MALAM SATU SURO PART 3
PART 3
Suara burung gagak yang masih terdengar samar membuat kami
merinding dan tidak tahu mesti berbuat
apa.
Yudistira memberikan senter padaku, aku arahkan pada perapian
busi yang coba dicek.
Setelah dirasa aman kembali Yudistira menstater motor itu.
Masih juga tidak menyala.
Tiba-tiba semilir angin menggoyangkan dahan pohon beringin.
Air yang menetes dari daunnya diikuti wangi menyeruak.
Suara burung gagak berganti tembang Jawa yang menggetarkan
hati.
Lamat-lamat terlihat bayangan putih berdiri di antara dua
pohon beringin.
Tembang itu makin menjauh dan menghilang.
Aku sorotkan senter kepada sosok tersebut dan itu tampak
semakin jelas. Perempuan dengan wajah menakutkan, sementara perutnya penuh
darah dan belatung.
Ya, Tuhan. Inilah pertama kali aku melihat sundel bolong.
Sosok hantu seram yang selalu menjadi legenda.
Yudistira yang panik terus menggenjot motornya dan
alhamdulillah motor itu menyala, tapi saat aku naik mendadak motor itu mati
kembali.
Sementara itu, sosok seram itu masih terdiam di tempat yang
sama.
Ketika tawanya menggema menakutkan, motor pun kembali
menyala.
Dengan segera Yudistira menarik gas melewati sosok itu.
Perasaan tidak karuan berkecamuk dalam hati masing-masing.
Kami saling diam dan ketakutan yang teramat sangat.
Beruntunglah kami tidak diganggu sehingga Yudistira mampu melewati jalan licin
dengan aman.
Perlahan suara tertawa menakutkan itu semakin menghilang.
Kami menjadi lega, tapi masih ada dua lagi pertigaan di depan.
Aku tidak habis pikir, mengapa Pakde Karwo harus menjamasi
keris-keris itu di tempat seperti ini.
Bukankah di desa masih banyak orang-orang mumpuni yang bisa
melakukannya?
Pertanyaan di benakku berhenti saat terlihat rawa-rawa di
sebelah kanan kami dan seketika itu aku merasa apa yang kubawa menjadi sangat
berat.
“Apakah ini jalannya?” tanya Yudistira. Tampaknya Yudistira mulai bimbang saat
melihat rawa-rawa tersebut.
Sepertinya memang tidak masuk akal jika ada rawa di tengah
hutan.
Belum lagi aku menjawab tiba-tiba muncul bola api
melayang-layang sekitar rawa. Suaranya bergemuruh, sementara beban yang kubawa
semakin berat saja.
Yudistira juga terlihat panik saat sepeda motor berjalan
semakin lambat.
Bola api yang melayang itu tampak seperti ada sayap di kedua sisinya.
“Kenapa dengan motor ini,” ucap Yudistira dengan cemas.
Bola api itu kian mendekat lalu berputar-putar di sekitar
kami hingga sampailah kami di pertigaan terakhir.
Bola api itu terus mengikuti kami dengan suaranya yang keras
bergemuruh.
Dengan penuh ketakutan, aku hanya bisa berdoa sambil memegang
erat Yudistira.
Akhirnya bola api itu melayang tinggi dan menghilang.
Ketika kami berhenti di sebuah gubuk, kami memutuskan untuk
beristirahat sejenak.
Kami menenangkan diri sambil menghisap rokok.
Masih ada sisa ketakutan dihatiku. Mungkin juga Yudistira
merasakan itu.
Sesekali kami melihat ke segala penjuru. Ada pikiran
kalau-kalau muncul hantu lain yang lebih mengerikan.
Waktu yang diinginkan Pakde Karwo hampir tiba, tengah Malam
Satu Suro.
Kami membuang puntung rokok lalu menyusuri jalan setapak.
Aku dan Yudistira saling diam, fokus pada senter yang
mengarah ke jalanan hening.
Tidak tampak seorang pun yang datang ke sini. Seharusnya di
malam sakral seperti malam ini banyak tamu yang datang.
Selain menjamas pusaka juga mandi untuk diri sendiri agar
ilmu kebatinan yang dimiliki tidak tumpul.
Suara angin dan gemercik air membawa kami. Tiba-tiba hadir
dua lelaki dengan lampu kecil dan mengajak kami ke sebuah gua.
****
Singkatnya kami tiba di depan gua itu. Setelah mengucap salam kami segera
masuk.
Tampak seorang lelaki tua sudah duduk di sana. Kelihatannya
dia menunggu kedatangan kami. Terlihat pakainya hitam legam termasuk sarung
yang dikenakan.
Dia meminta semua pusaka milik Pakde Karwo. Aku pun
menyerahkannya.
“Kalian tunggu saja di luar!” ucap lelaki tua itu.
Kami hanya menuruti apa katanya. Bergegas keluar meninggalkan
ritual yang akan dimulai.
