Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK DUKUN VERSI 2.0 BAB 9

BAB 9

Setelah memberi penjelasan akan ritual terakhir, Kuswanoto meminta Saimun dan Sugito untuk kembali menggelar tikar, kali ini terlihat lebih banyak.

Suasana mendadak berubah menjadi sangat sepi dan tidak terlihat sinar lampu minyak yang terpancar dari warung.  Menyisakan para lelaki yang akan bersiap melakukan perenungan dengan duduk melingkar dan tak diizinkan untuk saling berbicara.

Bergerak mereka segera untuk mencari tempat duduk. Tapa bisu akan segera dimulai tepat selepas dini hari hingga kokok ayam pertama terdengar. Syarat terberat dari ritual ini adalah jelas kantuk yang bisa saja menyerang untuk menggugurkan syarat.

Saimun tampak terlihat sibuk dengan membereskan sisa siraman, sementara Sugito duduk terpisah tak jauh dari pintu.

Sementara di dalam, Kuswanoto tampak berbicara dengan Warsinah.

"Iya kalau mereka tak melaporkan masalah ini, Pak."

"Lapo ginio, he?" (Kenapa memangnya, he?).

"Itu apa tidak penipuan. Bagaimana kalau polisi datang ke rumah kita, ha."

"Yo gak mungkin toh, Mak." (Ya tidak mungkin, Mak).

"Jangan bilang tidak mungkin. Mencari jaringan untuk orang mau berobat. Dukun mana yang pembayarannya lewat transfer. Di mana-mana dukun itu hanya menolong, tidak mengharap apa-apa, seikhlasnya yang kasih."

"Iku to nek mbiyen, Mak." (Itu kalau dulu, Mak).

"He, rungokno yo. Zaman wes bedo, a nek gur gulo kopi ae seng digowo, kapan lek kate oleh duwek, he?" (He, dengar ya. Zaman sudah berbeda, kalau hanya mengharap gula kopi yang dibawa, kapan mau dapat uang, he?).

"Urep opo gur kate mangan gulo kopi." (Hidup apa mau makan gula kopi).

"Iko ... pulsa listrik nek muni opo tambah pulsane nek mbok sugui kopi." (Itu ... pulsa listrik kalau berbunyi apa tambah pulsanya kalau disuguhkan kopi).

"Wes toh." (Sudahlah).

"Ya, tapi aku ini takut kalau apa yang Njenengan lakukan itu melanggar hukum."

"Nglanggar hukum piye? Awakku gak mekso. Uwong yo podo moro dewe kok." (Melanggar hukum bagaimana? Aku tidak memaksa. Orang datang sendiri kok).

"Entah, Pak."

"Lo? lak mrengut neh toh?" (Loh? Merengut lagi, 'kan?).

"Aku ini lama-lama takut."

"Wedi opo, ben tak adepi dewe." (Takut apa, biar saya hadapi sendiri).

Kuswanoto lalu meraih HP di saku gombroh.

"Ki onok SMS, nek tulisane saldone wes oleh pitung puluh limo yuto." (Ini ada SMS, saldo sudah tujuh puluh lima juta).

"Mari nggo membayar Saimun, Gito, lan uwong-uwong seng wes oleh member." (Buat bayar Saimun, Gito, dan orang-orang yang sudah menjadi anggota).

"Turahane kate njalok opo, he?" (Sisanya mau minta apa, he?).

"Kalung?"

"Sandangan?" (Pakaian?).

Warsinah tak menjawab, membuat Kuswanoto mendekat dan duduk di sampingnya.

"Saiki pikiren, kate megawe opo neh awakku." (Sekarang kamu pikir, mau kerja apa aku).

"Kerjo jogo kantor deso yo dipecat." (Kerja jaga kantor desa ya dipecat).

"Beras neng omah yo bakal entek to?" (Beras di rumah bakal habis, 'kan?).

"Awakku ki gak ngapusi uwong, Mak." (Aku tidak membohongi orang, Mak).

"Gur kabeh-kabeh kudu ngetutno zaman." (Semua harus mengikuti zaman).

"Kesok isuk mangkat neng bank, jikuken kabeh duite." (Besok pagi ke bank, ambil semua duitnya).

"Wes to ojok kuater. Yo?" (Sudah jangan khawatir. Ya?).

Warsinah memilih untuk berbaring dengan memberi punggung kepada suaminya.

