CERKAK DUKUN VERSI 2.0 BAB 4

BAB 4
Kabar tersiar lima hari, jampi-jampi ampuh terbukti, sistem promosi berstrategi pegang kendali. Halaman rumah Kuswanoto mulai ramai didatangi. Bangku-bangku kayu sesak oleh warga yang antre untuk diobati.
"Nomor antrean berapa, Kang?"
"41, Pri."
"Kamu?" Kang Giran balik bertanya.
"Nomor 57, Kang," jawab Supriyanto.
"Sudah isi saldo, Kang?" imbuh Supriyanto seraya memasukkan kembali HP ke saku baju.
"Aku transfer saja, Pri."
"Mau berobat apa, Kang?"
"Sebenarnya aku tidak sakit, hanya kakiku saja yang pegal. Sekalian mau daftar member. Di rumahku ada lima orang, aku rasa cukup sekali datang saja ke sini untuk setor nama. Selebihnya tinggal tunggu uang di transfer sama Mbah Dukun versi 2.0."
"Pintar juga Sampean, Kang. Cuma datang sekali, itu juga Cuma kakinya yang pegal, pasti bayarnya tidak mahal, tetapi setelahnya Sampean akan terima uang terus-terusan, ha ha ha," ucap Supriyanto diakhiri tawa.
"Antrean 32!" teriak Saimun, duduk di belakang meja. Sementara Sugito terus mencatat siapa saja yang datang untuk diurutkan dalam jenjang level marketing.
"Nangapa anake, Yuk?" (Kenapa anaknya, Yuk?).
"Sumang, Kang. Ura nurokna uwong," (Panas, Kang. Tidak menidurkan orang tua), jawab perempuan dengan menggendong satu bocah laki-laki, yang juga orang Ngapak.
"Nyong jamin, bali saka kene langsung adem kuwe bocah." (Saya jamin, pulang dari sini langsung dingin itu bocah).
"Penjalukane nyong be kayak kuwe. Temenan kiye lah, Puskesmas nyenyet, pindah mrene kabeh jarku sih, Kang." (Permintaanku saya demikian. Sungguh ini, Puskesmas sepi, pindah ke sini semua perasaanku, Kang).
"Bisa bae Rika, Yuk." (Bisa saja Anda, Yuk).
"Next time!" teriak Kuswanoto.
"Nek taim sih apa, Kang Mun." (Nek taim itu apa, Kang Mun).
"Next time kuwe artine Rika, Yuk," (Artinya Anda, Yuk), jawab Saimun.
"Sih, nek taim, nyong kiye Sukinem ...." (Saya ini Sukinem ...).
"Wes nganalah Rika mlebu, ngana." (Sudah sana masuk, sana).
"Jarku sih gaul banget kiye dukun." (Gaul benar ini dukun). Sukinem lalu menerima pemberian KTP yang tadi dia berikan kepada Saimun untuk diserahkan ke Sugito.
"Next time!"
"Iya, sit! Melung-melung bae lah!" (Iya, bentar! Teriak-teriak saja!). balas Saimun dengan berteriak di sela gaduh pengunjung yang mulai mengeluh panas.
"Loro opo anakmu, Nem?" (Kenapa anakmu, Nem?).
"Kiye wes rong wengi ura nurukno wong tuwa, Mbah." (Sudah dua malam tidak menidurkan orang tua, Mbah).
"Udan-udanan ta?" (Main air hujan?).
"Udan-udanan kepriwe sih, kiye kemarau mbok?" (Hujan bagaimana, ini 'kan kemarau?).
"O iyo, lali awakku." (O iya, lupa aku).
"Nangapa kira-kira kiye anake nyong, Mbah?" (Kenapa kira-kira anak saya, Mbah?).
"Opo nguyoh sembarangan?" (Apa kencing sembarangan?).
"Ya jenenge bucah, nguyuh sak ngon-nggon, kpriwe sih." (Namanya juga bocah, pasti kencing di mana tempat, bagaimana toh).
"Wes roh praturane to, Nem?" (Sudah tahu peraturannya, Nem?).
