Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 10

 

BAB 10

“Sejuta patang atus … lumayan, tak wehno mbok wedok, kambek tak wehno Sri limang atus, mandar mugo langsung di wei jatah, hikhikhikhiki.”

“Lha terus nggko nek konangan awakku keluyuran? Eh wong to nyongkone awakku balek ko jogo bengi.”

“Nek Sri tak wei limang atus, Warsinah tak wei limang atus, cekelanku patang atus, ketambahan duit ko uwong-uwong seng nyumbang, walah … yo lumayan iki.”

“Kulonuwun.”

“Hah! Iku koyok suorone Sri!”

Segera Kuswanoto berbaring dengan, dia lepas gulungan sarungnya cepat. “Adohh yonggg … adohh yongg.”

“Kang, kulonuwun.”

“Adoohh Sri … eh adohh yooonggg.”

“Kang?” perempuan yang tak lain adalah janda yang bernama Sri masih berdiri di depan pintu yang terbuka lebar.

“Mlebuuu aeee … doh yongg,” jawab Kuswanoto dengan suara bergetar.

“Kang? Njenengan sakit?” kata Sri sewaktu sudah berada di ambang pintu kamar.

“Iyo Sri, adoohh iki, iki boyoku loro, pijeti Sri, dohh yongg.” Kuswanoto terus merintih kesakitan, sesekali matanya melirik kepada janda semlohek yang masih berdiri.

“Lho lapo gak lungguh kene, lungguh kene Sri.” Pinta Kuswanoto dengan tubuh terus menggigil.

“Ndak enak sama Yu War, Kang.” Sri terlihat menoleh ke belakang, dia sangat berharap sekali ada perempuan yang di carainya.

“Wes gak usah mikirno Warsinah, wonge metu, nggolekno obat. Wes Sri lungguh kene Sri.”

Dengan perasaan malu sebenarnya bagi Sri menuruti permintaan Kuswanoto. Sungguh dia tak enak hati berdua di kamar ini, bagaimana pun ini Warsinah, istri dari lelaki yang sering mendatanginya sewaktu malam.

“Nggowo opo awakmu iku.”

“Peyek urang Kang, tadi sempat dengar kabar dari beberapa orang kalau Kakang sakit.”

“Ting!” bunyi otak Kuswanoto, memikirkan untuk menahan Sri lebih lama di kamarnya.

“Awakmu paling ngerti awakku Sri, aakkk ….” Kuswanoto membuka mulutnya.

“Kok?”

“Yo di dulang to Sri?”

Sri hanya tersipu malu melihat kelakuan Kuswanoto, lelaki gagah yang selalu menyirami  keringnya kalbu, kala malam-malam dingin mulai mengusik sisi kewanitaannya.

“kracchh.” Renyahnya peyek urang mendarat di mulut Kuswanoto, setelah Sri memotongnya menjadi dua bagian.

“Enakkkk.”

“Lha katanya sakit, apa peyeknya buat lauk makan dengan nasi saja,” ucap Sri penuh dengan perhatian.

“Gak wes! Wes mari loroku!” Kuswanoto nyengir kuda di depan wajah Sri, perempuan itu tertunduk malu saat wajah Kuswanoto begitu dekat dengan wajahnya.

“Ya sudah aku pulang, lha wong Njenengan sudah sembuh,” ujarnya seraya beranjak.

Kuswanoto langsung berbaring seraya memegangi perutnya. “Adohh yongg.”

“Kang! Kakang kenapa lagi!” Pekik Sri menjadi panik kini melihat Kuswanoto guling-guling seraya terus mengerang.

“Weteng … wetengku loro, iki pasti goro-goro mangan peyek urang,” ucap Kuswanoto dengan terus meringis kesakitan.

“Aduh, lha terus bagaimana ini Kang, aku sungguh ndak tahu kalau Kakang ndak boleh makan peyek urang!”

Kuswanoto langsung menangkap tangan Sri, meletakkannya di atas perut, “Di elus-elus ben ndang mari,” pintanya dengan mata terpejam meringis.

“Iya ..i, iya Kang,” ucapnya sedikit gugup.

Sejenak suasana kembali tenang, Kuswanoto tak lagi merasakan sakit setelah Sri terus mengelus-elus perutnya.

“Sudah mending?” tanya Sri merasa bersalah.

“Wes, tapi … adohh yongggg,” erang panjang dari mulut Kuswanoto, terlihat dia meringkuk dengan menghadap pangkuan Sri, tangannya terlihat meremas remas paha Sri, dengan seakan-akan merasa sakit yang luar biasa dia rasakan.

Lalu dalam sekejap Kuswanoto sudah memeluk pinggang Sri, “Kang! Jangan di sini Kang, kalau ketahuan Yu War, aku sangat gak enak hati Kang,” ucap Sri seraya melepas pelukan Kuswanoto.

