CERKAK PUTU BAB 1
BAB 1
“klek!”
“Lha … sampun
terang nggeh Pakde,” ujar petugas yang mengenakan seragam dengan tulisan PLN.
Lelaki yang di
panggil Pakde itu tersenyum seraya melihat bola lampu yang berpendar putih.
Tampak juga seorang perempuan berkebaya di balut jarik di sampingnya.
Dua orang
berseragam itu lalu memasukan peralatan yang dia bawa sebelumnya kedalam tas
hitam lusuh.
“Ini kartu
tokennya, bonus pulsa di meteran sepuluh ribu, lha nanti kalau berbunyi,
Njenengan tinggal beli pulsa listriknya menggunakan nomer token ini nggeh,”
ucap petugas berambut ikal ini ramah.
“Kalau begitu
kami pamit,” ucapnya lagi.
“Maturnuwun
nggeh pak?” ujar perempuan berkebaya sembari memandang suami di sampingnya, dan
lelaki itu hanya tersenyum.
“Bade wangsul
teng kantor nopo taseh pasangan maleh,” ucap sang lelaki yang hanya mengenakan
sarung, kepada dua orang yang sudah mulai berkemas.
“Mau pasang
beberapa rumah yang kebetulan juga tidak jauh dari sini,” jawab petugas PLN,
lalu berdiri hendak pamit.
“Pun nggeh, kami
berdua langsung pamit,” kata seorang petugas yang sudah berdiri di ambang
pintu.
“Monggo …
monggo, duh maturnuwun lo nggeh,” perempuan itu mengantar kepergian mereka
dengan berdiri di depan pintu.
“Greenng,
greeng,” suara motor bebek dengan strip merah pada sisi badan motor di bawah
jok.
Satu petugas
yang duduk di belakang itu tersenyum seraya menganggukkan kepala kepada
sepasang suami istri yang juga tersenyum ke arahnya. Lalu motor pun melaju
meninggalkan halaman rumah papan itu.
Di sebelah kanan
kiri atas pintu, kini sudah terpasang meteran listrik, tertera nama Kuswanoto
pada bagian bawah panel yang berisi jumlah setrum.
“Alhamdulillah
Pakne, rumah kita sudah terang, dan ndak lagi pakai lampu minyak,” ucap
perempuan paruh baya itu sambil memandangi raungan kecil yang menjadi ruang
tamu.
”Lha iya to
Makne, kira-kira habis berapa Sekar memasangkan kita lampu seperti ini,” ucap
suaminya seraya membalikkan badan, memandangi istrinya dengan rona bahagia.
“Yo emboh Pakne,
lha sampeyankan tahu sendiri anakmu itu, sudah tak bilangan ndak usah, masih
saja ngeyel untuk memasang listrik di rumah kita,”gerutu sang istriitu, lalu
meninggalkan suaminya yang masih berdiri di depan pintu, menuju dapur.
“Lha katanya Sekar juga mau membelikan kita tipi, bener to itu
Makne?” kata lelaki itu dengan sedikit menggulung sarungnya.
“Mbok ya ndak usah ngarep anak begitu to Pakne, kalau ada uang nanti
kita bisa beli tipi sendiri,” ucap perempuan itu dari dapur yang menyatu dengan
ruangan belakang.
“Yo gur takon,” kata sang suami datar. Terlihat dia menuju sebuah
lemari kayu dengan satu laci besar di tengahnya. Mata keruhnya mencari-cari
sesuatu yang berada di dalam laci.
“Mak … Makne! Duitku yang ku taruh di sini mana!” teriaknya.
“Duit opo neh to Pak,” ucap perempuan itu tergopoh-gopoh keluar dari
dapur.
“Duit yang biasa aku simpan di laci, mana?” kata lelaki itu seraya
menoleh karah istrinya yang tampak meraih sesuatu dari atas lemari.