"Lo lak mutung neh to?" (Loh marah lagi, 'kan?).

"Bengi iki uwong-uwong do lek-lekan. Subuh ngko wes do balek kok." (Malam ini orang-orang begadang. Subuh semuanya pulang).

"Mak."

"He, Mak."

"Aku tidak setuju kalau Njenengan jadi dukun. Dari awal aku sudah bilang tidak setuju."

"Wes ... jek panggah mbulet mbalek neng omongan kawitan rembuk." (Sudah ... masih saja kembali ke omongan awal rembukan).

"Njenengan, 'kan bisa toh garap sawah, tidak usah jadi dukun. Apalagi pakai cara-cara begitu."

"Wong lanang usaha kok malah ngejak padu." (Orang suami usaha malah kamu ajak adu mulut).

Kuswanoto lalu memilih meninggalkan kamar.

****

Acara benar-benar telah selesai dengan dimulainya kokok ayam pertama. Semua yang melakukan tapa bisu pamit seraya mengucapkan rasa terima kasih dengan Saimun dan Sugito, sebagai perwakilan Kuswanoto.

"Reng endi dukune kiye, Kang?" (Ke mana dukunnya ini, Kang?). tanya Saimun.

"Ketiduran paling," jawab Sugito. Sama seperti Saimun, matanya juga terlihat menahan kantuk yang teramat, terbukti dia menguap berkali-kali.

"Jal deleng," (Coba dilihat), minta Saimun untuk memastikan itu.

Meski begitu, Saimun tetap mengikuti Sugito dari belakang.

"Mbah!"

"Mbah Dukun!"

Krek.

Pintu dibuka.

"Kepenak teman, ya. Batire kon melek sewengi utuh sampek byar. Malah deweke turu." (Enak benar, ya. Temannya suruh begadang semalam suntuk. Malah dia tidur).

Saimun dan Sugito saling tatap saat mendapati Kuswanoto meringkuk di dalam sarung beralas tikar dengan sebuah bantal kapuk.

Sugito melangkah masuk.

"Mbah."

"Sst, Mbah!" dengan mengguncang-guncang tubuh Kuswanoto.

"Hem," jawab Kuswanoto di dalam sarung.

"Tarik bae sarunge lah," (Tarik saja sarungnya), usul Saimun.

Sret!

Kuswanoto menutup mata dengan lengan.

"Ealah! Bangun Mbah!"

"Hem."

"Wes isuk kiye. Tangi!" (Sudah pagi. Bangun!). bentak Saimun.

"Ko tak pancal cangkemu lo, Mun!" (Nanti saya tendang mulutmu, Mun!).

Kuswanoto membalikkan badan seraya terus meringkuk kedinginan.

"Sih Rika malah turu, kepriwe sih. Wis rampung urung kiye? Nyong ambi Kang Gito arep bali." (Anda malah tidur, bagaimana toh. Sudah selesai belum ini? Saya dengan Kang Gito mau pulang).

"Hem."

"Wis tinggal bae yuh, kesuh nyonge." (Tinggal saja yuk, kesal saya).

"Mbah, kami pulang dulu."

"Hem."

"Apa tidak dikasih duit buat beli rokok?"

"Jembut ki dolen," (Rambut ini dijual), jawab Kuswanoto dengan terus meringkuk menutupi mata.

"Plorotna bae yuh kolore. Temenan kesuh nyonge!" (Tarik saya yuk kolornya. Sungguh kesal saya!).

"Hem."

"Ham, hem, ham, hem, bae."

"Wes mengko urusan lah! Nggianggu wong turu ae! Wes baliko kono!" (Sudah nanti urusannya! Mengganggu orang tidur saja! Sudah sana pulang!). Dengan terus meringkuk mengusir dingin.

"Gawa rene sarunge, Kang." (Bawa sini sarungnya, Kang).

Saimun lalu menerima sarung dari Sugito.

"Inalilahi," ucapnya seraya menutup sekujur tubuh Kuswanoto dengan sarung.

"O, asu!" (O, sialan!).

"Ndungakno awakku bongko ta awakmu, ha!" (Mendoakan aku mati kamu, ha!).

Kuswanoto langsung menyibak sarung, matanya yang merah melotot ke arah Saimun.

