Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK TRAGEDI KUTANG BAB 9

 BAB 9

"Astagfirullah Al Azim? Benar itu, Pak Rete?"

"Tidak, Ustaz. Sungguh bukan saya pelakunya."

"Kalian semua, dengar! Kalau ingin mengadili seseorang, jangan pernah mendengar satu pihak saja. Pertemukan, dengarkan dua pihak, lalu bisa kalian simpulkan sendiri akar permasalahannya. Jangan seperti warga net urakan yang sudah tak lagi memegang rasa saling menghormati!"

"Jangan dibiasakan menyebar hoak! Astagfirullah Al Azim. Hanya karena pesan di media sosial, kalian mudah sekali terpancing, tanpa mau mencari kebenaran dari berita tersebut! Astagfirullah Al Azim."

"Kita baru mendengar cerita dari satu pihak, dan sudah barang tentu, satu pihak tertuduh juga mempunyai hak untuk satu pembelaan!"

"Apalagi ini hanya kabar desas-desus! Ini bukan tindak kriminal. Kenapa kalian ini urakan seperti ini, ha? Astagfirullah Al Azim."

"Sekarang kalian tenang. Duduk. Silakan duduk!" Ustaz Sopyan ambil kendali kini.

"Benar yang mereka tuduhkan itu?"

"Demi Allah, Ustaz. Bukan saya pelakunya." Pak RT terus memegangi pipi yang lebam, bahkan bibir juga sudah terlihat dubur ayam yang akan bertelur.

"Lalu itu semua, apa!" Satu warga menunjuk plastik hitam.

"Astagfirullah Al Azim, Pak RT?"

"Demi Allah, Ustaz. Saya bisa jelaskan itu," bela Pak RT dari prasangka Ustaz Sopyan.

"Lalu itu semua untuk apa? Sudah jelas itu isinya kutang-kutang istri kami. Masih saja mungkir!"

"Sudah! Sudah! Beri kesempatan RT kalian untuk menjelaskan," lerai Ustaz Sopyan.

"Kutang-kutang itu saya beli di pasar, Ustaz. Saya sangat malu dengan kejadian di kampung kita ini. Saya malu kalau berita ini menyebar sampai ke Kantor Desa."

"Saya sudah sepakat dengan istri saya. Rencananya nanti di acara Majelis Taklim, istri saya akan membagikan ini."

"Itu wujud rasa peduli kami kepada warga, khususnya ibu-ibu."

"Saya sangat mengerti. Harganya tidaklah seberapa, tetapi di zaman seperti sekarang ini, mungkin satu atau dua kutang sangat berarti bagi ibu-ibu yang kesehariannya sebagai buruh unduh."

"Saya pulang dari pasar, mengambil pesanan, dan sesampainya di tikungan menuju kampung kita, bensin motor saya habis. Keadaan masih gelap, mana mungkin ada warung yang sudah buka."

"Saya memutuskan untuk menitipkan motor saya dulu di rumah Sembodo, mantunya Pak Bambang."

"Mengambil jalan pintas untuk segera sampai rumah. Saya memilih untuk ambil terobosan, tak jauh dari gardu ronda."

"Saya berlari ketakutan setelah yakin kalau di belakang saya ada yang terus mengikuti."

"Saya pikir itu adalah orang jahat yang bisa saja mencelakai saya."

"Oalah ...." Terdengar kompak dari semua mulut warga.

"Sudah jelas, toh?"

"Saya minta maaf, Pak Rete," ucap Sugito menjabat tangan Pak RT.

"Aduh, duh ... duh." Pak RT mengerang saat dirasa tangannya juga sakit.

"Saya juga minta maaf, Pak Rete." Samamudin berjiwa ksatria, meminta maaf akan segala tindak dan ucapannya.

"Maafkan kami, Pak RT." Kompak, bahkan terdengar seperti anak TK yang memberikan salam selamat pagi pada Bu Guru.

"Saya juga meminta maaf kepada semua warga, karena telah menyebarkan pesan di WA." Sugito merapatkan tangan, tanda dia sungguh meminta maaf kepada segenap warga yang hadir.

"Sama-sama, Pak Gito." Kali ini terdengar seperti anak TK yang berucap salam ketika akan meninggalkan kelas.

"Lalu? Kutang yang diberikan Kang Noto kepada Sri. Itu milik siapa? Kang Sugito yang menceritakannya tadi."

Plok!

Sugito menepuk jidat.

"Aduh! Kenapa aku tadi menceritakannya. Padahal Kang Noto semalam sudah menceritakan perkara hadiah kutang untuk Sri," sesal Sugito dalam hati.

