CERKAK DUKUN VERSI 2.0 BAB 7

BAB 7
Kuswanoto duduk bersila di bawah payung langit malam, di tempat yang sudah dipersiapkan oleh Saimun.
Tujuh orang pemilik pusaka duduk bersila pula di hadapannya. Dapat langsung menyaksikan jamasan pusaka mereka.
"Wes ugung, Git!" (Sudah belum, Git!).
"Sampun, Mbah," (Sudah, Mbah), balas Sugito seraya memegang HP Kuswanoto.
"Harus direkam toh, Mbah?" tanya Sarimin.
"La yo kudu. Iki live neng Yutup." (Ya harus. Ini siaran langsung di Youtube).
"Ealah, acara begini saja kok Live di Youtube toh, Mbah," ucap Sarimin, mengenakan udeng yang bersila di hadapan Kuswanoto.
"Lo? Awakmu opo gak weroh doan. Iki kanggo sokbreker ku neng Yutup," (Loh? Kamu apa tidak tahu. Ini buat sok beker di Youtube), ujar Kuswanoto lalu meraih jeruk nipis yang tersaji dalam wadah bambu.
"Subscriber, Mbah. Bukan sok motor," timpal Dahlan yang ada di samping Sarimin.
"Banyak Subscribernya di Youtube, Mbah," lanjutnya.
"Onok nem opo piro kae wingi." (Ada enam apa berapa kemarin).
"Hoalah, he he he." Dahlan dan Sarimin tertawa.
"Cuma enam saja kok ruwet. Lagi pula kalau Subscriber hanya enam, tidak bisa Live Youtube, Mbah. Minimal harus seribu Subscriber."
"Yo sak sir ku to! Delok ngkas lo Yutup tak tuku!" (Ya terserah aku! Sebentar lagi juga Youtube saya beli!).
"Sombong amat! Ha ha ha." Sarimin tertawa oleh kelakar Kuswanoto.
"Live iki to, Mun! Git!" (Siaran langsung, 'kan, Mun, Git!).
Gito mengacungkan jempol. Sementara Saimun terus memegangi lampu dengan kabel panjang untuk cahaya gambar agar tertangkap kamera lebih jelas.
"Temenan kiye live, Kang?" (Sungguh ini siaran langsung, Kang?), bisik Saimun kepada Sugito, lalu melihat layar HP.
"Sih kayak kuwe. Jarku sih kuwe duk Yutup. Video biasa mbok." (Kok begitu. Perasaan itu bukan Youtube. Video biasa itu).
"Sst! Sudah diam saja, pokoknya terus direkam," balas Sugito lebih lirih, takut suaranya masuk ke video.
"Wes do weroh to nek mulai sesok gak oleh pindah omah, mantu, lan duwe gawe liyone. Gak gur awakmu tok seng bakal ciloko, iso-iso sak kampung bakal keneng dahuru neng nglanggar pantangan bulan Suro." (Sudah pada tahu kalau besok tidak boleh pindah rumah, mantu, dan punya hajat lainnya. Tidak hanya kamu, bisa-bisa satu kampung bakal celaka kalau melanggar pantangan bulan Suro).
"Paham, Mbah."
"Sopo asmane pusokomu?" (Nama pusakamu siapa?).
"Nogoguno Carubuk, Mbah," jawab Sarimin.
Kuswanoto lalu memejamkan mata, tangan menyilang di dada. Sugito terus merekam. Saimun terus bergerak untuk memberi cahaya pas pada sisi yang diambil rekam oleh Sugito.
Sementara yang lain memilih duduk menunggu giliran untuk menghadap Kuswanoto.
Masih terpejam, Kuswanoto lalu meletakkan tangan sejajar ke udara, tepat di atas pusaka-pusaka.
"Hong ilaheng."
"Niat ingsun njamasi pusoko tapak jalak Nogoguno Carubuk."
"Tak dos nggo tuyo suci."
"Lan gondo arum sekar telung rupo iki."
"Mugo'o suci wujud wesi aji."
