LEBUR SAKTI CERITA MBAH SURO DUKUN CABUL PART 5
MBAH SURO PART 5
Pemandangan biasa bila
matahari sudah mulai lengser ke barat, di rumah Mbah Suro keluar masuk orang
mendatanginya.
Tampak pemuda mengaku datang dari desa Sumber Mulyo, Rahmadi
namanya yang senang akan olah kebatinan, salah satu anggota Pencak Silat Cakar
Maung yang mendengar dari mulut ke mulut bahwa ada orang yang mempunyai
kesaktian di atas rata-rata dari orang yang sering didatanginya untuk berguru
dan menimba ilmu kebatinan.
Hampir semua kawan sebayanya mempunyai pegangan, entah itu susuk
kekuatan, atau pengasihan supaya ditaksir banyak wanita.
Di belakang Rahmadi duduk wanita yang sudah dari tadi menunggu
giliran untuk mengadukan masalahnya kepada Mbah Suro.
Bila menilik dari matanya yang sayu, kelihatan sekali wanita
ini mempunyai masalah yang sepertinya harus ditempuh dengan mendatangi Mbah
Suro.
“Lebur sakti adalah ilmu yang dulu sering digunakan para
jawara di tanah Jawa, Le.”
Mbah Suro menatap tajam Rahmadi untuk tidak main-main dengan
ilmu yang dimintanya.
Rahmadi masih menyimak penjelasan Mbah Suro yang duduk menggunakan
baju sejenis pangsi hitam dan kolor pajang yang dibelitkan jarit podang.
“Bila untuk sekadar pegangan dan apalagi kamu anggota
perguruan, sangat cocok menguasai ilmu ini.”
“Perlu kamu tahu, siapa saja yang terkena pukulan ajian lebur
sakti ini dengan tubuh yang kosong tanpa perisai diri, maka tubuhnya dapat
terbelah dan hancur lebur.”
“Akan tetapi, dilihat lagi tingkat dan kesempurnaan si
pengamal ajian ini.”
Mbah Suro menjelaskan akan kehebatan ajian ini.
“Jadi, pripun, Mbah? Apa saya bisa dan dianggap mampu
menguasai ajian ini?” tanya Rahmadi.
Mbah Suro diam sesaat.
“Sangat berat, Le. Tirakatnya harus benar-benar sempurna.” Mbah Suro bukannya ingin mengurungkan niat Rahmadi, tapi benar-benar tidak untuk diturunkan ilmu ini kepada orang yang mempunyai maksud untuk mencelakakan orang.
“Semua terserah kamu yang akan melakoni. Mbah hanya bisa
menurunkan sarat dan rukunnya atas ilmu ini. Berhasil atau tidaknya tergantung
tirakat orang yang mendalaminya.”
“Bila kamu tidak siap dengan semua yang harus dilakoni, silakan
pulang saja.”
Mendengar begitu, bukannya patah semangatnya, Rahmadi malah
penasaran akan ajian yang diidam idamkannya ini.
Banyak sudah orang pintar yang didatanginya, tapi tak satu
pun menguasai ajian ini dan kebetulan sekali Mbah Suro menguasainya.
Makin mantap sudah niat hatinya untuk menguasai ajian ini.
“Saya bersedia dengan segala risiko yang akan saya tanggung,
Mbah.” Berharap sekali Mbah Suro mengiyakan apa keinginannya.
“Ilmu ini bila dipuasai akan menjadi lebih kuat dan
sempurna.”
“Baiklah. Akan saya beritahu tata caranya. Perhatikan!”
Tanpa diminta, Rahmadi memperhatikan apa yang akan diucapkan
orang yang sengaja dia datangi jauh-jauh dari desanya.
“Mantra yang harus kamu ingat adalah
....”
“Hyang kadyatolah ingsun megeng ambek
goib.”
“Nukat goib.”
“Neges jatining roso.”
“Bumi jugrug segoro asat.”
“Soko kersaning Hyang Sejati.”
“Sirno dunyo.”
“Sirno akhir!”
“Sah dunyo sah akhir!”
“Sirno gondo.”
“Lungo roso.”
“Teko jleg katon sajege urep.”
“Mantra harus dibaca dan menahan nafas satu kali tanpa putus,”
sambung Mbah Suro.
Rahmadi mengangguk mendengar perintah Mbah Suro.
“Malam harinya dilanjutkan sedikit meditasi dengan cara duduk
bersila. Tangan di atas kedua paha, dada tegap, dan mulai mengatur irama nafas
lalu membaca sebanyak mungkin mantra ajian ini.”
Melihat kesungguhan Rahmadi, Mbah Suro melanjutkan tata caranya.
“Jika kamu berhasil menguasai ajian lebur sakti, maka saat
membaca mantra tersebut satu kali tanganmu akan terasa panas. Hawa panas tersebut
seolah olah akan keluar dan menggerakkan tanganmu. Di sinilah puncak untuk
mengontrol ilmu ajian lebur sakti.”
“Jangan sampai dirimu dikuasai oleh ilmu ini.”
“Untuk menggunakannya, usahakan pukulan hanya berjarak satu
kilan saja. Tidak boleh mengenai musuhmu! Bisa fatal akibatnya!. Mengerti?”
Lalu Mbah Suro melanjutkan ucapannya.
“Semakin lama kamu puasa, ajian ini semakin jauh jarak
pukulan yang bisa kamu gunakan. Bila hanya puasa dalam tujuh hari, kamu bisa
melumpuhkan musuhmu dengan jarak satu kilan. Berpuasalah selama mungkin, maka
dari jarak jauh kamu bisa melumpuhkannya.”
“Selanjutnya apa yang harus saya lakukan, Mbah?” tanya
Rahmadi. Ia bingung untuk memulai dari mana dalam melakukan persyaratan yang
disebutkan Mbah Suro.
“Pulanglah. Pada malam ketiga dari kepulanganmu ke sini,
mandilah! Sucikan dirimu dan hatimu dari kotoran dan juga nafsu benci yang ada
di tubuhmu.”
“Perlu diingat! Dilarang memakan daging hewan berkaki empat.
Apa pun namanya. Paham?” Rahmadi sekali lagi mengangguk.
Terbayang di angannya betapa dirinya menjadi sakti dari
kawan-kawan perguruan di Cakar Maung, yakin akan segala sarat dan pantangannya.
Rahmadi segera pamit mengingat ada wanita yang masih menunggu
giliran untuk menghadap Mbah Suro.
Sebagai orang yang senang akan olah kebatinan dan telah
berkali kali mendatangi orang pintar, Rahmadi sangat tahu akan sarat dari
sebuah cekelan. Semua tak berarti tanpa mas kawin atau mahar.
Diletakannya uang yang dikeluarkan dari saku baju itu di
tempat yang sengaja disiapkan oleh Mbah Suro.
Tanpa disadari begitu lama wanita itu menunggu giliran untuk
sekadar mendapat doa atau sebuah rajah, dan apalah namanya.
Di luar matahari sudah terbenam menuju pelukan hangat sang
penghuni malam.
BERSAMBUNG KE PART 6
No comments:
Post a Comment