PENGHUNI RUMAH KOSONG BAGIAN 2
BAGIAN 2
Aku bahkan semakin terjerumus ketika minuman keras bukan lagi
menjadi kesenangan. Aku ingat ketika pertama kali serbuk jahanam itu merasuk ke
tubuhku. Aku serasa melayang lebih bahagia dari segala bentuk bahagia yang
pernah aku rasakan.
Aku mulai menepikan rasa bersyukur, aku mulai meninggalkan
kewajibanku 5 waktu, aku bahkan merasa tidak perlu takut lagi akan cerita pagi
tentang siksa neraka.
Yang paling parah adalah aku sekarang sudah berani meminta bahkan memaki-maki orang tuaku kalau ada sesuatu yang tidak aku senangi.
Aku lupa siapa aku, aku lupa bahwa aku memiliki orang-orang
yang harus aku sayangi.
Tidak sekali dua kali pula kerasnya pukulan bapak telak mendarat
di mukaku.
Aku masih bergeming. Kecanduanku semakin parah ketika serbuk jahanam
itu tidak aku peroleh.
Aku selalu mengamuk!
Mungkin bagi sebagian orang aku sudah menjadi sampah bagi
mereka.
Kematianku adalah yang terbaik, pekerjaanku hilang,
tabunganku pun mengering. Semua orang berangsur menjauhiku.
Tidak ada lagi sahabat, tidak ada lagi klien, meski di ambang
batas kesabaran itu selain keluargaku adalah Ayu yang masih setia berusaha
menyadarkanku, hingga ketika itulah mungkin kesabarannya musnah.
“Kumohon kembalilah kamu seperti yang dulu! Kamu yang ramah!
Kamu yang sopan! Kamu yang selalu menjadi idaman buatku buat keluargaku dan
buat keluargamu. Kumohon, Mas.”
“Kumohon kasihan ibu, kasihan Dian adikmu, kasihan bapakmu!”
Waktu itu masih dengan kelembutan dan kesabarannya sangat tulus.
Namun, betapa pun ia memohon, pikiranku sudah kehilangan akal sehat.
Bukannya aku menunduk dan meminta maaf atas kesalahanku, aku
justru memaki-makinya, aku bentak dia dengan kasar.
Pada saat itulah bulir bening air mata itu mulai menetes dari
bola matanya, tanda hatinya telah terluka.
Namun, aku tidak peduli!
Dalam kekecewaan itu Ayu masih sempat memberiku nasihat. Mungkin
itulah nasihat terakhir. Kini aku tidak tahu lagi bagaimana dan di mana dia
berada.
“Kalau kamu tidak bisa menyayangi diri kamu sendiri, bagaimana
kamu bisa menyayangi aku, Mas? Menyayangi keluargamu! Ingat, Mas. Kelak kalau
kamu tidak kembali seperti Sugiarto yang aku kenal, kamu pasti akan menyesal!”
“Sekali lagi kumohon. Sadarlah, Mas. Atau hubungan kita harus
berakhir.”
“Kalau mau pergi, pergi saja! Aku tidak butuh kamu! Pergi!”
bentakku.
Dan itulah saat terakhir aku melihatnya, melihat kepergiannya
dengan membawa tangis, membawa hati yang terluka.
Setelah itu mungkin Ayu memang sudah tidak menganggapku.
Aku makin terpuruk.
Dalam kecanduan, aku masih ingat saat itu adalah September 2014,
saat di mana kami seharusnya mulai menggenggam masa depan yang indah.
****
Maret 2016.
Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah seorang teman.
Malam itu ketika hujan deras tiba-tiba datang mengguyur dalam
perjalanan itu.
Karena tidak membawa mantel kuputuskan mencari tempat berteduh.
Rumah besar dengan bangunan yang terlihat kokoh bak istana
itu menarik perhatianku.
Tanpa pikir panjang aku memarkir sepeda motor di terasnya sambil
menunggu hujan reda.
Aku sedang berdiri mengagumi keindahan rumah itu ketika pintu
rumah yang berukuran besar itu terbuka lebar.
Di sana telah berdiri seorang laki-laki.
Ia memandangiku.
Namun, meski jarak kami sangat dekat, aku tidak bisa
memandang wajahnya dengan jelas.
Belum sempat aku mengeluarkan sepatah kata pun sang laki-laki
itu telah memintaku masuk.
Aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali.
Namun, kurasakan ada kekuatan besar yang mendorong hatiku
untuk mengikuti ajakannya.
Aku pun langkah masuk.
Suasana di dalam ruangan itu ternyata sangat remang, nyaris
gelap.
Aku masih tidak bisa melihat wajah laki-laki itu dengan jelas.
Ketika laki-laki itu mempersilakanku duduk secara bersamaan
muncullah 3 orang dari ruang lain.
Dari gerak-geriknya semuanya perempuan.