"Dadi pamor lan apik migunani."
Kuswanoto lalu meraih pusaka yang berbentuk keris, merendamnya dengan air kelapa muda yang dicarikan Saimun tadi sore.
Meraih sebutir jeruk nipis, membelahnya dua pertiga untuk hasil peras air asam. Tak ada yang bersuara, hanya Saimun yang terus mendekatkan lampu ke depan Kuswanoto.
"Sulap! Goblok!" (Silau! Bodoh!).
"Maksute nyong, mbok Rika ura weruh, Mbah." (Maksud saya, siapa tahu Anda tidak melihat, Mbah).
"Wes kulino peteng-petengan! Gak usah mbok padangi yo wes roh! Goblok!" (Sudah biasa gelap-gelapan! Tidak usah kamu terangi juga sudah tahu! Bodoh!).
"Ngandel ura. Disalahna maning nyonge." (Percaya, 'kan. Disalahkan lagi saya). Saimun menggerutu dengan kembali tegak seraya mengikuti gerak tangan Sugito.
Perlahan tapi pasti, Kuswanoto lalu menggosokkan jeruk nipis ke badan Pusaka Nogoguno Carubuk, mulai dari bawah deder hingga lekuk badan keris.
Membalik-balikan untuk pembersihan dua sisi keris, lalu memasukkannya ke dalam baskom yang berisi air kelapa muda.
Tampak Sugito mendekat untuk menyorot lebih dekat, ke arah kamera, juga Saimun yang berdiri di sampingnya.
Kuswanoto lalu mengangkat keris, mengelapnya dengan kain putih bersih. "Mun, jikokno iko minyak," (Mun, ambilkan itu minyak), perintahnya.
"Aring pawon apa, Mbah?" (Di dapur apa, Mbah?).
"Jelantah ta piye, ha? Ko tak culek motomu nggo keris iki! Minyak pusoko iku lo, blok ... goblok!" (Sisa gorengan, ha? Nanti saya tusuk matamu dengan keris ini! Minyak pusaka itu, bodoh ... bodoh!).
"Salah maning, ngandel ura." (Salah lagi, percaya, 'kan). Saimun bersungut-sungut meraih botol beling kecil, jauh dari jangkauan Kuswanoto.
Krompyang!
Kelontang ... kelontang ... kelontang.
"Aduh yung!"
Naas, kaki Saimun tersangkut kabel yang dia tarik untuk menjangkau botol. Keris di lengser berhamburan terbang.
"Guoblok! Matane picek! Gak ngewasi ta matamu, ha!" (Bodoh! Matamu buta! Tidak melihat apa matamu, ha!).
"Nyong ura sengaja, Mbah. Ruwet kiyelah kabel, nyrimpet. Sepurane lah, aja nesu-nesu ... isin dingeti wong akehlah. Yak ... aja nesu yak." (Saya tidak sengaja, Mbah. Kusut ini kabel, menyangkut. Maaf, jangan marah-marah ... malu dilihat orang banyak. Ya ... jangan marah ya).
"Hes jan, gak pokro tenan kelakuanmu ki, Mun!" (Hes jan, kelakuanmu tidak lumrah, Mun!).
"Kukuti iku! Balekno neng wadahe!" (Pungut itu! Kembalikan ke wadah!).
Sugito yang merekam menahan tawa yang nyaris meledak melihat kecerobohan Saimun.
"Weh! Ojok mbok langkai! Gak mandi ko montroku! Guoblok pitung turunan!" (Weh! Jangan kamu langkahi! Tidak manjur nanti mantra milikku! Bodoh tujuh turunan!).
"Iyak ... iyak, njaluk sepura, Mbah. Diomehi terus lah nyonge." (Iya ... iya, minta maaf, Mbah. Dimarahi terus saya).
"Biayakan ae motomu!" (Ke mana-mana matamu!). kesal Kuswanoto, melihat Saimun memunguti beberapa keris dengan melangkahi beberapa keris lain.
"Go rene minyake!" (Bawa ke sini minyaknya!).
