Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK TRAGEDI KUTANG TAMAT

 BAB 10

Pukul 18.40.11.

Tok! Tok! Tok!

"Kulanuwun!" (Permisi!).

Warsinah bergegas meninggalkan dapur. Tak mau kejadian terulang tempo hari. Kecerobohannya menyebabkan tempe menjadi gosong.

Dia mematikan kompor sejenak, membiarkan peyek udang kesukaan suaminya dia tiris di atas wajan.

"Kulanuwun!" (Permisi!).

"Monggo!" (Silakan!), sahut Warsinah.

Krek.

"Kang Saimun?"

"Iya, Yuk. Kang Noto ana?" (Iya, yuk. Kang Noto ada?).

"Ada. Silakan masuk dulu."

Warsinah menuju kamar dengan pintu ditutup tirai biru. "Ada Kang Saimun, Pak."

"Kon mlebu rene ae." (Suruh saja ke sini).

Warsinah membalikkan badan, "Kang, disuruh masuk saja. Silakan. Saya mau melanjutkan masak."

Saimun langsung menuju kamar dengan dinding papan yang menyatu sebagai pemisah ruang tamu.

"Lapo, Mun? Awakmu gak ngisan melok njotosi raiku iki, ha." (Kenapa, Mun? Kamu tidak sekalian ikut menghajar mukaku ini, ha).

Saimun menundukkan kepala, tangannya saling remas. Ada rasa yang dia bawa ke hadapan Kuswanoto yang tergeletak di atas tempat tidur.

"Tak bialang gelas ngko nek ngadek ae neng kono. Onok opo?" (Saya lempar gelas nanti kalau hanya berdiri di situ. Ada apa?). Bagai macan ompong, Kuswanoto tak terlihat galak. Bibir bawahnya makin jontor.

"Lungguh." (Duduk).

Kuswanoto mempersilakan Saimun untuk duduk di tepi tempat tidur.

"Sepurane yak, Kang." (Maafkan saya ya, Kang).

"Nyong temenan njaluk sepura mbi, Rika." (Saya sungguh minta maaf dengan, Anda).

"Awakku gak butuh sepuromu. Seng tak butuhno saiki gek ndang mari." (Aku tidak butuh maaf. Yang aku butuh sekarang cepat sembuh).

"Nyong krungu saka kanca-kanca ...." (Saya dengar dari teman-teman ....).

"Koncomu tah iko, he? Koncomu do biajingan kiabeh, Mun!" (Temanmu, he? Temanmu itu bangsat semua, Mun!).

Saimun tertunduk. Matanya sesekali melirik ke arah Kuswanoto yang makin ke sini terlihat bagai singa jantan yang kalah bertarung memperebutkan sang betina, begitu tak berdaya dengan pelipis bengkak lebam.

"Ngowo opo awakmu rene, ha? Nek nggowo opo-opo gek ndang muleho kono, wes roh to kahananku." (Bawa apa kamu ke sini, ha? Kalau tak bawa apa-apa pulang sana. Sudah tahu keadaanku).

"Babak bunyak, Mun, Saimun. Adoh ... adoh." (Babak belur, Mun, Saimun. Aduh ... aduh).

"Aja kayak kuwe lah, Kang. Nyong melu nelangsa weruh kahanane Rika kiye." (Jangan seperti itu, Kang. Saya ikut meratap tahu keadaan Anda, ini).

"Kang?"

"Nyong njaluk sepura tenan kiye. Nyong seng salah." (Saya minta maaf. Saya yang salah).

Kuswanoto yang terus meringis kesakitan seketika menatap Saimun. Segera dia bersandar dengan mengandalkan dua tangan untuk menyangga tubuhnya.

"Kulonuwun!" (Permisi!).

"Kulonuwun!" (Permisi!).

"Kulonuwun!" (Permisi!).

Gaduh suara di halaman rumah, membuat Saimun dan Kuswanoto saling tatap.

Kembali Warsinah dibuat harus mematikan kompor saat suara gaduh menegaskan kalau rumah mereka kedatangan tamu dalam jumlah banyak.

Krek.

"Mau apa lagi kalian ke sini, ha."

Warsinah jelas pasang wajah tak suka atas beberapa orang yang datang. Muka-muka yang dia kenal.

"Kami mau menemui Kang Noto."

"Untuk apa lagi! Belum cukup kalian menyakitinya, ha!" Warsinah mengusap sudut mata, ada yang jatuh menetes.

"Kami ingin bicara dengan Kang Noto, Yuk."

Warsinah tak mengiyakan. Ditatapnya satu persatu wajah-wajah yang tertunduk dalam pendar lampu teras, nyaris menyentuh jumlah tiga puluh.

