PENGHUNI RUMAH KOSONG BAGIAN 1
BAGIAN 1
Sebagai seorang desainer tata ruang, terkadang aku harus ke
sana ke mari melihat lokasi yang akan ditata. Aku masih ingat seorang klien menghubungiku
lewat pesan singkat untuk membicarakan tentang pembuatan kolam di rumahnya.
Beliau hanya mengatakan mempunyai lahan seluas 15 m2 dan
minta dibuatkan kolam.
Setelah minta alamat rumah beliau maka aku pun segera menuju ke sana dan berharap kali ini mendapat borongan dengan harga yang sangat baik.
Tentu aku tidak sembarangan membuat desain. Dalam
pengharapannya selalu aku perhitungan secara matang baik secara fungsi maupun
keindahan.
****
Rumah berdesain mini malis itu tampak sangat asri.
Ada taman anggrek di samping kiri rumah, ada juga beberapa
taman bonsai yang memang sangat elok dipandang mata.
Aku mengecek alamat rumah, memastikan bahwa rumah inilah yang
sedang aku tuju.
Aku menekan tombol kecil di atas daun pintu.
Tidak seberapa lama seorang wanita muda keluar.
Tubuhnya tinggi semampai, lesung pipi menghias senyum dengan
anggun, dan kerling mata itu seketika membuat jantungku berdesir hebat.
Seorang wanita yang sangat cantik dalam balutan hijau membuat
kecantikan itu semakin memancar.
“Maaf. Dengan siapa saya berbicara?”
Bibir merah wanita itu bergerak menanyakan namaku.
Aku tentu saja gugup. Namun, harus kujawab pertanyaan itu.
“Saya Sugiarto. Maaf. Benarkah ini rumah Pak Karso? Tadi saya
janji bertemu dengan beliau.”
Wanita cantik itu kembali tersenyum. Lesung pipinya terlihat
jelas menambah kecantikan di wajahnya.
“Eh, iya benar. Silakan duduk dulu, Mas. Bapak baru salat.”
Setelah mempersilakan aku, si mbak kemudian masuk, sementara
beberapa saat aku duduk menunggu di teras rumah tentu pikiranku masih terkagum
akan kecantikan yang baru saja kulihat di depan mata.
Tidak seberapa lama kemudian seorang bapak paruh baya yang
muncul dengan tersenyum tipis.
Aku lantas berdiri dan menyambut uluran tangan beliau.
Aku sudah kembali duduk ketika wanita cantik tadi kembali
keluar dan membawa minuman dan beberapa stoples makanan.
Dengan senyum ramah lalu mempersilahkan aku untuk menikmati
dengan yang sudah berbaris rapi di meja.
Aku hanya mengangguk.
“Itu anak saya, Mas. Ayu,”
kata beliau memperkenalkan nama anaknya.
Sesaat kemudian aku melupakan wajah Ayu yang cantik, aku
berkonsentrasi untuk memahami permintaan klienku.
Setelah beberapa lama kami berdiskusi dan aku telah mempunyai
gambaran apa yang menjadi maksud permintaan Pak Karso barusan.
Aku pun segera pamit untuk membuat gambar perkiraan dan
estimasi biaya. Tentunya sejak saat itulah intensitas pertemuanku dengan Ayu
semakin sering dan dalam setiap pertemuan dara cantik itu selalu tersenyum
ramah dengan tawa yang renyah.
Dalam anganku yang melayang setinggi langit senyum itu bagai
mengajakku untuk membina rumah tangga. Namun, untuk ungkapkan perasaan hati
rasanya masih sangat terlalu dini, maka seiring berjalannya waktu ketika garapan
kolam Pak Karso selesai aku tetap menjalin komunikasi dengan Ayu, bahkan sekali
waktu aku tetap berkunjung ke rumahnya berdalih melihat kolam ikan yang kubuat.
****
Senja itu mentari hampir pulang ke peraduannya, mungkin
bersiap disambut oleh kehidupan di balik bumi yang aku pijak ini.
Warna kuning kemerahan menghiasi langit yang cerah, secerah
senyumku ketika mendengar dering ponsel yang berbunyi.
Aku segera mengambil ponsel dari dalam saku.
