Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK PUTU BAB 1

 


BAB 1

“klek!”

“Lha … sampun terang nggeh Pakde,” ujar petugas yang mengenakan seragam dengan tulisan PLN.

Lelaki yang di panggil Pakde itu tersenyum seraya melihat bola lampu yang berpendar putih. Tampak juga seorang perempuan berkebaya di balut jarik di sampingnya.

Dua orang berseragam itu lalu memasukan peralatan yang dia bawa sebelumnya kedalam tas hitam lusuh.

“Ini kartu tokennya, bonus pulsa di meteran sepuluh ribu, lha nanti kalau berbunyi, Njenengan tinggal beli pulsa listriknya menggunakan nomer token ini nggeh,” ucap petugas berambut ikal ini ramah.

“Kalau begitu kami pamit,” ucapnya lagi.

“Maturnuwun nggeh pak?” ujar perempuan berkebaya sembari memandang suami di sampingnya, dan lelaki itu hanya tersenyum.

“Bade wangsul teng kantor nopo taseh pasangan maleh,” ucap sang lelaki yang hanya mengenakan sarung, kepada dua orang yang sudah mulai berkemas.

“Mau pasang beberapa rumah yang kebetulan juga tidak jauh dari sini,” jawab petugas PLN, lalu berdiri hendak pamit.

“Pun nggeh, kami berdua langsung pamit,” kata seorang petugas yang sudah berdiri di ambang pintu.

“Monggo … monggo, duh maturnuwun lo nggeh,” perempuan itu mengantar kepergian mereka dengan berdiri di depan pintu.

“Greenng, greeng,” suara motor bebek dengan strip merah pada sisi badan motor di bawah jok.

Satu petugas yang duduk di belakang itu tersenyum seraya menganggukkan kepala kepada sepasang suami istri yang juga tersenyum ke arahnya. Lalu motor pun melaju meninggalkan halaman rumah papan itu.

Di sebelah kanan kiri atas pintu, kini sudah terpasang meteran listrik, tertera nama Kuswanoto pada bagian bawah panel yang berisi jumlah setrum.

“Alhamdulillah Pakne, rumah kita sudah terang, dan ndak lagi pakai lampu minyak,” ucap perempuan paruh baya itu sambil memandangi raungan kecil yang menjadi ruang tamu.

”Lha iya to Makne, kira-kira habis berapa Sekar memasangkan kita lampu seperti ini,” ucap suaminya seraya membalikkan badan, memandangi istrinya dengan rona bahagia.

“Yo emboh Pakne, lha sampeyankan tahu sendiri anakmu itu, sudah tak bilangan ndak usah, masih saja ngeyel untuk memasang listrik di rumah kita,”gerutu sang istriitu, lalu meninggalkan suaminya yang masih berdiri di depan pintu, menuju dapur.

“Lha katanya Sekar juga mau membelikan kita tipi, bener to itu Makne?” kata lelaki itu dengan sedikit menggulung sarungnya.

“Mbok ya ndak usah ngarep anak begitu to Pakne, kalau ada uang nanti kita bisa beli tipi sendiri,” ucap perempuan itu dari dapur yang menyatu dengan ruangan belakang.

“Yo gur takon,” kata sang suami datar. Terlihat dia menuju sebuah lemari kayu dengan satu laci besar di tengahnya. Mata keruhnya mencari-cari sesuatu yang berada di dalam laci.

“Mak … Makne! Duitku yang ku taruh di sini mana!” teriaknya.

“Duit opo neh to Pak,” ucap perempuan itu tergopoh-gopoh keluar dari dapur.

“Duit yang biasa aku simpan di laci, mana?” kata lelaki itu seraya menoleh karah istrinya yang tampak meraih sesuatu dari atas lemari.

“Duit untuk apa,” tanya istrinya yang sudah memegang dompet kecil berwarna cokelat.

“Udut … udutku entek,” jawabnya seraya melongok ke arah isi dompet.

“Lha itu banyak duitmu Makne, sekalian lah beli dua bungkus,” pinta sang suami.

“Enak ae, ini duit di kasih Sekar untuk pegangan beli bumbon, rokok terus, rokok terus, ludes duitku,” perempuan itu menggerutu dengan bibir cemberut.

“Wes kono tukokno sekalian neng warung,” perintah sang suami.

“Penggaeanku jek okeh! Lha yo mbok beli sendiri, ini!” kata istrinya seraya menyerahkan dua lembar uang kertas berwarna hijau.

****

Rumah yang berada paling ujung dari jalan tanah puru yang terputus itu memang sudah lama di tinggali pasangan Kuswanoto dan Warsinah, terdapat sebatang tiang besi di sisi pohon kelapa hijau yang mulai mengeluarkan manggar dari mancung yang berwarna hitam kehijauan.  Kabel sambungan rumah sudah terpasang dan langsung terhubung dengan meteran yang berkedip mengeluarkan warna hijau di sisi atas pintu rumah.

“Wadoh, sudah pasang lampu Mbak Yu,” tanya seorang perempuan yang menghampiri Warsinah dari arah jalan setapak di belakang rumah.

“Alhamdulillah Yu,” jawab Warsinah segera meletakan baskom yang berisi kembang kates.

“Lha yo penak to sampeyan sekarang, sudah pasang listrik, apa-apa nanti tinggal colok,” kata perempuan yang mengenakan capil itu duduk di bale bambu kecil yang ada di emperan dapur.

“Sampeyan ini bisa saja Yu,” ujar Warsinah seraya meraih sapu lidi yang ada di atas tikar siwalan.

