PART 7 END-MERTUAKU KEKASIH GELAPKU-END
PART 7KABAR DARI DESA
Sebelum pulang ke rumah, Sekar sempat belanja ke toko buah.
Sekar pun lanjut berbelanja buah-buahan dan ketika
berbelanja HP-nya berbunyi kembali. Ibunya menelpon.
“Nduk, adik ibu
ambil, ya. Mau ibu ajak jalan-jalan sebentar.”
“Ibu ada di
mana sekarang?” tanya Sekar.
“Sudah di rumah kamu, Nduk. Katanya kamu ke butik.”
“Ibu tadi ketemu bapakmu. Bapakmu yang
gendong adik pas bangun tidur.”
“Terus apa kata bapak,
Bu?”
“Cuma nanya kabar aja ibu. Enggak banyak
ngomong. Malah ayahmu yang ngobrol sama bapakmu. Ditawarin mampir dan kata bapakmu
kapan-kapan mampir.”
“Alhamdulillah. Sekar seneng dengernya kalau bapak
sama ibu akur.”
“Nanti malam ibu antar adik pulang, ya.”
“Iya, Bu.”
****
Begitu Sekar sampai rumah.
Terlihat sunyi, padahal mobil Drajat masih terparkir. Sekar menuju ke kamar.
“Mas!” panggil Sekar.
Namun, tak ada jawaban.
Di meja makan pun kosong.
“Ah, mungkin Mas
Drajat sedang
bersantai di lantai 2 bersama bapak, tapi kenapa tidak di bawah saja? Di atas ‘kan tidak ada TV?”
Sekar yang penasaran pun seketika naik ke
lantai 2.
Namun, ketika langkah kakinya
berjalan perlahan menaiki tangga atas ia mendengar suara bapaknya.
“Kamu benar-benar mirip Warsito, Le,” bisik
Pak Kus dengan terus menggerakkan bokong maju mundur.
Derita tempat
tidur terus menjerit!
“Jujur saja, Pak. Bapak suka ‘kan?”
“Oh, Le,”
rintih Pak Kus dengan kembali mengakat kedua kaki Drajat lebih tinggi.
“Ssst. Oh ….”
“Rasanya
sampai ke ubun-ubun, Le. Oh.”
“Pelan-pelan,
Pak. Sakiittt. Oh!”
Sekar yang mendengarnya kontan menerobos
masuk karena pintu kamar bapaknya memang tidak terkunci.
Di matanya
hal menjijikkan ia lihat saat suaminya ada di bawah tindihan bapaknya yang
tanpa busana selembar pun.
“Pak, Mas,
apa yang …..”
Sekar pun ambruk pingsan.
Bruk!
****
Satu Minggu kemudian.
Saat ini Sekar berada di rumah
ibunya. Rasa trauma membuat Sekar tak mau kembali ke rumah juga tak
mau bertemu suami dan bapaknya meski bapaknya mencoba berkali-kali
menemuinya, namun Sekar tetap tak mau bertemu dan mengurung diri di
kamar, menangis sepanjang hari.
“Sekar, anak ibu. Yang sabar ya, Nduk. Ibu nggak nyangka jadinya akan
seperti ini. Ibu nggak nyangka bapakmu tega. Enggak cuma tega sama ibu, tapi sama kamu darah
dagingnya sendiri,” kata ibunya Sekar.
“Bapakmu benar-benar bejat! Manusia rusak! Sekarang kamu sudah dewasa. Kamu sekarang bisa tahu, itulah kenapa ibu memutuskan
untuk meninggalkan bapakmu,” imbuhnya.
“Karena bapakmu menyukai laki-laki dan
karmanya kini menimpa anaknya sendiri. Bapakmu benar-benar menjijikan,
Sekar!”
“Suamimu juga sama-sama
menjijikan! Sekarang terserah kamu saja! Ibu tidak mau ikut campur
urusan rumah tanggamu, tapi sebagai ibu, ibu tidak mau melihat anak
ibu tersiksa batin!”
****
Sementara itu di desa.
Pak Kus benar-benar menyesal. Hari-harinya kini duduk
termenung memikirkan putri semata wayangnya.
Yang ditakut
akhirnya terjadi.
Ia terus-menerus menghubungi Sekar, namun Sekar tak mau
mengangkatnya.
Bertahun-tahun ia merindukan kehangatan
keluarga kecil bersama putrinya, namun kebahagiaan itu lenyap karena
ulahnya sendiri.
Ia merasa gagal menjadi seorang
bapak, bapak yang durhaka pada anaknya sendiri.
Tiba-tiba
HP-nya berbunyi.
“Halo.”
“Pak, maafkan saya,” kata Drajat di ujung telepon.
“Sudahlah. Semua sudah terjadi,
Le. Kamu harus menentukan pilihan. Lupakan bapak dan jangan temui bapak lagi. Pertahankan keluarga kecilmu. Mintalah Maaf pada Sekar. Biar bapak yang mengalah. Toh bapak sudah terbiasa sendiri!”
Tut, tut, tut ….
Pak Kus penutup teleponnya sembari sesegukan.
Lagi-lagi ia teringat kata-kata Sekar. “Andai saja Sekar
tahu bapak homo, Sekar takkan sudi mencari
Bapak, dan sekarang aku juga tak sudi bertemu Bapak!”
“Sekar jijik punya bapak homo! Sekar benci sama Bapak! Benci sebenci-bencinya!” marah Sekar
kala itu setelah mengetahui apa yang bapaknya lakukan berdua dengan suaminya.
