CERKAK DUKUN VERSI 2.0 BAB 8

BAB 8
Di teras Masjid.
"Mau aku antar pulang, Dik?" tawar Ustaz Sopyan kepada Warsinah yang terlihat sedari tadi hanya diam, bahkan saat Ustaz Sopyan menyisipkan canda supaya jemaah tak mengantuk, Warsinah hanya diam.
Suasana makin sepi setelah semua pulang, hanya Nining Sumining yang terlihat seorang diri sibuk membantu beberapa Remaja Islam Masjid.
"Tidak usah, Ustaz," jawab Warsinah.
"Kamu kenapa, he?"
"Apa penyampaian dan isi ceramahku tadi ada yang menyinggung hatimu?" imbuhnya.
Warsinah menggeleng, "Tidak, Ustaz."
"Bahkan saat seperti, aku ingin kamu memanggilku Mas, Dik."
Warsinah membetulkan letak kerudung. "Itu dulu, aku tak mau Kang Noto dan Njenengan akan terlibat masalah lagi. Dan urusan di antara kita sudah selesai, Ustaz."
"Ah." Ustaz Sopyan menghembuskan napas panjang.
Perseteruan untuk menempatkan nama di hati Warsinah kala itu dimenangkan Kuswanoto. Ustaz Sopyan masih jelas mengingatnya kala Warsinah datang dengan menangis.
Satu pernyataan mengejutkan, tatkala Warsinah sudah tak lagi perawan oleh kelakuan Kuswanoto.
"Tetapi cintaku kepadamu tak akan sirna, Warsinah."
"Kamu lihat diriku? Aku bahkan belum bisa membuka hati untuk perempuan lain," tambah Ustaz Sopyan.
"Andai Kang Noto tak berbuat curang waktu itu, mungkin kita sudah ... ah, sudahlah." Ustaz Sopyan tak melanjutkan ucapannya.
Warsinah terdiam, benar apa yang dikatakan oleh Ustaz Sopyan. Sosok religius yang selalu dingin bertutur kata, tak pernah bersikap aneh-aneh. Semua yang diidamkan Warsinah muda ada pada diri Ustaz Sopyan.
"Aku bahkan tak habis pikir, kenapa aku sulit sekali melupakanmu, Dik." Ustaz Sopyan menoleh ke arah beberapa pemuda yang terus membersihkan lantai Masjid dari beberapa butir nasi yang jatuh saat acara bagi takir.
"Aku antar kamu pulang sekarang atau ...."
Nining Sumining sudah hadir dengan plastik yang berisi beberapa takir daun pisang, sisa takir yang akan dia berikan kepada tujuh anak yang mungkin berjejer dengan Didik, suaminya.
"Maafkan saya, Ustaz. Mas Didik tidak bisa hadir, kelelahan katanya."
"Tidak usah dipermasalahkan, Ning," ucap Ustaz Sopyan.
"Yuk War, mau pulang sekarang atau ...."
"Iya, Ning. Bareng, ya."
"Kami permisi dulu, Ustaz."
"Assalamualaikum."
"Alaikumsalam," balas Ustaz Sopyan.
Ustaz Sopyan melepas mantan kekasihnya waktu dulu, dengan mengelus dada. Meski Warsinah sekarang tidak terlihat seperti Warsinah muda yang memiliki badan langsing, tetapi kecantikan Warsinah tak akan pernah pudar di mata Ustaz Sopyan.
"Aku hanya bisa turut mendoakanmu, Dik," batinnya.
Ustaz Sopyan sebenarnya tak mau membuka lembar lama yang menyakitkan baginya, tetapi mendapat kesempatan untuk bicara berdua jelas jarang dia dapat.
Tak mau merusak kebahagiaan Warsinah dengan Kuswanoto, alasan utama, di atas segala cinta yang masih dia pendam, sampai sekarang.
Dari sekian banyak kesempatan leluasa untuk berbicara, datang ketika Warsinah pulang paling terakhir dari Majelis Taklim ibu-ibu, atau seperti tadi, dan hanya begitu.
Rahasia akan tertutup rapat akan kisah cinta Rama dan Sinta, yang telah dia bina lima tahun kala itu, kandas oleh hadirnya Rahwana, berwujud Kuswanoto.
****
"La aku pikir Sampean tidak pergi pengajian, Yuk."
Warsinah hanya diam, melangkah dengan hati-hati dalam terang senter.
"Ha wong di rumah Sampean juga ada acara."
"Sebenarnya aku tidak setuju, Ning."
