KIRIMAN-MBAH SURO DUKUN CABUL PART 4
MBAH SURO PART 4
Pagi harinya.
Darti terbangun lebih awal. Dirabanya bagian itu.
Masih menyisakan cairan buah erotika kamasutra.
“Bukankah semalam hanya mimpi, tapi kenapa ini nyata?”
Matanya masih mengamati tangan yang basah.
“Kenapa aku bisa bermimpi dengan dukun koproh itu, ha!”
Akan tetapi, hatinya berbisik, Darti membayangkan betapa
dirinya dipuaskan lewat mimpi, dan jimat
keramat milik sang dukun masih terbayang jelas, sebesar pisang raja.
Darti turun dari pembaringan lalu menuju dapur di mana ibunya
sudah membuat api dari kayu untuk mengukus singkong.
****
Burung terocok yang terus bernyanyi dan melompat dari satu
dahan ke dahan yang lain seakan menjadi tembang pembuka hari saat Darti
melangkah menjajakan getuk yang dibuat subuh tadi bersama ibunya.
Pohon senggani seakan hafal betul akan aroma wangi Darti tatkala
melintasi hamparan belukar.
Terlihat pucuk-pucuk daun bambu, serumpun batang bambu milik
Mbah Suro yang memang tumbuh di halaman rumah dan mengingatkan Darti akan
mimpinya tadi malam.
Langkahnya terhenti saat tepat berada di depan rumah Mbah
Suro.
Dukun itu berdiri di depan pintu tanpa mengenakan baju, sepertinya
menunggu Darti lewat.
Wajah Darti menunduk malu saat Mbah Suro mengelus elus jimat
keramat yang ada di dalam kolor hitamnya sambil tersenyum ke arah Darti seakan
akan Mbah Suro tahu akan mimpi Darti tadi malam.
Darti buru-buru berlalu meninggalkan tempat itu karena malu.
****
Kiriman
“Kang, Kang Surip! Sini bentar, Kang!”
Nurhayati panik dan memanggil suaminya setelah mendapati
benda yang terbungkus kain putih seperti kafan, itu berada di atas tumpukan
tembakau rajangan di salah satu kotak kayu dagangannya.
“Ada apa, he? Pagi-pagi begini kok teriak-teriak!”
Suripno buru-buru menghampiri Nurhayati yang wajahnya
kelihatan pucat dan takut.
“Itu coba lihat, Kang!” Nur menunjuk ke arah benda yang
terikat seperti pocong berukuran sejengkal tangan.
Suripno mendekat dan mengamati benda yang terikat menjadi
tiga bagian itu di mana semua pengikatnya juga dari kain yang sama.
“Kurang kerjaan! Masih juga mengirim benda-benda seperti ini!
Ini pasti kerjaan orang yang tak ingin melihat usaha kita maju, Dik!” Suripno
mulai kesal.
Bukan yang pertama kalinya dia mendapati benda kiriman yang
tujuannya akan menghancurkan usaha dagangnya.
Seminggu yang lalu bahkan di rumahnya dikirimi orang dengan
dari jarak jauh. Tujuh butir telur kampung yang saat dipecah empat berisi
rambut, dan tiga berisi tanah kuburan di dalamnya, dan juga kiriman benda aneh
yang kadang tiba-tiba tergantung di antara dagangannya.
Dugaan kuat pengirimnya adalah Pak Banar tetangganya yang
berjarak hanya satu los, sama-sama mempunyai warung.
Desas-desus berembus. Pak Banar setiap satu hari menjelang
purnama selalu pergi ke daerah Raman Wetan untuk memperkuat pelaris dagangannya
sekaligus meminta bantuan seorang dukun untuk membuat usaha saingannya bangkrut.
Di saat Suripno dan Nurhayati tengah bertanya-tanya akan
semua benda yang tiba-tiba bisa berada di dalam rumahnya, muncullah Darti.
“Mbak Nur, seperti biasa, ya. Titip getuk.”
Darti meletakkan sejumlah irisan getuk dilengser, sejenis nampan
besar yang sudah tersedia.
Getuk buatan ibunya sering dititipkan di warung Nurhayati di
mana sebagian ia jajakan keliling dari rumah ke rumah.
“Ada apa toh, Mbak. Kok tegang benar kelihatannya?” Darti
menghampiri Nurhayati yang masih ketakutan.
