MIMPI BASAH BARENG DUKUN CABUL-MBAH SURO PART 3
MBAH SURO PART 3
Mbah Suro menggenggam sesuatu di balik kepalan tangan
kanannya.
Kemudian mulutnya komat-kamit membaca sebuah mantra.
“Mendekat!” pinta Mbah Suro.
Yulia bersimpuh mendekat ke hadapan Mbah Suro.
Kini tangan kanan Mbah Suro melakukan gerakan di hadapan Yulia
seperti mengusap wajah.
“Silangkan tangan di dada dan pejamkan matamu.”
Hati Yulia semakin berdetak kencang, takut kalau dukun di hadapannya
ini hanya dukun cabul yang memanfaatkan ritual untuk menghipnotisnya.
Suasana kamar yang sepi membuat Yulia benar-benar takut,
ditambah ia kini hanya mengenakan kain hitam yang membelit bagian dada,
menutupi sampai lututnya seperti kemban.
Mbah Suro membacakan mantra sebelum benda kecil berwarna
kuning yang di ujung antara jempol dan telunjuknya itu dimasukkan ke kening
Yulia.
Mulut Mbah Suro terus membacakan mantra supaya susuk yang
akan ditanamkan di kening Yulia semakin memiliki daya linuwih atau kekuatan
gaib tertentu.
Samar-samar di telinga Yulia, Mbah Suro membaca kalimat demi
kalimat yang tidak Yulia mengerti artinya.
“Nurbah, nursah Qolbiyyah.”
“Ya, Qolbiyyah. Ya, Qoyum kang
asmonipun elmu banyu.”
“Bur nyai cahyoku. Cahyo nur marang
aku.”
“Sir moyo, moyo cunduk angklongsa
buono.”
“Emas, yo aku. Inten, yo aku.
Mutioro, yo aku. Perak lan tembogo, yo aku.”
“Bul putih asmoku.. Teko`o kasih lan
sayang sekaliyan manungso marang awaku.”
“Mustajab!”
Lalu tangan Mbah Suro bergerak seperti memasukkan sesuatu ke
kening Yulia hanya satu embusan napas.
Kedua tangan Mbah Suro memegang kepala Yulia dan dibacakannya
mantra pengunci sebagai pagar gaib untuk susuk yang kini sudah menyatu di
daging tubuhnya.
“Ya, hayan. Ya, dayan. Ya, manan.”
“Malaikat kang ngrekso rogoku.”
“Papat soko alam.”
“Papat soko langit.”
“Papat soko bumi.”
“Teko gilar ombak ngademi.”
“Teko angin ngisisi.”
“Gak ono doyo sekaliyan doyo.”
“Gak ono doyo sekaliyan digdoyo!”
Setelah melewati ritual pemasangan susuk, Yulia sudah kembali di hadapan Mbah
Suro dengan mengenakan pakaiannya kembali.
“Kekuatan susukmu itu seumur hidup bila kau tidak melanggar
pantangannya,” kata Mbah Suro yang duduk bersila.
“Apa pantangannya, Mbah?”
Yulia terlihat lebih tenang dan tak lagi ada kecemasan di wajahnya.
“Jangan coba-coba memakan pisang emas. Bila kau melanggarnya
maka kekuatan susukmu akan hilang, tetapi tidak dengan susuk yang menancap di
keningmu.”
Yulia mengangguk-angguk seolah olah mengerti dan sangat
gampang sekali untuk menghindari pantangannya.
“Yang perlu diingat, bukan hanya kekuatannya saja yang
hilang. Maka wajah ayumu juga akan ikut hilang!”
Kata terakhir Mbah Suro membuat kaget Yulia.
“Hilang bagaimana maksudnya, Mbah!”
“Kamu akan tahu sendiri saat melanggar pantangan yang mbah berikan. Jangan kuatir bila tak
melanggarnya.”
“Semua sudah terjadi dan tidak bisa diurungkan!” imbuh Mbah
Suro.
Ucapan Mbah Suro semakin membuat Yulia takut akan akibat bila
ia melanggar atau lupa pantangannya.
Yulia berdiri pamit dan menuju baskom yang berisi kembang
berbagai rupa, meletakkan beberapa lembar uang sebagai mahar atas benda yang
kini menyatu di wajahnya.
Hari terus bergulir.
Kabar tentang pernikahan Darti dengan salah satu Kaur desa sampai
juga ditelinga Mbah Suro. Ada rasa cemburu di hatinya.
Bisa saja Mbah Suro menggunakan ilmu pelet untuk memiliki
Darti, bukan sebagai istri, tapi rasa cemburu itu muncul saat membayangkan tubuh
janda semok ditindih suaminya dan Mbah Suro jelas tidak terima.
