Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK DUKUN VERSI 2.0 BAB 3

 BAB 3

Keesokan harinya.

Di ruangan Kepala Desa Bangorejo.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!"

"Ada apa, Gus?" lanjut Pak Kades.

"Anu, Pak."

"Anu apa? Bicara itu yang jelas."

"Masalah Kang Noto."

"Kang Noto?" Pak Kades berkernyit.

"Iya, Pak."

"Gus ... Agus, kamu 'kan sudah jelas bekerja bantu-bantu di kantor desa ini. Lalu apa hubungannya kamu dengan Kang Noto."

"Apa tidak dikasih kesempatan lagi, Pak?"

Sejenak Pak Kades tak berucap. Menghembuskan napas panjang.

"Saya takut kalau tidak ada penggantinya," kata Agus.

"Ha ha ha. Agus ... Agus. Itu kenapa kamu pikirkan, he? Jelas nanti Suprapto akan mengurus ini semua."

"Sudah, sudah. Kamu tidak perlu tahu. Pokoknya saya minta kamu bekerja sungguh-sungguh din sini. Bantu bersih-bersih, menjaga beberapa aset desa, juga membuatkan minum untuk Kaur, dan bila ada tamu saya, mengerti?"

"Nggeh, Pak. Saya paham, tetapi ...."

"Biar itu menjadi urusan saya." Hanya itu, tetapi mampu membuat Agus segera undur diri dengan melangkah.

"Maafkan saya, Pak. Saya permisi."

"Hem."

****

Kampung damai Bangorejo.

"Mau ke mana, Jub?"

"Ini loh, mau ke rumah Pakde Noto. Katanya bisa menyapih," jawab Jubaedah.

"Eh, katanya Kang Noto sekarang sudah jadi dukun? Benar itu, Jub."

"Iya, Mbokde."

"Kamu kata siapa, Jub?"

"Kata Pakde Gito."

"Kang Sugito?"

"Iya, Mbokde. Apa Sampean tidak lihat statusnya di Wa. Ada juga di FB Pakde Sugito."

"Malah kalau kita bisa membawa orang ke rumah Pakde Noto. Kita juga bisa mendapatkan uang, Mbokde."

"Uang? Uang apa?" Mbokde Sarintem mulai penasaran.

"Kalau kita bisa bawa orang berobat ke rumah Pakde Noto sebanyak lima orang, kita akan dapat uang lima puluh ribu. Nah, kalau lima orang tadi juga bisa membawa lima orang lainnya, kita juga masih dapat uang. Lumayan loh, Mbokde. Bisa buat tambah-tambah beli bumbu dapur."

"O? Begitu ya?"

"Iya, Mbokde. Pokoknya kalau suami kita masuk angin, kita bawa ke rumah Pakde Noto. Biar nanti suami kita juga cari orang lagi."

"Kok jadi repot ya, Jub?"

"Repot apanya? Pokoknya sakit sedikit tidak usah ke Puskesmas. Ke rumah Pakde Noto saja. Malah sudah kayak HP loh, Mbokde."

"Ha? Kayak HP? Disentuh-sentuh sama Kang Noto? Ih ... enggak, ah!"

"Bukan seperti itu, Mbokde. Kondang dengan versi 2.0 katanya. Selain bisa membantu mengobati penyakit, mana ada dukun yang memberi pekerjaan sambilan buat ibu-ibu. Mana ada coba?"

"Kalau ke Puskesmas? Kita mesti bawa BPJS. Mana BPJS punyaku sudah menunggak delapan bulan. Malah bayar toh jadinya kalau ke Puskesmas."

"Kalau mau bayar tanggungan BPJS, berat. Apalagi di zaman seperti ini. Tiga puluh lima ribu kali tiga orang, dikali delapan, berapa coba?" cerocos Jubaedah.

