CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 10
BAB 10
“Sejuta patang atus …
lumayan, tak wehno mbok wedok, kambek tak wehno Sri limang atus, mandar mugo
langsung di wei jatah, hikhikhikhiki.”
“Lha terus nggko nek
konangan awakku keluyuran? Eh wong to nyongkone awakku balek ko jogo bengi.”
“Nek Sri tak wei limang
atus, Warsinah tak wei limang atus, cekelanku patang atus, ketambahan duit ko
uwong-uwong seng nyumbang, walah … yo lumayan iki.”
“Kulonuwun.”
“Hah! Iku koyok suorone
Sri!”
Segera Kuswanoto berbaring
dengan, dia lepas gulungan sarungnya cepat. “Adohh yonggg … adohh yongg.”
“Kang, kulonuwun.”
“Adoohh Sri … eh adohh
yooonggg.”
“Kang?” perempuan yang tak
lain adalah janda yang bernama Sri masih berdiri di depan pintu yang terbuka
lebar.
“Mlebuuu aeee … doh
yongg,” jawab Kuswanoto dengan suara bergetar.
“Kang? Njenengan sakit?”
kata Sri sewaktu sudah berada di ambang pintu kamar.
“Iyo Sri, adoohh iki, iki
boyoku loro, pijeti Sri, dohh yongg.” Kuswanoto terus merintih kesakitan,
sesekali matanya melirik kepada janda semlohek yang masih berdiri.
“Lho lapo gak lungguh
kene, lungguh kene Sri.” Pinta Kuswanoto dengan tubuh terus menggigil.
“Ndak enak sama Yu War,
Kang.” Sri terlihat menoleh ke belakang, dia sangat berharap sekali ada
perempuan yang di carainya.
“Wes gak usah mikirno
Warsinah, wonge metu, nggolekno obat. Wes Sri lungguh kene Sri.”
Dengan perasaan malu
sebenarnya bagi Sri menuruti permintaan Kuswanoto. Sungguh dia tak enak hati
berdua di kamar ini, bagaimana pun ini Warsinah, istri dari lelaki yang sering
mendatanginya sewaktu malam.
“Nggowo opo awakmu iku.”
“Peyek urang Kang, tadi
sempat dengar kabar dari beberapa orang kalau Kakang sakit.”
“Ting!” bunyi otak
Kuswanoto, memikirkan untuk menahan Sri lebih lama di kamarnya.
“Awakmu paling ngerti
awakku Sri, aakkk ….” Kuswanoto membuka mulutnya.
“Kok?”
“Yo di dulang to Sri?”
Sri hanya tersipu malu
melihat kelakuan Kuswanoto, lelaki gagah yang selalu menyirami keringnya kalbu, kala malam-malam dingin
mulai mengusik sisi kewanitaannya.
“kracchh.” Renyahnya peyek
urang mendarat di mulut Kuswanoto, setelah Sri memotongnya menjadi dua bagian.
“Enakkkk.”
“Lha katanya sakit, apa
peyeknya buat lauk makan dengan nasi saja,” ucap Sri penuh dengan perhatian.
“Gak wes! Wes mari
loroku!” Kuswanoto nyengir kuda di depan wajah Sri, perempuan itu tertunduk
malu saat wajah Kuswanoto begitu dekat dengan wajahnya.
“Ya sudah aku pulang, lha
wong Njenengan sudah sembuh,” ujarnya seraya beranjak.
Kuswanoto langsung
berbaring seraya memegangi perutnya. “Adohh yongg.”
“Kang! Kakang kenapa
lagi!” Pekik Sri menjadi panik kini melihat Kuswanoto guling-guling seraya
terus mengerang.
“Weteng … wetengku loro,
iki pasti goro-goro mangan peyek urang,” ucap Kuswanoto dengan terus meringis
kesakitan.
“Aduh, lha terus bagaimana
ini Kang, aku sungguh ndak tahu kalau Kakang ndak boleh makan peyek urang!”
Kuswanoto langsung menangkap
tangan Sri, meletakkannya di atas perut, “Di elus-elus ben ndang mari,”
pintanya dengan mata terpejam meringis.
“Iya ..i, iya Kang,”
ucapnya sedikit gugup.
Sejenak suasana kembali
tenang, Kuswanoto tak lagi merasakan sakit setelah Sri terus mengelus-elus
perutnya.
“Sudah mending?” tanya Sri
merasa bersalah.
“Wes, tapi … adohh
yongggg,” erang panjang dari mulut Kuswanoto, terlihat dia meringkuk dengan
menghadap pangkuan Sri, tangannya terlihat meremas remas paha Sri, dengan
seakan-akan merasa sakit yang luar biasa dia rasakan.
Lalu dalam sekejap
Kuswanoto sudah memeluk pinggang Sri, “Kang! Jangan di sini Kang, kalau
ketahuan Yu War, aku sangat gak enak hati Kang,” ucap Sri seraya melepas
pelukan Kuswanoto.