“Eh bener lo Yu, coba saja nanti sampeyan kalau ndak kepingin kipas angin, mejik kom, mesin cuci, weee … hidup itu jadi lebih gampang lo Yu,” cerocos perempuan itu, lalu duduk di bale bambu.

“Apa sampeyan ndak kepingin kayak Yu Darsi, barang-barangnya serba main colok, malah kemarin baru beli ac lo Yu,” tambahnya.

“Biar saja to Yu Jem, lha wong sudah ndak pakai damar saja sudah bersyukur, lagi pula kalau bukan karena Sekar, ya ndak mungkin bisa pasang listrik,” ucap Warsinah merendah.

“Sampeyan itu bersyukur lo Yu punya anak seperti Sekar, punya usaha jual perabotan di pasar, belum lagi suaminya yang bekerja di kapal keruk,” ujar Paijem sambil membetulkan letak jarik yang melingkar di kedua bahunya.

“Ya sudah Yu, aku mau langsung pamit,” kata Paijem bergegas berdiri.

“kok ke buru-buru to Yu?” ucap Warsinah yang juga beranjak.

“Iya Yu, dari ngantar nasi bapaknya tole, di rumah juga belum beresan, mari Yu pareng.”

Warsinah hanya berdiri seraya menggeleng, “Yu Jem … Yu Jem,” gumamnya.

“Tiiitt … Titttt ….” Suara klakson mobil.

“Nggeh…!” teriak Warsinah, lalu tergopoh menuju ruang depan.

“Rumah Pak Kuswanoto nggeh,” tanya orang yang masih duduk di belakang kemudi mobil.

“Nggeh Pak, ada apa ya?” jawab Warsinah terlihat bingung mendapati benda yang berada di bak mobil. Tertulis mesin cuci pada sisi kardus yang seukuran lemari di ruangan belakang.

“Antar mesin cuci bu,” kata lelaki itu menyerahkan selembar kertas berwarna putih setelah turun dari mobil sebelumnya.

“Tapi saya ndak pesen mesin cuci ki Pak?” ucap Warsinah seraya menyerahkan kembali kertas tersebut.

“Saya hanya mengantar barang bu? Dan itu di tujukan ke alamat sini,” ucap lelaki itu menolak menerima kembali nota pembelian.

“Lha terus siapa yang beli,” Warsinah masih terlihat belum mengerti.

“Itu yang beli namanya Sekar, dan barang ini di tujukan ke rumah ibu,” kata lelaki itu segera melepas tali yang mengikat mesin cuci.

Warsinah hanya terdiam, betapa Sekar sudah mewujudkan impiannya, dulu sewaktu dia mengutarakan keinginannya untuk mempunyai mesin cuci kalau sudah ada listrik.

“Jo … Paijo, buka tali yang ini Jo,” teriak lelaki gendut berkaus putih itu kepada satu rekannya.

Warsinah menyisi dua langkah kesamping saat dua orang itu membawa mesin cuci yang masih terbungkus ke dalam rumahnya.

Sedikit perih di hatinya, susah sekali menemui anak perempuannya, itu juga kalau Warsinah pergi ke pasar di antar suaminya, baru bisa menjumpai sang anak. Tetapi Warsinah sadar, Sekar bukan lagi gadis manja yang dulu masih suka tidur di belakangnya, dan membuat sang Bapak harus sedikit ketepi.

Sekar sudah menjadi perempuan sibuk yang harus bolak-balik ke jakarta untuk membeli perabotan yang akan dia jual kembali, itu yang membuat Warsinah sedikit mengelus dada. Susah sekali mendapatkan waktu untuk bersama.

“Yo biar saja to Makne, kalau kangen yo kita kesana saja, Sekar itu sekarang sudah jadi bos perabot paling besar di pasar lo Makne,” kata Kuswanoto mencoba menghiburnya kala itu, sewaktu Warsinah merasa kangen akan hadirnya anak perempuan satu-satunya.

“Iya Pakne, trus bagaimana keadaan cucu-cucuku, Mbahnya ini juga kangen,” ucap Warsinah datar.

“Nanti kapan-kapan kita main ke rumahnya, wes! Gak usah cemberut ae, langite melok mendung ko, njur udan!” canda Kuswanoto membuat Warsinah sedikit lega, ada senyum bahagia di sudut bibirnya, Kuswanoto lelaki ndableg, yang kadang membuatnya tambah jengkel, tetapi juga kadang membuatnya tersenyum akan polah dan candanya. Kuswanoto, orang tempatnya mengabdi, juga satu-satunya sandaran hidup dalam mengarungi masa tua.

Sekar kecil yang sering dia gendong, di buai dalam setiap tidur di dekapannya, kini semakin susah di temui, ke pasar pun, Warsinah seperti tak mendapat waktu banyak, melihat Sekar begitu sibuk oleh pembeli yang datang, walaupun sudah di bantu tiga orang pekerja.

“Bu … sudah saya letakkan di dalam,” kata lelaki itu mengejutkan Warsinah akan lamunannya.

“O nggeh Pak, maturnuwun,” jawab Warsinah sontak terkaget.

“Ibu tahu cara pakainya to,” ujar lelaki itu lagi.

Warsinah lalu menggeleng.

“Ada di dalam kardus cara pakai, di buku petunjuknya ya bu, tugas kami sudah selesai mengantar barang pesanan, kalau begitu kami langsung pamit,” ucap lelaki itu seraya masuk kembali kedalam mobil hitam dengan bak terbuka.

Warsinah masuk sesudah mobil itu berlalu meninggalkan halamannya. Mimpinya untuk mempunyai mesin cuci terkabul sudah, dan tak lagi harus mengerek timba dan menggilas baju di papan penggilasan.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search