"Ya, entah! Situ yang bayar kok saya yang disuruh menghitung. Kalau saya sudah PBI, Program Bantuan, jadi tidak bayar, alias gratis BPJS punya saya," sambar Mbokde Sarintem tidak kalah cerocosnya, seraya memanasi-panasi Jubaedah.

"Ah, Sampean sih enak. Bisa merayu Pak Rete." Jubaedah merasa iri. Farid, suaminya hanya buruh goreng kerupuk, belum lagi dia masih hidup menumpang sama mertua, tidak kunjung didatangi Pak Rete untuk dimasukkan ke dalam program BPJS gratis.

"Loh kok merayu. Memang keadaan keluargaku layak dapat bantuan kok, Jub."

"Keluarga kami juga layak, Mbokde. Mertuaku, belum juga Kang Sundul, kakaknya suamiku juga hidup serumah. Mana ada dua adiknya juga yang masih sekolah. Apa tidak lebih layak, he?"

"Ya, urusan situ. Yang susah kamu kok cerita sama saya. Ke rumah Pak Rete saja kalau mau cerita. Eh, kamu ini jadi menyapih anakmu apa tidak?"

"Eh, iya, Mbokde. Malah jadi membicarakan yang tidak-tidak. Kalu begitu saya terus, Mbokde."

"Hati-hati loh. Nanti disentuh-sentuh sama Kang Noto. Mana kamu masih muda begitu. Awas loh."

"Iya, Mbokde," jawab Jubaedah berlalu.

"Lagian, dukun sudah kayak HP. Ih ...." Mbokde Sarintem pun berlalu dari sisi pagar dengan membawa sapu lidi, bergidik membayangkan disentuh-sentuh Kuswanoto.

****

"Kulonuwun." (Permisi).

"Monggo." (Silakan).

Kuswanoto segera mematikan keretek, menekan bagian ujung yang menyala.

"Mlebu, Nduk," (Masuk, Nduk), sambut Kuswanoto.

"Anu, Mbah. Saya mau minta tolong menyapih anak saya."

"O." Kuswanoto menjentikkan kelingking. "Kecil, sepele masalah iku. Pokok balek ko kene anakmu pesti wes gak doyan mentil." (Kecil, sepele masalah itu. Pulang dari sini anakmu pasti sudah tak mau lagi asi).

"La iku turu ta piye anakmu?" (La itu tidur anakmu?).

"Iya, Mbah."

"Wes turukno kene ... kene." (Sudah tidurkan sini ... sini).

Jubaedah meletakkan anaknya di atas tikar dengan alas jarit gendong, lalu meletakkan plastik hitam. "Ini, Mbah. Sekadar buat ngopi."

"Opo iki, Nduk?" (Apa ini, Nduk?).

"Gula kopi, Mbah."

"Weladalah! Wes gak usum nggowo ngono iku. Iku coro mbiyen." (Weladalah! Sudah tidak musim membawa begitu. Itu cara dalu).

"Lah? Kok begitu, Mbah."

"Iki zaman wes canggih, dukun wes gak butuh gawan gulo kopi." (Ini zaman sudah canggih, dukun sudah tak membutuhkan bawaan gula kopi).

"Jadi bagaimana, Mbah? Saya sudah terlanjur beli di warungnya Pakde Pondi."

"Gowo HP?" (Bawa HP?).

"Bawa, Mbah."

"Onok Gopay?" (Ada Gopay?).

"Tidak punya, Mbah."

"Dana?"

"Tidak punya."

"Link Aja?"

Jubaedah menggeleng.

"Shopee Pay?"

"Tidak ada saldonya, Mbah."

"Mobile banking?"

"Ada, Mbah."

"Ha, iki ... transfer neng rekeningku iki." (Ha, ini ... transfer ke rekeningku ini).

"Transfer, Mbah?"

"Lo la iyo!" (Loh tentu!).

"Begitu ya, Mbah." Mulai ragu Jubaedah.

