MALAM SATU SURO PART 4
PART 4
Seminggu kemudian.
Yudistira mengalami demam tinggi selama beberapa hari.
Aku yang menengoknya menjadi kaget akan perubahan yang
dialami.
Tubuhnya kurus kering dan wajahnya pucat penuh ketakutan.
Dia menceritakan padaku kalau malam itu dia menengok ke
belakang.
Ketika sampai di ringin kembar dilihatnya beberapa makhluk
halus yang mengikuti dan hal itu membuatnya menyesal karena setelahnya dia
merasa diikuti makhluk halus tersebut. Bahkan di dalam tidur pun sering muncul
menghantui.
Orang tuanya sudah mencoba ke orang pintar, tapi sama sekali
tidak ada perubahan.
Aku melihat matanya berkaca-kaca.
“Coba nanti aku akan menemui Pakde Karwo. Barangkali dia
paham dengan apa yang menimpamu,” ucapku menghibur.
Malamnya aku bertamu ke rumah Pakde Karwo dan menanyakan
tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Yudistira, tapi dengan tegas Pakde
Karwo menjawab kalau dia tidak tahu apa-apa.
Pakde Karwo juga
berkata kalau sudah sering ke gua itu, tapi nyatanya baik-baik saja.
Aku tidak bisa berbuat banyak, aku pun pulang dengan rasa
penasaran yang dalam.
Demi Yudistira aku nekat pergi ke gua tersebut.
Lelaki tua itu mungkin bisa menyembuhkan Yudistira.
Sengaja aku bertandang sendiri pagi itu.
Sepanjang perjalanan aku terus mengamati sisi hutan.
Suasananya memang cukup menakutkan. Tidak ada seorang pun yang berpapasan
denganku.
Jantungku berdebar-debar ketika melewati ringin kembar.
Selebihnya sangat aneh. Tidak ada rawa-rawa. Yang tampak
hanya hutan liar dan pepohonan di atas jurang.
Perasaanku benar-benar kacau, teringat akan bola api yang
muncul di rawa itu. Jelas sekali kalau itu adalah rawa bukan semak belukar.
“Apa yang terjadi dengan penglihatanku di malam itu?” batinku
bergumam.
Aku menuruni jalan terjal setelah memarkir motor di gubuk,
hingga tibalah di gua itu.
Tampak keangkerannya meski di siang hari.
“Siapa yang kamu cari?” Suara seorang perempuan mengagetkanku.
Perempuan paruh baya itu berpakaian layaknya orang desa biasa
kalau dilihat dari bajunya yang lusuh.
Aku menceritakan tentang tujuanku datang ke sana, yaitu
mencari lelaki tua yang pernah kutemui.
Perempuan itu terdiam sejenak dan kemudian mengajakku masuk
ke dalam gua.
Masih tercium aroma minyak yang khas juga aroma bunga yang
sangat menyeruak.
“Orang yang kamu cari telah meninggal,” ucapnya.
Dia bercerita kalau
seminggu setelah Satu Suro Mbah Sumo nama lelaki tersebut ditemukan meninggal
dalam keadaan membusuk. Tubuhnya hancur sebagai terbakar. Lelaki yang dikenal
sakti itu sudah dua tahun tinggal di gua itu.
Dari sifatnya yang misterius hanya beberapa orang saja yang
tahu keberadaannya juga ilmu yang dikuasainya.
“Beruntunglah hari itu aku datang kemari sehingga jasadnya
belum hancur sepenuhnya,” ucap perempuan paruh baya itu sambil menatapku tajam.
Aku heran dengan cerita tersebut. Pakde Karwo pun tidak
pernah menceritakannya yang sudah pasti dia tahu akan musibah tersebut karena
seminggu setelah malam itu dia datang ke gua untuk bertemu dengan lelaki yang ternyata bernama Mbah Sumo itu.
“Kenapa kamu ingin menemui Mbah Sumo?” Pertanyaan perempuan
itu membuyarkan lamunanku.
Selanjutnya aku menceritakan mulai dari awal saat Pakde Karwo
menyuruhku kemari hingga menemui banyak kejanggalan yang berakhir dengan
sakitnya Yudistira.
Perempuan yang belum aku tahu namanya itu mendengarkan dengan
saksama setiap ucapanku dan kami sama-sama terdiam beberapa saat selepas aku
selesai bercerita.
“Kemamang. Rupanya makhluk itu masih ada,” ucap perempuan
tersebut.
