DUKUN KONDANG! CERPEN HUMOR UNTUK HIBURAN
Dukun sakti.
Desa Bangorejo pagi itu
dihebohkan oleh dukun yang baru saja pindah dari Desa Waru Telu. Dukun
itu bernama Samsudin. Ia mengaku sakti,
bahkan sesumbar bisa mengobati penyakit
apa saja.
Puluhan orang terlihat setiap hari mendatangi rumah Samsudin.
Mereka datang untuk berobat, bahkan mereka harus rela antre untuk sekadar minta obat
dan jampi mantra sang Dukun Samsudin.
“Dengan mengeluarkan biaya Rp.300.000. Kita sudah bisa
berobat apa saja di sini,” ujar salah satu lelaki yang duduk menunggu giliran.
“Kamu sakit apa, Rin?” imbuhnya bertanya.
“Aku tidak sakit,” Jawab Sobirin.
“La terus kenapa kamu ke sini?”
“Aku hanya mau minta mantra untuk istriku.”
“Istrimu yang sakit?”
“Bukan.”
“Lantas?”
“Aku mau minta mantra dengan Dukun Samsudin agar istriku yang
cerewet itu tak lagi sering mengomel-omel.”
Keduanya lalu terlibat percakapan di antara ramainya
orang-orang yang juga menunggu giliran untuk dipanggil namanya.
Padahal dukun yang mereka datangi tak lebih hanyalah seorang penipu. Samsudin mengunakan
keahlian sulap yang dimiliki untuk menipu
warga dengan kedok pengobatan. Hal ini yang membuat warga semakin percaya pada kesaktian Samsudin
sebagai dukun paling wahid di Bangorejo.
Segala macam penyakit konon bisa sembuh di tangan Samsudin.
Mulai dari patah kaki, terkena santet, guna-guna, bahkan Samsudin bisa
mengusir arwah gentayangan yang mengganggu penghuni rumah.
Pernah ada beberapa pasien yang tak kunjung sembuh setelah
berobat kepada Samsudin, akan tetapi
karena rayuan Samsudin, mereka selalu
menuruti perkataan dukun palsu tersebut agar
kembali berobat.
****
Kuswanoto meriang.
Sementara itu di rumah Kuswanoto, tampak ia berbaring di atas
tempat tidur. Sudah dua hari ini dia terkena demam.
“Pak, apa tidak sebaiknya Njenengan, saya bawa saja ke rumah
dukun sakti itu?”
“Dukun? Dukun sopo, ha?" Kuswanoto balik bertanya.
“Samsudin.”
“Kata orang-orang dia itu dukun sakti yang bisa mengobati
berbagai macam penyakit.”
“Gah!”
“Lo?"
Warsinah lalu duduk di tepi tempat tidur. “Bagaimana mau
sembuh, he? Berobat ke Mantri katanya takut disuntik. Ke rumah dukun tidak mau.
Sampai kapan Njenengan, mau berbaring terus begini, ha?”
“Memang neng desone awakke dewe onok dukun sakti ta?”
Kuswanoto bangkit lalu duduk bersandar dengan memeluk sarung yang ia gunakan
untuk mengusir dingin.
“Memangnya Njenengan, belum tahu kalau di desa kita ada dukun
sakti?”
Kuswanoto menjawabnya dengan menggeleng.
“Sudah seminggu ini banyak orang-orang kalau sakit berobat ke
rumah Samsudin ….”
“Mari tah?” Potong Kuswanoto.
“Katanya begitu. Ada yang sekali berobat langsung sembuh loh,
Pak.”
“Mosok?”
“Iya. Cuma ya kalau penyakit berat harus beberapa kali datang
untuk berobat lagi.”
“Males, Mak. Ngombe puyer ae ko lak yo mari dewe.” Kuswanoto
lantas kembali berbaring.
“Njenengan, kalau dibilangi ngeyel saja begitu.”
“Kapan mau sembuhnya, ha?”
“Halah! Paling yo koyok Mbah Suro iko. Dukun cabul.”
“He, Pak. Kalau bicara jangan sembarangan!”
