Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK DUKUN VERSI 2.0 BAB 11

BAB 11

Kuswanoto tak bisa menjawab, jelas masalah akan tambah runyam kalau dia mengatakan yang sesungguhnya.

"Anu, Pak. Kulo ... kulo ... eh anu, Pak."

"Oalah, Kang, Kang. Dipercaya suruh jaga malam malah kelayapan ke rumah janda," ceplos Samamudin.

"O, asu! Menengo diancok!" (O, sialan! Diam bangsat!).

"Ke rumah janda? Janda siapa! Janda siapa, Pak 'e! Janda mana! Hu hu hu."

"Sudah. Sudah, masalah ini selesai sampai di sini saja. Bagaimana, Pak Polisi. Kita tempuh secara kekeluargaan saja."

"Bawa saja ke kantor polisi, Pak." Samamudin membuat darah Kuswanoto mendidih oleh ucapannya.

"Semu cerita sudah jelas. Bapak Kuswanoto melakukan ini sepertinya bingung mau bekerja apa setelah dipecat dari kantor desa, hingga terbersit untuk buka praktik perdukunan dengan meminta imbalan besar. Bukankah begitu, Pak?" tanya polisi.

"Enggeh, Pak. Kulo nyuwun sepuro, ampun beto kulo teng kantor polisi. Kulo ampun dikrangkeng, Pak." (Ya, Pak. Saya minta maaf, jangan bawa saya ke kantor polisi. Saya jangan dipenjara, Pak).

"Kulo wangsulaken sedoyo arto niki. Kulo pasrahaken dateng Njenengan, Pak Kades." (Saya kembalikan semua uang ini. Saya pasrahkan kepada Anda, Pak Kades).

"Kulo ampun dikrangkeng nggeh, Pak Kades." (Saya jangan dipenjara ya, Pak Kades).

"Kasihan dengan saya, Pak Kades, Pak polisi. Kalau suami saya sampai dipenjara, hu hu hu."

"Pripun niki, Pak Kades. Kulo mboten sios dikrangkeng to nggeh." (Bagaimana ini, Pak Kades. Saya tidak jadi dipenjara, 'kan ya).

"Ha ha ha. Kang Noto, Kang Noto. Makanya kalau bertindak itu dipikirkan akibatnya. Kalau sudah begini yang repot juga Njenengan. Iya, 'kan?" Pak Kades geleng-geleng kepala.

Tiba-tiba suara gaduh terdengar di halaman. Warga mulai berkerumun untuk menyaksikan Kuswanoto yang dikabarkan akan ditangkap polisi.

"Pokoknya saya mau uang saya dikembalikan, Pak Kades!" teriak dari luar.

"Iya!"

"Iya!"

"Kembalikan uang saya!"

"Iya! Masak berobat ke dukun sudah seperti berobat ke rumah sakit! Mahal!"

"Iya!"

"Setuju!"

"Setuju!"

Pak Kades bergegas menyambut kedatangan beberapa warga.

"Tunggu! Tunggu! Biar kami selesaikan masalah ini, Bapak-bapak!" Pak Kades menyambut kedatangan warga di ambang pintu.

"Kami sedang berunding untuk mengembalikan uang Bapak-bapak semuanya."

"Ini sebagai pembelajaran bagi kita semua. Kalau sakit sebaiknya ke Puskesmas, ada pemerintah sudah memfasilitasi dengan adanya BPJS."

"Gunakan itu, dari pada terjerat rayu oknum yang tidak jelas untuk mengeruk keuntungan semata."

"Jangan pernah percaya iming-iming kesaktian, kesembuhan, yang mengharuskan kalian mentransfer sejumlah uang. Penyakit datangnya dari Allah, sembuh juga datangnya dari Allah, tugas kita hanya berusaha. Maka jangan sampai salah tempat. Datang dan periksa kesehatan ke pelayanan kesehatan yang ada. Semoga kalian bisa mengambil pembelajaran dari kejadian ini."

"Setuju!"

"Setuju!"

"Setuju!"

Teriak setuju atas kata sepakat yang juga terjadi sewaktu Kuswanoto meminta transfer waktu itu. Dasar!

"Tidak usah dilanjutkan masalah ini, Pak Polisi."

"Baik, Pak Kades," jawab polisi.

"Untuk Kang Noto, mulai besok malam baiknya Njenengan kerja lagi jaga kantor, dan jangan bertindak yang aneh-aneh di tengah masyarakat, mengerti?"

"Kulo, Pak Kades."

"Ya sudah. Semua uang itu, biar nanti Pak RT yang atur, untuk dikembalikan ke warga."

"Baik, Pak," kata Pak RT.

"Maaf, Pak Kades." Salah satu warga maju ke hadapan Pak Kades.

"Saya mengikhlaskan uang saya untuk Kang Noto. Itu wujud rasa terima kasih saya karena Kang Noto sudah menyembuhkan anak saya."

"Iya, saya juga, Pak Kades."

"Saya juga, Pak."

Samamudin bangkit. "La bagaimana toh Sampean ini semua. Tadi katanya setuju kalau uang Sampean mau dikembalikan."

