Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK DUKUN VERSI 2.0 BAB 5

BAB 5

Hari terus berganti, ketenaran Kuswanoto sebagai dukun makin menyebar luas. Hingga muncul di benaknya untuk mengadakan kegiatan Suroan. Satu kegiatan yang tak pernah dia hilangkan, meski beberapa orang teman meminta untuk memandikan pusaka. Kuswanoto menolaknya dengan alasan tak bisa.

Kini, dia berencana membuka Suroan akbar untuk semua kalangan. Bukan hanya di media sosial dia mempromosikan, tetapi juga melibatkan Sugito dan Saimun, mengundang langsung pemilik rumah untuk menghadiri lek-lekan. (lek-lekan/tidak tidur semalam suntuk).

Hanya dikenakan tarif seratus ribu untuk jamasan pusaka atau mandi tengah malam bagi anak-anak yang bersekolah, tak lain, untuk membuatnya makin pintar.

Dia masih ingat betul bagaimana sang bapak membawanya untuk mandi tengah malam, di rumah salah satu pinisepuh, meski rasa kantuk dia tahan hingga waktunya untuk siraman.

"Sudah, Mbah," kata Odi, diikuti empat lainnya yang juga turun menggunakan tangga besi.

"Piro dadine?" (Jadi berapa?).

"Tiga ratus ribu, Mbah."

"Biyoh! Larang men, ha!" (Biyoh! Mahal sekali, ha!).

"Itu sudah murah dengan Njenengan, Mbah. Biasanya satu kaveling seratus dua puluh ribu."

"Sudah dikorting," imbuh Odi.

"Sewan-sewan kok luarange gak umum." (Menyewakan kok mahalnya tidak umum). Kuswanoto mengerutu seraya mengambil uang dari saku.

"La Njenengan, air segelas saja lima ratus ribu," balas Odi.

"Munio meneh! Tak sembur kadasen lo awakmu." (Bicara sekali lagi! Saya sembur kadasan kamu).

"Ya ampun toh, Mbah. He he he." Odi menerima tiga lembar uang pemberian Kuswanoto.

"Tambah, Mbah."

"Dukun kondang, kok."

"Nyoh!" (Ini!).

"Sepuluh ribu?"

"Bos tendo kok ndremis neng dukun!" (Bos tenda kok mengemis sama dukun!).

"Guyon, Mbah. Njenengan itu mbok ya sedikit-sedikit jangan marah toh?"

"Wes gek baleko kono." (Sudah pulang sana).

"Nggeh, Mbah. Terima kasih sudah mau menyewa tenda saya. Saya kira Mbah Noto mau mengunduh mantu apa bagaimana, e ... ternyata nanti malam ada acara Suroan ya, Mbah?"

"Iyo? La awakmu duwe pusoko ta gak, ngisan dijamas." (Iya? Kamu apa punya pusaka, sekalian ikut jamasan).

"Halah, Mbah ... Mbah. Tiap malam Jumat sudah dijamas sendiri sama istri saya."

"Dukun ta bojomu?" (Apa dukun istrimu?).

"Bukan? Lah, Mbah ini kayak tidak tahu saja. Seperti Njenengan itu, tiap malam Jumat, njamas pusaka dengan Mbah War."

"O, lambemu!" (O, bibirmu!).

"Ya sudah, Mbah. Saya langsung pamit. Mau pasang tenda lagi di halaman Masjid."

"Lo? Onok acara opo?" (Loh? Ada acara apa?).

"Masak Njenengan tidak tahu? 'Kan mau ada acara Suroan di Masjid, Pengajian."

"Ngundang kiai ta?" (Mengundang kiai apa?).

"Tidak sepertinya. Saya dengar dari bapak, katanya hanya diisi oleh Ustaz Sopyan."

"Hoalah? Ustaz wingi sore iku ta? Paling yo nek ceramah nyemesi uwong tok. Nyindir, nyinggung, perentah kon neng Mejid. Iyo to?" (Hoalah? Ustaz kemarin sore itu? Paling ya kalau ceramah menyerang orang saja. Menyindir, menyinggung, perintah suruh ke Masjid. Iya, 'kan?).

"La kok Njenengan yang sewot? Ya tugas ustaz itu ya memang begitu. Mengajak kebaikan, mengajak salat berjamaah. Iya, 'kan?"

"Halah! Muna-muni wes koyok kiai ae awakmu!" (Banyak bicara seperti kiai saja kamu!).