“Samsudin itu sudah viral akhir-akhir ini di Medsos.”
“Jare sopo? Nyekel Android awakmu we gak godak!”
“Kata ibu-ibu pengajian.”
“Halah! Males.”
“Kalau sakit tidak mau berobat, terus sampai kapan jadi
kembang amben, ha?”
“Nanti kalau Pak Kades kesal karena Njenengan jarang jaga
malam, bisa-bisa digantikan rang lain.”
“Gak mungkin!”
“Ya mungkin saja. La wong sakit tidak berobat, kapan
sembuhnya?”
“Kalau kantor desa ada apa-apa selama Njenengan, tidak masuk
jaga, siapa yang akan bertanggung jawab, ha?”
“Onok CCTV! Iko wakilku jogo bengi.”
“CCTV dijadikan wakil. Payah!” Warsinah bergegas meninggalkan
kamar.
Sepeninggal istrinya, Kuswanoto kembali duduk bersandar
sambil merenung.
“Opo tenan onok dukun sakti neng deso iki?”
“Kok awakku gak tau krungu, yo.”
Kuswanoto menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Nek
berobat neng Mantri utowo Bu Bidan ko malah disuntik.”
“Piye, yo?”
“Nek gak berobat, kapan lekku kate megawe?” gulat batin
Kuswanoto.
****
Singkat cerita. Kuswanoto akhirnya menuruti saran istrinya.
Hari pertama. Belum ada perubahan.
Hari kedua. Sama saja!
Dan di hari ketiga, Kuswanoto kini duduk menghadap Samsudin
yang mengenakan serban putih.
“Ini airnya, Kang.”
“Diminum menjelang malam, nggeh,” ucap Samsudin.
Kuswanoto hanya mengangguk.
“Yo wes nek no. Ternuwun banyune.” Kuswanoto berniat beranjak.
“Lo? Bayar dulu, Kang.” Samsudin mencegah Kuswanoto dengan
memegangi lengan.
“Bayar maneh tah?”
“Ya, iya, Kang.”
“Setiap kali berobat harus bayar mahar Rp.100.000.”
“La wingi wes bayar awakku!”
“Itu yang kemarin. Hari ini ya hari ini, Kang.”
“Rong ndino wingi wes mbayar rong atus ewu awakku.”
“Sudah saya bilang, Kang. Hari ini ya hari ini.”
“Walah! Biangkrut nek ngene ki,” rutuk Kuswanoto seraya
melepas peci hitam yang dikenakan. Tak lama kemudian dia mengambil uang yang
ada di lipatan peci.
“Nyoh!”
“Semoga lekas sembuh ya, Kang. He he he.”
Kuswanoto yang kesal tak menyahut, justru melangkah keluar
dengan menghadirkan wajah yang dipenuhi gurat kecewa.
****
Ditengah perjalanan pulang, Kuswanoto berpikir telah
kehilangan uang Rp.300.000 dalam tiga hari.
“Ngapusi!”
“Tuwas kelangan duwek telong atus ewu. Gak mari yoan!”
“Titenono engko!”
“Eh, ojok-ojok iko si Samsudin dukun palsu.”
“La mosok wes berobat sampek ambal telu kok gak sudo blas!”
“Dari mana, Kang!” sapa Pondi yang tak lain adalah pemilik
warung langganan bagi Kuswanoto hutang rokok.
“Ko berobat,” jawab Kuswanoto seraya melangkah ke depan
warung.
“Berobat sama dukun sakti itu?”
“Sakti opone! Mbalik ping telu yo panggah ae awakku
nggreges.”
“Onok obat tah, Ndi?”
“Obat apa, Kang?”
“Obat meriang! Mosok obat suket!”
“La saya ini tanya kok Njenengan, sukanya ngegas.”
“Wes gek ndang!”
Kemudian Pondi memberikan obat kepada Kuswanoto. “Ini, Kang. Saya
kalau meriang minum obat ini. Pilek, linu-linu, kepala pusing, pikiran kosong,
hati selalu berprasangka buruk, dan ….”
“Ndoweh ae!”
“Gedange lo ngisan tokno kene!”
“Ndremimil koyok bakul obat ae!”
“Tidak punya pisang saja, Kang.”
“La iki kate diombe kambek opo, ha!”
“Sirahku selak ngelu!”
“Minum obat ya pakai air toh, Kang.”
“Gak kolu.”
“Ha ha ha. He, Kang. Itu kumis sudah seperti pagarnya rumah
Pak Rete. Minum obat kok pakai pisang.”
“Ko tak tungkak lambemu nek ngoceh ae!”
“Tapi saya tidak punya pisang, Kang. Sumpah!”
“Opo tah opo! Roti ta panganan liyo!”
“Nek dodol obat ki yo kudu adol gedange mbarang!”
“Lah! Njenengan, susah orangnya. Marahnya saja yang
dibesar-besarkan.”
Pondi lantas memberikan satu bungkus roti. “Ini.”
“Mbok yo ngono.”
“Mbayar itu, Kang.”
“Jabang bayik! Awakmu gak reti tah nek awakku jek loro. Mbok
yo sodakoh sitik.”
“Ya sudah. Gratis itu!”
“Yo wes. Nek no ngisan lebokno neng utangku seng wingi.”
“Ha?”
“Lapo ha?”
“Gak oleh ta?”
“He he he. Boleh, Kang. Boleh ….”
“Yo wes! Tak balek.”
“Iya, Kang.”
“Hati-hati, Kang.”
Sepeninggal Kuswanoto.
“Semoga kesandung batu!”
“Obat tidak berapa duit kok ya tega-teganya bon!”
“Dasar!”
****
Buka praktek.
Dua hari kemudian. Kuswanoto benar-benar sudah sembuh dari
demam. Bahkan hanya dengan obat warung yang didapatnya dengan berhutang pula.
Dok! Dok! Dok!
Kuswanoto lantas mengantung papan bertuliskan ‘Sembuh bayar Rp.100.000. Tidak sembuh uang
kembali Rp.5.000.000’.
“Modyar gak cocotmu, Din, Samsudin!” batin Kuswanoto yang
berdiri bersedekap dengan memandang plang yang tak jauh dari pintu tersebut.
“Jadi buka praktek, Pak?” tanya Warsinah yang dari semalam
jelas menolak kalau suaminya mau buka
praktek pengobatan menyaingi Dukun Samsudin.
“Wes menengo ae!”
“Gawe kopi kono.”
Warsinah berlalu berlalu dengan menarik sudut bibir.
Kuswanoto lantas meraih HP yang tadi diletakkan di atas
bangku kayu.
“Saiki garek brodcast neng WA.”
“Gawe status neng WA, neng Twitter, mbek neng FB,” gumamnya
dengan mata terus menatap ponsel, sementara jarinya terus bergerak untuk
memberitahukan ini kepada teman dan pengikutnya yang ada di berbagai media
sosial.
“Teknik pemasaranku gak bakal meleset! Bongko gak awakmu,
Din, Samsudin! He he he.”
****
Kabar tersiar begitu cepat. Bunyi notifikasi pesan WA nyaris
terdengar di tiap sudut Bangorejo. Mereka menerima pesan berantai yang
menggiurkan dengan promosi uang kembali.
Ting! (Notifikasi WA).
Ting!
Ting!
Ting!
****
Singkat cerita, rumah Kuswanoto kini penuh sesak oleh orang-orang yang ingin
berobat. Entah karena kebetulan atau
bagaimana, hampir semua pasien yang ia
obati berhasil disembuhkan.
“Niki mahare, Mbah Noto.” Perempuan tua itu menyerahkan mahar
yang diminta sesuai angka yang tertera di papan samping pintu masuk.
Dan begitu seterusnya. Mereka menyerahkan mahar setelah
mendapat mendapatkan air yang sudah dicampur japu mantra dari sang Dukun
Kuswanoto.
Bak kejatuhan pulung, hidup Kuswanoto kini berubah.
****
Nama Kuswanoto sebgai dukun kondang tak ayal sampai juga di
telinga Samsudin.
Samsudin hanya keluar masuk setelah tak ada satu pun orang
yang datang berobat ke rumahnya.