Aku yakin bahwa Ayu yang sedang menghubungiku. Namun, aku
sedikit kecewa karena yang tertera di layar ternyata nama Pak Karso.
Rasa kecewa karena Ayu bukan yang menelepon terbayar karena
nanti malam aku diundang makan malam ke rumah beliau.
Tentu bukan sekedar makan malam. Beliau juga mengajak
beberapa rekan bisnisnya. Beliau hanya mengatakan akan ada proyek bagus buatku.
“Nanti malam habis isya bapak sendiri, tidak ada acara, akan
ada beberapa tamu ingin bertemu.”
Begitulah suara beliau dari seberang sana.
Aku pun mengiyakan undangan beliau.
****
Ketika jarum jam di arlojiku berjalan semakin mendekati waktu
yang diminta Pak Karso.
Bukan tentang siapa tamunya atau untuk apa aku ingin
menemuinya. Namun, bayangan wajah Ayu yang cantik alasan mengapa debar itu
semakin kuat terasa.
****
Puas menikmati hidangan bersama Pak Karso sekeluarga dan tiga
orang tamu beliau, kami pun beranjak dari meja makan dan kembali ke ruang tamu membicarakan
mengenai kesibukan kami masing-masing, hingga pada akhirnya sampailah kami pada
pokok pembicaraan.
Pak Karso yang puas dengan hasil pekerjaan taman yang kubuat
rupanya menarik hati ketiga tamunya. Mereka minta dibuatkan desain sekaligus
penggarapan taman dan kolam, tentu yang lebih bagus dari Pak Karso.
“Kalau sudah rezeki memang tidak akan ke mana,” batinku.
Memang usaha itu seharusnya harus teguh dan sabar. Kuasailah
minimal satu bidang pekerjaan dan jadilah profesional.
****
Berawal dari Pak Karso rezekiku semakin berkembang pesat. Selesai
membuat satu taman dilanjut membuat taman di tempat lain.
Dalam salah kesibukan itu pada akhirnya aku memberanikan diri
menyatakan perasaan kepada Ayu dan cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.
Desember 2010 merupakan awal-awal aku dan Ayu merajut
kebahagiaan. Kami membangun masa depan kami, masa depan yang sudah tampak
sangat indah di depan mata.
Namaku semakin dikenal orang hingga aku bisa menabung untuk
membeli sebidang tanah meski tidak terlalu luas.
Tentu bapak, ibu, dan adikku merasa bangga, tidak terkecuali Ayu.
Kebahagiaan itu kurasakan hingga pada awal-awal tahun 2014 gemerlap
dunia terkadang membuat orang lupa mudahnya mencari uang, kemudian lupa cara
memanfaatkannya, lupa siapa yang membuatnya sukses, lupa bagaimana waktu awal
dulu merintis, lupa bahwa dibalik kesuksesan itu ada orang lain yang selalu
mendukung dan memohonkan doa.
Kehancuran itu berawal ketika seorang klien mengajak suatu
bisnis di tengah kota dan di sanalah aku mulai mengenal minuman keras.
Mulanya aku selalu menolak. Namun, bisikan lembut untuk
sekedar mencicipi akhirnya berhasil membuatku tergoda.
Memang hanya sedikit kurasakan, bahkan harus menjadi bahan
tertawaan ketika dalam beberapa tenggak saja aku sudah terkapar tidak berdaya.
Pusing mual bercampur aduk menjadi satu.
Tidak hanya sekali dua kali klienku tersebut beberapa kali
mengajakku kembali. Dia mengatakan kalau yang kemarin hanya perkenalan.
“Nanti kalau sudah terbiasa, 10, 20, botol pun terasa kurang.
Barulah kamu disebut laki-laki!”
Benarlah bahwa ibu kejahatan adalah minuman keras.
Sekali dua kali aku memang mudah terkapar, namun setelahnya
aku seperti kecanduan.
Dalam keadaan setengah mabuk itulah terkadang aku menjadi
liar, bahkan bukan hanya sekali dua kali aku sering mengirim orang ke di rumah
sakit.
Sikapku terhadap bapak, ibu, dan adikku juga menjadi kasar,
apalagi terhadap Ayu.
Sering kali hal sepele menjadi pemicu pertengkaran lalu
berakhir setelah ia memilih mengalah dan pergi.
No comments:
Post a Comment