"Bila kedatangan kalian dengan niat baik, aku persilakan, tetapi bila kalian bukan orang yang aku kenal, maka silakan pulang!"

"Kami ... kami hanya ingin menyampaikan permintaan maaf, Yuk." Samamudin orang yang tadi terus membakar murka untuk mencuat, tertunduk sesaat.

"Masuk."

Samamudin berbalik, menatap satu persatu warga yang dia bawa. Sugito maju diikuti dua warga lainnya.

****

Sesampainya di dalam kamar.

"Lapo neh awakmu rene, ha!" (Kenapa kamu ke sini lagi, ha!). Kuswanoto berusaha bangkit untuk membalaskan dendam atas luka yang dia derita.

"Tunggu ... tunggu dulu, Kang. Kami datang tak bermaksud ingin memperpanjang masalah. Justru kedatangan kami ingin meminta maaf."

"Penak teman lambemu do ngomong ngono! Gak mikir opo, ha! Gak roh kahanananku seng koyok ngene! Biajingan kabeh awakmu!" (Enak benar bibirmu bicara begitu! Tidak berpikir apa, ha! Tidak tahu keadaanku jadi seperti ini! Bangsat kalian semua!).

"Iya, Kang. Saya minta maaf, juga atas nama warga yang ada di luar. Kami semua meminta maaf atas kejadian tadi sore."

"Semua berawal dari cerita Kang Gito."

"Setelah mendengar kejadian itu. Kang Gito menemui saya, bahwa kutang yang Kang Noto berikan kepada Sri murni dari usaha Njenengan, sendiri."

"Iya, Kang. Saya minta maaf. Penyebab semua ini adalah saya, Kang. Saya minta maaf, Kang. Hu hu hu." Sugito mengambur ke tepi tempat tidur, membenamkan wajah dengan menarik paksa tangan Kuswanoto.

"Maafkan saya, Kang. Sungguh saya tak menyangka kalau akan seperti ini kejadiannya."

Kuswanoto tak bisa berkata apa-apa. Sugito, satu nama yang akan selalu di hati, teman baik, teman tempat dia bercerita, teman yang akan siap menemaninya kala dia meminta tolong untuk diantar ke kota.

"Di Masjid kami semua membicarakan masalah ini. Itu setelah Kang Saimun mengakui semua perbuatannya."

"Saimun? Iki opo maksute?" (Saimun? Ini apa maksudnya?).

"Iya, Kang. Peristiwa hilangnya kutang di kampung kita bukan karena ada orang yang menganut ilmu tertentu, atau buat sarat pemujaan tertentu." Samamudin mencoba menjelaskan.

"Sebaiknya biar Kang Saimun sendiri yang menjelaskan," imbuhnya.

"Cerita, Kang," kata Sugito lalu duduk di samping Kuswanoto dengan terus memegangi tangan sahabatnya.

"Nyong seng salah, Kang. Nyong seng nyolongi kutang-kutange wong wadon reng kampunge dewek." (Saya yang salah, Kang. Saya yang mencuri kutang-kutang perempuan di kampung kita).

"Mauatamu picek!" (Matamu buta!).

"Nyong terima. Arep ngunek-ngunekne nyong terima. Dipisuhi nyong tampa. Nyong temenan njaluk sepura ambi Rika, Kang." (Saya terima. Mau berkata apa saya terima. Sumpah serapah saya terima. Saya sungguh minta maaf dengan Anda, Kang).

"Asu kowe, Mun!" (Anjing kamu, Mun!).

"Sudah, Kang. Bagaimana pun dia teman kita. Ada baiknya Njenengan, mendengarkan dulu apa penyebabnya," redam Sugito saat dia merasa tangan Kuswanoto mulai bergetar.

"Gak selamet pitung turunan awakmu! Gawe molo! Gawe dahuru taker awakku babak bunyak!" (Tidak akan selamat tujuh turunan kamu. Buat petaka sampai badanku babak belur!).

"Sudah, Kang. Kami semua sudah meminta maaf, juga Kang Saimun."

"Nyong kepepet temenan. Anake inyong seng neng Cilacap lara. Nyong bingung ... nyong bingung arep sambat reng sapa. Sambat reng Rika, terus-terusan nyong wes kedung isin." (Saya sungguh terjepit. Anak saya yang ada di Cilacap sakit. Saya bingung ... saya bingung mau mengeluh dengan siapa. Mengeluh dengan Anda, saya terlanjur malu).

"Nyong njaluk sepura. Arep dipateni nyong iklas ... iklas, Kang. Hu hu hu." (Saya minta maaf. Mau dibunuh juga saya ikhlas ... ikhlas, Kang. Hu hu hu). Pecah tangis Saimun.