"Berarti pelaku selama ini adalah Kang Noto. Itu buktinya dia memberikan kutang itu kepada ibunya Aji," sulut Samamudin lagi.

"Anu ... eh. Anu ...."

"Sudahlah, Kang Gito. Kami tahu kalau Sampean, sangat berteman baik dengan Kang Noto, tetapi kalau masalah ini tidak selesai juga, akan sampai kapan kampung menjadi resah, ha!"

"Iya!"

"Geledah saja rumah Kang Noto! Setuju tidak, Sedulur-sedulur!"

"Setuju!"

"Setuju!"

"Setuju!"

"Setuju!"

"Tunggu! Jangan main hakim sendiri. Kita datang untuk mencari kebenaran, bukan serta merta menuduh Kang Noto adalah pelakunya."

"Halah! Wes ora usah kokean muni! Ayo! Moro neng omahe Kang Noto!" (Halah! Sudah tidak usah banyak bunyi! Ayo! Berangkat ke rumahnya Kang Noto!).

"Ayo!"

"Ayo!"

"Ayo!"

"Tunggu!" Terlambat bagi Sugito untuk menceritakannya.

Warga yang kembali disulut amarah sudah bergerak menuju rumah Kuswanoto.

"Bagaimana ini, Ustaz?"

"Sebaiknya Pak Rete, tidak usah ikut. Lihat keadaan Pak Rete, sekarang. Biar saya yang akan menenangkan mereka," jawab Ustaz Sopyan.

"Ayo," ajak Ustaz Sopyan kepada Sugito.

****

Pukul 08.25.18.

"Uwes ugung toh, Mak?" (Sudah belum, Mak?)

"Barang tumpul, tapi tajamnya minta ampun!" rutuk Warsinah, terus memasukkan jarum dengan benang di bagian selangkang celana suaminya, sobek sejengkal.

"Semua barang jadi sobek! Sudah tahu saya ini mau buruh unduh! Jadi kesiangan!" terdengar sedikit kesal.

"Tidak celana, tidak ...."

"Kok ngomong malah ngalor ngidul," (Kok bicara malah ke utara ke selatan), potong Kuswanoto, seraya jegang dengan menjepit rokok.

"Wong dasare wes suwek kok nyalahno wong lanang," (Dasarnya sudah sobek kok menyalahkan orang laki), imbuhnya dengan memasukkan ujung keretek ke mulut.

"Makanya itu dijaga!"

"Lo, lo. Kok malah ngomongno manuk toh iki." (Lo, lo. Kok malah membicarakan itu).

"Halah. Aku sudah tahu semua."

"Roh opo? Mben bengi yo roh to? La wong sering mbok unyel-unyel kok, yo." (Tahu apa? Tiap malam juga tahu? Kamu sering memeganginya kok, ya).

"Bukan itu!"

"La terus opo?" (Lalu apa?)

"Sri!"

"Sri?" Raut wajah Kuswanoto berubah saat nama itu disebut.

"Tidak usah pura-pura, ya, Pak 'e! Aku tahu kalau itu Njenengan, sering terbang ke sana." Warsinah terus mencoba sabar memasukkan dan menarik benang.

"Jare sopo! Hawong anuku angkrem, gak trunyukan sampek kono!" (Kata siapa! Ituku tidak ke mana. Tidak keluyuran sampai sana!).

"Aku dengar sendiri dari ibu-ibu yang rumahnya tak jauh dari rumah Sri. Njenengan, sering menemui janda itu malam-malam. Iya, 'kan?"

"Ah, ngawor! Angger bengi awakku jogo kantor deso, kok!" (Ah, mengawur! Kalau malam aku jaga kantor desa!).

"Jaga kantor desa apa jaga janda, he?"

"Lo? Rak ngajak padu neh to iki." (Lo? Malah mengajak ribut lagi, 'kan).

"Dari dulu kok tidak berubah-ubah, masih saja suka melirik janda. Aku ini kurang apa toh? Tak bantu bekerja untuk mencukupi semua kebutuhan, selalu mendoakan ...."

"Rondo yo ndugakno." (Janda juga mendoakan). Enteng sambar Kuswanoto.

"Mendoakan apa? Mendoakan semoga datang lagi? Iya? Iya, toh?"

"Iki kok malah ngomongno janda-jandaan toh, Mak." (Ini kok malah membicarakan para janda toh, Mak).

"Malas aku sama, Njenengan." Warsinah terlihat merengut.

