Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

MBAH SURO DUKUN CABUL

 MBAH SURO PART 1

Suasana warung yang menjual berbagai jenis kebutuhan hidup sehari hari itu tampak terlihat ramai pembeli.

Rumah yang dijadikan warung sembako itu amatlah sesak dengan bermacam tumpukan kardus. 

Warung yang menempati rumah berderet seperti pasar, berdinding papan yang tindih sirih, tempat ini dulu adalah tempat di mana rencana akan dibangun pasar desa, tapi entah mengapa bertahun tahun belum juga terwujud, bahkan hanya meninggalkan rumah warung yang kini hanya disewa pendatang yang mencoba keberuntungannya dengan menjual berbagai macam kebutuhan masyarakat.

Warung-warung ini semua berderet menyerupai sekolahan yang hanya dipisahkan oleh sekat papan sebagai pembatas antar ruangan satu dengan yang lain.


****

“Berapa semuanya, Yuk?” tanya perempuan yang mengenakan daster itu meraih bungkusan plastik setelah menyerahkan beberapa lembar uang.

“La ndak beli mbako sama papirnya to, Ning?” Lelaki pemilik warung menyerahkan pengembalian beberapa lembar dan uang receh.

“Biar saja Kang Yanto yang beli sendiri, lagi pula di rumah juga sepertinya masih ada,” jawab Nining.

“Kerja loh Kang, upahnya ndak mesti. Cuma habis buat beli rokok dan mbakonya saja, belum lagi biaya anak-anak sekolah,” imbuhnya.

Pembeli di sini sudah begitu dekat dengan Suripno, lelaki paruh baya yang memperistri Nurhayati, wanita muda yang bisa dibilang kembang desa di sini.

“Ya, sudah. Mbok ya, jangan menghilang hilangkan rezeki suami. Tidak baik, Ning.”

Suripno selalu begitu, seakan membela kaum lelaki yang mandi keringat demi anak istri.

“Ya, sudah, Kang. Kalau begitu terima kasih. Saya pamit dulu.” Nining seakan mengerti, masih banyak pembeli yang harus dilayani Suripno, lelaki baya yang sampai kini belum dikaruniai seorang anak dari pernikahannya dengan Nurhayati.

 “Yo, wes. Matur nuwun wes blonjo rene,” balas Suripno sangat ramah terhadap semua pembeli.

Persaingan antar warung yang menempati rumah pasar itu terkadang menimbulkan kebencian di antara mereka. Maklumlah jarak yang hanya setipis papan yang memisahkan barang dagangan mereka pasti menimbulkan rasa iri bila salah satu warung di antara mereka diserbu pembeli.

Sementara itu, Nurhayati sama sibuknya melayani pembeli yang selalu ramai di waktu pagi di mana para ibu-ibu berbelanja kebutuhan sayur dan bumbu dapur, dan itu ada di sebelah ruangan yang ditunggu oleh suaminya.

Nurhayati yang mempunyai tubuh sintal dan kulit kuning langsat ini memang terlihat sangat cantik. Pantas kiranya Suripno, duda tua yang memiliki banyak uang ini menikahinya.

 

Keputusan Nurhayati memilih Suripno yang usianya lebih tua memang tepat, menolak cinta laki-laki yang hanya bermodalkan gombalan saja.

“Berapa total semuanya, Nur?”

Nurhayati masih membuka buku catatan yang isinya sebagian angka yang sudah dicoret.

“Jadi, sisa bonnya masih seratus empat puluh nggeh, Bu.” Nurhayati meletakkan buku itu dan memasukkan semua barang belanjaan pembelinya ke kantong keresek.

“Eh, Nur. Pantesan saja warung Pak Banar jadi sepi. Lha wong barang dagangannya saja habis dan uangnya untuk berobat istrinya yang sakit-sakitan itu loh, Nur,” kata Bu Tejo biang gosip.

Nurhayati yang diajak bicara melirik suaminya yang sibuk melayani banyak pembeli lainnya.

“Ndak baik loh Bu Tejo, ngomongin orang begitu.” Nur seakan tidak tertarik atas obrolan itu.

