Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PENGHUNI RUMAH KOSONG BAGIAN 3

 BAGIAN 3

Semakin lemas persendian serasa terlepas.

Masih dalam posisi di mana mereka duduk, kulihat mereka dengan santai memakan cacing, kelabang, memakan belatung, mengunyah kalajengking seperti mengunyah kerupuk lalu minum apa yang kulihat sebagai darah.

Melihat itu perutku tiba-tiba mual.

Mereka memandangiku.

Aku sudah hampir kehilangan lebih dari separuh keberanian ketika salah satu dari mereka membawa gelas berisi darah dan piring berisi cacing.

Gadis dengan kedua bola mata keluar itu menghampiriku. “Kamu sudah menjadi tamu. Kamu harus ikut menikmati makanan lezat ini.”


“Aku tidak kuasa menolak ketika jari-jari penuh darah itu mengambil beberapa ekor cacing lalu dengan paksa tiba-tiba memasukkan cacing-cacing itu ke dalam mulutku, tapi aku masih bisa bereaksi.

Seketika aku muntahkan cacing-cacing itu.

Melihatku memuntahkan cacing itu kedua bola mata gadis yang sudah menggelantung itu kemudian bergerak-gerak. Mungkin tidak suka dengan sikapku barusan.

“Kamu tidak suka? Mungkin yang ini kamu suka.”

Gadis itu berdiri dan mengambil sesuatu.

Ingin sekali rasanya aku berontak dan melawan. Namun, semua sia-sia.

Tubuhku terasa kaku tanpa bisa kugerakkan.

Jemari gadis itu menjepit seekor kelabang besar. Kelabang tampak tidak suka dalam jepitan itu dan meronta-ronta.

Aku melihat mulut si gadis yang terbelah itu tersenyum lalu dengan cepat ia memasukkan kelabang itu ke dalam mulutku.

Aku tidak berkutik ketika kelabang itu seperti berlari melalui tenggorokanku.

Seketika kurasakan mual yang luar biasa, tetapi itu belum usai.

Gelas berisi darah itu ikut dijejalkan ke mulutku.

Anyir dan bau busuk menyengat, namun betapa aku tak kuasa menolak.

Darah itu telah masuk ke tenggorokanku.

Melihat itu mereka kembali tertawa.

Meski dari mulut aku tidak sanggup berkata, namun dalam hati aku tetap memohon dengan sangat. “Ya, Allah. Kumohon selamatkan aku. Aku belum siap mati ya, Allah.”

Aku merasa doaku didengar karena begitu doa dalam hati terucap, aku merasakan ada sedikit kekuatan dan keberanian muncul di dalam hatiku.

Aku harus segera menyelamatkan diri, keluar dari rumah ini. Aku tidak memedulikan mereka yang terus tertawa mengerikan.

Aku sudah hampir mencapai pintu ketika salah seorang dari gadis itu tiba-tiba jatuh tepat di depanku lalu dari bibir yang sudah tidak berbentuk itu terlihat tulang patah, mendekatkan wajahnya yang hancur ke mukaku diikuti tawa.

Dengan sangat terpaksa aku menatap wajah hancur berdarah itu.

Di belakang sana tidak lagi terlihat si ibu. Aku juga tidak melihat si bapak yang isi kepalanya berhamburan. Yang kulihat kini berdiri tiga sosok dengan tubuh berbalut dan kafan, pocong. Mereka menjadi pocong.

Aku semakin ketakutan tidak terkira ketika kurasakan ada tangan diletakkan ke pundakku.

Dalam hati aku tetap berdoa. “Selamatkan aku ya, Allah. Selamatkan aku.”

Maka pada satu kesempatan aku merasakan semakin ada keberanian yang tumbuh.

Kutepiskan tangan berlumuran darah itu lalu aku menuju pintu.

Aku berhasil keluar dari pintu itu dengan merangkak.

Aku mencoba menggapai sepeda motor dan mesin sepeda motor berhasil kunyalakan.

Tanpa pikir panjang aku menarik gas dalam-dalam dan tidak peduli hujan deras mengguyur tubuh.

Aku tersentak ketika di boncenganku terdengar suara seseorang tertawa.

Kemudian aku merasa menabrak sesuatu lalu semua terasa gelap.

****

Tangis sayup-sayup terdengar oleh telingaku.

Perlahan aku membuka mata.

Wajah pertama yang kulihat adalah ibuku disusul berturut-turut bapak kemudian adikku Dian yang masih dengan seragam SMP-nya.

Aku juga melihat Pak Karso bersama istrinya. Namun, aku tidak melihat Ayu.

Aku melihat sekeliling meski masih dengan perasaan pusing. Aku bisa melihat bahwa aku berada di rumah sakit.

Ibuku memandangku dengan penuh rasa cemas.

Antara sadar dan tidak itu aku masih bisa menanyakan apa yang terjadi.

Ibu hanya menjawab singkat, “Yang penting kamu selamat, Le meski dengan kaki kiri patah.”

****

Setelah beberapa waktu terbaring di rumah sakit.

Aku sudah diperbolehkan pulang.

Sosok-sosok mengerikan yang aku temui di rumah tepi jalan itu kembali menampakkan diri. Aku bahkan meyakinkan diri kalau aku memang tidak sedang mabuk atau sakau.

Penampakan itu sangat nyata bagiku.

Ketika petang tiba, di situ ketakutanku kembali dimulai.

Berkali-kali aku melihat sosok pocong mengintip dari balik jendela. Memang hanya terlihat kepala dan ujung ikatan pocongnya saja, namun sudah sangat cukup untuk membuat takut.

Terkadang pocong itu berdiri di samping tempat tidur.

Yang lebih aku takutkan adalah ketika malam terjaga dari tidur.

Aku mengalami halusinasi.

Berkali-kali aku mendapat rehabilitasi.

Beberapa kali aku juga di Ruqayah. Namun, semua usaha itu masih belum memberikan hasil.

Sungguh suatu siksaannya sangat berat kurasakan, namun berkat kasih sayang keluargaku, aku semakin pulih, semakin terlepas dari rasa ketergantungan, aku mulai kembali menjadi aku yang dulu.

Kini tinggallah penyesalan yang menghiasi hari-hariku, penyesalan dan perasaan bersalah karena telah membuat kecewa orang-orang yang tulus menyayangiku.

Sosok-sosok menyeramkan yang menghantuiku mulai menghilang satu persatu ketika aku kembali menjalankan kewajiban 5 waktu, apalagi pada akhirnya aku mengetahui perumahan di tepi jalan itu sebenarnya hanya sebuah pohon besar di mana pernah suatu ketika tepat di samping pohon itu ada sekeluarga meninggal di tempat kejadian karena mobil yang mereka tumpangi terjelas truk tronton.

Berdasarkan hal itulah aku selalu menyertakan doa bagi keluarga yang menjadi korban kecelakaan itu.

Bagaimanapun, meski mengerikan, namun kurasa inilah sebuah kasih sayang Allah kepadaku.

Peristiwa di rumah tepi jalan itu membawaku kembali seperti yang dulu.

****

Sore itu sebuah mobil tampak pelan masuk ke halaman rumah.

Dengan tertatih aku menyambutnya meski aku tidak tahu siapa yang di dalamnya.

Betapa aku sangat terkejut dan hampir tidak percaya ketika seorang wanita cantik tampak turun dan berjalan menuju ke arahku.

Aku sangat mengenalinya.

Saat itu pula mataku berkaca-kaca.

Dia datang, dia ada di sini, dan ini bukan mimpi, namun dia kini sudah bersama dengan yang lain, seorang laki-laki ikut turun dan berjalan ke arahku.

“Assalamualaikum, Mas. Apa kabarmu, Mas?” Ia berkata lembut.

Aku memandanginya dengan berkaca-kaca.

Tanpa tersadar aku bersyukur sambil meminta maaf.

“Tak perlu seperti ini, Mas. Aku sudah memaafkanmu, Mas. Bangunlah.”

Aku bangun dari sembahku lalu ketika kurasa sudah lebih tenang aku menanyakan siapa laki-laki yang ikut bersama Ayu.

“Selamat ya, Mas. Mas, orang yang beruntung. Tolong jaga Rtaih baik-baik.”

Laki-laki yang datang bersama Ayu itu hanya tersenyum lalu menoleh ke arah Ayu.

“Mas, kamu itu ngawur. Dia itu keponakanku dari Kalimantan. Aku belum menikah, Mas,” ucap Ayu sambil tersenyum.

Aku terkesiap. Kalimat terakhir inilah yang membuat semangatku sesaat kembali.

Aku tersenyum lega.

“Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar meninggalkanmu selama ini, Mas.”

“Kamu hanya perlu tahu Mas, kalau aku benar-benar tulus menyayangimu, tapi kalau kamu memang sudah tidak membutuhkan aku, kali ini aku akan benar-benar pamit darimu.” Kembali Ayu berucap dengan serius.

Aku tidak sanggup berkata apa-apa, namun kali ini aku memberanikan diri memeluknya.

“Ayu, kumohon jadilah ibu untuk anak-anak kita.”

 TAMAT


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search