"Loh toh? Njenengan itu kalau disinggung masalah agama itu sensitif orangnya."

"Baleko kono! Tak bialang sendal ngko awakmu nek ceramah neng kene. Neng mimbar kono nenk kate ceramah!" (Pulang sana! Saya lempar sendal kalau ceramah di sini. Di atas mimbar sana kalau mau ceramah!).

"Ya sudahlah. Pamit, Mbah."

"Yo!" (Ya!).

Mobil truk yang mengangkut besi tenda bergerak mundur dari halaman Kuswanoto, tertulis Odi Tenda, pada sisi bak mobil.

Tit!

"Git! Gito!"

"Ya, Mbah!" sahut Sugito yang sedari tadi sibuk untuk mengatur kursi.

"Gek ndang!" (Cepat!).

"Iya, iya!"

Sugito berlari di antara sela kursi. "Ada apa toh? Teriak-teriak."

"Ndi Saimun?" (Mana Saimun?).

"La katanya Njenengan suruh untuk mengabarkan kalau malam ini akan diadakan Suroan di sini."

"Tapi kok jare Odi mau, bengi iki ugo onok acara neng Mejid. Pengajian jare." (Tapi kata Odi tadi, malam ini juga ada acara di Masjid. Pengajian katanya).

"Ya biar toh, Mbah. Yang mau kumpul pengajian ya monggo, yang mau Suroan di sini, ya monggo."

"Kiro-kiro, bakal okeh seng teko rene opo neng Mejid, yo?" (Kira-kira, bakal banyak yang datang ke sini apa ke Masjid, ya?).

Di sela pembicaraan, Saimun datang setelah mematikan mesin motor, tampak menenteng plastik hitam.

"Piye, Mun?" (Bagaimana, Mun?).

"Wis kabeh. Wis nyong kandani kabeh sak kampung." (Sudah semua. Sudah saya sampaikan satu kampung).

"Terus piye tanggepane?" (Lalu bagaimana tanggapannya?).

"Ya insya Allah, ngono bae." (Ya insya Allah, begitu saja).

"Piye to! Seng yakin mastikno uwong ki!" (Bagaimana toh! Yang yakin memastikan orang!).

"Ya kepriwe maning, Mbah? Apa nyong paksa kudu teka mrene?" (Bagaimana lagi, Mbah? Apa harus saya paksa ke sini?).

"Doh! Okeh seng teko mrene opo neng Mejid yo kiro-kiro." (Duh! Banyak yang datang ke sini apa ke masjid ya kira-kira).

"Sudah toh, Mbah. Pasti ada yang datang. Suroan itu tradisi yang sudah lama kampung ini tidak lakukan. Mudah-mudahan dengan diadakannya kembali Suroan di sini nanti malam, menambah keyakinan bagi orang-orang yang masih memegang teguh laku spiritual. Masalah orang mau ke Masjid, ya biarkan. Itu juga salah satu kegiatan Suroan, lak iya toh?" Sugito memberi pandangan atas bersisian tradisi di Bangorejo.

"Ana lah, ura mungkin kabeh uwong arep reng Mejid. Wong Jawa pesti ura lali ambi jawane. Nyong yakin seyakin-yakine, ana bae seng teka." (Ada, tidak mungkin semua ke Masjid. Orang Jawa pasti tidak lupa dengan budayanya. Saya yakin sekali, ada yang datang).

"Kiye, pesenane Rika." (Ini pesanan Anda). Saimun menyerahkan plastik hitam yang dia bawa tadi.

"Kembang telon, kembang setaman, jeruk ... pepak wis." (... lengkap sudah).

"Gedange, Git?" (Pisangnya mana, Git?).

"Sudah, Mbah. Ada di dapur," jawab Sugito.

"Ya wis, ya. Nyong arep mider maning, ngandani seng reng kidul." (Ya sudah, ya. Saya mau keliling lagi, ke arah selatan). Saimun berlalu meninggalkan mereka berdua.

"Yo wes, Git. Terusno penggaweanmu. Awakku tak turu sek, ko nek onok dayoh tangekno." (Ya sudah, Git. Teruskan pekerjaanmu. Aku mau tidur dulu, nanti kalau ada tamu bangunkan).

"Diolesi minyak tidak?"

"Opone?" (Apanya?).

"La katanya dibangunkan?"