“E, la memang benar kok, Nur. Dulu dikampungnya sana Pak Banar itu pedagang sukses, tapi ya, sst! Dengar-dengar Pak Banar itu pakai pesugihan. Terus istrinya sendiri yang dijadikan tumbal. Lama-lama Pak Banar itu ndak mau kalau istrinya jadi tumbal atas perjanjiannya, maka kemudian sekeluarga pindah ke sini. Begitu yang saya dengar. La mosok kamu ndak tahu toh, Nur?” cerocos bu Tejo diakhiri tanya.

Bu Tejo yang dirambutnya berjejer rol rambut itu masih berdiri di seberang meja yang menyuguhkan berbagai macam sayur sayuran dari taoge sampai tempe.

“Permisi nggeh, Bu Tejo,” ujar satu pembeli yang tak lain Suprihatin mencoba untuk berbagi tempat dengan Bu Tejo yang nyerocos membicarakan warung Pak Banar.

“Nur, ada benang tidak?” imbuh Suprihatin lalu berdiri di samping Bu Tejo yang jidatnya lebar memakai rol rambut.

Alasan tepat bagi Nur untuk tidak meladeni pembicaraan Pak Banar yang hanya berbatasan dengan satu warung, warungnya Saipul yang menjual bubur kacang hijau.

“Pagi-pagi kok sudah cari benang toh, Jum?” sapa Bu Tejo yang sedari tadi belum juga beranjak dari tempatnya berdiri.

“Nggeh, Bu Tejo. Itu loh celana suamiku sobek terkena paku di dinding,” jawab Suprihatin.

“Eh, Tin. Belum ngisi juga toh kamu? Makanya berobat. Ndak pingin toh kamu punya momongan?” tanya Bu Tejo kepada Suprihatin.

“La wong sudah berumah tangga lama kok ya, belum hamil juga,” gumam Bu Tejo.

Ditanya pertanyaan yang menyudutkan begitu, Suprihatin hanya bisa tersenyum pahit dan memandang Nurhayati yang sudah kembali dengan membawa benang putih pesanannya.

“Maaf loh, Mbak Tin. Jadi lama menunggunya. Soalnya benangnya masih di dalam kardus dan belum sempat Mas Suripno bongkar.” Nur menyerahkan benang itu kepada Suprihatin.

“Kamu juga itu loh, Nur. Tunggu apa lagi, he? Kok ya, belum mau punya anak. Keburu suamimu itu ndak bisa bangun lagi burungnya baru kapok kamu,” uap Bu Tejo kini kepada Nurhayati.

“Belum dikasih rezeki, Bu. Kalau Gusti Allah maringi momongan, ya nanti juga pasti punya anak,” balas Nurhayati.

Setengah berat hati juga Nurhayati memberikan jawaban sekaligus perkataan menghibur buat dirinya yang sudah dua tahun menikah dengan Suripno, tapi belum juga dikaruniai momongan.

“Ah, payah! Suami kalian itu loh kurang pada sehat semua atau bagaimana toh? Mbok ya, lihat saya ini. Anaknya saja ada lima. Yo, wes, yo, wes. Saya sarankan berobat biar pada subur kalian itu,” gerutunya. Kemudian Bu Tejo berlalu dari hadapan Nurhayati dan Suprihatin.

“Ndak usah diambil hati semua perkataan Bu Tejo tadi, Yuk Tin. Semua orang tahu bagaimana mulut Bu Tejo yang kalau ngomong tanpa memikirkan perasaan orang lain, ya?”

“Iya, Nur. Saya sudah biasa dan tidak tersinggung atas ucapan Bu Tejo tadi,” jawab Suprihatin.

“Sudah? Ini saja belanjanya?” Nurhayati mencoba menghibur Suprihatin yang senasib belum memiliki momongan.

“Ndak apa apa kok, Nur. Mungkin Gusti Allah belum berkenan kasih kita titipan ya, Nur?”

“Sudah, ah sudah. Jangan berkecil hati,” hibur Nurhayati kembali.



MBAH SURO PART 2

MBAH SURO PART 3

MBAH SURO PART 4

MBAH SURO PART 5

 MBAH SURO PART 6

 MBAH SURO PART 7

MBAH SURO PART 8

 MBAH SURO PART 9

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search