKU YANG MEMINTANYA
Di meja makan Ngadiman dan istrinya telah
menungguku.
“Silakan duduk,
Mbah. Kita makan malam dulu,” ucap Ngadiman sopan.
Dengan perasaan sungkan aku
pun menuruti ucapan Ngadiman.
Aku duduk berhadapan dengan
mereka berdua, kemudian sekali lagi Ngadiman pun mempersilakan aku untuk
menyantap hidangan yang ada di atas meja makan tersebut.
Sambil makan Ngadiman pun bercerita
kalau ia dan istrinya sudah menikah hampir 10 tahun. Mereka juga sudah mempunyai
dua orang anak.
Anak pertama mereka laki-laki berusia 12 tahun. Anak kedua mereka
baru berusia 4
tahun.
Ngadiman sendiri ternyata sudah berusia 48 tahun, sementara istri Ngadiman
sudah berusia 40 tahun.
Istri
Ngadiman memang
terlihat cantik. Ia juga masih sangat seksi meskipun ia sudah melahirkan dua
orang anak.
Sepertinya istrinya
Ngadiman memang rajin merawat dirinya, apalagi melihat kemewahan
yang diberikan suaminya. Kehidupan Ngadiman memang
sangat mewah.
Ternyata semua kebun sawit yang mengelilingi rumahnya
itu adalah miliknya.
Kebun itu sangat luas. Hasilnya juga sangat banyak.
Selain itu, Ngadiman juga punya kebun sawit di
tempat lain yang tak kalah luasnya.
Ngadiman ternyata adalah seorang pengusaha kebun sawit
yang sangat sukses. Dia juga punya banyak pekerja di setiap kebunnya. Karena itu juga Ngadiman pun menawarkanku
untuk bekerja dengannya di kebun sawitnya.
“Kebetulan kami memang sedang
membutuhkan pekerja baru, Mbah,” ucap Ngadiman.
“Ning kulo
mboten ngertos perkawis sawit, Juragan,” ucapku dengan menyebutnya juragan. Ya,
menurutku Ngadiman memang layak disebut juragan, Juragan sawit, sebutan yang
tadi kudengar dari Bi Ijah saat memanggilnya juragan.
“Sudah. Njenengan tenang saja, Mbah. Nanti Njenengan akan dibimbing
oleh Pak Dengkek. Dia itu orang kepercayaan saya untuk mengurus semua kebun
yang ada di sekeliling rumah ini.”
“Rumah Pak Dengkek ada di belakang. Besok kita bisa menemuinya, lagi pula ada banyak pekerja
di sini, hanya saja mereka semuanya tinggal di belakang. Ada rumah khusus tempat mereka
tinggal di sana.”
“Begitu juga dengan
kebun-kebun sawitku di tempat lain. Semua sudah ada yang mengurusnya,
Mbah.”
“Aku niki hanya menerima laporan dari
mereka, tapi kadang harus mengunjungi setiap bebun sawit untuk melihat
perkembangannya,” jelas Juragan Ngadiman panjang lebar.
Aku merasa lega tiba-tiba, setidaknya ke depannya aku sudah punya
pekerjaan meskipun pekerjaan berat, tapi aku tidak perlu kelaparan lagi, aku tidak perlu tidur di
jalanan lagi, aku tidak lagi harus jadi gelandangan.
****
Keesokan harinya.
Aku pun diperkenalkan oleh Juragan
Ngadiman kepada
Pak Dengkek dan juga para pekerja lainnya. Ternyata ada banyak pekerja
yang tinggal di perkebunan tersebut. Mereka tinggal di rumah-rumah
yang sengaja dibuat di dalam kebun sawit tersebut. Mereka juga berasal dari
berbagai daerah.
Pak Dengkek pun mulai menjelaskan beberapa hal
padaku tentang apa yang akan kulakukan di perkebunan tersebut.
Juragan Ngadiman memang sengaja
meninggalkanku di sana karena ia harus pergi ke kebun sawitnya yang lain.
****
Hari itu aku mulai belajar
banyak dari Pak Dengkek dan juga dari para pekerja lainnya. Mulai dari perawatan, pemupukan, juga cara panen sawit.
Pak Dengkek pun menempatkanku di bagian pemupukan
karena bagian itulah yang paling mudah katanya.
Sebagai orang baru aku harus mulai dari
yang termudah
****
Hari-hari pun berlalu.
Aku pun mulai memahami
pekerjaanku. Aku mulai merasa betah bekerja di sini, karena selain saat ini aku
memang tidak punya pilihan lain, juga karena semua pekerja di sini sangat baik dan ramah. Aku seakan menemukan keluarga
baru di sini.