****
Malam masih dengan sejuta misterinya. Suara sang pungguk
sayup-sayup terdengar menandakan malam semakin larut.
Mbah Suro merebahkan tubuhnya. Kedua tangan menyatu di
belakang kepala.
Matanya jauh menerawang seakan rumahnya tak beratap.
Di hadapannya langit begitu memesona dengan kerlipan sang
bintang. Ada segumpal awan yang samar kelabu di bagian utara Perlahan membentuk
segaris wajah, pelan namun pasti.
Wajah itu menyerupai Darti. Hanya mengenakan kain tipis,
tersenyum ke arah Mbah Suro.
Sekejap bayangan itu hilang saat angin dingin menerobos
melalui celah geribik.
Mbah Suro sadar bahwa nafsunya untuk menikmati tubuh janda
itu amatlah tinggi. Sayang kenyataannya ia tidak mempunyai keberanian untuk
menyatakan isi hatinya saat bertemu dengan janda penjual getuk itu.
Semakin membayangkan Darti, semakin isi kolornya berontak.
Mbah Suro bangkit lalu berdiri di pembaringannya.
Dilepaskan semua pakaian lalu bergerak meraih sarung yang
tergeletak di samping bantal kapuk tempat tidurnya.
Diletakan bantal itu kini berlawanan dari arah semula lalu
merebahkan tubuhnya.
Tangan kanan itu melepas gulungan sarung yang melilit
pinggangnya.
Mulutnya membaca mantra dengan kedua tangan disilangkan di
dada.
Masih dalam posisi berbaring, mantra itu terus dibaca
perlahan.
“Mubumu isi hartik aji lan`maudah.”
“Mlebuo awakmu neng njero cupu gading
astagin.”
“Sinduka sun kalantaka.”
“Klingkang klingking guluku.”
“Sodo ing wetengku Sakciplukan.”
“Woyah wayih godong iras.”
“Niat ingsun pan ngirim banyu kencono
sukmo sejatine si Darti ilir kepasir.”
“Kumbang doyo awak ing pangarikun
sukmo sejatine Darti wanatul jin.”
Mantra itu dibacanya sebanyak tiga kali.
Mbah Suro menghentikan mantra di saat hatinya yakin bahwa
janda molek itu sudah tertidur pulas.
Mbah Suro menepuk bantalnya sebanyak tiga kali.
Buk! Buk! Buk!
Kemudian membayangkan bahwa bantal tersebut adalah tubuh
telanjang Darti.
Tak lama kemudian Mbah Suro kembali berbaring dengan sebelumnya
telah membalik posisi bantal yang ditepuknya tadi.
Kini posisi bawah bantal berada di atas tempat Mbah Suro
meletakan kepalanya.
Dibukanya kedua pahanya, Mbah Suro terlentang.
Perlahan matanya menutup membayangkan indahnya tubuh Darti.
Semakin dalam, dan semakin nyata.
Ada yang menyembul di balik sarung yang menutupi bagian bawah
tubuhnya.
****
Bersamaan waktu, yang
terjadi di rumah Darti.
Angin menyapu wajah Darti membuat ia menggeliat.
Terasa dingin sekali yang dirasakannya.
Matanya perlahan terbuka dan mendapati tubuhnya kini sama
sekali tak mengenakan sehelai benang.
Di atas tubuhnya ada seorang lalaki yang menindih dan meremas
buah dadanya.
Darti hanya bisa pasrah dan menikmati remas tangan lelaki yang tak lain adalah Mbah
Suro.
Bibir Darti tersenyum saat wajah Mbah Suro berada tepat di
hadapannya.
Darti hanya bisa terpekik saat kumis Mbah Suro menusuk-menusuk
bagian lehernya.
“Oh, Mbah.”
Darti mencoba berontak akibat rasa geli yang menyiksa, tapi
sayang, tangan Mbah Suro kuat mencengkeram lengannya.
Ciuman Mbah Suro terus berlanjut dan menyusuri bagian dada lalu
menyapu bagian bawah tubuh Darti.
“Stt, Mbah.” Darti mendesis.
“Oh, Mbah.” Darti
merintih.
Dicobanya meraih jimat keramat yang menggantung di
selangkangan Mbah Suro.
Jelas terasa benda itu berdenyut dan keras.
Malam menjadi saksi betapa gagahnya Mbah Suro saat mengentak
tubuh janda yang kerap melintas di depan rumahnya.
Hanya malam yang menghitung entak demi entak yang menghunjam bagian bawah tubuh Darti.
Saat semua sudah terlampiaskan tubuh Mbah Suro melayang
pergi.
BERSAMBUNG KE PART 4
No comments:
Post a Comment