“Duit untuk apa,” tanya istrinya yang sudah memegang dompet kecil
berwarna cokelat.
“Udut … udutku entek,” jawabnya seraya melongok ke arah isi dompet.
“Lha itu banyak duitmu Makne, sekalian lah beli dua bungkus,” pinta
sang suami.
“Enak ae, ini duit di kasih Sekar untuk pegangan beli bumbon, rokok
terus, rokok terus, ludes duitku,” perempuan itu menggerutu dengan bibir
cemberut.
“Wes kono tukokno sekalian neng warung,” perintah sang suami.
“Penggaeanku jek okeh! Lha yo mbok beli sendiri, ini!” kata istrinya
seraya menyerahkan dua lembar uang kertas berwarna hijau.
****
Rumah yang berada paling ujung dari jalan tanah puru yang terputus
itu memang sudah lama di tinggali pasangan Kuswanoto dan Warsinah, terdapat
sebatang tiang besi di sisi pohon kelapa hijau yang mulai mengeluarkan manggar
dari mancung yang berwarna hitam kehijauan. Kabel sambungan rumah sudah terpasang dan
langsung terhubung dengan meteran yang berkedip mengeluarkan warna hijau di
sisi atas pintu rumah.
“Wadoh, sudah pasang lampu Mbak Yu,” tanya seorang perempuan yang
menghampiri Warsinah dari arah jalan setapak di belakang rumah.
“Alhamdulillah Yu,” jawab Warsinah segera meletakan baskom yang
berisi kembang kates.
“Lha yo penak to sampeyan sekarang, sudah pasang listrik, apa-apa
nanti tinggal colok,” kata perempuan yang mengenakan capil itu duduk di bale
bambu kecil yang ada di emperan dapur.
“Sampeyan ini bisa saja Yu,” ujar Warsinah seraya meraih sapu lidi
yang ada di atas tikar siwalan.
“Eh bener lo Yu, coba saja nanti sampeyan kalau ndak kepingin kipas
angin, mejik kom, mesin cuci, weee … hidup itu jadi lebih gampang lo Yu,”
cerocos perempuan itu, lalu duduk di bale bambu.
“Apa sampeyan ndak kepingin kayak Yu Darsi, barang-barangnya serba
main colok, malah kemarin baru beli ac lo Yu,” tambahnya.
“Biar saja to Yu Jem, lha wong sudah ndak pakai damar saja sudah bersyukur,
lagi pula kalau bukan karena Sekar, ya ndak mungkin bisa pasang listrik,” ucap
Warsinah merendah.
“Sampeyan itu bersyukur lo Yu punya anak seperti Sekar, punya usaha
jual perabotan di pasar, belum lagi suaminya yang bekerja di kapal keruk,” ujar
Paijem sambil membetulkan letak jarik yang melingkar di kedua bahunya.
“Ya sudah Yu, aku mau langsung pamit,” kata Paijem bergegas berdiri.
“kok ke buru-buru to Yu?” ucap Warsinah yang juga beranjak.
“Iya Yu, dari ngantar nasi bapaknya tole, di rumah juga belum
beresan, mari Yu pareng.”
Warsinah hanya berdiri seraya menggeleng, “Yu Jem … Yu Jem,”
gumamnya.
“Tiiitt … Titttt ….” Suara klakson mobil.
“Nggeh…!” teriak Warsinah, lalu tergopoh menuju ruang depan.
“Rumah Pak Kuswanoto nggeh,” tanya orang yang masih duduk di belakang
kemudi mobil.
“Nggeh Pak, ada apa ya?” jawab Warsinah terlihat bingung mendapati
benda yang berada di bak mobil. Tertulis mesin cuci pada sisi kardus yang
seukuran lemari di ruangan belakang.
“Antar mesin cuci bu,” kata lelaki itu menyerahkan selembar kertas
berwarna putih setelah turun dari mobil sebelumnya.
