Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

DUKUN CABUL-MBAH SURO PART 2

 MBAH SURO PART 2

Tidak ada yang berubah di Desa Waru Telu. semua masih sama, dan penduduk di sini pun masih menunggu masa panen tiba.

Yang tampak berbeda adalah jalan di depan rumah Mbah Suro yang kini dibuat jalan tembusan untuk beberapa rumah yang berada di sisi selatan menuju utara. Banyak orang memilih jalan ini karena jarak yang dirasa dekat untuk menuju pusat desa.

Jalan ini pula yang dipilih Darti, janda semok yang sering menggendong bakul wadah getuk yang setiap pagi dibawanya berkeliling menuju desa di bagian selatan.

Janda grapyak ini memang sangat senang bergurau dengan para bapak-bapak, dan tak sedikit para istri mengecap Darti adalah janda gatal.

Darti adalah janda yang terawat tubuhnya. Bagian dada yang membusung besar itu yang menjadi daya tarik lelaki di desa ini.

 


****

 

Darti melihat dari rumah Mbah Suro, keluarlah seorang perempuan paruh baya dari dalam gubuk beratapkan anyaman lalang itu sambil menggendong seorang anak perempuan yang masih berumur tiga tahun.

“Kenapa anaknya, Mbakyu?” Darti menanyakan kondisi anak perempuan yang digendong jarit itu.

“Panas. Sudah dua hari ini belum juga ada perubahan, Ti. Mudah-mudahan setelah minta suwuk dan diberi air putih dari Mbah Suro bisa menurunkan panasnya. Soalnya banyak yang cocok kalau minta air sama Mbah Suro.”

Kemudian mereka berjalan berdampingan menuju ke arah selatan.

“Halah, Mbakyu, Mbakyu! Dukun koproh saja dipercaya. Mana mungkin dukun koproh itu bisa mengobati orang.” Seolah Darti tidak senang akan Mbah Suro yang banyak membantu warga desa, terutama menyembuhkan berbagai penyakit yang konon katanya karena ketempelan, atau dibuat, bahkan diguna guna orang.

Setelah beberapa waktu kemudian keduanya berpisah di pertigaan jalan.

“Ya, sudah, Ti. Saya terus, ya?”

“Monggo, Mbakyu.”

 

****

 

Mbah Suro memang menjadi tempat bagi orang-orang yang akan berobat. Berawal dari anak temannya yang diberi segelas air minum, dan kabar baik itu diteruskan dari mulut ke mulut oleh warga Waru Telu.

Bila dulu rumah Mbah Suro adalah rumah terakhir di bagian utara desa, kini tidak lagi. Ada lima rumah yang juga kini berada di bagian pinggir utara desa, termasuk rumah Darti, janda dengan bokong semok yang merupakan pendatang dari Grobogan Semarang, bersama ibunya yang juga merupakan seorang janda tua.

Mbah Suro kini menjadi dukun terkenal, bahkan dia sendiri heran bisa menyembuhkan berbagai penyakit yang dikeluhkan oleh warga desa.

Tak sedikit orang yang datang padanya untuk sekedar minta pengasihan atau susuk kekuatan.

Memang benar Mbah Suro menguasai berbagai mantra kuno  dan kesaktian, tetapi memiliki gejolak birahi yang sulit terkendali.

Kehadiran Darti akhir-akhir ini membuat khayalan baru bagi Mbah Suro. Bagaimana dia sering membayangkan Darti jatuh di pelukannya, tapi sayang, sepertinya Darti kurang suka terhadap Mbah Suro yang menurut janda penjual getuk itu kalau bau badan Mbah Suro seperti kambing bandot, perengus.

****

Tampak dua orang berjalan menuju ke rumah Mbah Suro.

Dua orang wanita yang kalau dilihat dari penampilannya berasal dari kota.

Belakangan ini tidak sedikit orang kota atau orang dari desa sebelah yang mengunjungi rumahnya, meminta dibuka auranya biar lebih memancar, atau meminta untuk dipasangkan susuk di keningnya.

“Permisi, Mbah. Permisi. Kulonuwun,” ucap salam dari salah satu wanita berbaju kaus putih.

 “Monggo. silakan masuk! “ jawab Mbah suro yang sudah duduk di tikar mendong.

“Maaf, Mbah. Apa ini kediaman Mbah Suro?” Kedua wanita ini langsung duduk setelah tangan Mbah Suro mempersilakan untuk menempati tempat di hadapannya.

“Benar, Nduk. Onok opo, ha? Ada apa maksud kedatanganmu ke sini?” Tangan Mbah Suro bersedekap di depan dada, dan seperti dukun umumnya, lengkap dengan pakaian serba hitam.