Uwis, nyong wis isi saldo, kiye." (Sudah, ini saya sudah isi saldo, ini). Sukinem menunjukkan layar HP.
"Opo iku!" (Apa itu!).
"Eh, salah. Kiye bapake bucah asih nguyuh, he he he." (Eh, salah. Ini bapaknya bocah lagi kencing, he he he).
"Lapo mbok poto, ha?" (Kenapa kamu foto, ha?).
"Karepe nyong kiye, nyong dadekena konten." (Maksud hati ini, saya jadikan konten).
"Weladalah, Nem ... Kinem. Bojone dewe kok yo tegel mbok dadekno konten." (Weladalah, Nem ... Kinem. Ssuami sendiri tega dijadikan konten).
"Ya ura popo mbok, golet duit sambilan. Siki sih wis ura usah, wis ndaptar reng Kang Saimun." (Ya tidak apa-apa, cari uang sambilan. Sekarang sudah tidak, sudah mendaftar kepada Kang Saimun).
"Yo wes apik iku." (Bagus itu). Kuswanoto mengeluarkan HP. "Ki nomer rekeninge." (Ini rekeningnya).
"Nyong transfer ambi Shopee pay bae yak." (Saya transfer dengan Shopee pay saja).
"Giayamu, Nem!" (Gayamu, Nem!).
"Wiihh, aja kayak kuwe. Nyong kulina belanja pas ana diskon ongkir. Weruh ura Rika, Mbah. 1.1, 2.2, ana maning diskon 3.3, 4.4, kayak kuwe. Ana maning 5.5, 6.6, 7 ...." (Wih, jangan seperti itu. Saya biasa belanja sewaktu ada diskon ongkos kirim. Tahu tidak Anda, Mbah. 1.1, 2.2, ada juga diskon 3.3, 4.4, seperti itu. Ada lagi 5.5, 6.6, 7 ...).
"Wes ... wes ... wes!" (Sudah ... sudah ... sudah!).
"Sih muring, nyong mung kanda cerita." (Kok marah, saya hanya bercerita).
"Wes gek ditransfer!" (Cepat ditransfer!).
"Uwis, kiye." (Sudah, ini). Sukinem menunjukkan bukti transfer ke rekening Kuswanoto.
"Piro iku?" (Berapa itu?).
"Selawe ewuk?" (Dua puluh lima ribu?).
"Dukun opo selawe ewu! Banci ae paling murah rong atus ewu! Tambai ... tambai!" (Dukun apa dua puluh lima ribu! Banci saja paling murah dua ratus ribu! Tambah! Tambah!).
"Ya wis, nyong tambai lah." (Ya sudah, saya tambah).
Saimun muncul di abang pintu. "Nangapa pada? Jarku sih reyang bae kat mau! Ura dukune, ura pasiene. Pada bae!" (Kenapa? Perasaan malah ribut saja sejak tadi! Tidak dukunnya, tidak pasiennya. Sama saja!).
"Kae, roh gak nek Saimun ngamuk, he? Gawang lawang mentolo diuntal nek wonge ngamuk!" (Itu, tahu tidak kalau Saimun mengamuk, he? Gawang pintu ditelan kalau dia marah!).
"Ya wis lah ayuk dimulai lah! Ceriwis banget kiye dukun!" (Ya sudah mari dimulai! Cerewet sekali ini dukun!).
"Sopo jenenge arek iki, lali awakku." (Siapa nama bocah ini, lupa aku).
"Lasiman bin Dedet, Mbah."
Kuswanoto lalu meraih gelas berisi air putih yang sudah dia persiapkan. Sejurus kemudian matanya terpejam, mulutnya komat-kamit membaca mantra.
"Niatingsun moco kidung."
"Seng gede arane tunggul ojok mbok sandung."
"Seng gawuk tenguk-tenguk."
"Isun onok ing tengahe dengal planangan."
"Siro ojok wuruk sudi gawe jabang bayine Lasiman bin Dedet."
"Pasihaning olo."
"Siro sumingkiro."
"Panggonmu ing oro-oro ombo."
"Pangananmu gragah rayo."
"Nek gak sumingkir tak aturake Gusti kang moho Agung!"
Brush!
Kuswanoto menyembur bagian ubun-ubun Lasiman.
"Huaaaa! Teles nyonge , Yung." (Huaaaa! Basah saya, Bu).
"Wis aja nangis, ura apa-apa." (Sudah jangan menangis, tidak apa-apa). Sukinem mencoba mengelap air semburan.
"Ki, ombekno anakmu. Parak surup lan pendak isuk." (Ini, minumkan. Menjelang surup dan tiap pagi hari).
"Iya, Mbah. Sak gelase apa kepriwe kiye?" (Iya, Mbah. Satu gelas atau bagaimana ini?).
"Nek sak gelase tambah biaya maneh." (Kalau satu gelas tambah biaya lagi).
"Wis ura lah, nyong wadahi botol bae." (Tidak usah, saya tuang saja ke botol).
"Yung ... bali, Yung." (Bu ... pulang, Bu).
"Iya, kiye arep bali." (Iya, ini mau pulang). Sukinem lalu berdiri seraya menggendong Lasiman kecil.
"Ya uwis ya, Mbah. Nyong bali." (Ya sudah ya, Mbah. Saya pulang).
"Yo, mandar mugo ndang waras, Le." (Semoga lekas sembuh, Le).
"Wes ditransfer to?" (Sudah transfer 'kan?).
"Uwis, aja kawatir." (Sudah, jangan khawatir).
****
Pukul 11.58.03
Matahari terus merangkak menuju puncak tertinggi poros bumi.
"Nomer 68!"
Sugito dan Saimun masih terlihat sibuk dengan kertas kecil dan KTP.
****
Pukul 14.17.23.
"Nomer 81!"
"Ura diwei mangan apa kiye, Kang?" (Tidak dikasih makan ini, Kang?).
"Tidak tahu, Kang Mun," jawab Sugito masih sibuk mencatat.
"Gemblung apa gemblung kae dukun. Anak buah ngasi kaliren." (Gila apa gila itu duku. Anak buah sampai kelaparan).
****
Pukul 16. 17.40.
Menyisakan satu perempuan dengan penampilan menarik. Rambut tergerai panjang, sama hitamnya dengan baju yang dia kenakan.
Datang ke hadapan Saimun yang terlihat kuyu seperti tawanan perang.
"Wes nganalah langsung mlebu bae, Rika. Nyong arep bali, kencot!" (Sudah sana langsung masuk saja, Anda. Saya mau pulang, lapar!).
Saimun bergegas pergi meninggalkan meja. Sugito sudah lebih pulang dengan alasan sama.
"Permisi, Mbah."
"Weladalah. Gurung dikon mlebu kok wes mlebu dewe." (Weladalah. Belum disuruh masuk kok sudah masuk sendiri).
"Iya, Mbah."
"Wes langsung neng kamar ae, yo." (Langsung ke kamar saja, ya).
"Kok tahu?"
"Wa ... piye to awakmu ki. 'Kan dukun." (Wa ... bagaimana toh kamu ini. 'Kan dukun).
"Pesti kate pijet to?" (Pasti mau pijat, 'kan?).
"Iya, Mbah. Sekalian curhat."
"Sopo jenengmu cah ayu?" (Siapa namamu cah ayu?).
"Sofia, Mbah."
"Ha? Sofa? Empukno?" (Ha? Sofa? Empuk berarti?).
"Kate pijet ngisor ta nduwur?" (Mau pijat bawah apa atas?).
"Ya, semua, Mbah."
"Weh jah ... tepak iki rek! He he he," (Weh jan ... kebetulan sekali ini! He he he), batinnya.
"Transfer sek." (Transfer dulu).
"Mbah mau berapa?"
"Weladalah ...."
"Saya kasih lebih, kalau bisa ...."
"Iso ... iso ... iku gampang, kate nganggo alu guro ta gak? Nek kate nganggo alu guro, dua kali lipat, piye?" (Bisa ... bisa ... itu gampang, mau pakai alu guro apa tidak? Kalau mau pakai, dua kali lipat, bagaimana?).