"He, Nduk. Awakku ki dukun gak gelem ngapusi. Malah awakmu ko ben dicatet adminku nek awakmu mlebu anggota." (He, Nduk. Aku ini dukun tidak mau berbohong. Malah kamu biar dicatat dengan Adminku kalau kamu masuk anggota).

"Awakmu kaitung wes oleh uwong siji, anakmu iku. Iso diwakili ambek bojomu, piye?" (Kamu terhitung sudah dapat satu orang, anakmu itu. Bisa diwakili dengan suamimu, bagaimana?).

"Ya sudahlah, Mbah. Saya ikut."

"Ha, iki ...." (Ini). Kuswanoto menunjukkan layar HP yang berisi nomor rekening.

"Limang atus ewu." (Lima ratus ribu).

"Eh, menyapih kok lima ratus ribu, Mbah?"

"Lo piye to awakmu iki. Jal pikir, awakmu iku jek oleh bati mengko-mengkone. Nek bojomu oleh uwong, uwong mau oleh uwong, lan sakteruse. Piro jal olehmu, he? Iso limang yuto lo, Nduk." (Bagaimana toh kamu ini. Coba pikir, kamu itu dapat untung nantinya. Kalau suamimu dapat orang, orang tadi dapat orang juga, lan seterusnya. Berapa yang kamu dapat, he? Bisa lima juta loh, Nduk).

"O? Iya, ya. Ya, Mbah, ini sudah saya transfer."

"Wes mlebu?" (Sudah masuk?).

"Sudah, Mbah."

Kuswanoto lalu memasukkan kembali HP ke saku gomroh. Sejenak dia memandang Jubaedah. Alisnya mulai digerak-gerakkan ke atas seraya tersenyum. Jubaedah mendapati itu tertunduk sungkan dan malu.

"Mbokde Warsinah ke mana toh, Mbah? Kok sepi?"

"Seng dadi dukun ki awakku! Lapo takok mbokdemu mbarang, ha!" (Yang jadi dukun itu saya! Kenapa tanya mbokdemu, ha!).

Kuswanoto lalu mengulurkan tangan ke arah dada Jubaedah.

"Ih, jangan, Mbah."

"Kate nyapih to?" (Mau menyapih, 'kan?).

Jubaedah menggangkuk dengan terus memegangi baju di dada yang sedikit terbuka.

"Yo ikune kudu oleh tak cekel. Piye nek nambani anek gak oleh tak cekel."

"Tapi, Mbah ...."

"He, Nduk. Mbah Noto ki duk dukun nggragas, yo. Dukun proposal! (He, Nduk. Mbah Noto ini bukan dukun rakus, ya. Dukun proposal!).

"Profesional, Mbah"

"Ha iku ngerti!" (Itu tahu!).

"Wes maju rene," (Sudah maju sini), imbuhnya.

Walau sedikit risih, Jubaedah akhirnya menurut saja.

"Timpuh," perintah Kuswanoto.

Jubaedah mengiyakan.

"Buka benike iku." (Buka kancingnya itu).

"Buka, Mbah?"

"Iyo. Kudu tak delok sek. Sisih ndi seng kate digawe pait banyu susune." (Iya. Harus saya lihat. Sebelah mana yang mau dibuat pahit asinya).

"Sekarang, Mbah?"

"Gak! Ko riyoyo taon ngarep!" (Tidak! Lebaran tahun depan!).

Jubaedah menoleh ke kanan dan ke belakang, memastikan kalau tidak ada orang. Perlahan dia membuka kancing baju.

Kuswanoto langsung meremas benda kesukaan sang bayi.

"Ih, Mbah. Malu."

"Sst!" pinta Kuswanoto untuk Jubaedah diam.

"Tak rapalno montro sek! Gak oleh muni awakmu!" (Saya bacakan mantra dulu! Tidak boleh bersuara!).

Jubaedah mengangguk.

"Gumbolo geni."

"Siro boyo putih kang kambang onok tengahing segoro."

