MALAM SATU SURO PART 2
PART 2
Hujan sepanjang sore
telah reda.
Tinggal gerimis ringan yang masih bermain dengan dingin
malam.
Suara azan isya menembus menuju gendang telingaku sambil
menunggu Yudistira aku merenung sendiri teras rumah.
Di sepanjang hari ini aku merasa penuh dengan kejanggalan
terutama di saat Pakde Karwo pergi meninggalkan kantor.
Entah kenapa perasaanku jadi gemetaran, jantungku terus
berdetak cepat, seolah ada sesuatu yang membuatku tidak tenang yang kemudian
muncul sosok perempuan di seberang jalan menatapku tajam. Perempuan misterius
itu mengenakan pakaian hitam polos.
Aku semakin merinding saat melihat wajahnya persis dengan
almarhum ibu seolah-olah ada sesuatu yang akan disampaikannya dan dalam
beberapa menit sosok itu tiba-tiba menghilang.
Perasaanku makin tidak karuan ketika seekor cecak jatuh di
kepalaku dan itu terulang di saat aku dalam perjalanan pulang dari desa
tersebut. Cecak jatuh dari dahan pohon pinggiran jalan.
Sangat aneh. Cecak jatuh di saat aku melintas dengan
kendaraan motor, tapi aku tetap mencoba berpikir positif meski perasaanku masih
dalam kecemasan.
“Ayo!” Yudistira berteriak dari halaman rumah.
Tampak temanku itu memakai jaket tebal, tapi dia tidak
memakai jas hujan. Tampak pula senter yang menyembul keluar dari sakunya.
Seketika aku hilangkan
semua lamunan dan segera kami melaju menembus gerimis yang mulai menghilang.
****
Di tengah perjalanan aku terkaget saat Yudistira menginjak
rem secara mendadak yang membuat motor oleng ke kanan.
Hampir saja kami terjatuh.
“Ada apa, Yud?” tanyaku.
“Itu!” Dia berkata kalau ada seekor kucing hitam yang melintas, padahal aku tidak melihat apa pun.
Kami kembali melanjutkan perjalanan.
Beberapa meter kemudian Yudistira kembali mengerem secara
mendadak dan lagi-lagi dia beralasan yang sama kalau ada kucing hitam yang
lewat. Sangat aneh. Padahal aku sama sekali tidak melihat binatang itu
melintas. Perasaanku semakin waswas dengan kejadian tersebut.
Tidak ada lagi gerimis saat kami tiba di rumah Pakde Karwo.
Tampak Mbokde Raras duduk di teras rumah.
“Kalian berangkat sekarang?” Dia bertanya saat melihat
kedatangan kami.
“Iya, Mbokde mumpung hujan lagi reda,” jawab Yudistira.
Kemudian Mbokde Raras masuk rumah meninggalkan kami.
Aku dan Yudistira duduk di lantai teras. Kulihat Yudistira
sambil mengeluarkan rokok. Dia menyulutnya lalu menghisap dalam-dalam mencoba
melawan dingin yang masih membekas di pori-pori kulit.
Aku terkaget saat melihat sosok perempuan di depan pagar
rumah diterpa temaram lampu.
Jelas-jelas itu adalah perempuan siang tadi, perempuan yang
mirip dengan almarhum ibu.
Tatapannya sangat tajam ke arahku.
Sejenak aku melihat ke arah Yudistira. Kulihat dia menatap ke
arah yang sama denganku, tapi sepertinya dia tidak melihat perempuan tersebut.
Aneh. Aku semakin cemas dibuatnya. Atau itu memang sosok
ibuku? “Apa yang dia inginkan,” batinku.
Aku terus memandang perempuan tersebut. Tampak dia menaruh
sesuatu di pagar besi yang seolah aku disuruh mengambil barang itu.
“Kalian minumlah dulu kopi ini.” Suara Mbokde Raras
mengagetkanku.
Mbokde Raras yang
cantik itu membawa kopi panas serta makanan kecil kemudian dia menyuruh
kami duduk di kursi.
“Minumlah dulu. Tidak usah tergesa-gesa,” ucapnya dan disusul
kembali masuk ke dalam.
Saat aku kembali menoleh ke arah jalan perempuan seperti
ibuku itu telah lenyap dari tempatnya.
Seketika jantungku kembali berdebar. Ada perasaan aneh yang
menyelimuti pikiranku dan semoga itu hanya perasaanku saja.
Tidak berapa lama Mbokde Raras muncul dengan memberikan tas
itu padaku.
“Ini ada uang dari bapak sebagai ongkos untuk membeli rokok.
Untuk urusan yang lain nanti bapak sendiri yang ke sana,” ucap Mbokde Raras
menyampaikan pesan suaminya.
Uang itu diterima Yudistira.
Selanjutnya kami meminum kopi lalu menghabiskan sisa rokok
ditangan.
Setelah itu kami berpamitan pada Mbokde Raras.