Pak Kus ini hanya bisa meratapi nasibnya yang kini
kembali kesepian.
****
Di rumah ibunya Sekar.
Pagi ini Drajat kembali menemui Sekar di
rumah ibunya.
Berkali-kali Sekar menolak
bertemu, namun Drajat tetap memaksa ingin bertemu Sekar.
Setelah mengalami perdebatan
yang alot dengan ibu dan ayah Sekar, Drajat pun diijinkan masuk ke kamar Sekar.
Sekar pun memilih keluar.
“Sekar gak mau ketemu
lagi dengan Mas. Mas tega! Sekar salah apa,
Mas! Sekar kurang apa selama ini sama
Mas!”
“Tidak ada. Kamu istri sempurna buatku,
Sekar. Tak ada satu pun kekurangan yang ada pada
istriku. Kekurangan justru ada pada diriku sendiri.”
“Jujur sebelum aku menikah denganmu, aku menyukai laki-laki.”
“Kenapa Mas gak bilang dari awal! Kenapa baru sekarang,
Mas!”
“Kalau aku jujur, kamu nggak akan mau sama aku. Aku memilih menikah sama kamu
karena cuma baru kamu satu-satunya wanita yang bisa membuatku jatuh cinta,
Sekar!”
“Tujuanku menikahimu itu juga karena
berharap aku bisa berubah, dan aku berhasil, tapi ketika bertemu bapakmu ….”
“Maafkan aku. Aku yang
salah.”
“Sekarang Sekar jadi tahu apa alasan ibu berpisah sama
bapak sekali pun bapak selama ini baik, lemah lembut, tak pernah melakukan kasar, selalu mencukupi kebutuhan
ibu, tak
terlihat selingkuh dengan perempuan, tapi ternyata sama persis yang
dengan apa yang Mas lakukan saat ini padaku! Itu artinya jangan tanyakan
lagi hubungan kita ke depan seperti apa, Mas!”
“Enggak! Jangan pernah berpikiran sama
seperti ibumu akan meninggalkanku, Sekar!”
“Maaf, Mas! Lebih baik kita pisah! Supaya Mas bebas dengan lelaki mana pun!”
“Aku sudah tidak mau dengan laki-laki
mana pun. Yang aku mau cuma kamu dan anak kita,
Sekar!”
“Justru aku melakukan ini agar anak
kita tidak tahu siapa bapaknya, Mas!”
“Sebenarnya cukup aku,
Mas! Cukup aku! Jangan sampai ke anak kita!”
Sekar masih tidak terima permintaan Drajat untuk kembali bersatu.
“Sekar, maafkan aku. Beri aku kesempatan.”
“Tidak, Mas. Sekar kecewa sama Mas.”
“Coba
pikirkan anak kita, Sekar.”
“Tidak, Mas.
Cukup!”
“Oke! Baik! Kamu bisa cari lelaki yang
lebih segalanya dariku, tapi apa kamu nggak mikir ketika anak kita sudah dewasa dan
mempunyai
ayah
sambung, tapi dia masih mencari bapak kandungnya seperti kamu
mencari bapakmu, ha!” geram Drajat yang mulai tak
sabar menhadapi sikap istrinya.
“Andai aku tahu bapakku homo, aku pasti tak akan sudi mencarinya, apalagi bermain dengan
menantunya sendiri! Itu menjijikan, Mas!”
“Sekar, Maafkan aku. Aku mengaku salah. Beri aku kesempatan.
Aku janji tidak
akan menyakitimu lagi.”
Sekar terdiam
sejenak
“Jika Mas
ingkar?”
“Aku rela
kamu tinggalkan. Aku bersumpah tidak akan melakukan kesalahan yang kedua kali.”
“Sekar sudah mantap,
Mas. Sekar
ingin kita
berpisah.”
“Sekar, demi Tuhan! Aku ini sungguh-sungguh!”
“Aku akan bersujud di kakimu.”
Drajat
melakukan apa ucapannya.
“Tak akan ada seseorang
laki-laki yang telah melakukan kesalahan apa pun menjatuhkan harga dirinya
bersujud di kaki wanitanya jika ia tidak benar-benar
sungguh-sungguh memohon demi orang yang dicintainya,” ucap Drajat.
Sekar sesegukan. “Kalau Mas cinta, kenapa Mas nyakitiku.
Hu hu hu.”
“Beri aku kesempatan lagi. Aku sayang sama kamu. Kita tidak perlu menemui bapakmu lagi. Anggap saja bapakmu orang lain yang kita tidak
pernah bertemu sebelumnya.”
“Tolong maafkan aku, Sekar. Maafkan juga bapakmu. Kita hanya manusia biasa yang
tak luput dari kesalahan.”
“Aku sayang sama kamu,
Sekar. Aku tidak akan beranjak jika kamu tidak mau memaafkanku.”
Tiba-tiba HP Sekar berbunyi.
Tilulit …
tilulit ….
“Halo. Ini
siapa?”
“Mukidi, Mbak.” Suara di dalam telepon.
“Ini benar Mbak Sekar
to?”
“Iya. Ada apa?”
jawab Sekar dengan balik bertanya.
“Anu … anu, Mbak.”
“Anu kenapa,
ha?”
“Pakde Kuswanto sudah enggak ada. Gagal jantung, Mbak.”
Hancur lebur
seketika hati Sekar mendengarnya.
“Oh, Bapak.
Hu hu hu.”
SELESAI
No comments:
Post a Comment