Selanjutnya dia menceritakan tentang hantu Kemamang, hantu
yang berwujud bola api, hampir sama dengan Banaspati, tapi kemamang mempunyai
sayap.
“Hantu itu tidak akan membunuh orang yang ditemuinya, kecuali
ada seseorang yang memanfaatkan untuk tujuan tertentu. Hantu itu akan membuat
gila bagi orang yang menengok ke arahnya.”
“Kemunculannya di Malam Satu Suro merupakan tanda akan
terjadi sesuatu musibah. Bisa jadi Mbah Sumo menjadi bagian dari semua itu.”
“Tidak ada yang mampu menyembuhkan kawanmu dari pengaruh
kemamang itu,” ucap perempuan itu
menutup ceritanya.
Pikiranku melayang jauh. Ada kecemasan tersendiri merasuki
jiwaku. Aku takut jika apa yang menimpa Yudistira juga menimpaku.
“Lalu apa peran Pakde Karwo dibalik semua ini?” batinku.
“Waktu yang akan menjawab segala pertanyaanmu,” ucapnya
seakan tidak ingin aku bertanya lebih jauh lagi.
****
Setelah kejadian tersebut aku keluar dari pekerjaanku dengan
alasan ikut orang tuaku merantau.
Aku pamit pada Pakde Karwo. Itu kulakukan karena ada ketakutan tersendiri yang kurasakan dan sesaat itu selalu ada kecelakaan yang merenggut nyawa para pekerja di setiap tahunnya. Kebanyakan merupakan pekerja lapangan termasuk para sopir yang mengalami kecelakaan tragis. Sesuatu yang benar-benar aneh.
****
1 tahun kemudian.
Malam ini aku merenung di antara keramaian para santri.
Mereka beristirahat setelah selesai dengan pawai obor sambil
berselawat di acara yang dilakukan untuk menyambut tahun baru Islam.
Aku biarkan gerimis tipis menyiram rambutku.
Apa yang terjadi setahun
lalu membuat kembali diputar di mana seumur hidupku menemui kengerian
yang amat menakutkan bahkan membuat Yudistira harus berada di rumah sakit jiwa
sampai sekarang. Dia terus berteriak tentang api.
Aku bersyukur karena Tuhan masih menyelamatkanku dari musibah
itu, tapi malam ini aku mencatatnya sebagai malam terburuk sepanjang usiaku.
Sempat aku berpikir kalau kembang kemboja itulah yang
melindungiku dari ancaman kemamang. Karena kembang itu lenyap secara misterius
seakan telah menyelesaikan tugasnya.
****
Sementara itu, sampai saat ini Pakde Karwo masih berjaya.
Simpang siur tentang kewibawaan dan kesuksesan yang diraihnya menjadi teka-teki
yang belum terjawab hingga sekarang.
Banyak warga yang menduga kalau Pakde Karwo melakukan sesuatu
yang tidak wajar demi meraih harta yang melimpah, tapi semua itu hanya dugaan,
tidak ada bukti yang mengarah ke sana.
Dugaan itu muncul dikarenakan kecelakaan yang selalu
merenggut nyawa para pekerjanya bahkan juga kedua anaknya yang mengalami cacat
bawaan. Mereka terlahir idiot. Sedangkan keris-keris itu yang aku dengar masih
disimpan dan selalu dijamasi setiap tiba Malam Satu Suro.
Entah ke mana lagi Pakde Karwo melakukan hal itu setelah Mbah
Sumo meninggal, seorang lelaki misterius yang secara tidak sengaja bertemu
dengan Pakde Karwo.
Aku pernah mendengar kala itu Pak Dia sedang melakukan
kegiatan Event Trail. Dia beristirahat di sekitar gua hingga bertemu dengan Mbah
Sumo yang kemudian gua itu dijadikan tempat laku ritualnya dan gua itu sampai
sekarang masih menjadi misteri.
Perempuan tua yang berada di sana juga ditemukan meninggal
seperti terbakar sebulan setelah aku berjumpa di sana.
Entah bagaimana sekarang keadaan gua tersebut.
Lamunanku buyar saat terdengar geledek sangat keras diikuti
rintik yang semakin deras.
Aku berlari menuju
sebuah bangunan untuk berteduh. Melewati Malam Satu Suro di antara para santri
di malam sakral yang selalu membuatku terjebak dalam bayangan ketakutan.
No comments:
Post a Comment