****
Aku dan Yudistira memilih duduk di bawah sebuah pohon besar
sambil menunggu untuk dipanggil dan kemudian pulang. Itu yang ada di pikiran
kami saat itu.
Seperti biasa rokok menjadi penghibur kami.
Aku dan Yudistira masih saling diam, takut jika mengganggu
ritual memandikan pusaka di dalam gua yang tak jauh dari posisi kami.
Kemudian aku dan Yudistira berdiri. Kuarahkan senter ke arah
pohon besar di sekitar. Masih sangat alami tempat itu.
Kemudian kuarahkan pada jurang di depan. Terlihat gua penuh
semak di pinggirnya juga akar-akar yang menjuntai ke seberang.
Tiba-tiba suara gemuruh terdengar dan meluncurlah bola api
dari dasar jurang.
Bola api itu dengan cepat melintas di depan kami yang membuat
aku dan Yudistira terpental ke belakang.
Bola api itu berputar di sekitar pepohonan lalu menghilang
dengan sendirinya.
“Kenapa kalian, ha!”
Lelaki tua itu muncul mengagetkan kami.
Karena tak tahan, akhirnya aku mulai bercerita tentang
kengerian yang kami temui semalam ini.
Anehnya lelaki itu hanya terdiam tanpa memberi tanggapan
seolah ada sesuatu yang disembunyikan.
Sekejap kemudian terdengar suara letusan berulang dari dalam
gua.
Lelaki itu langsung masuk tanpa memedulikan kami.
Aku dan Yudistira hanya saling pandang dan tetap memilih
menunggu di luar gua hingga lelaki itu menyelesaikan ritualnya.
Letusan itu terhenti saat lelaki itu tiba di dalam.
Aku dan Yudistira masuk kembali saat dipanggil oleh satu
lelaki yang tadi kami temui.
Sesampainya di dalam bau wewangian masih menyeruak, sementara
semua pusaka sudah pada posisinya dengan berjajar rapi di hadapan lelaki tua
itu.
Karena dianggap selesai akhirnya lelaki yang kami tak tahu
namanya itu menyuruh kami langsung pulang saja tanpa memberikan keris-keris itu
kepada kami sesuai pesan Pakde Karwo.
Kami beranggapan kalau keris-keris itu akan diantar sendiri
oleh lelaki itu.
“Ingat! Saat masih di dalam hutan ini jangan sekali-sekali
melihat ke arah belakang!” pesannya.
Kami yang masih penasaran dengan peristiwa malam ini terpaksa
pulang. Mungkin lain hari kami bisa datang kemari lagi mencari tahu tentang apa
yang sebenarnya terjadi.
****
Yudistira terpeleset begitu akan tiba di atas. Tangan kirinya
dia pegangi, dia meringis kesakitan sambil memijit-mijitnya lalu kembali
melanjutkan perjalanan dengan terus memegangi tangannya itu.
“Bagaimana tanganmu, Yud?” tanyaku begitu sampai di gubuk.
“Sepertinya terkilir,” jawabnya.
Akhirnya aku yang mengendarai motor dan dia duduk di
belakang.
Setengah perjalanan pulang, aku mulai dengan detak jantung
memburu, takut kalau kejadian saat berangkat akan terulang.
Sampailah kami di rawa itu dan ketakutanku menjadi kenyataan.
Bola api bersayap itu muncul kembali, berputar-putar, lalu mendekat ke arah
kami.
Entah makhluk apa itu, kalau benar berniat mengganggu tentu
kami sudah terbakar tidak bernafas lagi.
“Yud, jangan sampai kamu lihat ke belakang,” ucapku
mengingatkan.
Setelah melewati rawa, bola api itu kembali melayang tinggi,
dan menghilang.
Tibalah kami di ringin kembar.
Segera aku pencet klakson motor, tapi beberapa kali aku
mencoba, klakson itu mati. Tidak ada bunyi yang keluar.
Aku terus melajukan motor dengan penuh kecemasan.
Kemudian kembali terdengar suara gemuruh dari arah belakang.
Aku tetap fokus pada jalanan. Kupegang kuat pesan dari lelaki
tadi agar tak menoleh ke belakang.
Akhirnya semua terlewati dengan selamat. Kami keluar hutan
dengan perasaan lega meski celana penuh dengan lumpur.
****
Sekitar pukul 2 dini
hari.
Terlihat beberapa warga masih ada yang bergerombol di
sepanjang jalan.
Mereka menyalakan api untuk membuat ketela bakar. Aromanya
sangat menggugah selera dan mencoba melupakan kejadian yang begitu mencekam.
Sempat aku menaruh jaket di mana kembang kemboja itu taruh,
tapi bunga hilang dan sepertinya tidak mungkin kalau terjatuh.
“Semoga tidak ada keburukan yang kutemui nantinya,” batinku.
BERSAMBUNG KE PART 4
No comments:
Post a Comment