CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 7
BAB 7
Hari minggu
Penjor yang dihias janur melengkung tampak menghiasi jalan masuk, ada empat orang yang bertugas menerima tamu. Kuswanoto yang mengenakan batik cokelat motif parang berkopiah hitam, tampak gagah berjalan, Warsinah mengekor di belakangnya, menyalami satu persatu penerima tamu.
“Mbok ya sekali-kali jalan
tu gandengan, biar kelihatan mesra gitu lo Kang, hehehe,” canda lelaki yang
tersenyum seraya menerima jabat dari Kuswanoto.
“Wes waleh,” bisik
Kuswanoto ke telinga orang tadi.
“Biyoh,” ucap lelaki ini
mengernyitkan dahi, sementara Kuswanoto tersenyum seraya terus berlalu menjabat
tangan yang lainnya.
Setelah perut Kuswanoto
merasa kenyang oleh hidangan perancisan, dia menuju kotak amplop untuk para
tamu undangan.
Dengan semringah dia
memasukan amplop, “Pluk!”
****
Hari rabu
Setelah semua menikmati
hidangan yang di sajikan sore itu, beberapa lelaki masih terlibat obrolan
ringan setelah memasukkan amplop ke sebuah kotak. Acara Cukuran baru saja
selesai dilangsungkan dengan diakhiri doa oleh Ustad Sopyan, dimana sebelumnya
empat lelaki membaca Sholawat.
Pluk!
Kuswanoto
memasukan amplop yang dia simpan sedari tadi di saku celananya.
****
Hari sabtu
Ijab Kabul yang
dilangsungkan sederhana dan di hadiri tetangga sekitar itu baru saja selesai,
terlihat pengantin muda itu keliling menyalami tamu undangan. Sederet makanan
yang sudah di siapkan dalam wadah stainless, wujud rasa syukur atas telah
berlangsungnya ijab yang tanpa kendala antara Parman dengan putri pak Muin,
Adelina.
Satu persatu mengantre
dengan dua pelayan meja, tampak salah satunya lelaki yang memiliki kumis
seperti pagar kelurahan, mengenakan batik cokelat tua, dengan kopiah hitam,
sangat mudah bagi siapa saja mengenali sosok itu, Kuswanoto, terlihat berbisik
di telinga Bambang yang berdiri di belakangnya.
“Onok peyek urange gak yo
kiro-kiro Mbang?”
“Ya ndak ada lah, Pakde
ini ada-ada saja,” jawab Bambang, seraya tersenyum geli.
“Ayam goreng goreng,”
lanjutnya.
“Lah, tak ngincer pupu
seng sebelah kiwo ae lah,” ucap Kuswanoto.
“Lha kok yang kiri, yang
kanan kenapa Pakde?”
“Onok andeng-andenge,
hikhikhik,” kikik Kuswanoto bercanda.
“Itu kalau paha Mbokde
War, hehehehe.”
“Degg!”
”Adohh! Pakde! Loro!”
teriak Bambang seraya memegangi kaki karena diinjak Kuswanoto.
“Plukk!” Kuswanoto
akhirnya memasukan amplop ke dalam kotak yang sudah di sediakan.
****
Hari minggu
Tidak seperti di rumah Pak
Muin, kali ini Warsinah ikut nyumbang. Deretan kursi plastik nyaris penuh oleh
banyaknya tamu undangan.
Warsinah duduk di samping
suaminya yang mengenakan setelan celana hitam dengan kemeja biru yang tadi
malam dia setrika, baju lama yang jarang sekali di pakai oleh suaminya, hanya
ada di tumpukan paling bawah di lemari.
Asap terus mengepul dari
bibir hitam Kuswanoto yang bermata keruh itu, sesekali diusap kumisnya seraya
menunggu untuk segera mengantre di depan meja panjang, matanya melihat irisan
semangka ada di ujung meja.
“Ayo Makne mangan!”
ajaknya kepada Warsinah.
“Sek to Pak! Malu masih
banyak orang,” jawab Warsinah yang terlihat canggung tak seperti biasanya.
“Gak Ogak nek onok seng
weroh! Wes to percaoyo kambek bojomu seng biaguss dewe iki.”
Setengah terpaksa,
Warsinah akhirnya mengikuti Kuswanoto untuk mengantre. Sebenarnya dia tadi
sudah memutuskan untuk ikut kondangan, mengingat amplop yang di bawa Kuswanoto tak
seperti biasanya, selembar uang berwarna biru biasanya ada di dalamnya, tetapi
kali ini, dengan pede suaminya bilang kalau mereka sudah sering nyumbang untuk Yu Sarintem, “Pisan-pisan amplope gak
onok isine yo gak opo-opo Makne, umum iku, neng endi-endi yo ngono, wes to ayok
mangkat.”
