DUKUN CABUL-MBAH SURO PART 2
MBAH SURO PART 2
Tidak ada yang berubah di Desa Waru Telu. semua masih sama,
dan penduduk di sini pun masih menunggu masa panen tiba.
Yang tampak berbeda adalah jalan di depan rumah Mbah Suro
yang kini dibuat jalan tembusan untuk beberapa rumah yang berada di sisi
selatan menuju utara. Banyak orang memilih jalan ini karena jarak yang dirasa
dekat untuk menuju pusat desa.
Jalan ini pula yang dipilih Darti, janda semok yang sering
menggendong bakul wadah getuk yang setiap pagi dibawanya berkeliling menuju
desa di bagian selatan.
Janda grapyak ini memang sangat senang bergurau dengan para
bapak-bapak, dan tak sedikit para istri mengecap Darti adalah janda gatal.
Darti adalah janda yang terawat tubuhnya. Bagian dada yang
membusung besar itu yang menjadi daya tarik lelaki di desa ini.
****
Darti melihat dari rumah Mbah Suro, keluarlah seorang
perempuan paruh baya dari dalam gubuk beratapkan anyaman lalang itu sambil
menggendong seorang anak perempuan yang masih berumur tiga tahun.
“Kenapa anaknya, Mbakyu?” Darti menanyakan kondisi anak perempuan
yang digendong jarit itu.
“Panas. Sudah dua hari ini belum juga ada perubahan, Ti.
Mudah-mudahan setelah minta suwuk dan diberi air putih dari Mbah Suro bisa
menurunkan panasnya. Soalnya banyak yang cocok kalau minta air sama Mbah Suro.”
Kemudian mereka berjalan berdampingan menuju ke arah selatan.
“Halah, Mbakyu, Mbakyu! Dukun koproh saja dipercaya. Mana
mungkin dukun koproh itu bisa mengobati orang.” Seolah Darti tidak senang akan
Mbah Suro yang banyak membantu warga desa, terutama menyembuhkan berbagai
penyakit yang konon katanya karena ketempelan, atau dibuat, bahkan diguna guna
orang.
Setelah beberapa waktu kemudian keduanya berpisah di
pertigaan jalan.
“Ya, sudah, Ti. Saya terus, ya?”
“Monggo, Mbakyu.”
****
Mbah Suro memang menjadi tempat bagi orang-orang yang akan
berobat. Berawal dari anak temannya yang diberi segelas air minum, dan kabar
baik itu diteruskan dari mulut ke mulut oleh warga Waru Telu.
Bila dulu rumah Mbah Suro adalah rumah terakhir di bagian
utara desa, kini tidak lagi. Ada lima rumah yang juga kini berada di bagian
pinggir utara desa, termasuk rumah Darti, janda dengan bokong semok yang
merupakan pendatang dari Grobogan Semarang, bersama ibunya yang juga merupakan
seorang janda tua.
Mbah Suro kini menjadi dukun terkenal, bahkan dia sendiri
heran bisa menyembuhkan berbagai penyakit yang dikeluhkan oleh warga desa.
Tak sedikit orang yang datang padanya untuk sekedar minta pengasihan
atau susuk kekuatan.
Memang benar Mbah Suro menguasai berbagai mantra kuno dan kesaktian, tetapi memiliki gejolak birahi
yang sulit terkendali.
Kehadiran Darti akhir-akhir ini membuat khayalan baru bagi
Mbah Suro. Bagaimana dia sering membayangkan Darti jatuh di pelukannya, tapi
sayang, sepertinya Darti kurang suka terhadap Mbah Suro yang menurut janda
penjual getuk itu kalau bau badan Mbah Suro seperti kambing bandot, perengus.
****
Tampak dua orang berjalan
menuju ke rumah Mbah Suro.
Dua orang wanita yang kalau dilihat dari penampilannya
berasal dari kota.
Belakangan ini tidak sedikit orang kota atau orang dari desa
sebelah yang mengunjungi rumahnya, meminta dibuka auranya biar lebih memancar,
atau meminta untuk dipasangkan susuk di keningnya.
“Permisi, Mbah. Permisi. Kulonuwun,” ucap salam dari salah
satu wanita berbaju kaus putih.
“Monggo. silakan masuk!
“ jawab Mbah suro yang sudah duduk di tikar mendong.
“Maaf, Mbah. Apa ini kediaman Mbah Suro?” Kedua wanita ini
langsung duduk setelah tangan Mbah Suro mempersilakan untuk menempati tempat di
hadapannya.
“Benar, Nduk. Onok opo, ha? Ada apa maksud kedatanganmu ke
sini?” Tangan Mbah Suro bersedekap di depan dada, dan seperti dukun umumnya,
lengkap dengan pakaian serba hitam.
“Maksud kedatangan saya ke sini pertama, ingin sengaja
mengunjungi Njenengan, dan menjalin silaturahmi, adapun ...”
“Katakan saja tujuanmu, Cah Ayu.” Mbah Suro memotong bicara
wanita di hadapannya. Wajahnya memang tidak begitu cantik di banding teman yang
ada di sampingnya.
“Tujuan saya ke sini mau menambah kepercayaan diri saya saja,
Mbah. Banyak teman lelaki di tempat saya bekerja kurang memperhatikan
penampilan saya, Mbah.”
Mbah Suro hannya mengangguk-angguk. Entah mengapa dia juga
bisa membaca isi pikiran lawan bicaranya.
“Jadi?” tanya Mbah Suro.
“Anu, Mbah. Saya mau pasang susuk.” Wanita ini tersipu malu sebab
baru kali ini dia mendatangi seorang dukun.
“Akan mbah jelaskan apa itu susuk dan tata cara
pemasangannya.” Mbah Suro melirik ke teman wanita ini seakan tidak ingin
persyaratan dan pantangannya diketahui oleh orang lain.
“Iso to temanmu menunggu di luar saja?” pinta Mbah Suro
pelan.
Wanita yang dimaksud segera berdiri.
“Iya, Mbah. Saya permisi,” ucap temannya.
“Yul, aku tunggu di luar, ya? Santai saja. Tidak bakalan
kenapa-kenapa kok.” imbuhnya meyakinkan teman yang bernama Yulia
“Kamu tahu susuk?” Mbah suro mengajukan pertanyaan kepada
Yulia.
“Tidak begitu paham, Mbah.” Yulia menjawab sepengetahuannya.
“Disebut susuk karena benda yang dijadikan sarana ditempatkan
dengan cara ditusukkan atau masukkan. Ada juga yang dimasukkan dengan cara
loloh atau ditelan.”
“Dengan daya yang akan mbah masukkan, apakah kamu bersedia
untuk menjauhi segala pantangannya?” Mbah Suro menjabarkan apa itu susuk kepada
Yulia.
“Ada juga susuk yang tidak harus ditusukkan atau dimasukkan
ke dalam bagian tubuhmu. Susuk jenis ini dikenal dengan sebutan tangkal karena
bertempat di luar tubuh. Jadi, mana yang akan kamu pilih?” Mbah Suro mengajukan
dua pilihan.
“Kalau khasiatnya bagus yang mana, Mbah?” Yulia balik
bertanya.
“Kalau masalah ampuh dan tidaknya, mbah lebih menyarankan
susuk yang bukan tangkal.”
Yulia menatap Mbah Suro seperti ingin mendapat jawaban dari
pilihannya.
“Saya pilih yang bukan tangkal saja, Mbah.”
“O, yo wes. Silakan kamu lepas semua pakaianmu dan pakailah
kain hitam yang berada di atas tempat tidur itu.”
“Apa, Mbah! Jadi, saya harus salin?”
“Haiyo to! Kudu salin ambek kain yang sudah mbah siapkan.”
“Akan tetapi, Mbah.”
Yulia sangat keberatan akan persyaratan yang harus dilakukan,
yaitu melepas pakaian, hanya mengenakan kain hitam yang sudah dipersiapkan, dan
tidak seperti apa yang dia dengar dari beberapa temannya yang sukses
menggunakan susuk, lalu bisa mengambil hati atasannya di tempat ia bekerja.
“Ini pasti dukun cabul!”
Itu di benaknya.
“Pulanglah bila kamu tidak bersedia akan persyaratan yang
harus dipenuhi!” tegas Mbah Suro.
Hati Yulia memang sudah bulat untuk menggunakan jasa dukun. Di
usianya yang hampir kepala tiga belum juga ada lelaki yang mengajaknya keluar
sekadar menikmati angin sore.
“Baik, Mbah. Saya setuju persyaratannya.”
Yulia bergegas masuk ke dalam kamar yang beraroma kemenyan.
Semua serba hitam. Kain di atas amben juga berwarna hitam,
dibentang. Sepertinya dijadikan alas tempat pembaringan.
Tempat duduk yang di atasnya terdapat cermin tua yang
menambah suasana dikamar Mbah Suro semakin terkesan seram, belum lagi di bagian
sudut kamar, terdapat meja kecil yang di atasnya penuh dengan benda-benda aneh
bagi Yulia, juga beberapa tempat yang berisi kembang setaman menambah terasa
suasana klenik di ruangan ini.
“Duduklah di tikar itu.”
Hampir copot rasanya jantung Yulia, suara Mbah Suro
mengagetkannya.
Tanpa banyak pertanyaan, Yulia menuruti semua perintah Mbah
Suro.
BERSAMBUNG KE PART 3
No comments:
Post a Comment