"Alu guro? Apa itu, Mbah."
"Wes, mengko dirasakno dewe." (Sudah, nanti dirasakan sendiri).
Kuswanoto beranjak menuju pintu, hanya mendapati meja Admin yang kosong. Tampak satu mobil di ujung halaman, mobil Sofia.
"Ambune yo wangi, he he he. Gak koyok Warsinah, mambu minyak angin, he he he."
"Mbah? Pijatnya di sini?"
"Oh, iyo, nek kate nganggo kamar, onok sewone." (Oh, iya, kalau mau pakai kamar, ada sewanya). Kuswanoto buru-buru menutup pintu.
Glek!
Menguncinya.
"Dewean ta?" (Sendirian?).
"Iya, Mbah."
"Gak diterno bojone?" (Tidak diantar suaminya?).
"Sudah pisah, Mbah."
"Haaaaa? Pisah?" Mata membelalak dengan kornea cinta.
Sofia lalu mengangguk manja.
Kuswanoto yang duduk di sampingnya segera memainkan jari tangan membentuk kaki kepiting berjalan, mendarat di tangan Sofia yang mulus.
"Bayar berapa, Mbah?"
"Wes iku dirembuk neng kamar ae. Wes ayo tak plurutane." (Itu dirunding di kamar saja. Ayo saya pijat).
"Gendong ta piye?" (Gendong apa bagaimana?).
"Ah, Simbah."
Kuswanoto lalu menggiring Sofia ke kamar yang telah diubah menjadi ruang ritual.
"La kok iso sampek kene to?" (Kok bisa sampai sini?).
"Iya, Mbah. Setelah lihat gambar Njenengan di baliho depan. Kumisnya itu loh yang membuat saya langsung kepincut datang mau coba ke sini."
"Wah jan. Nek brengosku gratis." (Wah jan. Kalau kumisku gratis).
"Benar, Mbah. Kalau yang lain?"
"Dijajal sek, nek cocok gak mbayar, mbayar rituale ae. Piye?" (Dicoba dulu, kalau cocok tidak bayar, bayar ritualnya saja. Bagaimana?).
"Pakai hand body, Mbah?"
"O gak usah! Hembodi iku kango seng jomlo ae." (O tidak usah! Hand body itu untuk yang jomblo saja).
"Istrinya Mbah ke mana, kok rumahnya sepi?"
"Wes pisah, pegatan." (Sudah pisah, cerai).
"Pakai hand body dong, Mbah."
"Yo gak to. Wes gak usah gak ngomongno hembodi." (Ya tidak. Sudah tidak usah membahas hand body).
"Wes, gek diutaki iku klambine, gek tak tandangane." (Sudah dilepas itu bajunya, mau saya kerjakan).
"Sudah lama pisah dengan istrinya, Mbah."
"Wo, wes suwe banget. Dudo roso joko." (Wo, sudah lama sekali. Duda rasa perjaka).
"Pantas saja."
"La ginio?" (Kenapa?).
"Itu ...." Sofia menunjuk kolor gombroh.
"He he he."
"Pakai hand body ya, Mbah."
"Wes gak! Wes ayo gek ndang mapan." (Tidak! Cepat berbaring).
Sofia mulai berbaring di atas tempat tidur dengan alas berwarna hitam.
"Rodok rono po 'o." ( Geser ke sana). Lalu mengeluarkan HP, buka layar kunci, lalu menyentuh gambar kamera dengan ujung jari.
"Direkam sek yo, Nduk?" (Direkam dulu ya, Nduk?).
"Kok direkam, Mbah." Sofia nyaris bangkit seraya menutupi bagian dada.
"Yo gak popo. Kate tak uplot neng Twitter." (Tidak apa-apa. Mau saya pos di Twitter). Kuswanoto meletakkan HP di meja dengan disandarkan pada dinding, kamera video terus menyala.
"Tapi, Mbah ...."
"Wes menengo ae ta lah!" (Diam saja!).
Kuswanoto langsung mulai memijat Sofia, mulai dari bagian kaki, melepas baju panadon, seraya tersenyum cabul ke arah kamera.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment