MBAH SURO DUKUN CABUL
MBAH SURO PART 1
Suasana warung yang menjual berbagai jenis kebutuhan hidup
sehari hari itu tampak terlihat ramai pembeli.
Rumah yang dijadikan warung sembako itu amatlah sesak dengan
bermacam tumpukan kardus.
Warung yang menempati rumah berderet seperti pasar, berdinding
papan yang tindih sirih, tempat ini dulu adalah tempat di mana rencana akan
dibangun pasar desa, tapi entah mengapa bertahun tahun belum juga terwujud,
bahkan hanya meninggalkan rumah warung yang kini hanya disewa pendatang yang
mencoba keberuntungannya dengan menjual berbagai macam kebutuhan masyarakat.
Warung-warung ini semua berderet menyerupai sekolahan yang hanya dipisahkan oleh sekat papan sebagai pembatas antar ruangan satu dengan yang lain.
****
“Berapa semuanya, Yuk?” tanya perempuan yang mengenakan
daster itu meraih bungkusan plastik setelah menyerahkan beberapa lembar uang.
“La ndak beli mbako sama papirnya to, Ning?” Lelaki pemilik
warung menyerahkan pengembalian beberapa lembar dan uang receh.
“Biar saja Kang Yanto yang beli sendiri, lagi pula di rumah
juga sepertinya masih ada,” jawab Nining.
“Kerja loh Kang, upahnya ndak mesti. Cuma habis buat beli
rokok dan mbakonya saja, belum lagi biaya anak-anak sekolah,” imbuhnya.
Pembeli di sini sudah begitu dekat dengan Suripno, lelaki
paruh baya yang memperistri Nurhayati, wanita muda yang bisa dibilang kembang
desa di sini.
“Ya, sudah. Mbok ya, jangan menghilang hilangkan rezeki
suami. Tidak baik, Ning.”
Suripno selalu begitu, seakan membela kaum lelaki yang mandi
keringat demi anak istri.
“Ya, sudah, Kang. Kalau begitu terima kasih. Saya pamit
dulu.” Nining seakan mengerti, masih banyak pembeli yang harus dilayani
Suripno, lelaki baya yang sampai kini belum dikaruniai seorang anak dari pernikahannya
dengan Nurhayati.
“Yo, wes. Matur nuwun
wes blonjo rene,” balas Suripno sangat ramah terhadap semua pembeli.
Persaingan antar warung yang menempati rumah pasar itu
terkadang menimbulkan kebencian di antara mereka. Maklumlah jarak yang hanya
setipis papan yang memisahkan barang dagangan mereka pasti menimbulkan rasa iri
bila salah satu warung di antara mereka diserbu pembeli.
Sementara itu, Nurhayati sama sibuknya melayani pembeli yang
selalu ramai di waktu pagi di mana para ibu-ibu berbelanja kebutuhan sayur dan
bumbu dapur, dan itu ada di sebelah ruangan yang ditunggu oleh suaminya.
Nurhayati yang mempunyai tubuh sintal dan kulit kuning
langsat ini memang terlihat sangat cantik. Pantas kiranya Suripno, duda tua
yang memiliki banyak uang ini menikahinya.
Keputusan Nurhayati memilih Suripno yang usianya lebih tua
memang tepat, menolak cinta laki-laki yang hanya bermodalkan gombalan saja.
“Berapa total semuanya, Nur?”
Nurhayati masih membuka buku catatan yang isinya sebagian
angka yang sudah dicoret.
“Jadi, sisa bonnya masih seratus empat puluh nggeh, Bu.”
Nurhayati meletakkan buku itu dan memasukkan semua barang belanjaan pembelinya
ke kantong keresek.
“Eh, Nur. Pantesan saja warung Pak Banar jadi sepi. Lha wong
barang dagangannya saja habis dan uangnya untuk berobat istrinya yang
sakit-sakitan itu loh, Nur,” kata Bu Tejo biang gosip.
Nurhayati yang diajak bicara melirik suaminya yang sibuk melayani
banyak pembeli lainnya.
“Ndak baik loh Bu Tejo, ngomongin orang begitu.” Nur seakan tidak
tertarik atas obrolan itu.
“E, la memang benar kok, Nur. Dulu dikampungnya sana Pak
Banar itu pedagang sukses, tapi ya, sst! Dengar-dengar Pak Banar itu pakai
pesugihan. Terus istrinya sendiri yang dijadikan tumbal. Lama-lama Pak Banar
itu ndak mau kalau istrinya jadi tumbal atas perjanjiannya, maka kemudian
sekeluarga pindah ke sini. Begitu yang saya dengar. La mosok kamu ndak tahu
toh, Nur?” cerocos bu Tejo diakhiri tanya.
Bu Tejo yang dirambutnya berjejer rol rambut itu masih
berdiri di seberang meja yang menyuguhkan berbagai macam sayur sayuran dari
taoge sampai tempe.
“Permisi nggeh, Bu Tejo,” ujar satu pembeli yang tak lain
Suprihatin mencoba untuk berbagi tempat dengan Bu Tejo yang nyerocos
membicarakan warung Pak Banar.
“Nur, ada benang tidak?” imbuh Suprihatin lalu berdiri di
samping Bu Tejo yang jidatnya lebar memakai rol rambut.
Alasan tepat bagi Nur untuk tidak meladeni pembicaraan Pak
Banar yang hanya berbatasan dengan satu warung, warungnya Saipul yang menjual
bubur kacang hijau.
“Pagi-pagi kok sudah cari benang toh, Jum?” sapa Bu Tejo yang
sedari tadi belum juga beranjak dari tempatnya berdiri.
“Nggeh, Bu Tejo. Itu loh celana suamiku sobek terkena paku di
dinding,” jawab Suprihatin.
“Eh, Tin. Belum ngisi juga toh kamu? Makanya berobat. Ndak
pingin toh kamu punya momongan?” tanya Bu Tejo kepada Suprihatin.
“La wong sudah berumah tangga lama kok ya, belum hamil juga,”
gumam Bu Tejo.
Ditanya pertanyaan yang menyudutkan begitu, Suprihatin hanya
bisa tersenyum pahit dan memandang Nurhayati yang sudah kembali dengan membawa
benang putih pesanannya.
“Maaf loh, Mbak Tin. Jadi lama menunggunya. Soalnya benangnya
masih di dalam kardus dan belum sempat Mas Suripno bongkar.” Nur menyerahkan
benang itu kepada Suprihatin.
“Kamu juga itu loh, Nur. Tunggu apa lagi, he? Kok ya, belum
mau punya anak. Keburu suamimu itu ndak bisa bangun lagi burungnya baru kapok
kamu,” uap Bu Tejo kini kepada Nurhayati.
“Belum dikasih rezeki, Bu. Kalau Gusti Allah maringi
momongan, ya nanti juga pasti punya anak,” balas Nurhayati.
Setengah berat hati juga Nurhayati memberikan jawaban
sekaligus perkataan menghibur buat dirinya yang sudah dua tahun menikah dengan
Suripno, tapi belum juga dikaruniai momongan.
“Ah, payah! Suami kalian itu loh kurang pada sehat semua atau
bagaimana toh? Mbok ya, lihat saya ini. Anaknya saja ada lima. Yo, wes, yo,
wes. Saya sarankan berobat biar pada subur kalian itu,” gerutunya. Kemudian Bu
Tejo berlalu dari hadapan Nurhayati dan Suprihatin.
“Ndak usah diambil hati semua perkataan Bu Tejo tadi, Yuk
Tin. Semua orang tahu bagaimana mulut Bu Tejo yang kalau ngomong tanpa memikirkan
perasaan orang lain, ya?”
“Iya, Nur. Saya sudah biasa dan tidak tersinggung atas ucapan
Bu Tejo tadi,” jawab Suprihatin.
“Sudah? Ini saja belanjanya?” Nurhayati mencoba menghibur
Suprihatin yang senasib belum memiliki momongan.
“Ndak apa apa kok, Nur. Mungkin Gusti Allah belum berkenan
kasih kita titipan ya, Nur?”
“Sudah, ah sudah. Jangan berkecil hati,” hibur Nurhayati
kembali.
No comments:
Post a Comment