Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 9

 

BAB 9

Kabar Kuswanoto sakit tersiar dengan cepat, dua orang perempuan baru saja keluar dengan di antar oleh Warsinah sampai pintu, “Semoga cepat sembuh ya Yu War Kang Noto.”

Belum sampai ujung halaman, tiga orang perempuan sudah menjejak halaman Warsinah. Tiga ikat kacang panjang dalam bopongnya, sementara dua lainnya hanya menenteng plastik hitam.

“Kulonuwun?”

“Monggo.” Seperti biasa, Warsinah akan menyambut siapa saja yang akan datang menjenguk suaminya.

“Katanya Kang Noto sakit Yu, sakit apa?”

Belum juga Warsinah menjawabnya, terdengar rintih Kuswanoto dari dalam kamar, “Adohh yonggg.”

Dengan diantar Warsinah ketiga perempuan itu masuk ke kamar, setelah sebelumnya meletakan apa yang mereka bawa.

“Sakit apa Kang?”

“Wetengku loro, sirah mumet, awak nggregesi, adohh yonggg.”

“Sudah berobat?”

“Wes iku, iku nek gak percoyo, wes berobat, adoh yongg.”

“Ini Yu, ada panenan sedikit tadi dari kebun.” Seorang yang dari tadi masih memegang kacang panjang menyerahkannya kepada Warsinah.

“Diangkrekk! Mosok teko gur nggowo kacang, nggo opo kacang! Amplop ta duwek ngono seng digowo!” maki Kuswanoto dalam hati.

“Iya Yu, terima kasih banyak lo nggeh, malah jadi ngerepoti Sampean,” ucap Warsinah menerima kacang panjang.

Kuswanoto terus merintih, hingga mereka bertiga pamit. Ada dua kantong plastik diatas meja, setelah tadi Kuswanoto menyuruh Warsinah untuk menyingkirkan tape singkong bawaannya Saimun.

“Opo isine Mak?” tanyanya kepada Warsinah yang membuka kantong plastik.

“Bawang merah sama bawang putih,” jawab Warsinah jujur.

“Ladalah ... lha kok do ngowoni bumbon, jal didelok neh sopo roh neng njerone onok dduite!”

“Ndak ada Pak, ini hanya bumbon.”

“Jal sijine iku isine opo.”

“Pisang,” kata Warsinah dengan wajah beloon menatap Kuswanoto yang langsung rebah ke atas tempat tidur.

“Dikiro awakku manuk terocok ta! Hadohhh yoohhh,” ujarnya kecewa setelah mengetahui apa isinya.

Berbondong-bondong warga menjenguk Kuswanoto yang mereka anggap pahlawan karena telah bersedia menyumbang tenaga untuk membuatkan tempat wudu masjid. Bukan juga karena alasan itu, sebab akan selalu seperti ini bagi warga kampung untuk saling nyumbang dan mengunjungi kalau ada satu tetangga mereka yang sakit, selain uang, hasil bumi akan mereka bawa untuk sekadar buah tangan.

Sudah banyak sayur mayur yang menumpuk di atas meja dapur, setelah tadi Warsinah memindahkannya dari meja kamar, dan hanya dua amplop saya yang berisi uang dua puluhan ribu.

“Sudah telepon Sekar belum Kang?” tanya Sugito yang baru pulang dari kebun, dia langsung menuju rumah Kuswanoto yang kebetulan tetangga terdekatnya.

“Wes,” jawabnya bohong, sebab kalau jujur dia telepon Sekar, pasti anak perempuannya itu akan panik dan membawa dirinya ke rumah sakit, sedangkan Kuswanoto sangat takut jarum suntik.

“Lha terus apa katanya.”

“Yo gak ngomong opo-opo.”

“Lah! Piye to Njenengan iki, masak anak mendengar orang tuanya sakit kok ndak bilang apa-apa.”

“Kesok kate dikirimi obat.”

“Ndak ke sini Mbak Sekarnya.”

“Yo gak bakal rene lah, anakku repot.”

“Iya juga ya, eh ini ada sedikit rezeki untuk Njenengan Kang, terima ya, sedikit kok Kang ndak banyak,” kata tetangga Kuswanoto ini seraya menyerahkan amplop ke tangan Kuswanoto.

“Halah gak usah, adohh yongg.’

“Ini rezeki lo Kang, ndak baik nolak rezeki.”

“Adohh yonggg ... yo wes nek no, delehen neng mejo ae,” ujar Kuswanoto seraya menarik sarungnya sebatas leher.

“Sakit apa kata dokter?”

“Anu ... eh opo yo lali, anu ... anuku loro nek nggo nguyoh.”