“Itu loh, Mbak Darti. Coba lihat itu!”
Darti menoleh ke arah yang ditunjuk Nurhayati.
“Kok seperti pocong ya, Mbak?” Darti mencoba meraih benda itu.
“Eh, jangan, jangan! Jangan dipegang. Bahaya!” Nurhayati
meraih tangan Darti.
“Ada apa toh sebenarnya ini, Mbak? Memang kenapa dengan benda
itu?” Darti semakin bingung.
“Itu benda kiriman. Benda setan!” balas Nurhayati.
“Itu sengaja dikirim tadi malam untuk menghancurkan usaha
kami!”
Darti baru mengerti. Memang bukan hal aneh bila ada kejadian
mistik di desanya, seperti yang ia lihat saat berkeliling menuju rumah
langganan getuknya.
Dulu juga ada suami langganan getuknya yang tiba-tiba
perutnya membesar tidak bisa buang air kecil dan besar, bahkan untuk kentut pun
tidak bisa. Menurut kata tetangga sekitar, itu akibat diguna-guna karena
suaminya itu selingkuh dengan istri orang.
Darti juga masih bisa mengingat nama teluh itu. Kata orang,
itu santet bendung segoro, dan sembuh setelah berobat ke Mbah Suro. (Baca
cerita PATI-PITU di Wattpad tentang
ganasnya santet bendung segoro.)
Darti tahu persis bahwa ada orang yang digendong masuk ke
rumah Mbah Suro dengan perut membesar saat ia melintasi rumah dukun itu menuju
pulang.
“Kalau cara-cara begini harus dilawan dengan cara penangkal
juga, Mbak Nur.” Darti mencoba memberi solusi setelah Suripno berlalu sambil
membawa benda itu ke belakang untuk dikubur jauh-jauh dari rumahnya.
“Penangkal bagaimana maksudnya, Mbak?” Nur menghempaskan
tubuhnya di kursi rotan yang berada di bagian pojok tempat sayur dan jajanan di
mana sebagian orang desa sini menitipkannya.
“Ya, dipagari toh, Mbak Nur. Alias menolaknya. Biar warung
dan rumah Mbak Nur ini tidak lagi bisa dikirimi benda-benda klenik seperti itu.
Sepengetahuan saya begitu, Mbak.” Darti menyusun getuk yang tersisa di bakulnya
untuk segera berkeliling lagi.
“Uang yang kemarin besok saja ya, Mbak Darti. Sekalian.”
“Eh, Mbak Darti. Terus kami harus bagaimana toh?”
“Pantas saja barang daganganku habis, kok anehnya uangnya
selalu kurang. Bagaimana mau tambah belanjaan lagi kalau begini terus.”
Nurhayati membetulkan beberapa helai rambut yang berada di keningnya.
“Tidak jauh dari rumah saya ada dukun yang kata orang kalau
berobat atau minta pegangan kebanyakan cocok, Mbak Nur.”
“Namanya Mbah Suro.”
“Rumahnya berada di sebelah utara desa ini, Mbak. La wong
saya saja pulang pergi melewatinya.” Darti masih berdiri dengan sudah menggendong
bakul di kiri atas pinggangnya.
“Benar bisa menolong atau memagari rumah kami, Mbak?” tanya
Nurhayati.
Sebenarnya Nurhayati kurang begitu yakin dengan cara harus
pergi ke dukun.
“Ya, namanya orang sakit, ya harus segera mencari obatnya toh,
Mbak,” jawab Darti halus mengibaratkan.
“Ya, sudah, Mbak Nur.
Uang getuk kemarin nanti ditambahkan dengan yang saja. Saya terus ya, Mbak. Takut
kesiangan keliling.”
Darti melangkah meninggalkan Nurhayati.
Perkataan Darti mungkin ada benarnya di benak Nurhayati dan
tidak ada salahnya mencoba memagari rumah yang sekaligus warungnya dari niatan
orang-orang yang iri.
Nurhayati hanya perlu membicarakan masalah ini dengan Suripno
suaminya. Toh tempat yang dimaksud Darti juga hanya berjarak setengah hari
dengan berjalan kaki.
Banyak hal aneh yang kadang mata manusia tidak bisa
melihatnya, tapi bukankah hal gaib itu ada?
BERSAMBUNG KE PART 5
No comments:
Post a Comment