"Minyak apa sih kiye. Jarku sih nyong ura ngerasa tuku mau." (Minyak apa ini, perasaan saya tidak merasa beli tadi).
"Minyak apa sih kiye, minyak oles apa?" (Minyak apa ini, minyak oles apa?).
"Nggo ngolesi motomu iku!" (Untuk mengolesi matamu!).
"kereng lah," (Galak), rutuk Saimun.
"Minyak pusoko, blok!" (Minyak pusaka, bodoh!).
"Nyong ura rumangsa tuku." (Saya tidak merasa beli).
"Wong nek ndesit yo ngono iku! Wingi lo paketane teko!" (Orang kalau kampungan ya begitu! Kemarin paket datang!).
"Online, Mbah?" tanya Sarimin.
"Hok oh." (Iya).
"Dukun gaul temenan kuwe, Min." (Sungguh gaul itu, Min).
"Ya tidak apa-apa toh, Kang Mun. He he he." Sarimin menyaksikan kekacauan di hadapannya hanya tertawa geli, pun dengan Dahlan, Surip, Paimo serta tiga lainnya yang hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Kacau ... kacau malam jamasannya ya, Lek?"
"Mana sudah daftar seratus ribu lagi, he he he," timpal Badrun.
"Entah, aku malah tidak yakin kalau kerisku kembali bertuah." Suara Surip.
"Tak bela-bela tidak ikut pengajian, mumpung ada dukun yang mau buka Gebyar Suroan. E, malah menonton dagelan, he he he."
Masih terdengar bisik-bisik dari tamu Kuswanoto yang duduk berderet di hadapannya.
Sementara Kuswanoto sendiri sudah mengoles pusaka Nogoguno Carubuk dengan minyak pusaka misik hitam seribu bunga, yang dia beli Online. Mengangkat di kedua telapak tangan, setengah menundukkan kepala, simbol menjura hormat kepada pusaka yang sudah dia jamas, lalu memasukkan kembali ke warangka keris.
"Sst!" Kuswanoto memberi kode kepada Sugito yang terus merekam.
"Sst!"
Sugito mengangkat alis.
"Rene, sutingen iki," (Sini, rekam ini), ucap Kuswanoto lirih.
Sugito mengangguk, lalu mendekatkan kamera mulai dari ujung paling lancip, terus turun ke arah deder.
"Resik ta gak?" (Bersih apa tidak?). bisik Kuswanoto.
Pret!
Brut!
Bruttt!
"Asu ki! Malah ngentut! Diancok!" (Sialan! Malah kentut! Bangsat!).
"Perutku mulas, Mbah." Sugito nyengir kuda dengan memegangi perut.
"Hem!"
"Hem!"
Sarimin yang berada persis di depan bokong Sugito beranjak pergi dengan menutup hidung.
"Hem!"
Paimo dan Surip memencet hidung dan bergegas meninggalkan tikar.
"Huek!"
Giliran Dahlan dan beberapa temannya memilih pergi dan meninggalkan ritual jamasan pusaka yang ternoda oleh kentut Sugito.
"Huek!" Kuswanoto pun merasakan mual seketika.
"Nguntal tikus opo nguntal kodok awakmu ki, Git! Diancok ambune!" (Makan tikus apa makan kodok kamu ini, Git! Bangsat baunya!).
Sang dukun memilih kabur ke sudut gelap, berharap bau yang telah merasuk ke paru-paru lekas keluar, berganti udara.
"Lah, disamakan dengan ular," ucap Sugito terus mengarahkan kamera ke tempat gelap di mana Kuswanoto menunduk memegangi perut.
Saimun yang berusaha lari untuk menghindar dari bau kentut, kembali terjatuh oleh kabel yang menjerat kakinya sendiri.
Bruk!
Krompyang!
Kelontang ... kelontang ... kelontang!
Untuk kali kedua nampan besar melemparkan keris berhamburan ke tanah oleh polah Saimun.
"Aduh yung," rintihnya seraya terus mempertahankan lampu di tangan agar tak jatuh pecah pula.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment