CERKAK DUKUN VERSI 2.0 BAB 2

BAB 2
"Kulonuwun!" (Permisi!).
"Monggo!" (Silakan!), jawab Kuswanoto.
Sugito masuk, lalu duduk di atas tikar.
"Sudah, Mbah."
"Sudah saya pasang baliho di dekat jalan besar sana," imbuhnya.
"Ha yo ngono. Opo dikiro gur caleg tok seng iso pasang baliho. Dukun yo iso, rak ngono to, Git?" (Ya begitu. Apa dikira hanya calon dewan yang bisa pasang baliho. Dukun juga bisa, bukannya begitu to, Git?).
"Leres, Mbah," (Benar, Mbah), jawab Sugito.
"Saimun wes mangkat pasang brosur. La tugasmu saiki pasang status." (Saimun sudah berangkat memasang brosur. Sekarang tugasmu pasang status).
"Status? Status apa, Mbah?"
"Kene ... kene ... lungguh nyedak kene." (Sini ... sini ... duduk dekat sini).
Sugito bangkit, sedikit menjura untuk memberi hormat atasannya.
"Lungguh," (Duduk), perintah Kuswanoto.
Kuswanoto lalu memegang kepala Sugito dengan dua tangan. "Bruss!" Meniup ubun-ubun.
"Kok disembur toh, Mbah?"
"Ben gak goblok," (Biar tidak bodoh), enteng Kuswanoto.
"Lah, Njenengan ini kok."
"Duwe HP android?" (Punya HP android?).
"Kagungan, Mbah," (Punya, Mbah), jawab Sugito.
"Duwe FB?" (Punya FB?).
"Gadah, Mbah." (Punya, Mbah).
"Satu gram?"
"Instagram, Mbah. Bukan satu gram."
"Halah! Kurang i mbek n ae tok!" (Halah! Kurang i sama n saja!).
"Wangsap?"
"WhatsApp, Mbah? Punya." Sugito langsung mengeluarkan HP dari saku celana.
"Tik Tok?"
"Tidak punya, Mbah."
"Lapo gak pasang, he?" (Kenapa tidak pasang, he?).
"Tik Tok itu apa, Mbah?"
"Alakmasa Allah, Gito ... Tik Tok kok gak weroh. Seng isine ngeneki ... ki ngeneki." (... Tik Tok saja tidak tahu, yang isinya begini ... ini begini).
Kuswanoto lalu berdiri seraya bergoyang mengikuti beberapa gerakan yang pernah dia tonton.
"Weroh?" (Tahu?).
"Oalah? Anak dan istri saya sering joget begitu, Mbah."
"Yo iku, kenopo awakmu gak oleh pasang Tik Tok, mergo bojomu wes pasang ndisikan, wedi nek konangan." (Itu sebabnya kenapaa kamu tidak boleh pasang Tik Tok, sebab istrimu sudah pasang duluan, takut kalau ketahuan).
"Twitter? Duwe ta gak?" (Twitter? Punya apa tidak?).
"Wah saya tahunya FB, Instagram, sama WA saja, Mbah."
"Ncen gak update tenan awakmu ki, Git." (Memang tidak update benar kamu ini, Git).
"Twitter ki koyok iki lo." (Twitter ini seperti ini loh). Kuswanoto juga mengeluarkan HP dari seragam dukunnya.
"Ki ... koyok iki, gambare manut emprit." (Ini ... seperti ini, gambarnya burung emprit).
"O? Sama seperti FB ya, Mbah."
"Yo ogak to. Twitter iku isine koyok iki." (Ya tidak toh. Twitter itu isinya seperti ini). Kuswanoto langsung mendekatkan layar ke hadapan Sugito. Telunjuk mulai bergerak, klik kolom pencarian, mengetik sesuatu, dan ....
"La kok isinya video bokep semua, Mbah."
Plok!
"Cangkemu! Ojok banter-banter lek muni! Ko krungu wong!" (Mulutmu! Jangan keras-keras kalau bicara! Nanti terdengar orang!).
"La memang kenyataan kok."
"Wes ... wes. Pasang status neng media sosial seng awakmu duwe ae." (Sudah ... sudah. Pasang status di media sosial yang kamu punya saja).
"Saya buat status di FB ya, Mbah. Di Wa juga."
"Tulis koyok seng neng plang ngarep omah." (Tulis seperti yang ada di plang depan rumah).
"Harus pakai versi juga, Kang. Eh, Mbah."
"Yo kudu, ben jelas. Ben do jelas nek awakku ki duk dukun kaleng-kaleng. Versine lo wes ditingkatno." (Ya harus, biar jelas kalau aku ini bukan dukun sembarangan. Versinya loh sudah ditingkatkan).
"Sebentar, Mbah. Saya ketik dulu. Eh, dikasih nomor WA apa tidak, Mbah?"