Plukk!
Amplop masuk
dengan mulus ke dalam lubang.
Setelah itu mereka segera
naik ke panggung pelaminan untuk kembali berjabat tangan dengan mempelai dan dua
pasang orang tua mereka yang berdiri menyambut Kuswanoto dan Warsinah.
“Matur nuwun nggeh Kang
Noto,” kata perempuan dengan rambut di sanggul.
Kuswanoto hanya tersenyum
kecut.
“Terima kasih lo Yu War.”
“Iya Yu Tem, semoga
anak-anaknya bisa menjalani hidup yang sakinah, mawadah, dan warohmah nggeh
Yu,” balas
“Amin, Yu War.”
****
“Kenapa Pak!” kata
Warsinah kaget setelah melihat Kuswanoto meringis seraya memegangi kemaluannya.
“Anyang-anyangen, adoh
yong … loro nek nggo nguyoh,” jawabnya dengan terus meringis.
“Lha kok bisa to!” Warsinah
terlihat panik saat Kuswanoto berjalan ngengkeng bak anak yang baru disunat,
dia terus memegangi ujung sarungnya.
“Kemarin minum apa, kok
bisa anyang-anyangen ki lo.”
“Mboh Makne, ujug-ujug
mari nguyoh loro.”
Kembali Kuswanoto
melangkah ke belaKang, diangkatnya sarung yang dia kenakan dan hanya dengan
berjongkok dia melepas seni yang keluarnya hanya beberapa tetes saja.
“Adohhh yooonggg,”
erangnya dengan mata terpejam serta mulut meringis kesakitan.
Kembali dia berdiri sambil
memegangi perut yang mendadak merasa mulas.
“Apa berobat saja Pak!”
teriak Warsinah dari ambang pintu.
“Jembutku nta kate nggo
mbayar, adooohh yoongg,” maki Kuswanoto setengah menggulung sarungnya.
Kuswanoto yang hanya
mengenakan sarung dan tanpa berbaju itu langsung menuju rumah.
“Nanti itu spilis Pak,”
lempar Warsinah asal nguap.
“Matamu suek! Gak weroh ta
nek iki anyang-anyangen, kok kate ndungakno wong lanang kenek spilis!” sambar
Kuswanoto sontak.
“Wes kono jikukno buku!”
“Untuk apa?” Warsinah
dengan bibir cemberut stelah di bentak tadi.
“YO kipasi iki, ojo gur
gelem nganggo tok!”
“Adohh yonggg, adohh
yonggg!” erang Kuswanoto terus.
Sementara Warsinah sibuk
mengipasi bagian dalam sarung yang diminta suaminya.
“Dibukak ae lah!” perintahnya
kepada Warsinah.
“Ya masak mau telanjang di
sini! Nanti kalau ada yang lihat bagaimana!” bantah Warsinah.
Dengan cepat Kuswanoto
menyingkap bagian depan sarungnya, “Wes gek ndang dikipasi! Adohh yonggg.”
“Lha kok malah
ngepleh-ngepleh di sini nto Pakne, Pakne!” gerut Warsinah saat di hadapannya
kini terlihat benda sebesar terong yang dia bakar kemarin, loyo tak bertenaga,
lunglai ke kiri.
“Ini nanti kalau Yu
Jumiatun main kesini bagaimana kalau di ler begini hah!”
“Wes to Makne gak usah
kokean cangkem, kipasi terus ben rodok adem, adohh yongg, adoh … doh awas
makne, kate metu!”
“Keluar apanya!” pekik
Warsinah panik.
“Uyohe blok, goblok! Adohh yongg!”
sentak Kuswanoto lalu terbirit lari ke belakang seraya mencincing sarung.
“Ya Allah, rebyek men dadi
uwong! Ya Allah sabarno lah hatiku ini, punya suami kok ya begini, tiap hari
menguji kesabaranku,” batin Warsinah tak berani bersuara, kalau tak mau kena
semprot lagi dari suaminya.
Warsinah lalu memutuskan
untuk meminjam uang kepada Painur, tetangganya. Dia tak sampai hati juga
melihat suaminya terus mengerang kesakitan begitu. Sekali lagi dia mengelus
dada, terdengar berkali-kali dia mendengus panjang. Antara nelangsa dan bingung
takut kalau niatnya pinjam uang tak membuahkan hasil, mengingat sekarang warga
kampung mulai mengeluh sulitnya ekonomi.
“Mak! Makne!” teriak
Kuswanoto memanggil Warsinah yang sudah melangkah meninggalkan halaman. Dengan
terpaksa dia mengipasi sendiri perkututnya.
No comments:
Post a Comment