“Tapi saya ndak pesen mesin cuci ki Pak?” ucap Warsinah seraya
menyerahkan kembali kertas tersebut.
“Saya hanya mengantar barang bu? Dan itu di tujukan ke alamat sini,”
ucap lelaki itu menolak menerima kembali nota pembelian.
“Lha terus siapa yang beli,” Warsinah masih terlihat belum mengerti.
“Itu yang beli namanya Sekar, dan barang ini di tujukan ke rumah ibu,”
kata lelaki itu segera melepas tali yang mengikat mesin cuci.
Warsinah hanya terdiam, betapa Sekar sudah mewujudkan impiannya,
dulu sewaktu dia mengutarakan keinginannya untuk mempunyai mesin cuci kalau
sudah ada listrik.
“Jo … Paijo, buka tali yang ini Jo,” teriak lelaki gendut berkaus
putih itu kepada satu rekannya.
Warsinah menyisi dua langkah kesamping saat dua orang itu membawa
mesin cuci yang masih terbungkus ke dalam rumahnya.
Sedikit perih di hatinya, susah sekali menemui anak perempuannya,
itu juga kalau Warsinah pergi ke pasar di antar suaminya, baru bisa menjumpai
sang anak. Tetapi Warsinah sadar, Sekar bukan lagi gadis manja yang dulu masih
suka tidur di belakangnya, dan membuat sang Bapak harus sedikit ketepi.
Sekar sudah menjadi perempuan sibuk yang harus bolak-balik ke
jakarta untuk membeli perabotan yang akan dia jual kembali, itu yang membuat
Warsinah sedikit mengelus dada. Susah sekali mendapatkan waktu untuk bersama.
“Yo biar saja to Makne, kalau kangen yo kita kesana saja, Sekar itu
sekarang sudah jadi bos perabot paling besar di pasar lo Makne,” kata Kuswanoto
mencoba menghiburnya kala itu, sewaktu Warsinah merasa kangen akan hadirnya
anak perempuan satu-satunya.
“Iya Pakne, trus bagaimana keadaan cucu-cucuku, Mbahnya ini juga
kangen,” ucap Warsinah datar.
“Nanti kapan-kapan kita main ke rumahnya, wes! Gak usah cemberut ae,
langite melok mendung ko, njur udan!” canda Kuswanoto membuat Warsinah sedikit
lega, ada senyum bahagia di sudut bibirnya, Kuswanoto lelaki ndableg, yang
kadang membuatnya tambah jengkel, tetapi juga kadang membuatnya tersenyum akan
polah dan candanya. Kuswanoto, orang tempatnya mengabdi, juga satu-satunya
sandaran hidup dalam mengarungi masa tua.
Sekar kecil yang sering dia gendong, di buai dalam setiap tidur di
dekapannya, kini semakin susah di temui, ke pasar pun, Warsinah seperti tak
mendapat waktu banyak, melihat Sekar begitu sibuk oleh pembeli yang datang,
walaupun sudah di bantu tiga orang pekerja.
“Bu … sudah saya letakkan di dalam,” kata lelaki itu mengejutkan
Warsinah akan lamunannya.
“O nggeh Pak, maturnuwun,” jawab Warsinah sontak terkaget.
“Ibu tahu cara pakainya to,” ujar lelaki itu lagi.
Warsinah lalu menggeleng.
“Ada di dalam kardus cara pakai, di buku petunjuknya ya bu, tugas
kami sudah selesai mengantar barang pesanan, kalau begitu kami langsung pamit,”
ucap lelaki itu seraya masuk kembali kedalam mobil hitam dengan bak terbuka.
Warsinah masuk sesudah mobil itu berlalu meninggalkan halamannya.
Mimpinya untuk mempunyai mesin cuci terkabul sudah, dan tak lagi harus mengerek
timba dan menggilas baju di papan penggilasan.
No comments:
Post a Comment