"Yo, diwei, mbok nowo onok seng kate golek tombo soko njobo Jowo." (Ya, dikasih, siapa tahu ada yang cari obat dari luar Jawa).
"Nomor WA Njenengan?"
"O gak usah, nomermu ae." (Tidak usah, nomormu saja).
"Loh kok nomorku, Mbah?"
"Awakku ki Bos Dukun, awakmu dadi anak buahku. Opo perewang , he? Awakmu ki kudu pinter golek job, pinter hubungan golek pasien. Dadi gak usah nganggo nomorku." (Aku ini Bos Dukun, kamu jadi anak buahku. Atau tukang bantu-bantu, he? Kamu ini harus pintar cari job, pintar berkomunikasi dengan pasien. Jadi tidak pakai nomorku).
"Apa takut dihack akunnya Njenengan, Mbah, kalau saya pasang di status?"
"Gak bakal iso." (Tidak bakal bisa).
"O? Akunnya dukun itu tidak bisa dihack karena sudah dipagari mantra ya, Mbah."
"Duk!" (Bukan!).
"Kok?"
"Diamano ambek verifikasi 2 jangkah. Wes dipasang kode generator, email pemulihan, nek onok arek kate ngehek, pesti konangan soko terawanganku." (Diamankan dengan verifikasi 2 langkah. Sudah dipasang kode generator, email pemulihan, kalau ada yang mau mencoba hack pasti ketahuan dari penerawangan).
"Oalah, ruwet ya, Mbah."
"Yo ncen, kudu ruwet, kata sandiku lo duowoooo, sak depo dowone." (Ya memang, harus rumit, kata sandiku juga panjang, satu depa panjangnya).
"Bukannya itu."
"La terus opo?" (Lalu apa?).
"Hidupnya Njenengan itu, ruwet."
Plok!
"Wes, dipasang gung neng status, he?" (Sudah dipasang belum di status, he?).
"Sampun, Kang. Eh, Mbah."
"Ko nek kulino Kang Noto tak hajar lo awakmu, Git!" (Nanti kalau kebiasaan Kang Noto saya hajar kamu, Git!).
"Wes kabeh gung?" (Sudah semua belum?). imbuh Kuswanoto.
"Sudah."
"A nek uwes, tugasmu mari iki goleh pengikut." (Kalau sudah, tugasmu setelah ini cari pengikut).
"Pengikut? Followers media sosial, Mbah?"
"Goblok! Nggo opo followers? Pengikut seng nyoto! Iki arane strategi pemasaran Multi Level Marketing." (Bodoh! Untuk apa followers? Pengikut yang nyata! Ini strategi pemasaran Multi Level Marketing).
"Wah, gak bakal tekan koyoke utekmu." (Wah, tidak bakal sampai otakmu sepertinya).
"Ugo diarani pemasaran berjenjang, ngono? Opo sistem pemasaran piramida." (Juga dibilang pemasaran berjenjang , begitu? Apa sistem pemasaran piramida).
Sugito mengerutkan dahi begitu dalam. "Jual produk, Mbah?"
"Yo ngono lah kiro-kiro. Awakmu kudu oleh sepuluh pasien. Ha mengko sepuluh pasien iko siji-siji ne uwong kudu iso golek sepuluh meneh pasien." (Ya seperti itulah kira-kira. Kamu harus dapat sepuluh pasien, nanti sepuluh pasien itu satu-satunya orang harus bisa mencari sepuluh pasien lagi).
"Paham gak?"
Sugito menggeleng. "Kok Njenengan paham, Mbah?"
"La, awakku ki tahu melok Ce En Ai kok. Ha ha ha." (La, aku ini pernah ikut Ce En Ai kok. Ha ha ha).
"Ha ha ha."
"Wes paham?" (Sudah paham?).
Sugito menggeleng lagi, tentu karena dia tidak pernah bergabung di Ce En Ai.
"Rene ... nyedek rene!" (Sini ... mendekat sini!).
"Paham, Mbah. Paham!" Kontan Sugito mengangguk. Jelas tak mau disembur dua kali.
"Tidak bisa kurang apa, Mbah? Berat kalau cari sepuluh orang. Siapa yang mau berobat coba?"
"La iki ... iki ... iki conto manungso seng gung tandang wes muni abot! Usaha yo!" (La ini ... ini ... ini contoh manusia yang belum melaksanakan sudah bilang berat! Usaha!).
"Tugasmu promo. Promosi nek awakku dukun sakti, wes versi 2.0." (Tugasmu promo. Mempromosikan kalau aku dukun sakti, sudah versi 2.0)
"Ya tapi cari sepuluh orang sakit itu di mana, Mbah? Berat!"
Sejenak Kuswanoto mengangguk-angguk pelan, berpikir sejenak seraya menerawang keadaan. Telunjuk tampak mengetuk dagu beberapa kali. Berpikir berat sepertinya.
