Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

MIMPI BASAH BARENG DUKUN CABUL-MBAH SURO PART 3

 MBAH SURO PART 3

Mbah Suro menggenggam sesuatu di balik kepalan tangan kanannya.

Kemudian mulutnya komat-kamit membaca sebuah mantra.

“Mendekat!” pinta Mbah Suro.

Yulia bersimpuh mendekat ke hadapan Mbah Suro.


Kini tangan kanan Mbah Suro melakukan gerakan di hadapan Yulia seperti mengusap wajah.

“Silangkan tangan di dada dan pejamkan matamu.”

Hati Yulia semakin berdetak kencang, takut kalau dukun di hadapannya ini hanya dukun cabul yang memanfaatkan ritual untuk menghipnotisnya.

Suasana kamar yang sepi membuat Yulia benar-benar takut, ditambah ia kini hanya mengenakan kain hitam yang membelit bagian dada, menutupi sampai lututnya seperti kemban.

Mbah Suro membacakan mantra sebelum benda kecil berwarna kuning yang di ujung antara jempol dan telunjuknya itu dimasukkan ke kening Yulia.

Mulut Mbah Suro terus membacakan mantra supaya susuk yang akan ditanamkan di kening Yulia semakin memiliki daya linuwih atau kekuatan gaib tertentu.

Samar-samar di telinga Yulia, Mbah Suro membaca kalimat demi kalimat yang tidak Yulia mengerti artinya.

“Nurbah, nursah Qolbiyyah.”

“Ya, Qolbiyyah. Ya, Qoyum kang asmonipun elmu banyu.”

“Bur nyai cahyoku. Cahyo nur marang aku.”

“Sir moyo, moyo cunduk angklongsa buono.”

“Emas, yo aku. Inten, yo aku. Mutioro, yo aku. Perak lan tembogo, yo aku.”

“Bul putih asmoku.. Teko`o kasih lan sayang sekaliyan manungso marang awaku.”

“Mustajab!”

Lalu tangan Mbah Suro bergerak seperti memasukkan sesuatu ke kening Yulia hanya satu embusan napas.

Kedua tangan Mbah Suro memegang kepala Yulia dan dibacakannya mantra pengunci sebagai pagar gaib untuk susuk yang kini sudah menyatu di daging tubuhnya.

“Ya, hayan. Ya, dayan. Ya, manan.”

“Malaikat kang ngrekso rogoku.”

“Papat soko alam.”

“Papat soko langit.”

“Papat soko bumi.”

“Teko gilar ombak ngademi.”

“Teko angin ngisisi.”

“Gak ono doyo sekaliyan doyo.”

“Gak ono doyo sekaliyan digdoyo!”


Setelah melewati ritual pemasangan susuk, Yulia sudah kembali di hadapan Mbah Suro dengan mengenakan pakaiannya kembali.

“Kekuatan susukmu itu seumur hidup bila kau tidak melanggar pantangannya,” kata Mbah Suro yang duduk bersila.

“Apa pantangannya, Mbah?”

Yulia terlihat lebih tenang dan tak lagi ada kecemasan di wajahnya.

“Jangan coba-coba memakan pisang emas. Bila kau melanggarnya maka kekuatan susukmu akan hilang, tetapi tidak dengan susuk yang menancap di keningmu.”

Yulia mengangguk-angguk seolah olah mengerti dan sangat gampang sekali untuk menghindari pantangannya.

“Yang perlu diingat, bukan hanya kekuatannya saja yang hilang. Maka wajah ayumu juga akan ikut hilang!”

Kata terakhir Mbah Suro membuat kaget Yulia.

“Hilang bagaimana maksudnya, Mbah!”

“Kamu akan tahu sendiri saat melanggar pantangan yang  mbah berikan. Jangan kuatir bila tak melanggarnya.”

“Semua sudah terjadi dan tidak bisa diurungkan!” imbuh Mbah Suro.

Ucapan Mbah Suro semakin membuat Yulia takut akan akibat bila ia melanggar atau lupa pantangannya.

Yulia berdiri pamit dan menuju baskom yang berisi kembang berbagai rupa, meletakkan beberapa lembar uang sebagai mahar atas benda yang kini menyatu di wajahnya.

 

Hari terus bergulir.

Kabar tentang pernikahan Darti dengan salah satu Kaur desa sampai juga ditelinga Mbah Suro. Ada rasa cemburu di hatinya.

Bisa saja Mbah Suro menggunakan ilmu pelet untuk memiliki Darti, bukan sebagai istri, tapi rasa cemburu itu muncul saat membayangkan tubuh janda semok ditindih suaminya dan Mbah Suro jelas tidak terima.

