Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 7

 

BAB 7

Hari minggu

Penjor yang dihias janur melengkung tampak menghiasi jalan masuk, ada empat orang yang bertugas menerima tamu. Kuswanoto yang mengenakan batik cokelat motif parang berkopiah hitam, tampak gagah berjalan, Warsinah mengekor di belakangnya, menyalami satu persatu penerima tamu.


Mungkin Anda juga tertarik. 
Bagaimana berhubungan seksual menurut ajaran Jawa serta dalam melakukan penetrasi harus pula melihat tipe perempuan sebagai pasangannya.


“Mbok ya sekali-kali jalan tu gandengan, biar kelihatan mesra gitu lo Kang, hehehe,” canda lelaki yang tersenyum seraya menerima jabat dari Kuswanoto.

“Wes waleh,” bisik Kuswanoto ke telinga orang tadi.

“Biyoh,” ucap lelaki ini mengernyitkan dahi, sementara Kuswanoto tersenyum seraya terus berlalu menjabat tangan yang lainnya.

Setelah perut Kuswanoto merasa kenyang oleh hidangan perancisan, dia menuju kotak amplop untuk para tamu undangan.

Dengan semringah dia memasukan amplop, “Pluk!”

****

Hari rabu

Setelah semua menikmati hidangan yang di sajikan sore itu, beberapa lelaki masih terlibat obrolan ringan setelah memasukkan amplop ke sebuah kotak. Acara Cukuran baru saja selesai dilangsungkan dengan diakhiri doa oleh Ustad Sopyan, dimana sebelumnya empat lelaki membaca Sholawat.

Pluk!

Kuswanoto memasukan amplop yang dia simpan sedari tadi di saku celananya.

****

 

Hari sabtu

Ijab Kabul yang dilangsungkan sederhana dan di hadiri tetangga sekitar itu baru saja selesai, terlihat pengantin muda itu keliling menyalami tamu undangan. Sederet makanan yang sudah di siapkan dalam wadah stainless, wujud rasa syukur atas telah berlangsungnya ijab yang tanpa kendala antara Parman dengan putri pak Muin, Adelina.

Satu persatu mengantre dengan dua pelayan meja, tampak salah satunya lelaki yang memiliki kumis seperti pagar kelurahan, mengenakan batik cokelat tua, dengan kopiah hitam, sangat mudah bagi siapa saja mengenali sosok itu, Kuswanoto, terlihat berbisik di telinga Bambang yang berdiri di belakangnya.

“Onok peyek urange gak yo kiro-kiro Mbang?”

“Ya ndak ada lah, Pakde ini ada-ada saja,” jawab Bambang, seraya tersenyum geli.

“Ayam goreng goreng,” lanjutnya.

“Lah, tak ngincer pupu seng sebelah kiwo ae lah,” ucap Kuswanoto.

“Lha kok yang kiri, yang kanan kenapa Pakde?”

“Onok andeng-andenge, hikhikhik,” kikik Kuswanoto bercanda.

“Itu kalau paha Mbokde War, hehehehe.”

“Degg!”

”Adohh! Pakde! Loro!” teriak Bambang seraya memegangi kaki karena diinjak Kuswanoto.

“Plukk!” Kuswanoto akhirnya memasukan amplop ke dalam kotak yang sudah di sediakan.

****

Hari minggu

Tidak seperti di rumah Pak Muin, kali ini Warsinah ikut nyumbang. Deretan kursi plastik nyaris penuh oleh banyaknya tamu undangan.

Warsinah duduk di samping suaminya yang mengenakan setelan celana hitam dengan kemeja biru yang tadi malam dia setrika, baju lama yang jarang sekali di pakai oleh suaminya, hanya ada di tumpukan paling bawah di lemari.

Asap terus mengepul dari bibir hitam Kuswanoto yang bermata keruh itu, sesekali diusap kumisnya seraya menunggu untuk segera mengantre di depan meja panjang, matanya melihat irisan semangka ada di ujung meja.

“Ayo Makne mangan!” ajaknya kepada Warsinah.

“Sek to Pak! Malu masih banyak orang,” jawab Warsinah yang terlihat canggung tak seperti biasanya.

“Gak Ogak nek onok seng weroh! Wes to percaoyo kambek bojomu seng biaguss dewe iki.”

Setengah terpaksa, Warsinah akhirnya mengikuti Kuswanoto untuk mengantre. Sebenarnya dia tadi sudah memutuskan untuk ikut kondangan, mengingat amplop yang di bawa Kuswanoto tak seperti biasanya, selembar uang berwarna biru biasanya ada di dalamnya, tetapi kali ini, dengan pede suaminya bilang kalau mereka sudah sering nyumbang  untuk Yu Sarintem, “Pisan-pisan amplope gak onok isine yo gak opo-opo Makne, umum iku, neng endi-endi yo ngono, wes to ayok mangkat.”

