PENGHUNI RUMAH KOSONG BAGIAN 3
BAGIAN 3
Semakin lemas persendian serasa terlepas.
Masih dalam posisi di mana mereka duduk, kulihat mereka
dengan santai memakan cacing, kelabang, memakan belatung, mengunyah
kalajengking seperti mengunyah kerupuk lalu minum apa yang kulihat sebagai darah.
Melihat itu perutku tiba-tiba mual.
Mereka memandangiku.
Aku sudah hampir kehilangan lebih dari separuh keberanian
ketika salah satu dari mereka membawa gelas berisi darah dan piring berisi
cacing.
Gadis dengan kedua bola mata keluar itu menghampiriku. “Kamu sudah menjadi tamu. Kamu harus ikut menikmati makanan lezat ini.”
“Aku tidak kuasa menolak ketika jari-jari penuh darah itu
mengambil beberapa ekor cacing lalu dengan paksa tiba-tiba memasukkan cacing-cacing
itu ke dalam mulutku, tapi aku masih bisa bereaksi.
Seketika aku muntahkan cacing-cacing itu.
Melihatku memuntahkan cacing itu kedua bola mata gadis yang
sudah menggelantung itu kemudian bergerak-gerak. Mungkin tidak suka dengan
sikapku barusan.
“Kamu tidak suka? Mungkin yang ini kamu suka.”
Gadis itu berdiri dan mengambil sesuatu.
Ingin sekali rasanya aku berontak dan melawan. Namun, semua
sia-sia.
Tubuhku terasa kaku tanpa bisa kugerakkan.
Jemari gadis itu menjepit seekor kelabang besar. Kelabang tampak
tidak suka dalam jepitan itu dan meronta-ronta.
Aku melihat mulut si gadis yang terbelah itu tersenyum lalu
dengan cepat ia memasukkan kelabang itu ke dalam mulutku.
Aku tidak berkutik ketika kelabang itu seperti berlari
melalui tenggorokanku.
Seketika kurasakan mual yang luar biasa, tetapi itu belum
usai.
Gelas berisi darah itu ikut dijejalkan ke mulutku.
Anyir dan bau busuk menyengat, namun betapa aku tak kuasa
menolak.
Darah itu telah masuk ke tenggorokanku.
Melihat itu mereka kembali tertawa.
Meski dari mulut aku tidak sanggup berkata, namun dalam hati
aku tetap memohon dengan sangat. “Ya, Allah. Kumohon selamatkan aku. Aku belum
siap mati ya, Allah.”
Aku merasa doaku didengar karena begitu doa dalam hati
terucap, aku merasakan ada sedikit kekuatan dan keberanian muncul di dalam
hatiku.
Aku harus segera menyelamatkan diri, keluar dari rumah ini. Aku
tidak memedulikan mereka yang terus tertawa mengerikan.
Aku sudah hampir mencapai pintu ketika salah seorang dari gadis
itu tiba-tiba jatuh tepat di depanku lalu dari bibir yang sudah tidak berbentuk
itu terlihat tulang patah, mendekatkan wajahnya yang hancur ke mukaku diikuti
tawa.
Dengan sangat terpaksa aku menatap wajah hancur berdarah itu.
Di belakang sana tidak lagi terlihat si ibu. Aku juga tidak
melihat si bapak yang isi kepalanya berhamburan. Yang kulihat kini berdiri tiga
sosok dengan tubuh berbalut dan kafan, pocong. Mereka menjadi pocong.
Aku semakin ketakutan tidak terkira ketika kurasakan ada
tangan diletakkan ke pundakku.
Dalam hati aku tetap berdoa. “Selamatkan aku ya, Allah. Selamatkan
aku.”
Maka pada satu kesempatan aku merasakan semakin ada
keberanian yang tumbuh.
Kutepiskan tangan berlumuran darah itu lalu aku menuju pintu.
Aku berhasil keluar dari pintu itu dengan merangkak.
Aku mencoba menggapai sepeda motor dan mesin sepeda motor
berhasil kunyalakan.
Tanpa pikir panjang aku menarik gas dalam-dalam dan tidak peduli
hujan deras mengguyur tubuh.
Aku tersentak ketika di boncenganku terdengar suara seseorang
tertawa.
Kemudian aku merasa menabrak sesuatu lalu semua terasa gelap.
****
Tangis sayup-sayup
terdengar oleh telingaku.
Perlahan aku membuka mata.
Wajah pertama yang kulihat adalah ibuku disusul
berturut-turut bapak kemudian adikku Dian yang masih dengan seragam SMP-nya.
Aku juga melihat Pak Karso bersama istrinya. Namun, aku tidak
melihat Ayu.
Aku melihat sekeliling meski masih dengan perasaan pusing. Aku
bisa melihat bahwa aku berada di rumah sakit.
Ibuku memandangku dengan penuh rasa cemas.
Antara sadar dan tidak itu aku masih bisa menanyakan apa yang
terjadi.
Ibu hanya menjawab singkat, “Yang penting kamu selamat, Le meski
dengan kaki kiri patah.”
****
Setelah beberapa waktu
terbaring di rumah sakit.
Aku sudah diperbolehkan pulang.
Sosok-sosok mengerikan yang aku temui di rumah tepi jalan itu
kembali menampakkan diri. Aku bahkan meyakinkan diri kalau aku memang tidak
sedang mabuk atau sakau.
Penampakan itu sangat nyata bagiku.
Ketika petang tiba, di situ ketakutanku kembali dimulai.
Berkali-kali aku melihat sosok pocong mengintip dari balik
jendela. Memang hanya terlihat kepala dan ujung ikatan pocongnya saja, namun
sudah sangat cukup untuk membuat takut.
Terkadang pocong itu berdiri di samping tempat tidur.
Yang lebih aku takutkan adalah ketika malam terjaga dari
tidur.
Aku mengalami halusinasi.
Berkali-kali aku mendapat rehabilitasi.
Beberapa kali aku juga di Ruqayah. Namun, semua usaha itu
masih belum memberikan hasil.
Sungguh suatu siksaannya sangat berat kurasakan, namun berkat
kasih sayang keluargaku, aku semakin pulih, semakin terlepas dari rasa ketergantungan,
aku mulai kembali menjadi aku yang dulu.
Kini tinggallah penyesalan yang menghiasi hari-hariku, penyesalan
dan perasaan bersalah karena telah membuat kecewa orang-orang yang tulus
menyayangiku.
Sosok-sosok menyeramkan yang menghantuiku mulai menghilang
satu persatu ketika aku kembali menjalankan kewajiban 5 waktu, apalagi pada
akhirnya aku mengetahui perumahan di tepi jalan itu sebenarnya hanya sebuah
pohon besar di mana pernah suatu ketika tepat di samping pohon itu ada
sekeluarga meninggal di tempat kejadian karena mobil yang mereka tumpangi
terjelas truk tronton.
Berdasarkan hal itulah aku selalu menyertakan doa bagi
keluarga yang menjadi korban kecelakaan itu.
Bagaimanapun, meski mengerikan, namun kurasa inilah sebuah
kasih sayang Allah kepadaku.
Peristiwa di rumah tepi jalan itu membawaku kembali seperti yang
dulu.
****
Sore itu sebuah mobil
tampak pelan masuk ke halaman rumah.
Dengan tertatih aku menyambutnya meski aku tidak tahu siapa yang
di dalamnya.
Betapa aku sangat terkejut dan hampir tidak percaya ketika
seorang wanita cantik tampak turun dan berjalan menuju ke arahku.
Aku sangat mengenalinya.
Saat itu pula mataku berkaca-kaca.
Dia datang, dia ada di sini, dan ini bukan mimpi, namun dia
kini sudah bersama dengan yang lain, seorang laki-laki ikut turun dan berjalan
ke arahku.
“Assalamualaikum, Mas. Apa kabarmu, Mas?” Ia berkata lembut.
Aku memandanginya dengan berkaca-kaca.
Tanpa tersadar aku bersyukur sambil meminta maaf.
“Tak perlu seperti ini, Mas. Aku sudah memaafkanmu, Mas. Bangunlah.”
Aku bangun dari sembahku lalu ketika kurasa sudah lebih
tenang aku menanyakan siapa laki-laki yang ikut bersama Ayu.
“Selamat ya, Mas. Mas, orang yang beruntung. Tolong jaga
Rtaih baik-baik.”
Laki-laki yang datang bersama Ayu itu hanya tersenyum lalu
menoleh ke arah Ayu.
“Mas, kamu itu ngawur. Dia itu keponakanku dari Kalimantan. Aku
belum menikah, Mas,” ucap Ayu sambil tersenyum.
Aku terkesiap. Kalimat terakhir inilah yang membuat
semangatku sesaat kembali.
Aku tersenyum lega.
“Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar meninggalkanmu
selama ini, Mas.”
“Kamu hanya perlu tahu Mas, kalau aku benar-benar tulus
menyayangimu, tapi kalau kamu memang sudah tidak membutuhkan aku, kali ini aku
akan benar-benar pamit darimu.” Kembali Ayu berucap dengan serius.
Aku tidak sanggup berkata apa-apa, namun kali ini aku
memberanikan diri memeluknya.
“Ayu, kumohon jadilah ibu untuk anak-anak kita.”
No comments:
Post a Comment