"Ayune rek nek mbesengut ngono iku. He he he." (Cantiknya kalau merengut seperti itu. He he he).

"Jengkel, mangkel hatiku."

"Hawong jare, gur jare kok. Iku padune wong iku ngesir bojomu iki, Mak 'e. Dadi wadul seng gak ogak. Ko nek dewe bubar bebrayan, pesti wong wedok seng wadul mau terus nembak bojomu seng bagus iki, iyo to, Mak 'e." (Hanya katanya, cuma katanya. Itu orang hanya taksir suamimu ini, Mak 'e. Jadi menyampaikan yang tidak-tidak. Nanti kalau sudah pisah rumah tangga, pasti perempuan itu menyatakan cinta suamimu yang ganteng ini, Mak 'e).

"Iya? Mintanya Njenengan, 'kan begitu. Mentang-mentang aku ini sudah tidak langsing lagi."

"Lo, angel ... angel wes ngomong mbek wong wedok nek wes mbesengut ngene iki." (Lo, payah ... payah sudah kalau bicara dengan perempuan kalau sudah merengut seperti ini).

"Wes ugung to iku. Selak sumuk sarungan ae kat mau kok." (Sudah belum itu. Gerah pakai sarung dari tadi).

"Biar. Biar tidak usah pakai celana sekalian. Senang toh, Njenengan. Terus biar bisa pamer sama janda-janda basah itu toh. Iya, toh?"

"Waladalah, angel ... angel wes." (Waladalah, payah ... payah). Kuswanoto bangkit lalu, pindah mendekat di sisi istrinya.

"Mak, elingan gak tanggal iki? Saiki tanggal berap? Gak keroso wes telong puluh papat dewe omah-omah." (Mak, ingat tidak tanggal berapa sekarang? Tidak terasa sudah tiga puluh empat tahun kita membina rumah tangga).

Warsinah yang masih diselubung kesal hanya menoleh, menatap Kuswanoto yang melebarkan senyum dengan kumis tebal melintangnya.

"Ini sudah siang. Jangan merayu."

"Lo? Gak merayu. Ning awakku duwe hadiah minongko ambal warso polokromo." (Lo? Bukannya merayu. Tapi saya punya hadiah sebagai ulang tahun perkawinan).

"Ki." (Ini). Kuswanoto menyodorkan kotak yang sudah dibungkus, sebesar kotak sepatu.

"Apa ini, Pak?"

"Bukaen toh?" (Buka saja).

"Tidak mau. Sudah siang."

"Lo? Rak kurang ajar toh, malah njarak. Ko tak bukak ngisan gek tak gotong neng kamar lo." (Lo? Malah kurang ajar toh. Malah menggoda, nanti saya buka sekalian lalu saya gotong ke kamar loh).

Warsinah tersipu, gurat kesal hilang seketika setelah menerima hadiah untuk pertama kalinya seumur hidup setelah puluhan tahun diperistri Kuswanoto.

"Kok tumben toh, Pak. Baru kali ini Njenengan, kasih istrimu ini hadiah, apalagi ini hadiah perkawinan."

"Lo? Kok ngenyek. Ngene-ngene ritek yo iso dijak romantis. Ngawor ae." (Lo? Kok menghina. Biar begini bisa diajak romantis. Mengawur saja).

"Bukaen." (Buka).

Warsinah membuka kertas tipis yang diikat pita. Dahi Warsinah berkerut seketika.

"Kutang?"

"Iyo. Ncen kutang." (Iya. Memang kutang).

Warsinah melempar tanda bingung ke arah suaminya.

"E, Mak 'e. Kutang iki nek dipencet pucuke iso muni, koyok boneka Barbie iko lo. Ae iya iya. Ngono lah kiro-kiro muni ne." (E, Mak. Kutang ini kalau dipencet pucuknya bisa bunyi, seperti boneka Barbie itu loh. Ae iya iya. Begitulah kira-kira bunyinya).

"Aduh!" Kuswanoto mencoba mengelak saat Warsinah mencoba mencubit pahanya.

"Ko tak perkosa neng kene ngisan lo awakmu, Mak." (Nanti saya perkosa sekalian di sini kamu, Mak).

"KDRT! Tidak boleh memperkosa istri."

"Walah? Wes koyok warga net ae. Tau dolanan medsos yo gak kok yo." (Walah? Sudah seperti warga net saja. Pernah mainan media sosial juga tidak).

"Seneng ta gak kutange? Dipencet pucuke ta piye ben onok musike. He he he." (Suka tidak kutangnya? Dipencet pucuknya apa bagaimana biar ada lagunya. He he he).