“Maksud kedatangan saya ke sini pertama, ingin sengaja mengunjungi Njenengan, dan menjalin silaturahmi, adapun ...”

“Katakan saja tujuanmu, Cah Ayu.” Mbah Suro memotong bicara wanita di hadapannya. Wajahnya memang tidak begitu cantik di banding teman yang ada di sampingnya.

“Tujuan saya ke sini mau menambah kepercayaan diri saya saja, Mbah. Banyak teman lelaki di tempat saya bekerja kurang memperhatikan penampilan saya, Mbah.”

Mbah Suro hannya mengangguk-angguk. Entah mengapa dia juga bisa membaca isi pikiran lawan bicaranya.

“Jadi?” tanya Mbah Suro.

“Anu, Mbah. Saya mau pasang susuk.” Wanita ini tersipu malu sebab baru kali ini dia mendatangi seorang dukun.

“Akan mbah jelaskan apa itu susuk dan tata cara pemasangannya.” Mbah Suro melirik ke teman wanita ini seakan tidak ingin persyaratan dan pantangannya diketahui oleh orang lain.

“Iso to temanmu menunggu di luar saja?” pinta Mbah Suro pelan.

Wanita yang dimaksud segera berdiri.

“Iya, Mbah. Saya permisi,” ucap temannya.

“Yul, aku tunggu di luar, ya? Santai saja. Tidak bakalan kenapa-kenapa kok.” imbuhnya meyakinkan teman yang bernama Yulia

“Kamu tahu susuk?” Mbah suro mengajukan pertanyaan kepada Yulia.

“Tidak begitu paham, Mbah.” Yulia menjawab sepengetahuannya.

“Disebut susuk karena benda yang dijadikan sarana ditempatkan dengan cara ditusukkan atau masukkan. Ada juga yang dimasukkan dengan cara loloh atau ditelan.”

“Dengan daya yang akan mbah masukkan, apakah kamu bersedia untuk menjauhi segala pantangannya?” Mbah Suro menjabarkan apa itu susuk kepada Yulia.

“Ada juga susuk yang tidak harus ditusukkan atau dimasukkan ke dalam bagian tubuhmu. Susuk jenis ini dikenal dengan sebutan tangkal karena bertempat di luar tubuh. Jadi, mana yang akan kamu pilih?” Mbah Suro mengajukan dua pilihan.

“Kalau khasiatnya bagus yang mana, Mbah?” Yulia balik bertanya.

“Kalau masalah ampuh dan tidaknya, mbah lebih menyarankan susuk yang bukan tangkal.”

Yulia menatap Mbah Suro seperti ingin mendapat jawaban dari pilihannya.

“Saya pilih yang bukan tangkal saja, Mbah.”

“O, yo wes. Silakan kamu lepas semua pakaianmu dan pakailah kain hitam yang berada di atas tempat tidur itu.”

“Apa, Mbah! Jadi, saya harus salin?”

“Haiyo to! Kudu salin ambek kain yang sudah mbah siapkan.”

“Akan tetapi, Mbah.”

Yulia sangat keberatan akan persyaratan yang harus dilakukan, yaitu melepas pakaian, hanya mengenakan kain hitam yang sudah dipersiapkan, dan tidak seperti apa yang dia dengar dari beberapa temannya yang sukses menggunakan susuk, lalu bisa mengambil hati atasannya di tempat ia bekerja.

“Ini pasti dukun cabul!”  Itu di benaknya.

“Pulanglah bila kamu tidak bersedia akan persyaratan yang harus dipenuhi!” tegas Mbah Suro.

Hati Yulia memang sudah bulat untuk menggunakan jasa dukun. Di usianya yang hampir kepala tiga belum juga ada lelaki yang mengajaknya keluar sekadar menikmati angin sore.

“Baik, Mbah. Saya setuju persyaratannya.”

Yulia bergegas masuk ke dalam kamar yang beraroma kemenyan.

Semua serba hitam. Kain di atas amben juga berwarna hitam, dibentang. Sepertinya dijadikan alas tempat pembaringan.

Tempat duduk yang di atasnya terdapat cermin tua yang menambah suasana dikamar Mbah Suro semakin terkesan seram, belum lagi di bagian sudut kamar, terdapat meja kecil yang di atasnya penuh dengan benda-benda aneh bagi Yulia, juga beberapa tempat yang berisi kembang setaman menambah terasa suasana klenik di ruangan ini.

“Duduklah di tikar itu.”

Hampir copot rasanya jantung Yulia, suara Mbah Suro mengagetkannya.

Tanpa banyak pertanyaan, Yulia menuruti semua perintah Mbah Suro.

BERSAMBUNG KE PART 3

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search