****

Malam masih dengan sejuta misterinya. Suara sang pungguk sayup-sayup terdengar menandakan malam semakin larut.

Mbah Suro merebahkan tubuhnya. Kedua tangan menyatu di belakang kepala.

Matanya jauh menerawang seakan rumahnya tak beratap.

Di hadapannya langit begitu memesona dengan kerlipan sang bintang. Ada segumpal awan yang samar kelabu di bagian utara Perlahan membentuk segaris wajah, pelan namun pasti.

Wajah itu menyerupai Darti. Hanya mengenakan kain tipis, tersenyum ke arah Mbah Suro.

Sekejap bayangan itu hilang saat angin dingin menerobos melalui celah geribik.

Mbah Suro sadar bahwa nafsunya untuk menikmati tubuh janda itu amatlah tinggi. Sayang kenyataannya ia tidak mempunyai keberanian untuk menyatakan isi hatinya saat bertemu dengan janda penjual getuk itu.

Semakin membayangkan Darti, semakin isi kolornya berontak.

Mbah Suro bangkit lalu berdiri di pembaringannya.

Dilepaskan semua pakaian lalu bergerak meraih sarung yang tergeletak di samping bantal kapuk tempat tidurnya.

Diletakan bantal itu kini berlawanan dari arah semula lalu merebahkan tubuhnya.

Tangan kanan itu melepas gulungan sarung yang melilit pinggangnya.

Mulutnya membaca mantra dengan kedua tangan disilangkan di dada.

Masih dalam posisi berbaring, mantra itu terus dibaca perlahan.

“Mubumu isi hartik aji lan`maudah.”

“Mlebuo awakmu neng njero cupu gading astagin.”

“Sinduka sun kalantaka.”

“Klingkang klingking guluku.”

“Sodo ing wetengku Sakciplukan.”

“Woyah wayih godong iras.”

“Niat ingsun pan ngirim banyu kencono sukmo sejatine si Darti ilir kepasir.”

“Kumbang doyo awak ing pangarikun sukmo sejatine Darti wanatul jin.”

Mantra itu dibacanya sebanyak tiga kali.

Mbah Suro menghentikan mantra di saat hatinya yakin bahwa janda molek itu sudah tertidur pulas.

Mbah Suro menepuk bantalnya sebanyak tiga kali.

Buk! Buk! Buk!

Kemudian membayangkan bahwa bantal tersebut adalah tubuh telanjang Darti.

Tak lama kemudian Mbah Suro kembali berbaring dengan sebelumnya telah membalik posisi bantal yang ditepuknya tadi.

Kini posisi bawah bantal berada di atas tempat Mbah Suro meletakan kepalanya.

Dibukanya kedua pahanya, Mbah Suro terlentang.

Perlahan matanya menutup membayangkan indahnya tubuh Darti.

Semakin dalam, dan semakin nyata.

Ada yang menyembul di balik sarung yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

****

Bersamaan waktu, yang terjadi di rumah Darti.

Angin menyapu wajah Darti membuat ia menggeliat.

Terasa dingin sekali yang dirasakannya.

Matanya perlahan terbuka dan mendapati tubuhnya kini sama sekali tak mengenakan sehelai benang.

Di atas tubuhnya ada seorang lalaki yang menindih dan meremas buah dadanya.

Darti hanya bisa pasrah dan menikmati  remas tangan lelaki yang tak lain adalah Mbah Suro.

Bibir Darti tersenyum saat wajah Mbah Suro berada tepat di hadapannya.

Darti hanya bisa terpekik saat kumis Mbah Suro menusuk-menusuk bagian lehernya.

“Oh, Mbah.”

Darti mencoba berontak akibat rasa geli yang menyiksa, tapi sayang, tangan Mbah Suro kuat mencengkeram lengannya.

Ciuman Mbah Suro terus berlanjut dan menyusuri bagian dada lalu menyapu bagian bawah tubuh Darti.

“Stt, Mbah.” Darti mendesis.

“Oh, Mbah.”  Darti merintih.

Dicobanya meraih jimat keramat yang menggantung di selangkangan Mbah Suro.

Jelas terasa benda itu berdenyut dan keras.

Malam menjadi saksi betapa gagahnya Mbah Suro saat mengentak tubuh janda yang kerap melintas di depan rumahnya.

Hanya malam yang menghitung entak demi entak yang menghunjam  bagian bawah tubuh Darti.

Saat semua sudah terlampiaskan tubuh Mbah Suro melayang pergi.

BERSAMBUNG KE PART 4

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search