"Ah uh, ah uh. Paling ya begitu. Hi hi hi."

"Iku to nek awakmu, ah uh ah uh tok. Koyok wong gelagepen." (Itu kalau kamu, ah uh ah uh saja. Seperti orang tenggelam).

"La, keenakan kok. Hi hi hi. Terima kasih yo, Pak 'e."

"Iyo? Itung-itung kenek nggo nganti kutangmu seng wes do pedot. Mosok kutang ditaleni karet gelang." (Iya? Hitung-hitung bisa buat ganti kutangmu yang sudah putus. Masak kutang diikat karet gelang).

"Yang mutusin juga Njenengan, kok. Main tarik. Kasar!"

"La cantolane lo wokeh. Selak mengkeret gur ngutake kutang tok." (La pengaitnya banyak. Keburu menyusut dibuat sibuk membuka kutang saja).

"Mbok orang laki itu yang sabar, tidak grasah-grusuh."

"Halah! Gak srantan, Mak. Nek wes kadung pingin yo wes kudu nylundang ae." (Halah! Tidak sabar, Mak. Kalau sudah ingin ya, harus menyeruduk).

"Sudah. Ini celana dipakai. Sarunganya dilepas."

"Ben isis, ben gelis. Garek nyincing, gak iyo." (Biar sejuk, biar cepat. Tinggal menyingkap, bukannya begitu).

"Aduh!" Kembali Kuswanoto menggeliat geli saat cubitan Warsinah mencoba mengarah ke bagian selangkangan.

****

Pukul 08.45.22.

"Kang! Kang Noto, keluar sekarang juga!"

"Keluar sekarang juga!" Teriak suara dari luar.

"Ungaken, Mak. Koyok sworone wong okeh gemberah." (Lihat, Mak. Seperti suara orang gaduh).

Warsinah menuju depan. Sama, gayut rasa penasaran di benaknya akan suara gaduh di depan pintu.

Krek!

"Mana Kang Noto, Yuk War!"

"Ada apa? Kenapa ramai-ramai seperti ini," balas Warsinah dengan tangan gemetar terus memegangi kotak berisi kutang.

"Lihat! Kalian, lihat sendiri!"

"Itu kutang yang ada di tangan Yuk War. Pasti pemberian Kang Noto dari hasil mencuri kutang-kutang istri kita!"

"Eh! Tunggu dulu. Kalian, ini ngomong apa toh?"

"Sudahlah, Yuk War. Semua orang juga tahu kalau Kang Noto itu pelakunya!"

"Hilangnya kutang-kutang di kampung ini, itu ulah Kang Noto!"

"Hem!" Kuswanoto muncul dengan berkacak pinggang, telanjang dada dengan mengenakan sarung yang sedikit turun.

"Tertangkap basah sudah Njenengan, Kang!"

"O? Dadi wes do wani yo ngarani uwong tanpo bukti, ha!" (O? Jadi sudah berani menuduh orang tanpa bukti, ha!).

"Sudah, Pak. Sudah, jangan dituruti. Semua harus dibicarakan dulu ...."

"Wes ngaleho! Iki urusane wong lanang!" (Sudah sana menyingkir! Ini urusan laki-laki!).

"Sopo seng ngarani awakku nyolong kutang, ha! Sopo! Munio! Maju rene! Seng endi uwonge!" (Siapa yang menuduhku mencuri kutang, ha! Bicara! Maju ke sini! Yang mana orangnya!).

Dengan petenteng-petenteng, Kuswanoto melangkah ke hadapan kerumunan warga.

"Itu buktinya. Di tangan, Yuk War!"

"Iya!"

"Iya!"

"Sopo seng muni mau, ha! Rene! Njalok tak suwek ta cangkeme, ha!" (Siapa yang bicara tadi, ha! Sini! Minta saya sobek mulutnya, ha!).

"Tidak bisa, Kang! Njenengan, harus bertanggung jawab atas semua kegaduhan ini!"

"Iya, benar!"

"Iya!"

"Setuju!"

"He, Samamudin. Seng senenge ngarani wong paling sugeh sak Bangorejo. Kutang iko lek ku tuku." (He, Samamudin. Yang selalu suka menyebut dirinya orang paling kaya di Bangorejo. Kutang itu aku beli).

"Iko soko jerih payahku dewe! Duk oleh soko nyolong!" (Itu dari jerih payahku sendiri! Bukan dari mencuri!).

"Halah! Jangan dengarkan pencuri! Mana ada pencuri mau mengaku!"