"Sumubarang sirno dening gumbolo geni."

"E ... Susu tengen, iku ndek bojomu."

"E ... Susu kiwo, bola-bali digowo amergo wes dadi ndekku."

"Cermo ratu."

"Si bayi lalio duduh susu."

"Elingo sego lan banyu."

Kuswanoto terus meremas-remas sebagai syarat ritual. Lalu perlahan mendekatkan wajah.

Kuswanoto langsung sosor bagian itu. Dari kanan pindah ke kiri.

"Mbah ... ih." Jubaedah mencoba mendorong tubuh Kuswanoto. Geli yang menusuk kalah besar oleh rasa malunya.

Kuswanoto terus saja begitu, dengan sesekali mencucup .

"Sudah, ah, Mbah. Ih ...."

"Owa ... owe .. owa!"

"Mbah, anak saya bangun. Sudah, ih!"

"O? Arek sontolongop! Ganggu ae!" (O? Anak sialan! Mengganggu saja!), rutuk Kuswanoto dalam hati.

"Wes, Nduk. Wes rampung. Sakmono ae." (Sudah, Nduk. Sudah selesai. Begitu saja).

"Anakmu iku wes tangi, mergo kroso soko jampi-jampiku mau." (Anakmu sudah bangun, sebab merasa dari jampi milikku tadi).

"Owa ... owe ...owa!"

"Cup ... cup ... cup, Le."

Dengan memutar badan, Jubaedah mencoba memberikan asi kepada sang anak.

"Owa ... owe ... owa! Aumbu utuut." Sang anak terus menolak saat diberikan asi.

"Tidak mau nenen, Mbah."

"Yo apik, ncen Mbahe iki dukun sekti," (Ya bagus, memang Embahnya ini dukun sakti), puji Kuswanoto kepada diri sendiri.

"Wes dineng-neng neng njobo kono, sumuk yak 'e, Nduk." (Dibuat diam di luar sana, gerah mungkin, Nduk).

"Ya sudah, Mbah. Kalau begitu saya langsung pulang saja."

"Lo? Kok kesusu? La iku mau gung rampung lo awakku." (Loh? Kok terburu-buru? Yang tadi itu belum selesai).

"Sudah, Mbah. Sudah tidak usah saja. Tole juga sudah tidak mau nenen ini, berarti benar-benar manjur, cocok sama mantranya Mbah Noto. Saya pulang, Mbah."

"Yo wes. Tapi wes mbok transfer to mau?" (Ya sudah. Tapi sudah kamu transfer, 'kan?).

"Sudah, Mbah. Saya pamit, Mbah."

"Yo, ati-ati, Nduk."

Jubaedah melangkah tergesa saat anaknya terus menangis dan menolak untuk dia berikan asi.

"Owa ... owe ... owa! Aumbu utuut."

"Owa ... owe ... owa! Aumbu utuut." Terus menangis.

"Apa, Le? Mambu udut?" tanya Jubaedah menerka ucapan sang anak yang terus menagis.

"Owa ... owe ... owa! Aumbu utuut."

"Cup ... cup ... cup, ya. Iya ini, kita pulang."

Jubaedah makin jauh meninggalkan pintu. Meninggalkan Kuswanoto yang tersenyum semringah di ruangan tamu.

"Laris ... laris, he he he."

"Wes oleh pasien siji. Mandar mugo keneng nggo penglaris." (Sudah dapat satu pasien. Semoga bisa menjadi penglaris).

"Ngko nek wes kondang, iso buka cabang, he he he." (Nanti kalau sudah kondang, bisa buka cabang, he he he).

"Wah jan ... klakon mukti tenan nek ngene. Nyapih ae limang atus, a nek ping sepuluh. Weh, limang yuto rek!" (Wah ... terlaksana mulia sungguh kalau begini. Menyapih saja lima ratus, kalau dikali sepuluh. Weh, lima juta!).

BERSAMBUNG

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search