“Kenapa sepi sekali, ya?" tanya Samsudin dalam hati dengan terus
mondar-mandir.
Tak selang lama, datanglah
orang yang biasa membantunya dalam melakukan pengobatan.
Terlihat kalau pembantunya itu mengabarkan apa yang ia dengar.
Dari pembantunya pula akhirnya Samsudin tahu kalau Kuswanoto sekarang buka
praktek pengobatan juga.
“Benar apa yang kamu lihat, ha?”
“Benar. Ramai sekali yang datang, Bos.”
“Pantas rumahku sepi. Ternyata orang-orang memilih berobat ke
sana.”
Tapi tak lama kemudian Samsudin tertawa, seakan-akan mengejek
Kuswanoto yang ia tahu bukan siapa-siapa.
“Memangnya Kang Noto itu dukun sakti, ha? Menyembuhkan
dirinya sendiri saja tidak bisa. Ha ha ha.”
“Bukan masalah sakti atau tidaknya, Bos. Tapi di depan rumah Kang Noto terpajang papan yang bertuliskan, ‘Sembuh bayar
Rp.100.000. Tidak sembuh uang kembali Rp.5.000.000.”
“Benar apa yang kamu katakan, ha!”
“Benar, Bos.”
“Saya lihat sendiri, Bos. Dan anehnya, orang-orang yang
berobat kepada Kang Noto hampir semuanya sembuh.”
“Benar kata-katamu tadi, ha!”
“Benar, Bos.”
Mendengar itu, tiba-tiba muncul sifat penipu Samsudin. Dia
memiliki rencana untuk menipu Kuswanoto.
“Baiklah. Untuk
beberapa hari ke depan, sementara kita
tutup dulu.”
“Biar Kang Noto yang
membuka praktek pengobatan.”
“Memangnya kenapa,
Bos?” tanya pembantunya penasaran.
“Aku punya rencana untuk menipu Kang Noto. Aku pasti akan mendapatkan uang lima juta
itu. Ha ha ha.”
“Tapi bagaimana caranya, Bos?” tanya sang asisten bertambah penasaran.
“Begini … aku akan berobat ke tempat Kang Noto.”
“Aku akan berpura-pura sakit pada indra perasa lidahku.”
“Kalau ditanya sembuh
atau tidak, Bos?” tanya pembantunya.
“O? Tentu saja aku akan
menjawabnya tidak, karena yang tahu
sembuh atau tidaknya toh cuma aku.”
“Dengan begitu, aku bisa dengan mudah mendapatkan uang lima juta itu. Ha ha ha.”
“Bagaimana menurutmu, ha?”
“Ide yang cemerlang, Bos.”
“Tos dulu.”
Plak!
“Ha ha ha. Lima juta!”
“Ha ha ha.”
“Dukun goblok! Ha ha ha.”
****
Singkat cerita datanglah Samsudin ke
rumah Kuswanoto.
“Masuk!” teriak Kuswanoto untuk pasien berikutnya.
Samsudin masuk dengan wajah memelas.
“Walah! Awaku dukun to? Lapo jek nggolek tombo mrene, ha?”
“Iya benar aku dukun paling sakti, Kang. Akan tetapi di
rumahku tidak ada obatnya, makanya aku
datang ke sini.”
“Ladalah. La awakmu ki loro opo, ha?”
“Begini, Kang. Entah kenapa lidahku mati rasa. Aku tidak bisa merasakan apa-apa loh, Kang.”
“Makan sambal tak merasa pedas.”
“Makan garam tak terasa asin. Bahkan minum air gula tak
merasakan manis, Kang.” Samsudin pura-pura
mengeluh di depan sang dukun kondang.
Namun Kuswanoto menangkap firasat kurang baik, bahkan yakin kalau Samsudin hendak
menipunya untuk mendapatkan uang lima juta itu.
“Wingi awakku loro malah mbok apusi. Tuwas duwek simpenanku
seng tak delekno neng peci ludes. Awakku gak bakal iso mbok apusi neh!” ucap
batin Kuswanoto.
Kuswanoto lalu menyuruh Samsudin untuk menunggu sejenak.