"O, lambemu! Gak perlu minyak, gak perlu hembodi, jek kuat tangi dewe!" (O, bibirmu! Tidak butuh minyak, tidak perlu hand body, masih bisa bangun sendiri!). Kuswanoto mengeloyor meninggalkan Sugito yang mengulum senyum.

"Paling juga sudah tidak tegak, he he he."

****

Sementara itu di halaman Masjid.

"...Ya, iya. Masak sepiker Masjid juga dipasangi brosur! Astagfirullah." Ustaz Sopyan menggerutu di halaman Masjid, saat melihat brosur yang sama di tangannya.

"Kelakuannya Kang Noto itu, Ustaz." Suara Solikin

"Kayak sudah tidak ada tempat lagi." Beni menambahi.

"Kemarin Pak Rete juga mengerahkan warga untuk melepas brosur-brosur yang memenuhi kampung," timpal Samamudin.

Pak RT datang dengan mengendarai motor.

"Assalamualaikum."

"Alaikumsalam," jawab semuanya serentak.

"Ada apa, Ustaz?"

"Ini Pak Rete. Masak iya ada brosur di sepiker Masjid. Itu ...."

"Astagfirullah," sebut Pak RT.

"Bagaimana bisa naik ke atas sana," imbuhnya heran.

"Ini tidak bisa dibiarkan Pak Rete. Kang Noto harus ditegur," usul Samamudin.

"Bahkan yang saya dengar. Orang-orang yang berobat ke sana, diminta mentransfer sejumlah uang ke rekening," sambungnya lagi.

"Itu jelas modus penipuan!" timpal Solikin.

"Tetapi banyak warga yang berobat ke sana, bahkan yang saya dengar, kalau warga desa lain juga berobat ke Kang Noto," jelas Beni.

"Kang Noto sekarang menjadi orang pintar."

"Itu karena yang berobat orang-orang goblok!" sambar Samamudin, "makanya dia dibilang orang pintar!"

"Jangan mengotori hati dengan segala praduga, sudah." Ustaz Sopyan mencoba meredam suasana.

"Bagaimana dengan segala persiapan, Ustaz?" tanya Pak RT.

"Seperti yang sudah-sudah. Kami semua baru saja membersihkan sajadah, membersihkan lantai." Samamudin yang menjawab itu.

"Iya, Pak Rete. Lampu putus yang di ujung sana juga sudah kami ganti," timpal Solikin.

"Bagaimana dengan kegiatan ibu-ibu, Pak RT?" Ustaz Sopyan balik bertanya.

"Sudah. Ya, walau ala kadarnya. Cukup ambil dari Kas Masjid saja."

"Tetapi saya setuju kalau tiap-tiap rumah ditarik iuran, Pak Rete." Solikin mengingatkan kegiatan rutin kala akan diadakan pengajian menyambut datangnya tahun baru Islam.

"Kebetulan saya ada rezeki sedikit. Biar, untuk kali ini saya tak mau merepotkan warga. Mungkin lain kali bila dirasa ada kegiatan yang lebih membutuhkan dana."

"Untuk pemberitahuannya sudah disampaikan kepada Majelis Taklim. Juga sudah disampaikan oleh Ustaz Sopyan kemarin sewaktu selesai Jumatan, Pak Rete," kata Beni.

"O ya, tidak masalah. Bahkan sudah saya sampaikan di grup WA warga. Cara apa pun tidak masalah untuk mengajak kebaikan, selagi santun dalam penyampaiannya. Bukan begitu, Ustaz?"

"Ya, benar sekali. Zaman sudah memudahkan kita untuk mengajak kebaikan," jawab Ustaz Sopyan.

"Apa perlu saya pesan brosur untuk saya tempel di sudut kampung, untuk menandingi brosurnya Kang Noto, Pak Rete, Ustaz?"

"Hialah Kang Din. Kita baru saja membersihkan banyak brosur. Masak iya, kita malah mau pesan brosur untuk acara pengajian," keluh Solikin.

"Tidak usah, dari pada uang hanya dihambur-hamburkan untuk hal demikian, lebih baik untuk membeli keperluan yang kurang, air minum misalnya," timpal Ustaz Sopyan.

"Kesal saya, dengan Kang Noto! Gayanya sudah kayak mau nyaleg saja! Di mana-mana brosur dukun!"

"Sudah toh, sudah. Istigfar, Din."

BERSAMBUNG

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search