"Kabeh dadi peteng. Nyong ura bisa mikir maning. Golet utangan kiwa tengen pada bae." (Semua menjadi gelap. Saya tidak bisa berpikir lagi. Cari utangan ke tetangga sama saja).

"Nyong mung pingin bisa kirim duit. Hu hu hu." (Saya hanya berkeinginan untuk kirim uang. Hu hu hu).

"Biasane Rika seng sok aweh. Nyong wis gak wani tembung utang. Hu hu hu." (Biasanya Anda, yang sering memberi. Saya sudah tidak berani mengatakannya untuk hutang. Hu hu hu).

"Nyong Rika pateni saiki be iklas. Hu hu hu." (Saya Anda, bunuh sekarang saja sudah ikhlas. Hu hu hu).

Semua larut dengan cerita Saimun. Yang ada di kamar menundukkan wajah, kecuali Kuswanoto yang masih terlihat marah.

"Begini, Kang." Samamudin mencoba meneruskan cerita Saimun yang tadi dia ceritakan sewaktu di Masjid, itu dia lakukan karena melihat kondisi Saimun yang terus menangis karena sesal.

"Dia mencuri kutang-kutang perempuan. Kang Saimun menjualnya, berharap uang yang dia dapat bisa dikirimkan buat anaknya yang sedang sakit."

"Tidak ada orang yang laku pesugihan, tidak ada itu semua. Ini murni perbuatan Kang Saimun."

"Kami semua sudah sepakat untuk memaafkan Kang Saimun, juga meminta dia untuk meminta maaf kepada Njenengan, Kang."

"Payu piro siji ne kutang iko, ha! Payu piro jane sampek awakmu ngorbanke konco! Lapo gak terus terang ambek awakku nek awakmu butuh duit!" (Laku berapa satunya, ha! Laku berapa sebenarnya sampai kamu mengorbankan teman! Kenapa tidak terus terang kepadaku kalau kamu membutuhkan uang!). Kuswanoto kembali meradang, secepat kilat dia menyambar gelas yang berisi teh uwuh, menyiramkannya ke wajah Saimun.

Byor!

Lalu.

Prang!

Gelas pecah terjatuh ke lantai kamar.

"Awakku iki mbok anggep opo, ha!" (Saya ini kamu anggap apa, ha!).

"Mun! Bener awakku ugo wong gak duwe, ning nek perkoro nulung konco kesusahan, opo awakkmu koyok nembe kenal awakku, ha, Biajingan!" (Mun, benar saya ini juga orang yang punya uang, tetapi kalau masalah menolong teman kesusahan apa kamu seperti baru mengenalku, ha, Bangsat!).

"Awakku iso nggolekno utangan duwek sek, nek pancen awakkmu mbutuhno tenanan! Asu!" (Saya bisa mencarikan uang utangan dulu, kalau memang kamu sungguh membutuhkannya! Anjing!).

"Opo awakku gak mbok anggep konco! Ha!" (Apa aku tidak kamu anggap teman! Ha!).

Saimun dengan wajah kuyup oleh siraman teh uwuh segera berlutut di bawah Kuswanoto.

"Nyong ngaku salah, Kang! Nyong seng salah! Hu hu hu." (Saya mengaku salah, Kang! Saya yang salah! Hu hu hu).

"Nyong temenan ura tegel! Nyong ura bisa ngomong reng Rika. Rika wis kadung apik temenan reng Nyonge. Hu hu hu." (Saya sungguh tak tega! Saya tidak bisa bicara kepada, Anda. Anda, sudah terlanjur baik kepada saya. Hu hu hu).

"Nyong ngangur. Rika, sengi kerja." (Saya tidak bekerja. Anda, ajak kerja).

"Nyong sambat. Rika, wis ura itungan. Hu hu hu." (Saya berkeluh kesah. Anda, sudah tak pernah hitung-hitungan. Hu hu hu).

"Nyong temenan njaluk sepura. Hu hu hu." (Saya sungguh minta maaf. Hu hu hu).

"Tak dugang cangkemu kene ngko." (Saya tendang mulutmu nanti).

"Sudah, Kang. Sudah." Sugito kembali mencoba meredam emosi yang masih membuncah.

"Patenono nyong bae lah. Nyong wis ura guna, ura guna! Hu hu hu. Anakke inyong lara be ura bisa kirim, ura bisa tilik. Pateni bae lah nyonge kiye. Pateni bae. Hu hu hu." (Bunuh saja saya. Saya sudah tak berguna! Hu hu hu. Anak saya sakit saja tidak bisa kirim uang, tidak bisa menjenguk. Bunuh saja saya ini. Bunuh saja. Hu hu hu).

Kuswanoto mengembuskan napas berat.