Kuswanoto pun segera beranjak dan melangkah menuju ruang
pengobatan.
“Mampus! Aku akan pulang dengan lima juta dan nama kondang Kuswanoto
bakal hancur, dengan begitu, semua orang-orang akan kembali ke rumahku. Ha ha
ha.” Gelak tawa hati Samsudin.
Sementara itu di ruang pengobatan.
Berbagai macam akar, kulit kayu, juga buah-buahan yang
dipercaya bisa menyembuhkan terlihat mengisi beberapa tampah.
Kuswanoto lalu mengambil buah hijau lonjong sebesar ibu jarinya.
Setelah selesai memeras buah tersebut, Kuswanoto kembali
menemui Samsudin.
“Obatnya sudah jadi,” kata Kuswanoto yang hadir dengan
memegang sebuah gelas yang berisi air perasan buah yang diyakini akan
menyembuhkan indra perasa Samsudin yang katanya sakit.
“Ramuan sederhana ini bisa menyembuhkan lidahmu yang mati rasa
itu. Minumlah,” imbuh Kuswanoto.
Tanpa curiga, Samsudin segera menerima gelas dan meminum
isinya.
Wajah Samsudin mendadak berkerut menahan rasa kecut. Lalu ….
“Huek!”
“Kecut sekali, ha!”
“Njenengan mau menipuku, ya!” Samsudin terus mengerutkan dahi
akibat rasa hang masih melekat di lidahnya.
“Ini bukan obat! Ini air
belimbing wuluh yang sangat kecut!” bentak Samsudin emosi.
“Alhamdulillah. Tegese penyakitmu wes mari. Ilatmu wes gak
mati roso.”
“La iku awakmu roh
rasane belimbing wuluh. He he he.”
“Saiki bayar mahare,” imbuh Kuswanoto seraya mengulurkan
tangan untuk meminta mahar senilai Rp.100.000.
Samsudin seketika memegangi kepala. Batinnya keras berkata, “Aduh!
Aku keceplosan! Tapi apa ya mungkin aku sanggup menahan kecutnya perasan
belimbing wuluh, ha! Kang Noto tahu rencanaku kalau aku akan menipunya. Sialan!”
“Ndi mahare! Gek ndang! Pasienku liyone selak ngenteni!”
“Iya, Kang.”
“Ini, Kang.”
“Kalau begitu saya permisi, Kang.”
“Wes mari to loromu?”
“Sudah, Kang.” Samsudin langsung ngacir karena merasa
dipermalukan di hadapan Kuswanoto, terlebih dia gagal untuk mendapatkan lima
juta.”
“Diomongi nek awakku ki dukun kondang kok gak percoyo.”
“Nyatane mari to ilatmu seng jare mati roso. He he he.”
****
Hari berikutnya.
Samsudin kembali mendatangi
Kuswanoto. Percobaan kedua untuk mendapatkan lima juta.
“Monggo. Melebet!” teriak Kuswanoto dari dalam.
“Ladalah! Awakmu meneh?”
“Ha?”
“Tidak.”
“Aku baru kali ini berobat ke sini, Kang.”
“Weh! Mosok?”
“Wingi awakmu rene kate njalok tombo ilatmu seng jare mati
roso. La saiki wes mari ta?”
“Bangsat!” maki Samsudin dalam hati.
“Lihat saja nanti. Aku pasti pulang dengan membawa lima juta.
Ha ha ha,” imbuh batinnya.
Kuswanoto terlihat santai menaggapi Samsudin dengan menyulut
ujung kereteknya.
“Bukan, Kang. Kali ini penyakitnya berbeda,” jawab Samsudin.
“Bayuh! La okeh men penyakitmu ki. Tuku neng ndi jane, he?”
“La terus kate golek tombo opo neh, ha?”
“Tadi pagi aku jatuh dari kamar mandi dan hilang ingatan,
Kang.”
“Yo wes. Entenono sek sedelo. Tak jikokno obate,” jawab Kuswanoto
lalu beranjak menuju ruang pengobatan.