"Loh, kok tidak setuju toh. Lumayan toh pendapatannya. Yang aku dengar-dengar dari teman atau lewat WA. Bayarannya mahal loh, Yuk. Genap setahun saja, Sampean dan Kang Noto, bisa jadi orang paling kaya di kampung kita."
"Itu masalahnya. Aku jadi terbawa pikir dengan apa yang diucapkan orang. Selain berobat kepada kakangmu itu, mereka juga jadi sibuk mencari orang untuk diajak berobat."
"Ya enggak apa-apa toh? Dari pada Kang Noto kerja menjaga kantor desa, mending jadi dukun."
"Entah, Ning. Hatiku kok bicara lain, ya."
"lain bagaimana toh, Yuk?"
"Aku itu tidak bisa mengatakannya. Hanya hatiku sekarang lebih waswas."
****
Kembali ke ritual 1 Suro.
Langit malam membentang dengan gugus bintang gemintang.
"Ayo jejer kene." (Ayo berjejer di sini).
Kuswanoto tampak sibuk dengan mengatur anak-anak yang siap melakukan ritual siraman 1 Suro.
"Sendale dicopot!" (Sendalnya dilepas!). katanya kepada satu anak.
Satu drum telah berisi air yang dicampur kembang setaman, sebagai bentuk sembah raga, dengan tujuan untuk menyucikan diri, dan tanda telah dimulainya bulan Suro. Tampak tebu hitam dengan menyisakan lembar beberapa helai bagian pucuk, ada di samping setandan pisang raja.
"Ayo diwoco bareng-bareng dungone." (Ayo dibaca bersama-sama doanya).
Kuswanoto memimpin untuk membaca doa. Sebuah doa yang akan terus dia ingat, doa yang juga dia baca kala itu saat berumur seperti anak-anak yang ada di hadapannya.
"Niat ingson angngadusi sedulur papat limo pancer."
"Kaenem bumi."
"Kapitu lintang johar."
"Adusku tirto suci, badan jasmani."
"Roso mulyo lan oleh barokae Gusti Kang Moho Agung."
"Rahayu, rahayu, rahayu."
"Yo, diulangi sampek lancar," perintah Kuswanoto.
Doa yang dia ajarkan tak lebih bertujuan untuk memohon keselamatan, terhindar dari segala musibah, menjadikan pikiran lebih terbuka, kelak ke depannya agar menjadi anak pintar yang bisa dijadikan kebanggaan keluarga dan negara.
"Mari iku diwoco neng njero batin ae! Wes do paham?" (Setelah itu dibaca di dalam hati saja! Sudah paham semua?).
"Sampun, Mbah," (Sudah, Mbah), ucap beberapa anak-anak bertelanjang dada dengan celana kolor, berbarengan.
Kuswanoto sejenak meraih gayung, matanya kembali terpejam seraya membaca doa yang dia ajarkan kepada anak-anak tadi.
Siraman yang sering dia ikuti juga sama dia terapkan malam ini. Langsung di bawah langit malam, hal yang dimaksud adalah untuk menyatukan jiwa dan raga dengan alam semesta.
Satu anak maju selangkah untuk mendekat ke arah Kuswanoto.
Perlahan Kuswanoto menyiramkan air tepat di ubun-ubun. Mengalir air perlahan membasahi tubuh kerempeng. Mata yang terus didera kantuk seketika membelalak ketika air dingin menyentuh kulit.
Diulangnya sebanyak tujuh kali, hingga Kuswanoto meminta anak berikutnya untuk juga mendekat.
Tata cara yang dia lakukan masih tetap sama kepada tiap-tiap anak yang meminta keselamatan dan kepintaran dalam menyambut bulan 1 Suro.
"Sst!"
Mendapat perintah itu, Sugito yang terus memegangi HP kembali mendekat.
"Direkam kabeh iku, yo?" (Direkam semua itu, ya?).
"Siap, Ndan," jawab Sugito.
"Neng ndi Saimun?" (Ke mana Saimun?).
"Meladeni tamu, membuatkan kopi."
"Arek-arek, ados bareng-bareng. Gerujukan sampek banyu neng drum iki entek." (Bocah-bocah, mandi bersama-sama. Siram sampai air di dalam drum ini habis).
"Soyo teles soyo apik." (Semakin basah semakin bagus).
Kuswanoto lalu menunjuk beberapa gayung plastik, Saimun yang mendapat perintahnya untuk membeli itu semua.
"Ayo!"
"Ayo!"
"Ayo!"
"Aku dulu, aku dulu."
"Wes gak usah rebutan! Gentian!" (Tidak usah rebutan! Bergantian!).
Dengan demikian, selesai sudah tahap ritual malam 1 Suro untuk siraman.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment