MALAM SATU SURO
PART 1
Sosok yang penampakannya berwujud bola api ini sekilas sama
persis dengan Banaspati. Yang membedakan adalah sosok ini mempunyai sayap di
kedua sisinya.
Sosok ini menempatkan wujud dengan melayang di udara lalu
mendekat pada orang yang dituju.
Meski tidak melukai, tapi dapat dipastikan siapa pun yang
menjadi sasarannya akan menjadi gila. Sedangkan kemunculannya di Malam Satu
Suro menandakan bahwa ada seseorang yang telah memperbudaknya yang akan
berakhir dengan bencana bahkan maut. Tempat yang berair juga persawahan
merupakan tempat bersemayamnya.
Sosok ini akan selalu ada dan selalu muncul sebagai salah
satu hantu paling menakutkan.
****
Aku bersama Yudistira melangkah perlahan menuju salah satu
ruangan di mana Pakde Karwo berada.
Pak Bos kami itu merupakan orang yang beruntung. Dulu dia
mampu meraih kesuksesan di usianya yang masih cukup muda padahal lelaki tambun
itu hanya tamatan sekolah dasar saja.
Mungkin dari hal itulah selalu muncul ucapan bahwa orang
beruntung yang mampu mengalahkan orang pandai.
Sebagai pengusaha sukses di bidang pertambangan pasir dan
batu, Pakde Karwo termasuk orang yang tidak sombong, dia selalu dekat dan akrab
dengan anak buahnya, termasuk aku yang hampir tujuh bulan ikut bekerja di sini.
Meski bukan keluarga, tapi aku merasa kalau Pakde Karwo
seperti keluargaku sendiri. Seakan tidak ada kesenjangan di antara kami.
Tok! Tok! Tok!
Setelah mengetuk pintu aku dipersilahkan masuk olehnya.
“Masuk!”
Sekilas aku merasa ada
keanehan yang muncul. Tercium bau busuk dari sudut ruangan dan tampak olehku
sekelebat bayangan melintas di belakang Pakde Karwo. Padahal biasanya ruangan ini tidak
menampakkan hal aneh dan aku mulai waswas. dengan jantung berdetak cepat.
“Aku akan pergi keluar kota dalam beberapa hari,” ucapnya
sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya.
Sebelum rokok itu disulut, dia berpesan agar besok sore aku
dan Yudistira agar datang ke rumahnya.
****
Selang beberapa waktu.
Setelah kami terlibat percakapan, terdengar Yudistira
berkata, “Ada hal penting yang akan harus aku kerjakan, Pak,” ucap Yudistira
yang disusul dengan berpamitan.
Aku kembali melihat bayangan itu, tapi kali ini sosok
tersebut berhenti tepat di belakang kursi Pakde Karwo.
Jelas sekali wajahnya sangat menakutkan. Dua taring di mulut
yang menganga tampak tergores darah. Rambutnya gimbal, matanya merah menyala
menatapku dengan tajam seolah ingin memakanku.
Secepatnya aku meninggalkan ruangan menyusul Yudistira.
“Kalau begitu saya juga pamit permisi, Pak,” ucapku.
Melihat tingkahku yang aneh, Yudistira bertanya.
Rupanya temanku itu tidak melihat apa yang membuatku tegang.
Aku pun menyembunyikan sosok tersebut dari Yudistira. Sengaja
tidak diceritakan agar tidak timbul prasangka macam-macam.
****
Selepas asar.
Aku dan Yudistira sudah berada di rumah Pakde Karwo, tapi bos
besar itu belum pulang, hanya Mbokde Raras istrinya yang berada di rumah.
Perempuan berkulit putih bersih itu sedang hamil menginjak lima bulan.
“Tadi bapak pesan kalau pulangnya sekitar jam setengah lima.
Dia juga pesan agar kalian mau menunggu,” ucap Mbokde Raras.
Kami duduk santai di gazebo melihat taman yang sangat mewah,
termasuk kolam ikan mahal yang menghias.
Semilir angin sangat tenang di halaman rumah megah ini.
Rumah berlantai dua itu dikelilingi dengan pagar besi dan
beberapa tanaman bonsai, tapi di balik kemegahan dan kemewahan itu ada hawa lain
yang terasa. Meskipun terbilang desain model bangunannya baru, tapi rumah ini
seperti tidak bercahaya, seolah ada aura gelap yang menutupi.
Sambil menenggak jus jambu yang dihidangkan Mbokde Raras, aku
terus memandang sekitar rumah, sementara Yudistira merebahkan diri sambil
memejamkan mata.