“Adoohhh yoonggg.” Kuswanoto
malah semakin mengerang panjang.
“Iki Sri, iki seng loro
pindah rene Sri,” kata Kuswanoto seraya menunjuk bagian selangkangannya.
“Hahh! Pindah lagi
sakitnya?”
“Hok oh, Sri.” Kuswanoto
mengangguk bak bocah yang di tawari makan.
“Lha terus mau diapakan, jangan
ah Kang,” tolak Sri, jelas dia ndak berani kalau untuk menyentuh itu,
sebenarnya hal biasa baginya, tetapi tidak di sini.
“Engko nek umurku gak
dowo, ojo mbok tangisi yo Sri,” kata Kuswanoto terlihat dengan napas mulai
tersengal-sengal, seakan maut sudah di depa matanya.
“Jangan ngomong seperti
itu lah Kang, jangan buat aku semakin takut!”
“Mangkane, wes ndang di
elus-elus, ben lorone ilang.”
“Tapi Kang.”
“Aku pamit yo Sri,
sepurone nek onok omonganku seng nglarani atimu,” ucap Kuswanoto lirih.
“Kang!” Sri semakin panik
kini, setelah mendengar ucapan Kuswanoto.
Dengan lemah, Kuswanoto
menggenggam tangan Sri, “Tresnoku nggo awakmu gede Sri, dongakno jembar kuburku
yo, tak enteni neng swargo.”
“Kangg,” kata Sri dengan
bibir mulai bergetar oleh tangis yang nyaris pecah.
Dengan terpaksa tangan
Sri, menyusup di balik sarung Kuswanoto, ada hawa hangat yang dia rasakan saat hampir
menyentuhnya.
“Nek gak gelem gak opo-opo
Sri, umurku ancen wes gak dowo neh koyoke.”
Sri sudah bisa merasakan
benda hangat itu, lalu menggemgamnya. Perlahan dia menuruti permintaan
Kuswanoto untuk terus mengelus-elusnya.
Kuswanoto menyembunyikan
wajahnya dengan memiringkan wajah ke kanan, “Hehehehe, wueenakk rek!” batinnya.
Ada seutas senyum tipis
yang tak di sadari oleh Sri, seiring benda di tangannya dia rasakan makin
membesar dan terasa keras.
“Buka ae sarunge Sri,”
pinta Kuswanoto.
Sri yang hanya menuruti
permintaan Kuswanoto perlahan melepas genggaman, menarik tangannya dari dalam
sarung, lalu menyingkapnya perlahan.
Kuswanoto yang tak pernah
mengenakan dalaman itu, membuka sedikit jarak kedua kakinya. Bena sebesas tangan bayi itu berdiri tegak
mengacung.
Setelah menggenggam tangan
Sri, Kuswanoto kembali meminta Sri untuk melanjutkan gerakan tadi, dengan di
bantu olehnya, tangan sri di gerakan naik turun dengan terus menggenggam benda
yang di pangkalnya ditumbuhi bulu
meranggas.
“Adohh yoohh,” erangnya
kini tak terdengar seperti orang kesakitan.
“Sudah to Kang?”
“Yo gurung, ben rodok sue
sek Sri, ben lorone tenanan ilang.”
“Nanti kalau tahu Yu War
bagaimana?”
“Gak ogak! Mbak Yu-mu gak
bakal roh!”
Dengan halus, genggaman
melingkar jari Sri terus bergerak naik turun, benda itu semakin kuat berdenyut.
Deru napas Kuswanoto semakin tersengal, darahnya terasa mendidih memanaskan syahwat
yang perlahan bergolak.
“Sri, dadi pingin awakku.”
“Jangan Kang,” ucap Sri
pelan seraya menggeleng, tatapnya tak lepas ke arah wajah berkumis lebat ini.
“lah yo tanggung to Sri,
Sri!”
“Njenengan katanya sakit,
kok mintanya yang aneh-aneh!” sri melepas tangannya, tanpa Kuswanoto sebenarnya
darah Sri sama mendidihnya, tetapi dia tak mau terbuai oleh belai nafsu yang
terus membuatnya tenggorokannya bagai di cekik, tetapi ini di rumah Warsinah,
perempuan yang masih sah menjadi istri lelaki pujaannya, walaupun dia kerap
mengakui kalau dia telah merebut separuh hati dari Warsinah.
“Emuten to Sri, Sri.”
Sri kembali menggelengkan
kepala, menolak keinginan Kuswanoto.
Kini tatapan mereka saling
adu, hening, hingga terdengar suara derap langkah berlari dari sisi laur kamar
yang berdinding papan.
Mereka masih tak menyadari
kalau ada sepasang mata yang mengintip apa yang terjadi di dalam kamar.
No comments:
Post a Comment