Aku juga masih tinggal di
rumah Juragan Ngadiman atas permintaan juraganku sendiri
karena kebetulan
semua rumah yang ada di dalam kebun tersebut sudah terisi.
Di rumah juraganku selain Bi
Ijah, ada beberapa
orang pembantu lain yang tinggal di rumah tersebut. Mereka punya tugas dan peran
masing-masing. Ada yang jadi pengasuh anak-anak Juragan Ngadiman, ada yang memasak, mencuci pakaian, ataupun membersihkan rumah, ada juga yang bertugas
merawat dan membersihkan pekarangan rumah, ada sopir pribadi dan ada juga
penjaga keamanan.
Semua pembantu yang bekerja di
rumah Juragan Ngadiman juga sangat baik padaku, mungkin karena yang mereka tahu aku adalah orang
tua yang hidup sebatang kara. Mungkin mereka merasa kasihan melihatku. Namun, apa pun itu, aku benar-benar menemukan
hidup baru di sini, sebuah kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
****
Hari-hari pun masih terus berlalu
Aku sudah terbiasa dengan
semua rutinitasku. Sampai pada satu malam saat aku hendak tertidur di kamar, aku mendengar suara ketukan
ringan di pintu kamarku.
Tok! Tok!
Tok!
“Sinten?”
“Saya, Mbah.”
Aku pun segera bangkit untuk
membukakan pintu.
Krek.
“Ndoro? Wonten nopo,
nggeh?” tanyaku setengah kaget saat
melihat ndoro putriku sudah berdiri di ambang pintu kamar.
Ndoroku tidak menjawab, dia justru mendorong pintu
kamar itu agar lebih melebar, kemudian ndoroku pun menyelinap masuk ke
dalam kamar.
“Tutup pintunya,
Mbah!” perintah ndoroku saat ia sudah berada di dalam.
“Ning, Ndoro
….” ucapku ragu.
“Njenengan tutup aja pintunya,
Mbah. Tidak usah banyak suara.”
Karena merasa takut meskipun
sedikit ragu, aku pun segera menutup pintu kamar tersebut.
“Wonten nopo
niki, Ndoro?”
tanyaku
setelah pintu kamar tertutup.
“Tidak usah
pangil ndoro, Mbah. Panggil saja Nur.”
“Nggeh, Ndor
… eh, Nur.”
“Aku butuh Njenengan malam ini,
Mbah,”
“La butuh
nopo to, Ndor … eh, Nur?” tanyaku heran.
“Aku butuh Njenengan untuk
mengisi kesepianku malam ini, Mbah,” balasnya.
“Mak … Mak …
maksute
nopo to, Nur?”
tanyaku masih merasa heran.
“Njenengan tidak usah pura-pura,
Mbah.”
“Ning kulo mboten ngertos. Sumpah kulo mboten ngerto,” ucapku polos.
“Aku pengen tidur sama Njenengan
malam ini, Mbah. Aku merasa kesepian dan Njenengan terlalu menarik. Aku suka sama Njenengan ucapnya
seraya melangkah mendekat dan meraba dadaku yang tanpa baju.
“Ning … kulo
ajrih mangke juragan nesu kaleh kulo,” balasku seraya menjauhkan tangannya saat
tangan Nur mulai melepas gulungan sarungku.
“Juragan Ngadiman tidak pulang malam
ini. Dia memang jarang pulang,
Mbah. Karena itu aku merasa kesepian. Jadi, aku butuh Njenengan,
Mbah,” katanya seraya mulai memelukku.
Sungguh aku
sangat risi terhadap istri juraganku itu.
“Ampun, Nur.
Mangke juragan nesu ninggali niki.”
Justru yang
aku dengan napasnya mulai menderu tak beraturan saraya menarik tanganku ke
dadanya.
“Aku akan bayar Njenengan
berapa saja asal Njenengan mau denganku malam ini, Mbah,” ucapnya lagi dengan
melingkarkan tangan ke pundakku.
Aku sungguh
gelagapan saat jarinya mulai mengelus-elus kumis tebalku.
“Kulo ajrih.”
“Njenengan tidak usah takut,
Mbah. Ngadiman tidak akan pernah
tahu, tidak ada siapa pun yang akan tahu selama Njenengan
bisa jaga rahasia. Semuanya pasti baik-baik saja, Mbah.”
Diakhir ucap,
tanganya bergerak cepat meraih isi dalam sarungku.
“Oh, Mbah.”
“Ini lebih
besar dari milik suamiku.”
Tiba-tiba saja aku merasa
bingung kenapa ndoro putriku jadi seperti ini padaku, padahal selama ini dia terlihat acuh saja padaku, dan bagaimana pula aku bisa
menolaknya saat ia mulai menyingkap bagian bawah sarungku.
BERSAMBUNG KE PART 3
No comments:
Post a Comment