“Oh, ya. Kalian bawa motor itu saja,” ucap Mbokde Raras
sambil menunjuk motor trail yang di sudut garasi.
Sepertinya Pakde Karwo sudah menyiapkan sepeda motor itu
untuk kami di mana nanti kami harus melewati medan licin yang cukup jauh.
Yudistira berjalan menuju sepeda motor itu.
Dinyalakannya lalu dia mengecek semuanya. Mulai dari tekanan
ban, bensin, dan lampu.
Tampaknya semua baik-baik saja.
Dipanasi dulu mesin motor itu beberapa menit oleh Yudistira,
sementara aku berjalan keluar sambil menggendong tas ransel.
Begitu sampai di pagar aku berhenti.
Terlihat bunga kemboja yang belum mekar di pintu pagar yang
ada sampingku. Bunga itu terdiri atas tiga kuncup dalam satu tangkai. Aku
segera mengambilnya lalu aku taruh di saku jaket bagian dalam.
****
Setengah jam
perjalanan.
Kami sampai di desa terakhir sebelum masuk hutan.
Kami sempat berhenti saat warga sangat banyak tumpah di
jalanan dengan obor di tangan.
Mereka berjalan dengan rapi dan anehnya tidak ada sepatah
kata pun yang keluar dari mulut mereka. Semuanya diam membisu.
Sementara itu, di barisan belakang tampak para ahli agama.
Mereka memakai seragam baju putih dan sarung hitam. Tampak pula peci berwarna
putih di kepala mereka juga tasbih di tangan kiri.
Setelah rombongan habis kami melanjutkan perjalanan lalu
berhenti di warung ujung desa.
Yudistira memesan kopi hitam. Aku ikut saja dengan
pesanannya.
Sambil menunggu aku meletakkan tas ransel.
Seperti biasa Yudistira menyulut rokok yang selalu menjadi
penghangat malam itu.
Yudistira bertanya tentang tujuan arak-arakan tadi kepada
pemilik warung. Tampaknya dia merasa penasaran.
“Oh, itu selalu dilakukan bila tahun baru Islam yang
bertepatan dengan Satu Suro. Warga akan melakukan arak-arakan obor menuju
Punden dan Danyang kami.” Perempuan pemilik warung itu menjawab pertanyaan Yudistira.
Dia Melanjutkan jika arak-arakan itu harus dilakukan dengan
membisu. Warga menyebutnya dengan laku bisu.
“Begitu sampai Punden, warga akan melakukan baca Yasin dan
Tahlil yang ditutup dengan doa bersama. Tujuannya adalah untuk menghilangkan
balak, termasuk untuk kemakmuran warganya.”
“Bulan Suro dianggap penuh mistis dan kesialan. Tradisi itu
sudah dilakukan sejak dulu,” tutur pemilik warung panjang lebar.
Kemudian pemilik warung menyerahkan kopi kepada Yudistira.
Terlihat di jam dinding pukul setengah sembilan malam.
Aku bertanya tentang jalan menuju gua.
Perempuan itu memberi penjelasan kalau jalannya licin karena
hujan deras tadi sore.
“Mungkin dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke
sana. Beda jauh kalau jalannya normal. Berhati-hatilah karena ini malam Satu
Suro, malamnya demit!”
“Saat melewati ringin kembar setelah pertigaan kedua, kalian
harus hati-hati. Nyalakan klakson dan berdoalah,” ucap perempuan itu kemudian.
Setelah membeli enam bungkus rokok kami melanjutkan
perjalanan.
****
Kami berniat istirahat di gubuk yang diceritakan pemilik
warung bila sudah dekat dengan gua nanti.
Jalanan benar-benar licin.
Untunglah Yudistira sudah terbiasa dengan motor trail
sehingga mampu melewati meski sangat pelan-pelan.
Di pertigaan pertama kami dikejutkan dengan munculnya seorang
pemburu.
Lelaki berwajah seram itu menenteng senapan angin. Yang didapat adalah dua ekor burung gagak.
Burung itu diletakkan di tanah dengan darahnya mengalir
mengikuti sisa air hujan.
Aku dan Yudistira melewati lelaki tersebut dengan perasaan
tegang.
Beberapa meter kemudian terdengar suara burung gagak seperti
mengikuti. Jelas sekali kalau suara itu semakin dekat.
Tiba-tiba dua burung gagak berlumuran darah terbang di depan
motor.
Ketakutan yang luar biasa kami rasakan.
Yudistira terus mengendarai motor dengan gemetar hingga
makhluk itu lenyap.
****
Saat sampai di
pertigaan kedua.
Rupanya kami lupa apa pesan perempuan tadi. Begitu sampai di
ringin kembar motor kami mendadak mati.
Aku segera turun.
Berulang kali Yudistira menstater motor, tapi tetap tidak
menyala.
BERSAMBUNG KE PART 3
No comments:
Post a Comment