Krik.
Krik.
Krik.
Krik. Bunyi jangkrik saat keduanya diam, membuat keadaan begitu senyap sekejap.
"Mbah?" tanya Sugito memecah keheningan.
"Iyo, koyoke abot nek kudu sepuluh." (Iya, sepertinya berat kalau harus sepuluh).
"La itu tahu. Apa sekampung mau saya racun biar pada berobat ke sini."
"Yo nek kudu." (Ya kalau memang harus).
"Lah Njenengan ini kok."
"Lima ya, Mbah?"
"Saya cari lima orang pasien. Nanti masing-masing dari mereka juga harus cari lima orang, dan seterusnya. Bagaimana, Mbah?"
"Yo wes, keneng." (Ya sudah, boleh).
"Saya orang pertama, jadi berapa imbalannya, Mbah?"
"Seket ewu." (Lima puluh ribu).
"Apa? Lima puluh ribu, Mbah?"
"Ha iyo to, la kate njalok piro." (La iya, maunya minta berapa).
"Lima puluh hanya habis buat bensin putar-putar cari pasien saja, Mbah."
"Sepuluh ewu diitung soko wong limo mau. A nek wong limo mau oleh uwong meneh? Opo gak awakmu seng sugeh ketimbang dukune, ha?" (Sepuluh ribu dihitung sadri lima orang tadi. Kalau lima orang tadi dapat orang lagi? Apa kamu tidak kaya dari pada dukunnya, ha?).
"Iya juga ya, Mbah."
"Genekno. Pokok golek uwong loro seng okeh. Ojok lali promo neng media sosial." (Itu tahu. Pokoknya cari orang sakit yang banyak. Jangan lupa promo di media sosial).
"Nggeh, Mbah. Siap!"
"Pingin oleh duwek ta gak?" (Ingin dapat uang apa tidak?).
"Ya mau toh, Mbah."
"Mangkane seng tatak lek promo ben ndang oleh pengikut. Eh, pasien." (Makanya yang giat kalau promo biar cepat dapat pengikut. Eh, pasien).
"Pengikut. Sudah kaya penulis Wattpad saja, Mbah, Njenengan itu."
"Lo? Opo awakmu ki gung weroh, ha?" (Loh? Apa kamu belum tahu, ha?).
"Belum?"
"Awakku kajobo ndukun, ugo nulis neng Wattpad." (Aku selain jadi dukun, juga menulis di Wattapad).
"Ah, masak, Mbah!"
"Lo? Lak gak percoyo nek diomongi." (Loh? Tidak percaya kalau dibilang).
"Wah, Njenengan bisa kaya mendadak, Mbah. Kalau menulis juga. Eh, Mbah. Penulis itu bisa kaya tidak toh?"
"Iso? Nek duwe usaha liyone. Yo koyok awakku iki, nyambi ndukun. Hua ha ha." (Bisa? Kalau punya usaha lain. Ya seperti aku ini, sambilan jadi dukun. Ha ha ha).
"La bagaimana toh, saya kira jadi penulis itu bisa kaya."
"Mbok ya, pengikutnya suruh berobat juga, Mbah."
"Iyo, mesti. Ko ngisan awakku promo neng Wattpad. Wes gek ndang mangkat kono." (Ya, pasti. Nanti sekalian aku promo di Wattapad. Sudah sana berangkat).
"Ya, Mbah. Saya mau cari orang dulu. Pamit , Mbah."
"Yo, pangestuku." (Ya, saya restui).
"Eh, masak anak buah dukun pakaiannya begini, pakai kaos sama celana begini, Mbah. Mbok ya, saya ini dikasih udeng begitu, seperti Njenengan itu."
"Nggo opo, he? Udeng ki ben nggo dukune ae. Anak buah gak usah nganggo udeng lan busono dukun! Po maneh awakmu ki anak buah dukun versi terbaru! Ngono ae luweh moderen, paham?" (Untuk apa, he? Udeng ini biar buat dukunnya saja. Anak buah tidak usah pakai udeng dan pakaian dukun! Apa lagi kamu ini anak buah dukun versi terbaru! Begitu saja lebih moderen, paham?).
"Ya sudahlah, Mbah. Dasar pelit."
"Ladalah! Gung tahu roh weteng onok siaran radione ta awakmu, he?" (Ladalah! Belum pernah tahu perut ada siaran beritanya, he?).
"Kok bisa, Mbah?"
"Diisi radio. Gelem?" (Diisi radio. Mau?).
"Wah gak, Mbah. Tidak jadi minta udengnya kalau begitu." Sugito ngeloyor pergi seketika.
"Anak buah kok kate kurang ajar kambek bos!" (Anak buah kok mau kurang ajar dengan bos!).
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment