Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PENGHUNI RUMAH KOSONG BAGIAN 2

 BAGIAN 2

Aku bahkan semakin terjerumus ketika minuman keras bukan lagi menjadi kesenangan. Aku ingat ketika pertama kali serbuk jahanam itu merasuk ke tubuhku. Aku serasa melayang lebih bahagia dari segala bentuk bahagia yang pernah aku rasakan.

Aku mulai menepikan rasa bersyukur, aku mulai meninggalkan kewajibanku 5 waktu, aku bahkan merasa tidak perlu takut lagi akan cerita pagi tentang siksa neraka.

Yang paling parah adalah aku sekarang sudah berani meminta bahkan memaki-maki orang tuaku kalau ada sesuatu yang tidak aku senangi.


Aku lupa siapa aku, aku lupa bahwa aku memiliki orang-orang yang harus aku sayangi.

Tidak sekali dua kali pula kerasnya pukulan bapak telak mendarat di mukaku.

Aku masih bergeming. Kecanduanku semakin parah ketika serbuk jahanam itu tidak aku peroleh.

Aku selalu mengamuk!

Mungkin bagi sebagian orang aku sudah menjadi sampah bagi mereka.

Kematianku adalah yang terbaik, pekerjaanku hilang, tabunganku pun mengering. Semua orang berangsur menjauhiku.

Tidak ada lagi sahabat, tidak ada lagi klien, meski di ambang batas kesabaran itu selain keluargaku adalah Ayu yang masih setia berusaha menyadarkanku, hingga ketika itulah mungkin kesabarannya musnah.

“Kumohon kembalilah kamu seperti yang dulu! Kamu yang ramah! Kamu yang sopan! Kamu yang selalu menjadi idaman buatku buat keluargaku dan buat keluargamu. Kumohon, Mas.”

“Kumohon kasihan ibu, kasihan Dian adikmu, kasihan bapakmu!”

Waktu itu masih dengan kelembutan dan kesabarannya sangat tulus. Namun, betapa pun ia memohon, pikiranku sudah kehilangan akal sehat.

Bukannya aku menunduk dan meminta maaf atas kesalahanku, aku justru memaki-makinya, aku bentak dia dengan kasar.

Pada saat itulah bulir bening air mata itu mulai menetes dari bola matanya, tanda hatinya telah terluka.

Namun, aku tidak peduli!

Dalam kekecewaan itu Ayu masih sempat memberiku nasihat. Mungkin itulah nasihat terakhir. Kini aku tidak tahu lagi bagaimana dan di mana dia berada.

“Kalau kamu tidak bisa menyayangi diri kamu sendiri, bagaimana kamu bisa menyayangi aku, Mas? Menyayangi keluargamu! Ingat, Mas. Kelak kalau kamu tidak kembali seperti Sugiarto yang aku kenal, kamu pasti akan menyesal!”

“Sekali lagi kumohon. Sadarlah, Mas. Atau hubungan kita harus berakhir.”

“Kalau mau pergi, pergi saja! Aku tidak butuh kamu! Pergi!” bentakku.

Dan itulah saat terakhir aku melihatnya, melihat kepergiannya dengan membawa tangis, membawa hati yang terluka.

Setelah itu mungkin Ayu memang sudah tidak menganggapku.

Aku makin terpuruk.

Dalam kecanduan, aku masih ingat saat itu adalah September 2014, saat di mana kami seharusnya mulai menggenggam masa depan yang indah.

****

Maret 2016.

Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah seorang teman.

Malam itu ketika hujan deras tiba-tiba datang mengguyur dalam perjalanan itu.

Karena tidak membawa mantel kuputuskan mencari tempat berteduh.

Rumah besar dengan bangunan yang terlihat kokoh bak istana itu menarik perhatianku.

Tanpa pikir panjang aku memarkir sepeda motor di terasnya sambil menunggu hujan reda.

Aku sedang berdiri mengagumi keindahan rumah itu ketika pintu rumah yang berukuran besar itu terbuka lebar.

Di sana telah berdiri seorang laki-laki.

Ia memandangiku.

Namun, meski jarak kami sangat dekat, aku tidak bisa memandang wajahnya dengan jelas.

Belum sempat aku mengeluarkan sepatah kata pun sang laki-laki itu telah memintaku masuk.

Aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali.

Namun, kurasakan ada kekuatan besar yang mendorong hatiku untuk mengikuti ajakannya.

Aku pun langkah masuk.

Suasana di dalam ruangan itu ternyata sangat remang, nyaris gelap.

Aku masih tidak bisa melihat wajah laki-laki itu dengan jelas.

Ketika laki-laki itu mempersilakanku duduk secara bersamaan muncullah 3 orang dari ruang lain.

Dari gerak-geriknya semuanya perempuan.

Lelaki itu memanggil yang satu dengan sebutan ibu.

“Bu, ada tamu. Buatkan minum juga sekalian bawakan kudapan.”

Dari sekilas percakapan aku menduga kalau mereka adalah satu keluarga dengan dua anak perempuan.

Sementara itu, sang ibu dan laki-laki yang ternyata adalah ayah mereka kemudian duduk menemaniku.

Heranku tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Aku pun juga hanya diam mematung tidak tahu harus berkata apa.

Sekejap kemudian dua orang perempuan itu kembali muncul.

Yang satu membawa beberapa minuman dan yang lain membawa beberapa piring berisi kudapan.

“Mas, pasti suka.” Sang ibu membuka percakapan dengan suara parau, sementara yang lain hanya duduk terdiam.

Aku masih coba melihat dengan jelas bagaimana rupa-rupa mereka.

Masih pula diliputi rasa penasaran. “Siapakah mereka?”

Aku merasakan ada sedikit keraguan ketika menarik minuman di dalam gelas itu.

Aku lihat warnanya yang pekat, tapi aku yakin itu bukan teh.

Kucoba mengamati lebih cermat.

Hatiku sedikit berdesir ketika semar-sawar isi gelas itu berwarna merah hitam.

Dalam hati aku menanyakan apakah minuman ini termasuk wedang?

Si ibu lantas menyodorkan piring-piring berisi makanan lalu kembali menawariku minuman dan memakan kudapan-kudapan itu.

Kembali di dalam hatiku berkata, “Baiklah. Tidak baik menolak rezeki.” Aku teringat Tuhan, Tuhan yang telah beberapa lama aku tinggalkan ini masih menyayangiku atau memang masih tersisa sedikit keimanan dalam jiwaku.

Aku mengangkat gelas itu dan kuucapkan bismillah.

Ketika aku minumnya bersamaan itulah sebuah kilat berkelebat diikuti petir menggelegar dahsyat!

Aku sangat terkejut dibuatnya.

Dalam kilatan yang hanya singgah beberapa detik itu telah cukup bagiku untuk meyakini apa isi gelas yang sedang aku pegang.

Isi gelas itu memang berwarna merah pekat dan berbau anyir darah!

“Minumlah, Cah Bagus. Ayo, minum. Kamu harus memakan makanan kesukaan kami. Kamu tidak boleh menolaknya, Cah Bagus. Kalau kamu menolak, kamu mati!”

Aku tersentak dengan ancaman si ibu yang datang secara tiba-tiba.

Berani-beraninya di mengancamku? Mau cari masalah rupanya.

Namun, ketika sekilas kulihat kepala si ibu berputar dari lehernya.

Perasaanku tiba-tiba mengatakan bahwa mereka bukanlah manusia.

Nyaliku yang garang bagi singa ketika terpengaruh.

Kadang galak rupanya tidak berarti apa-apa ketika menghadapi situasi seperti itu.

Nyaliku bagi lilin tertiup angin ketika kilatan yang berikutnya kembali singgah, isi piring itu juga terlihat jelas bagiku ada belatung, ada cacing, bahkan ada kelabang, dan kalajengking.

Kulihat semua masih dalam keadaan hidup.

Seketika gelas dalam pegangan jatuh.

Jantungku berdegup sangat keras seakan pasrah menanti apa yang akan terjadi.

Aku melihat mereka satu persatu, tapi heranku meski dalam keremangan, rupa mereka terlihat lebih jelas.

Aku jatuh terkulai dari tempatku duduk ketika melihat perwujudan mereka.

Aku memang masih melihat mereka sebagai wujud manusia. Namun, dua orang gadis yang membawakan minuman dan makanan kulihat wajah mereka hancur dengan daging di bibirnya terlepas dan hanya tertahan oleh kulit.

Kulihat kedua mata itu telah meninggalkan lubangnya, bergelantungan hampir lepas.

Anggota tubuh mereka juga seperti tercabik-cabik memperlihatkan daging merah mengalirkan darah.

Ketika aku menoleh ke arah si ibu dan bapak, keduanya tidak kalah mengerikan. Kepala bapak itu remuk. Yang ada hanya darah kehitaman bercampur sesuatu berwarna putih, mungkin otak yang telah hancur.

Tidak hanya kepala yang nyaris terlepas dari lehernya, tubuh si ibu juga menganga. Dari tubuh yang terbuka itu terlihat jelas usus yang terburai bahkan beberapa organ tubuhnya kulihat berserakan di lantai.

Darah berceceran menggenang di lantai.

Sedetik, dua detik, aku masih belum menyadari dengan apa yang terjadi. Aku tidak sempat berpikir siapa mereka.

Ketika pada detik berikutnya semakin jelas kuyakini bahwa mereka adalah hantu.

BERSAMBUNG KE BAGIAN 3

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search