"Nyong kiye arep bali. Terus kepriwe kiye? Uwis apa urung?" (Saya mau pulang. Lalu bagaimana ini? Sudah apa belum?).

"Budek kupingmu! Baleko kono!" (Budek telingamu! Pulang sana!).

"Bayarane sih kepriwe?" (Bayarannya bagaimana?).

"Ko tak bayar! Gak ogak nek tak untal dewe!" (Nanti saya bayar! Tidak kalau saya makan sendiri!).

"Ya uwis. Mbok kat mau nangapa." (Ya sudah. Dari tadi kenapa).

"Wis ayuh bali lah, Kang." (Ayo pulang, Kang).

Saimun melangkah meninggalkan ruang tamu.

"Mbah, kami pulang dulu. Nanti telepon atau WA saja kalau memang ada perlu atau ada pekerjaan buat kami."

"Yo." (Ya).

****

Di dalam bank.

"Njenengan saja yang tulis, Pak."

"Lah garek awakmu ae kok. Jikok kabeh ae duite." (Tinggal kamu saja kok. Ambil semua uangnya).

Warsinah yang pernah pergi ke bank, lalu mengambil formulir yang disediakan. Selembar kertas putih dengan rangkap kuning di bawahnya.

Nama dia isi, alamat, serta cabang bank unit kota.

"Sudah," katanya seraya menunjukkan formulir kepada suaminya.

"La kok pitungatus seket ewu." (Kok tujuh ratus lima puluh ribu).

"Kurang siji ndole, guoblok!" (Kurang satu nolnya, bodoh!).

"Seng tenan to lek tulis, pekok ojok banget-benget ginio!" (Yang benar kalau menulis, jangan bodoh terlalu kenapa!).

Satpam datang.

"Ada yang bisa kami bantu, Pak?"

"Ogak!" (Tidak!).

"Mohon untuk tidak sedikit lebih menurunkan suara, kasihan dengan nasabah lain yang sudah antre menunggu."

"Maaf, Pak. Suami saya memang begitu. Maaf, Pak." Warsinah yang tampil untuk meminta maaf.

"Ini bank. Bukan di rumah," ucap Warsinah pelan dengan mengarahkan siku tangan ke pinggang suaminya.

****

Sepulangnya dari bank.

Semburat rona bahagia tersaji di wajah Kuswanoto yang terus membawa motor untuk makin dengan Masjid.

"Jadi apa tidak, Pak?"

Kuswanoto tak menjawab, tetapi jelas dia mengarah ke halaman Masjid.

Mematikan mesin, Warsinah turun, lalu diikuti olehnya.

"Berapa?"

"Limang batang ae." (Lima juta saja).

Warsinah menyerahkan satu gepok lembar rupiah kepada Kuswanoto.

"Enteni neng njobo ae." (Tunggu di luar saja).

Kuswanoto melangkah ke dalam, melepas selop di bawah batas suci. Sementara Warsinah hanya berdiri di pinggir motor. Tak lama kemudian Kuswanoto keluar.

"Sudah?"

"Wes. Gak mlebu." (Sudah. Tidak masuk).

"Tidak masuk bagaimana?"

"Yo gak mlebu kok. Gak mlebu kepiye." (Ya tidak masuk).

"La terus?"

"Yo tak deleh nduwure." (Saya taruh di atasnya).

"La, Njenengan ini bagaimana. Kalau hilang terus bagaimana, ha?"

"Ilang mbok ben!" (Biar!).

"Njenengan ini bagaimana toh!"

"Ilang berarti duk rezekine Mejid. Lapo digawe bingung, he?" (Hilang berarti bukan rezekinya Masjid. Kenapa dibuat bingung, he?).

"Wes ayok." (Sudah, ayo).

Kuswanoto lalu memutar motor, menghidupkan mesin, menunggu Warsinah yang sedikit kesusahan untuk naik di jok belakang.

"Biyoh! Wes koyok nggonceng karung mahong!" (Sudah seperti membonceng pakan ternak!).

Plok!

Warsinah menepuk pundak suaminya.

"Mangkane diet to, diet!" (Makanya diet!).

"Sudah cepat jalan!"

"Cekelan, ngko gek ngglundung koyok nongko." (Pegangan, nanti jatuh menggelundung seperti nangka).

Kuswanoto lalu memutar tuas, motor perlahan meninggalkan halaman yang sudah terpasang paping blok.

BERSAMBUNG

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search