Plukk! 

Amplop masuk dengan mulus ke dalam lubang.

Setelah itu mereka segera naik ke panggung pelaminan untuk kembali berjabat tangan dengan mempelai dan dua pasang orang tua mereka yang berdiri menyambut Kuswanoto dan Warsinah.

“Matur nuwun nggeh Kang Noto,” kata perempuan dengan rambut di sanggul.

Kuswanoto hanya tersenyum kecut.

“Terima kasih lo Yu War.”

“Iya Yu Tem, semoga anak-anaknya bisa menjalani hidup yang sakinah, mawadah, dan warohmah nggeh Yu,” balas

“Amin, Yu War.”

****

“Kenapa Pak!” kata Warsinah kaget setelah melihat Kuswanoto meringis seraya memegangi kemaluannya.

“Anyang-anyangen, adoh yong … loro nek nggo nguyoh,” jawabnya dengan terus meringis.

“Lha kok bisa to!” Warsinah terlihat panik saat Kuswanoto berjalan ngengkeng bak anak yang baru disunat, dia terus memegangi ujung sarungnya.

“Kemarin minum apa, kok bisa anyang-anyangen ki lo.”

“Mboh Makne, ujug-ujug mari nguyoh loro.”

Kembali Kuswanoto melangkah ke belaKang, diangkatnya sarung yang dia kenakan dan hanya dengan berjongkok dia melepas seni yang keluarnya hanya beberapa tetes saja.

“Adohhh yooonggg,” erangnya dengan mata terpejam serta mulut meringis kesakitan.

Kembali dia berdiri sambil memegangi perut yang mendadak merasa mulas.

“Apa berobat saja Pak!” teriak Warsinah dari ambang pintu.

“Jembutku nta kate nggo mbayar, adooohh yoongg,” maki Kuswanoto setengah menggulung sarungnya.

Kuswanoto yang hanya mengenakan sarung dan tanpa berbaju itu langsung menuju rumah.

“Nanti itu spilis Pak,” lempar Warsinah asal nguap.

“Matamu suek! Gak weroh ta nek iki anyang-anyangen, kok kate ndungakno wong lanang kenek spilis!” sambar Kuswanoto sontak.

“Wes kono jikukno buku!”

“Untuk apa?” Warsinah dengan bibir cemberut stelah di bentak tadi.

“YO kipasi iki, ojo gur gelem nganggo tok!”

“Adohh yonggg, adohh yonggg!” erang Kuswanoto terus.

Sementara Warsinah sibuk mengipasi bagian dalam sarung yang diminta suaminya.

“Dibukak ae lah!” perintahnya kepada Warsinah.

“Ya masak mau telanjang di sini! Nanti kalau ada yang lihat bagaimana!” bantah Warsinah.

Dengan cepat Kuswanoto menyingkap bagian depan sarungnya, “Wes gek ndang dikipasi! Adohh yonggg.”

“Lha kok malah ngepleh-ngepleh di sini nto Pakne, Pakne!” gerut Warsinah saat di hadapannya kini terlihat benda sebesar terong yang dia bakar kemarin, loyo tak bertenaga, lunglai ke kiri.

“Ini nanti kalau Yu Jumiatun main kesini bagaimana kalau di ler begini hah!”

“Wes to Makne gak usah kokean cangkem, kipasi terus ben rodok adem, adohh yongg, adoh … doh awas makne, kate metu!”

“Keluar apanya!” pekik Warsinah panik.

“Uyohe blok, goblok! Adohh yongg!” sentak Kuswanoto lalu terbirit lari ke belakang seraya mencincing sarung.

“Ya Allah, rebyek men dadi uwong! Ya Allah sabarno lah hatiku ini, punya suami kok ya begini, tiap hari menguji kesabaranku,” batin Warsinah tak berani bersuara, kalau tak mau kena semprot lagi dari suaminya.

Warsinah lalu memutuskan untuk meminjam uang kepada Painur, tetangganya. Dia tak sampai hati juga melihat suaminya terus mengerang kesakitan begitu. Sekali lagi dia mengelus dada, terdengar berkali-kali dia mendengus panjang. Antara nelangsa dan bingung takut kalau niatnya pinjam uang tak membuahkan hasil, mengingat sekarang warga kampung mulai mengeluh sulitnya ekonomi.

“Mak! Makne!” teriak Kuswanoto memanggil Warsinah yang sudah melangkah meninggalkan halaman. Dengan terpaksa dia mengipasi sendiri perkututnya.

 


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search