Lelaki itu memanggil yang satu dengan sebutan ibu.
“Bu, ada tamu. Buatkan minum juga sekalian bawakan kudapan.”
Dari sekilas percakapan aku menduga kalau mereka adalah satu
keluarga dengan dua anak perempuan.
Sementara itu, sang ibu dan laki-laki yang ternyata adalah
ayah mereka kemudian duduk menemaniku.
Heranku tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Aku
pun juga hanya diam mematung tidak tahu harus berkata apa.
Sekejap kemudian dua orang perempuan itu kembali muncul.
Yang satu membawa beberapa minuman dan yang lain membawa
beberapa piring berisi kudapan.
“Mas, pasti suka.” Sang ibu membuka percakapan dengan suara parau,
sementara yang lain hanya duduk terdiam.
Aku masih coba melihat dengan jelas bagaimana rupa-rupa
mereka.
Masih pula diliputi rasa penasaran. “Siapakah mereka?”
Aku merasakan ada sedikit keraguan ketika menarik minuman di
dalam gelas itu.
Aku lihat warnanya yang pekat, tapi aku yakin itu bukan teh.
Kucoba mengamati lebih cermat.
Hatiku sedikit berdesir ketika semar-sawar isi gelas itu berwarna
merah hitam.
Dalam hati aku menanyakan apakah minuman ini termasuk wedang?
Si ibu lantas menyodorkan piring-piring berisi makanan lalu
kembali menawariku minuman dan memakan kudapan-kudapan itu.
Kembali di dalam hatiku berkata, “Baiklah. Tidak baik menolak
rezeki.” Aku teringat Tuhan, Tuhan yang telah beberapa lama aku tinggalkan ini
masih menyayangiku atau memang masih tersisa sedikit keimanan dalam jiwaku.
Aku mengangkat gelas itu dan kuucapkan bismillah.
Ketika aku minumnya bersamaan itulah sebuah kilat berkelebat
diikuti petir menggelegar dahsyat!
Aku sangat terkejut dibuatnya.
Dalam kilatan yang hanya singgah beberapa detik itu telah
cukup bagiku untuk meyakini apa isi gelas yang sedang aku pegang.
Isi gelas itu memang berwarna merah pekat dan berbau anyir
darah!
“Minumlah, Cah Bagus. Ayo, minum. Kamu harus memakan makanan kesukaan
kami. Kamu tidak boleh menolaknya, Cah Bagus. Kalau kamu menolak, kamu mati!”
Aku tersentak dengan ancaman si ibu yang datang secara
tiba-tiba.
Berani-beraninya di mengancamku? Mau cari masalah rupanya.
Namun, ketika sekilas kulihat kepala si ibu berputar dari
lehernya.
Perasaanku tiba-tiba mengatakan bahwa mereka bukanlah manusia.
Nyaliku yang garang bagi singa ketika terpengaruh.
Kadang galak rupanya tidak berarti apa-apa ketika menghadapi
situasi seperti itu.
Nyaliku bagi lilin tertiup angin ketika kilatan yang
berikutnya kembali singgah, isi piring itu juga terlihat jelas bagiku ada
belatung, ada cacing, bahkan ada kelabang, dan kalajengking.
Kulihat semua masih dalam keadaan hidup.
Seketika gelas dalam pegangan jatuh.
Jantungku berdegup sangat keras seakan pasrah menanti apa
yang akan terjadi.
Aku melihat mereka satu persatu, tapi heranku meski dalam
keremangan, rupa mereka terlihat lebih jelas.
Aku jatuh terkulai dari tempatku duduk ketika melihat
perwujudan mereka.
Aku memang masih melihat mereka sebagai wujud manusia. Namun,
dua orang gadis yang membawakan minuman dan makanan kulihat wajah mereka hancur
dengan daging di bibirnya terlepas dan hanya tertahan oleh kulit.
Kulihat kedua mata itu telah meninggalkan lubangnya,
bergelantungan hampir lepas.
Anggota tubuh mereka juga seperti tercabik-cabik
memperlihatkan daging merah mengalirkan darah.
Ketika aku menoleh ke arah si ibu dan bapak, keduanya tidak
kalah mengerikan. Kepala bapak itu remuk. Yang ada hanya darah kehitaman
bercampur sesuatu berwarna putih, mungkin otak yang telah hancur.
Tidak hanya kepala yang nyaris terlepas dari lehernya, tubuh
si ibu juga menganga. Dari tubuh yang terbuka itu terlihat jelas usus yang terburai
bahkan beberapa organ tubuhnya kulihat berserakan di lantai.
Darah berceceran menggenang di lantai.
Sedetik, dua detik, aku masih belum menyadari dengan apa yang
terjadi. Aku tidak sempat berpikir siapa mereka.
Ketika pada detik berikutnya semakin jelas kuyakini bahwa mereka adalah hantu.
No comments:
Post a Comment