“Jal ndelok.” sugito itu lalu membuka sarung Kuswanoto.

“Lha ndak apa-apa gitu kok, masih utuh, anu ne Njenengan yo besar juga yo Kang, hehehe,” katanya lalu menutup kembali sarung.

“Lha mbok kiro potol ngono ta ndase!”

“Hahahaha, yo ndak gitu Kang, yang namanya laki-laki kalau sakit burungnya ya bahaya, jangan-jangan ....”

“Opo! Spilis ta maksudmu!”

Lha saya kan ndak bilang gitu.”

“Adohhh yonggg.”

“Ya sudah Njenengan istirahat saja, kalau begitu aku pamit Kang.”

“Yo ternuwun yo, To.”

****

Hampir semua warga datang ke rumah Kuswanoto, dari tomat, terung hingga pepaya matang, ada di meja dapur Warsinah. Sedangkan isi amplop sudah masuk ke bawah bantal yang ditiduri Kuswanoto.  Mereka semua sangat menghargai Kuswanoto sebagai orang yang ringan tangan dalam membantu orang, terlepas omongannya yang kadang ceplas-ceplos terkesan kasar.

Warsinah yang tadi pamit, ikut dengan Sumiyati untuk mencarikan obat tradisional di rumah Mbah Ali, tampak belum kembali. Kuswanoto sebenarnya menolak kalau Warsinah harus mencari tumbuhan yang di sebut suaminya Sumiati.

“Coba tak lihat,” kata Pak Sabeni yang mencoba ingin membuka sarung Kuswanoto.

“Lah yo ojo! Isin!”

“Cuma pingin tahu bagian aman yang sakit.”

“Nek nggo nguyoh iku metune loro, terus weteng yo mules, di tambah sirah mumet, boyok  loro dengkul pating krejot.”

“Lha kok merembet-rembet ke mana-mana, sebenarnya yang sakit yang mana?”

“Yo iki,” kata Kuswanoto seraya menunjuk burungnya.

Lelaki itu lalu garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Ya sudahlah Kang, aku pamit pulang dulu, sebentar lagi mau jemput anakku.”

“Yo ternuwun yo wes ngendangi rene.”

“Ini sekadar untuk beli jamu, lha tadi awalnya burungnya sampean yang sakit terus merembet ke kepala, pinggang dan ... hes pokoknya cepat sembuh ae lah.” Ucapnya seraya menyerahkan amplop ke tangan Kuswanoto yang terus berbaring.

“Yo, weladalah, malah dadi ngrepotno awakmu.”

“Ndak apa-apa Kang, ya sudah Kang aku permisi.”

Kuswanoto lalu beranjak dan mengikuti lelaki tadi. Mengintipnya melalui celah lubang papan, memastikan kalau dia sudah meninggalkan halaman rumah.

“Jal piro isi jal,” batinya.

Sontak senyumnya mengembang, membawa kumis tebalnya semakin melintang di atas bibir, mata keruhnya mendadak bening setelah mengetahui jumlah isi amplop yang ada di tangannya, dua lembar ratusan merah segera dia keluarkan dari amplop lalu segera dia masuk kembali ke kamar setelah mendengar ada orang berbicara menuju rumahnya.

****

“Ini sekali lagi saya dan Pak RT mohon maaf, atas keterlambatan pembayaran Sampean Kang,” kata Ustaz Sopyan menyerahkan amplop yang lumayan tebal ke tangan Kuswanoto yang dia pegang.

“Kalau untuk Saimun sudah saya serahkan langsung tadi, jadi ini semua adalah upah sampean untuk empat belas hari kerja.”

“Yo lah, ternuwun,” jawab Kuswanoto ingin. Dua orang di depannya memang tak pernah dia sukai, sang Ustaz yang memiliki masa lalu dengan Warsinah, sementara Pak RT adalah orang yang menjadi selalu menjegal untuk tak mendekati Sri, janda pujaannya.

“Sudah berobat Kang?” tanya Pak RT.

“Wes.”

“Sebaiknya di rumah saja, ndak usah keluyuran kalau malam.”

“Lha terus opo hubungane, awakku yo jogo bengi, trus gak oleh nggone ....” Kuswanoto tak melanjutkan ucapannya mengingat ada Ustaz Sopyan di depan mereka.

“Ya sudah, sebentar lagi mau masuk fardu Asar, kalau begitu kami berdua pamit ya Kang, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.”

“Yo Podo-podo.” Kuswanoto masih bersikap dingin.

“Pamit Kang,” ujar Pak RT mengulurkan tangan.

Kuswanoto tak menyambutnya, kesalnya seakan masih melekat mengingat kalau Pak RT juga sering mendatangi Sri.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search