Tak butuh waktu lama, Kuswanoto kini sudah hadir dengan
menyerahkan gelas yang ada di tangannya kepada Samsudin.
“Ki obate. Ombenen.”
“Aku tidak mau meminumnya,” ucap Samsudin.
“Loh! La ginio?”
“Jare pingin mari?”
“Ini, ‘kan perasaan air belimbing wuluh kemarin.”
“Aku tak mau meminumnya.”
“Kecut, Kang. Kecut!”
“Alhamdulillah. Tegese tanpo ngombe, awakmu wes mari saiki.”
“Yo wes saiki bayar
mahare!”
“Sudah sembuh apanya!
Njenengan jangan mengada-ada ya, Kang!”
“Piye to ki awakmu, he? La buktine awakmu jek eling mbek obat
seng wingi tak wei. Iku artine awakmu wes gak ilang ingatan. Wes mari!”
Seketika Samsudin menjitak kepalanya sendiri seraya mengumpat
dalam hati, “Goblok! Goblok! Goblok! Kenapa aku keceplosan lagi, ha!”
“Ndi!” Kuswanoto mengulurkan tangan meminta upah sebagai
mahar.
“Aduh! Gagal maning … gagal maning!” sesal Samsudin dalam
hati.
****
Hari berikutnya.
Kegagalan yang
dialaminya Samsudin membuatnya terus berpikir untuk mendapatkan uang
lima juta yang dijanjikan Kuswanoto bila tak sembuh setelah berobat kepada
dukun kondang itu.
Setelah berpikir keras, akhirnya Samsudin mendapat ide
cemerlang.
Ting!
“Aha! Aku pasti berhasil kali ini.”
“Wo! Jiwo!”
Sontak pembantunya datang menghampiri Samsudin dengan
tergopoh-gopoh.
“Ada apa, Bos?”
“Kamu carikan aku tongkat. Sekarang.”
“Untuk apa, Bos?”
“Tidak usah banyak tanya. Cepat!”
“Baik, Bos.”
Singkat waktu, Samsudin kembali ke rumah Kuswanoto dengan
mengenakan kaca mata hitam dan sebuah tongkat di tangannya.
****
Sementara itu di rumah Kuswanoto.
“Matur nuwun nggeh, Mbah,” ucap satu lelaki yang sedari tadi
duduk bersila di depan Kuswanoto. Dia beranjak dengan sebuah botol berisi
ramuan yang sudah dicampur japa mantra.
“Next!” teriak Kuswanoto untuk pasien berikutnya.
Kuswanoto mendadak terkejut saat melihat Samsudin masuk
dengan tongkat di tangan.
“Ladalah!”
“Awakmu maneh iki.”
“Lungguh!”
Dari balik kacamata hitam yang dipakai, Samsudin melihat Kuswanoto
memasang wajah iba.
Kuswanoto lantas bertanya, “Ginio maneh, he? Loro opo?”
Samsudin menjawab, “Tolong aku, Kang.”
“Tadi pagi aku tak sengaja membentur tiang pintu hingga
mataku buta, Kang.”
“Biyoh. Biyoh!”
“Tolong kasih obatnya, Kang.”
Kuswanoto yang sedari tadi mengamati Samsudin menyadari kalau
itu hanya tipuan.
Kuswanoto tak hilang akal, lalu berkata, “Jal bukaken
koco motomu.”
Samsudin melepas kacamatanya.
“Bayuh! Iki wes parah. Iso-iso coplok motomu ki.”
“Ha! Yang benar, Kang.”
“Iki koyoke wes parah bianget!”
“Apa! Apa artinya saya pulang dengan uang lima juta, Kang,”
girang Samsudin.
“Mampus! Tidak bisa mengobati toh Njenengan. Ha ha ha,” tawa Samsudin
dalam hati.
“Bagaimana, Kang?”
“Koyoke awakku nyerah. Motomu koyoke gak bakal iso diobati
meneh.”
“Artinya aku mendapatkan lima juta, Kang? Iya, Kang?”
“Yo piye neh. Wes janjiku nek mertombo mrene gak mari bakal tak genti duit mahare kambek duit limang yuto.”