“Nanti bangunkan, ya?” ucapnya sepertinya tidak mampu menahan
kantuk.
****
Beberapa saat kemudian.
Datanglah Pakde Karwo dengan mobil mewahnya.
Bosku itu keluar dari mobil dengan membawa sesuatu di tangan
kanan, sebuah barang yang terbungkus kain hitam.
Begitu melihat keberadaanku dia langsung mengajak masuk ke
dalam. “Ayo, masuk!”
Aku dan Yudistira yang sudah terbangun segera masuk rumah
mengikuti langkah Pakde Karwo, dia mengajak kami ke lantai atas.
“Sudah menunggu lama?” tanya Pakde Karwo.
“Baru ... baru saja kok, Pak,” jawabku sambil melihat
sekitar.
Baru kali ini aku berada di lantai atas. Di sini hawanya
cukup mencekam. Ada patung harimau di pojok ruangan, sementara di tembok rumah
berjajar aneka barang bertuah. Entah itu asli atau tidak. Ada bambu bertemu
ruas, kepala kijang, juga beberapa keris terpajang di sana.
Aku tidak menyangka kalau Pakde Karwo ternyata menyukai hal
mistis.
Sikap kesehariannya selama ini biasa saja, tidak menunjukkan
kalau ada dunia klenik yang disukainya.
Aku dan Yudistira duduk di sofa ruang tamu, sementara Pakde
Karwo menuju salah satu kamar.
Aku terkaget saat muncul bayangan melintas mendahului Pakde
Karwo. Bayangan yang sama seperti yang terlihat di ruangan kantor kemarin sore.
Dengan cepat bayangan tersebut masuk ke dalam kamar. Tidak ada keanehan yang ditunjukkan pada Pakde Karwo, dia tetap melangkah masuk atau mungkin dia tidak melihat bayangan itu?
Begitu pun dengan Yudistira yang berada di sebelahku, dia
tetap terlihat biasa yang kemudian temanku itu mulai membuka percakapan. Dia
berkomentar dengan apa yang dilihat dalam ruangan ini terutama dengan bambu
bertemu ruas sepanjang hampir satu meter.
Ada 2 bagian ruas dan tampak dua cabang ranting yang saling bertemu.
Sebuah bambu yang sangat jarang ada, bahkan sangat langka.
Tidak berapa lama kemudian Pakde Karwo keluar kamar dengan
menenteng tas ransel.
Begitu duduk di hadapan kami, dia mengeluarkan barang dari
dalam tas yang ternyata ada 9 keris. 2 keris di antaranya dibungkus dengan kain
hitam.
Pakde Karwo kemudian menjelaskan tentang apa yang harus kami
lakukan. Besok malam Pak Dia menyuruh kami untuk mendatangi seorang juru kunci
sebuah gua di mana gua tersebut terletak di tengah hutan di atas jurang.
Sebenarnya aku sering mendengar nama gua tersebut, tapi belum
pernah sekalipun aku ke sana.
Pakde Karwo menyuruh kami sampai di sana tepat tengah malam
dan di tempat itulah biasanya Pakde Karwo menyucikan kembali keris-keris
tersebut.
Setelah selesai dijamas disuruhnya kami langsung
mengembalikan ke rumahnya yang nanti Mbokde Raras akan menunggu.
Dari ucapannya itu aku baru tersadar kalau besok malam adalah
malam tahun baru Islam juga malam pergantian tahun baru bagi masyarakat Jawa
yaitu Malam Satu Suro. Di mana malam tersebut diyakini sebagai malam yang
sakral, pestanya para dedemit.
Pada zaman dahulu orang dilarang keluar rumah di malam
tersebut dan diyakini akan ada kesialan yang menimpa di kemudian hari, tapi
bagaimanapun itu adalah perintah Bos. Mau tidak mau aku harus melaksanakannya
bersama Yudistira.
“Besok pagi aku akan keluar kota bersama Sukiran. Jadi,
kalian yang aku suruh,” ucapnya kemudian.
Sukiran merupakan orang kepercayaan Pakde Karwo yang mana
setiap ada hal penting dialah yang selalu mewakili.
Entah kenapa Pakde Karwo memilih aku dan Yudistira sebagai
gantinya Sukiran, padahal masih banyak bekerja lain yang lebih senior dan lebih
dekat selain aku.
Setelah mendapat penjelasan dari Pakde Karwo, kami langsung
pamit. Besok malam kami akan kembali untuk mengambil keris-keris tersebut,
barang pusaka yang aku tidak tahu fungsinya.
No comments:
Post a Comment