“Adoohhh yoonggg.” Kuswanoto malah semakin mengerang panjang.

“Iki Sri, iki seng loro pindah rene Sri,” kata Kuswanoto seraya menunjuk bagian selangkangannya.

“Hahh! Pindah lagi sakitnya?”

“Hok oh, Sri.” Kuswanoto mengangguk bak bocah yang di tawari makan.

“Lha terus mau diapakan, jangan ah Kang,” tolak Sri, jelas dia ndak berani kalau untuk menyentuh itu, sebenarnya hal biasa baginya, tetapi tidak di sini.

“Engko nek umurku gak dowo, ojo mbok tangisi yo Sri,” kata Kuswanoto terlihat dengan napas mulai tersengal-sengal, seakan maut sudah di depa matanya.

“Jangan ngomong seperti itu lah Kang, jangan buat aku semakin takut!”

“Mangkane, wes ndang di elus-elus, ben lorone ilang.”

“Tapi Kang.”

“Aku pamit yo Sri, sepurone nek onok omonganku seng nglarani atimu,” ucap Kuswanoto lirih.

“Kang!” Sri semakin panik kini, setelah mendengar ucapan Kuswanoto.

Dengan lemah, Kuswanoto menggenggam tangan Sri, “Tresnoku nggo awakmu gede Sri, dongakno jembar kuburku yo, tak enteni neng swargo.”

“Kangg,” kata Sri dengan bibir mulai bergetar oleh tangis yang nyaris pecah.

Dengan terpaksa tangan Sri, menyusup di balik sarung Kuswanoto, ada hawa hangat yang dia rasakan saat hampir menyentuhnya.

“Nek gak gelem gak opo-opo Sri, umurku ancen wes gak dowo neh koyoke.”

Sri sudah bisa merasakan benda hangat itu, lalu menggemgamnya. Perlahan dia menuruti permintaan Kuswanoto untuk terus mengelus-elusnya.

Kuswanoto menyembunyikan wajahnya dengan memiringkan wajah ke kanan, “Hehehehe, wueenakk rek!” batinnya.

Ada seutas senyum tipis yang tak di sadari oleh Sri, seiring benda di tangannya dia rasakan makin membesar dan terasa keras.

“Buka ae sarunge Sri,” pinta Kuswanoto.

Sri yang hanya menuruti permintaan Kuswanoto perlahan melepas genggaman, menarik tangannya dari dalam sarung, lalu menyingkapnya perlahan.

Kuswanoto yang tak pernah mengenakan dalaman itu, membuka sedikit jarak kedua kakinya.  Bena sebesas tangan bayi itu berdiri tegak mengacung.

Setelah menggenggam tangan Sri, Kuswanoto kembali meminta Sri untuk melanjutkan gerakan tadi, dengan di bantu olehnya, tangan sri di gerakan naik turun dengan terus menggenggam benda yang  di pangkalnya ditumbuhi bulu meranggas.

“Adohh yoohh,” erangnya kini tak terdengar seperti orang kesakitan.

“Sudah to Kang?”

“Yo gurung, ben rodok sue sek Sri, ben lorone tenanan ilang.”

“Nanti kalau tahu Yu War bagaimana?”

“Gak ogak! Mbak Yu-mu gak bakal roh!”

Dengan halus, genggaman melingkar jari Sri terus bergerak naik turun, benda itu semakin kuat berdenyut. Deru napas Kuswanoto semakin tersengal, darahnya terasa mendidih memanaskan syahwat yang perlahan bergolak.

“Sri, dadi pingin awakku.”

“Jangan Kang,” ucap Sri pelan seraya menggeleng, tatapnya tak lepas ke arah wajah berkumis lebat ini.

“lah yo tanggung to Sri, Sri!”

“Njenengan katanya sakit, kok mintanya yang aneh-aneh!” sri melepas tangannya, tanpa Kuswanoto sebenarnya darah Sri sama mendidihnya, tetapi dia tak mau terbuai oleh belai nafsu yang terus membuatnya tenggorokannya bagai di cekik, tetapi ini di rumah Warsinah, perempuan yang masih sah menjadi istri lelaki pujaannya, walaupun dia kerap mengakui kalau dia telah merebut separuh hati dari Warsinah.

“Emuten to Sri, Sri.”

Sri kembali menggelengkan kepala, menolak keinginan Kuswanoto.

Kini tatapan mereka saling adu, hening, hingga terdengar suara derap langkah berlari dari sisi laur kamar yang berdinding papan.

Mereka masih tak menyadari kalau ada sepasang mata yang mengintip apa yang terjadi di dalam kamar.

 


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search