“Sek. Entenono sek. Tak
jikoke duite.”
Seperti biasa, Kuswanoto lantas melangkah menuju ruang
pengobatan.
“Yes! Kali ini aku berhasil. Ha ha ha.” Begitu girang hati Samsudin,
hingga tak lama kemudian Kuswanoto muncul dengan plastik hitam di tangannya.
“Iki limang yuto. Iku duit seng wes tak janjekno.”
Samsudin lantas menerima plastik hitam yang berisi uang lima
juta yang sudah dijanjikan, seperti yang tertulis di papan yang ada di pintu
depan Kuswanoto.
Dengan tergesa Samsudin membuka plastik hitam yang ada
ditangannya.
Akan tetapi tiba-tiba dahinya berkerut setelah mengetahui isi
plastik yang diberikan kepadanya.
“Apa ini tidak salah, Kang?”
“Salah? Salah opone.”
“Yo iku limang yuto.”
“Ini uang ribuan, Kang. Dan ini jumlahnya tak mungkin sampai
lima juta!”
“Njenengan, jangan menipuku ya, Kang!”
“He, Wedus!”
“Roh ko endi awakmu nek iku duit ewonan, ha!”
“Roh ko endi awakmu nek iku jumlahe gak sampek limang yuto!”
“Ya Ampun, Kang! Ini uang seribuan!” jawab Samsudin.
“Ini kalau dihitung sudah pasti tidak sampai lima juta!”
imbuhnya lagi dengan emosi karena merasa ditipu oleh Kuswanoto.
“Alhamdulillah. Saiki awakmu wes mari.” Kuswanoto langsung
merebut plastik hitam di tangan Samsudin.
“Maksud Njenengan apa, Kang!”
“Kenapa uangnya diambil kembali, ha!”
“Loh! Piye to awakmu ki, Din! Awakmu wes mari to?”
“Sembuh bagaimana!”
“Jangan coba-coba menipuku ya, Kang!”
“Wes kene gek dibayar mahare. Satus ewu!” sangkal Kuswanoto dengan
kembali mengulurkan tangan.
“Aku tak mau bayar!”
“Njenengan jelas-jelas sudah menipuku! Katanya kalau tidak
sembuh akan dapat lima juta! Mana? Mana buktinya, ha!”
“Lambemu mbeledos iku!”
“Awakmu mrene jare gak iso ndelok, ha!”
“Lapo kok iso ruh nek duit neng plastik iku duit ewonan lan
cacahe gak sampek limang yuto, ha?”
“Tegese motomu wes mari mergo iso ruh nek duit seng tak wehno
iku ewonan, Guoblok!”
Samsudin tak bisa berkata apa-apa lagi. Dengan terpaksa dia
membayar mahar kepada Kuswanoto untuk ketiga kalinya sudah.
Samsudin segera bergegas pulang dengan perasaan malu.
“Kesok reneo meneh golek tombo, yo?”
“Tidak mau! Aku sudah kapok berurusan dengan Njenengan, Kang!”
Samsudin lantas ambil langkah seribu meninggalkan begitu
banyaknya tatap orang-orang yang mengarah kepadanya.
Wing!
Wuzz!
“Eh, temenan kuwe?”
“Jarku sih Samsudin teka mau esih buta mripate? La deneng
mulih-mulih bisa mlayu banter kayak kuwe. Wah, hebat temenan kiye Dukun Kuswanoto,”
ucap Saimun tanpa sadar di antara puluhan orang-orang yang menoleh ke arah debu
beterbangan di mana Samsudin lari tunggang-langgang karena malu.
“Wih! Hebat!”
“Iya, ya.”
“Padahal tadi Samsudin itu datang dalam keadaan buta.”
Terdengar kasak-kusuk akan kehebatan Kuswanoto.
“Kamu lihat, ‘kan? Bahkan Samsudin pulang dengan berlari. Wih!
Hebat!” suara yang lain.
Sementara itu di dalam, Kuswanoto kembali duduk bersila untuk
menerima pasien berikutnya.
“Next!” ucapnya dengan tersenyum.
SELESAI.
No comments:
Post a Comment