"Iya!"

"Iya!"

"Tangkap! Penjarakan saja!"

"Sudah kita tangkap ramai-ramai! Kita bawa ke kantor polisi!"

"Ayo!"

"Ayo!"

Kerumunan mulai bergerak menyerang.

Kuswanoto mengeluarkan kuda-kuda.

Seketika semua kaki bergerak mundur.

"Titenono nek sampek awakku kalah! Bakal tak santet siji-siji awakmu! Tak santet ngaceng!" (Lihat saja sampai saya kalah! Bakal saya santet kalian semua! Saya santet!).

"Hajar!"

"Hajar!"

Buk!

Duk!

Des!

"Aduh, Yong!" (Aduh, Mak!), pekik Kuswanoto saat satu bogem telak menghajar hidungnya.

Des!

"E! Sudah-sudah! Jangan! E!" Warsinah mencoba melerai perkelahian yang tak seimbang itu.

Duk!

Satu tendangan!

Buk!

Satu gebukan.

Wuing!

Satu lemparan sandal.

Des!

Plok!

"E! Sudah! Hentikan! Sudah! E!" teriak Warsinah tenggelam dalam keras hantaman demi hantaman yang menghujani suaminya.

Byok!

Des!

Dik!

Wet!

Srut!

Sarung Kuswanoto terlepas.

Des!

"Aduh!"

Kuswanoto sibuk mengurusi sarungnya, menyelamatkan burung yang bisa saja terbang ketakutan oleh suara ramai yang diamuk murka.

Des!

"Aduh!"

Buk!

"Doh, Yong!" (Duh, Mak!).

Dak!

Bruk!

"Cukup! Hentikan! Astagfirullah ...." Ustaz Sopyan yang selalu datang terlambat seperti polisi di film Mega Bollywood di saat-saat genting seperti ini, segera menyibak kerumunan untuk menghentikan aksi main pukul.

"Bubar!"

"Bubar!"

"Astagfirullah! Bubar!"

Kerumunan itu seketika membubarkan diri, hingga terlihat Kuswanoto yang berdiri seraya membekap bagian selangkangan.

Kedua pipi, pelipis, dagu, semua terlihat lebam, berdiri mematung seperti orang yang kehilangan jimat kesaktian.

****

Pukul 16.01.39.

"Aduh, Mak 'e," rintih Kuswanoto di dalam kamar. Satu wadah dengan air hangat, di samping Warsinah.

Tampak kain kompres di dahi, plester di ujung hidung, wajahnya lebam-lebam.

"Ngombe, Mak. Adoh ... adoh. Ngombe, Mak'e." (Minum, Mak. Aduh ... aduh. Minum, Mak 'e).

Warsinah berkali-kali menghembuskan napas panjang. Sesak dadanya melihat keadaan suaminya seperti itu.

Hari ulang tahun pernikahan harus diberi hadiah dengan aksi main pukul.

"Ini, minum ... minum dulu." Warsinah mencoba membantu Kuswanoto untuk bersandar, membetulkan letak sarung yang nyaris melorot.

"Adoh ... adoh ... teh opo iku, Mak 'e." (Aduh ... aduh ... teh apa itu, Mak 'e).

"Kopi ae lah, adoh ... adoh." (Kopi saja, aduh ... aduh).

"Ini teh uwuh secang. Kesukaan Njenengan."

"Adoh ... adoh ... iki goro-goro kutang, Mak 'e. Goro-goro kutang." (Aduh ... aduh ... ini gara-gara kutang, Mak 'e. Gara-gara kutang).

"Sudah tidak usah dipikir. Diminum tehnya."

Srup!

"Adoh benter. Lambeku ngopo iki, Mak. Sendoki, disendok. Adoh." (Aduh panas. Bibirku kenapa ini, Mak. Suap, disuap. Dduh.).

Warsinah meraih sendok. Dengan telaten menyendoki teh uwuh, bukan tanpa sebab Kuswanoto meminta itu, bibirnya jontor, merekah seperti jambu air.

"Aduh, Mak 'e."

"Sudah toh? Jangan merintih terus. Penuh hatiku ini kalau melihat Njenengan, merintih begitu. Sedih, tak sampai hati."

"Adoh. Manukku isek gak, Mak 'e." (Aduh. Burungku masih tidak, Mak 'e).

Warsinah membuka sarung. "Masih itu loh? Melotot. La, 'kan? Utuh, 'kan? Tidak usah khawatir."

"Aduh, Mak 'e. Aduh ."

BERSAMBUNG

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search