"Mun, awakmu koncoku. Wes tak anggep koyok sedulur lanang nggo awakku, ning neng ngene carane. Polahmu iso nyelakakno uwong!" (Mun, kamu temanku. Sudah seperti saudara sendiri buatku, tetapi tidak seperti ini. Tindakanmu bisa mencelakakan orang!).

"Opo gunanane konco. Awakku kadang ugo sambat mbek awakmu!" (Apa gunanya berteman. Aku juga sering mengeluh denganmu!).

"Sawangen aku. Sawang awakku, Mun!" (Lihat aku. Lihat aku, Mun!).

Saimun yang berlutut di bawah Kuswanoto mendongak, matanya merah oleh tangis. Makin deras begitu melihat keadaan sahabatnya.

"Hu hu hu." Saimun bangkit lalu memeluk Kuswanoto.

"Nyong janji ura arep kaya kiye maning, Kang. Hu hu hu." (Saya berjanji tak akan seperti ini lagi, Kang. Hu hu hu).

"Nyong njaluk sepura seng gede reng Rika, Kang. Hu hu hu." (Saya minta maaf yang besar dengan Anda. Hu hu hu).

Semua makin dalam tertunduk. Rasa persahabatan yang terbentuk dari sikap saling bantu selama ini.

Kejujuran yang terucap, serta pengakuan yang sebenarnya membuat Sugito juga meneteskan air mata.

Bagaimana pun, sekeras apa pun ucapan Kuswanoto. Seputar uang yang terlontar dari mulut Saimun, mereka adalah sahabatnya.

"Ngesok nyong pamit. Nyong arep reng Cilacap. Nyong arep niliki anake nyong. Hu hu hu." (Besok saya pamit. Saya mau ke Cilacap. Saya mau menjenguk anak saya. Hu hu hu). Erat, Saimun tak melepaskan peluk. Kuswanoto tak bisa menolaknya, betapa Saimun sudah lebih dari sahabat.

"Oleh piro nggomu adol kutang sak suwene ki." (Dapat berapa kamu menjual kutang selama ini).

"Rong puluh ewu, Kang. Hu hu hu." (Dua puluh ribu, Kang. Hu hu hu).

Kuswanoto mendorong perlahan tubuh Saimun. Bukan hanya mata, bahkan rambutnya basah oleh teh yang dia siram.

"Git, jupukno peciku iko." (Git, ambilkan peci itu). Kuswanoto menunjuk peci hitam yang tak jauh dari pintu.

"Ini, Kang." Sugito menyerahkan peci hitam lusuh.

Kuswanoto membukanya, tampak dua lembar rupiah berwarna merah sudah di tangannya.

"Ki, nggo sangu. Awakku gak iso nyangoni okeh. Iki duwek simpenanku." (Ini, buat bekal. Aku tak bisa memberimu banyak. Ini uang simpananku).

"Hu hu hu." Saimun menggeleng.

"Lo, tampanono!" (Loh, terima!).

"Ura usah, Kang. Hu hu hu. Rika, wis ...." (Tidak usah, Kang. Hu hu hu. Anda, sudah ....).

"Mun, awakmu koncoku duk, ha! Awakmu nganggep awakku koncomu gak!" (Mun, aku temanmu bukan, ha! Kamu menganggap aku temanmu tidak!).

Saimun mengangguk.

"Tampanono. Tak roso cukup nek gur sampek neng Cilacap. Ncen gak okeh, tapi iki wujud roso kekancanan mbek awakmu." (Terima. Saya rasa cukup kalau hanya sampai Cilacap. Memang tak banyak, tetapi ini wujud rasa pertemanan denganmu).

"Sudah, Kang. Terima saja," kata Sugito.

"Hu hu hu. Maturnuwun, Kang. Maturnuwun. Hu hu hu." (Hu hu hu. Terima kasih, Kang. Terima kasih. Hu hu hu). Saimun lalu mengambur dengan memeluk kembali Kuswanoto.

"Aku ada rezeki sedikit," ucap Samamudin, meletakkan uang di atas meja.

Pluk!

Diikuti dua lainya.

Pluk!

Pluk!

Samamudin lalu memilih keluar, menyampaikan kejujuran Saimun untuk bisa berangkat menjenguk anaknya.

Kasak-kusuk serentak saat masing-masing yang mendengar pengakuan itu dari luar, mengeluarkan uang dari saku-saku mereka.

"Wes gak usah nangis. Kesok nek kate mangkat, yo mangkato," (Sudah tidak usah menangis. Besok kalau mau berangkat, berangkatlah), bisik Kuswanoto, membuat Saimun makin tak bisa menahan kesedihan dalam peluk Kuswanoto.

"Oh, Kang Noto. Hu hu hu."

SEKIAN

CERKAK: TRAGEDI KUTANG ©Kuswanoto3


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search