"Saya tidak terpaksa, atau dipaksa, Kang Din."

"Saya yang mau mengikhlaskan uang demi kesembuhan anak saya. Andai tidak ada Kang Noto, mungkin saya akan habis banyak di rumah sakit. Mana BPJS saya menunggak dua tahun."

"Iya, Pak. Kami mengikhlaskan uang lima ratus ribu untuk Kang Noto," sahut yang lain.

"Ya sudah, bagi yang mengikhlaskan atau minta dikembalikan uangnya nanti bisa menghubungi Pak RT," balas Pak Kades.

"Ayo, Pak. Biar masalah ini nanti RT saya yang akan menyelesaikannya. Perkara ini kita sudahi saja."

"Pak Kades, lalu uang sedekah yang lima juta itu, bagaimana?" tanya Solikin.

"Biar Pak RT yang mengatur untuk masalah itu."

"Sekarang Bapak-bapak silakan pulang. Nanti akan diberitahu untuk pengambilan uangnya."

"Hu."

"Gagal sudah mendapatkan member!"

"Hu!"

"Payah dukun versi 2.0!"

"Huuu."

Segenap warga yang datang kemudian bubar, seiring Pak Kades setelahnya, juga pamit pulang, berikut Pak RT, Ustaz Sopyan, Solikin, Samamudin, Gimanto, Misdiyanto, dan juga Risnandar.

****

"Sepuro seng gede kanggo awakmu yo, Mak." (Maafkan aku ya, Mak).

Warsinah masih terlihat mengusap sudut mata.

"Aku ikhlas menjadi istrimu, Pak 'e. Hidup susah begini aku juga ikhlas. Njenengan suka membentak, aku ikhlas. Bekerja menjadi buruh unduh aku juga ikhlas, ikhlas, Pak 'e."

"Tetapi kalau akhirnya begini. Aku sungguh khawatir kalau Njenengan dipenjara. Kita ini sudah tua, hidup mau apalagi, ha. Mau apa lagi, hu hu hu."

"Apa aku pernah menuntut ini itu kepada Njenengan, ha? Tidak pernah Pak 'e. Aku nrimo menjadi istri Njenengan, menerima semua."

"Kalung harganya tidak seberapa, dibanding kalau aku harus kehilangan Njenengan, Pak."

"Begitu banyak cobaan hidup yang datang dari ulah Njenengan, aku berusaha untuk kuat, semua itu karena tresnoku kepada Panjenengan, hu hu hu."

"Susah, senang, selama ini kita lalui berdua. Semua aku serahkan demi baktiku kepada Njenengan, hu hu hu."

"Aku takut ... aku takut, Pak 'e, kalau harus kehilangan Panjenengan. Bahkan dalam doaku, andai di antara kita harus mati, aku mau aku yang mati lebih dulu, aku sungguh tak sanggup membayangkan hidup tanpa Njenengan, hu hu hu."

"Wes tah lah ojok nangis. Kesok dewe plesir neng pantai." (Sudah jangan menagis. Besok kita ke pantai).

Kuswanoto mencoba meraih tangan Warsinah. Dibalas dengan tangis Warsinah seraya membenamkan wajah di pangkuan suminya.

"Sepuroku yo, Pak 'e. Nek aku okeh lupute karo Panjenengan, hu hu hu." (Maafku ya, Pak. Kalau aku banyak salah kepada Panjenengan, hu hu hu).

"Lo gung lebaran kok wes sungkeman." (Belum lebaran kok sudah sungkem).

"Hu hu hu." Warsinah menumpahkan sedih, khawatir, sejak awal Kuswanoto memilih jadi dukun.

"Sek, tangio sek to." (Tunggu, bangun dulu).

Kuswanoto lalu masuk ke kamar. Kembali keluar tak selang berapa lama.

"Kesok plesiran neng pantai, tuku sate, ngombe es dawet. Gelem ta gak?" (Besok liburan ke pantaai, beli sate, minum dawet. Mau apa tidak?).

Warsinah mengusap mata.

"Ki." (Ini). Kuswanoto menunjukkan lembar uang dengan senyum dan kumis mengembang.

"Uang dari mana itu, ha?"

"Uang dari mana!"

"O, pasti uang yang buat sedekah Njenengan kurangi ya, iya!"

"He he he." Kuswanoto menjawabnya dengan kekeh dan senyum polos tanpa dosa.

"Pak!"

"La seng penting kesok plesir neng pantai, iyo gak?" (Yang penting besok liburan ke pantai, iya tidak?).

"Orang kok tidak pernah berubah! Itu uang sedekah!"

"Sedekah iku seng ikhlas. Dadi tak sedekahno rong yuto, ikhlasku sakmono kok." (Sedekah itu yang ikhlas. Jadi saya sedekah dua juta, saya ikhlasnya sejumlah itu kok).

"Pak!"

"Pak 'e!"

Warsinah berteriak keras akibat ulah Kuswanoto yang tak kunjung sembuh untuk urusan uang. Kerasnya suara teriak hingga menyebabkan ayam Nining Sumining yang bertelur lari ketakutan.

Keok!

Keok!

BERSAMBUNG

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search