CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 9
BAB 9
Kabar Kuswanoto sakit
tersiar dengan cepat, dua orang perempuan baru saja keluar dengan di antar oleh
Warsinah sampai pintu, “Semoga cepat sembuh ya Yu War Kang Noto.”
Belum sampai ujung
halaman, tiga orang perempuan sudah menjejak halaman Warsinah. Tiga ikat kacang
panjang dalam bopongnya, sementara dua lainnya hanya menenteng plastik hitam.
“Kulonuwun?”
“Monggo.” Seperti biasa,
Warsinah akan menyambut siapa saja yang akan datang menjenguk suaminya.
“Katanya Kang Noto sakit
Yu, sakit apa?”
Belum juga Warsinah
menjawabnya, terdengar rintih Kuswanoto dari dalam kamar, “Adohh yonggg.”
Dengan diantar Warsinah
ketiga perempuan itu masuk ke kamar, setelah sebelumnya meletakan apa yang
mereka bawa.
“Sakit apa Kang?”
“Wetengku loro, sirah
mumet, awak nggregesi, adohh yonggg.”
“Sudah berobat?”
“Wes iku, iku nek gak
percoyo, wes berobat, adoh yongg.”
“Ini Yu, ada panenan
sedikit tadi dari kebun.” Seorang yang dari tadi masih memegang kacang panjang
menyerahkannya kepada Warsinah.
“Diangkrekk! Mosok teko
gur nggowo kacang, nggo opo kacang! Amplop ta duwek ngono seng digowo!” maki
Kuswanoto dalam hati.
“Iya Yu, terima kasih banyak lo nggeh,
malah jadi ngerepoti Sampean,” ucap Warsinah menerima kacang panjang.
Kuswanoto terus merintih,
hingga mereka bertiga pamit. Ada dua kantong plastik diatas meja, setelah tadi
Kuswanoto menyuruh Warsinah untuk menyingkirkan tape singkong bawaannya Saimun.
“Opo isine Mak?” tanyanya
kepada Warsinah yang membuka kantong plastik.
“Bawang merah sama bawang
putih,” jawab Warsinah jujur.
“Ladalah ... lha kok do
ngowoni bumbon, jal didelok neh sopo roh neng njerone onok dduite!”
“Ndak ada Pak, ini hanya
bumbon.”
“Jal sijine iku isine
opo.”
“Pisang,” kata Warsinah dengan
wajah belo’on menatap
Kuswanoto yang langsung rebah ke atas tempat tidur.
“Dikiro awakku manuk
terocok ta! Hadohhh yoohhh,” ujarnya kecewa setelah mengetahui apa isinya.
Berbondong-bondong warga
menjenguk Kuswanoto yang mereka anggap pahlawan karena telah bersedia menyumbang
tenaga untuk membuatkan tempat wudu masjid. Bukan juga karena alasan itu, sebab
akan selalu seperti ini bagi warga kampung untuk saling nyumbang dan
mengunjungi kalau ada satu tetangga mereka yang sakit, selain uang, hasil bumi
akan mereka bawa untuk sekadar buah tangan.
Sudah banyak sayur mayur
yang menumpuk di atas meja dapur, setelah tadi Warsinah memindahkannya dari meja
kamar, dan hanya dua amplop saya yang berisi uang dua puluhan ribu.
“Sudah telepon Sekar belum
Kang?” tanya Sugito yang baru pulang dari kebun, dia langsung menuju rumah
Kuswanoto yang kebetulan tetangga terdekatnya.
“Wes,” jawabnya bohong,
sebab kalau jujur dia telepon Sekar, pasti anak perempuannya itu akan panik dan
membawa dirinya ke rumah sakit, sedangkan Kuswanoto sangat takut jarum suntik.
“Lha terus apa katanya.”
“Yo gak ngomong opo-opo.”
“Lah! Piye to Njenengan
iki, masak anak mendengar orang tuanya sakit kok ndak bilang apa-apa.”
“Kesok kate dikirimi
obat.”
“Ndak ke sini Mbak
Sekarnya.”
“Yo gak bakal rene lah, anakku
repot.”
“Iya juga ya, eh ini ada
sedikit rezeki untuk Njenengan Kang, terima ya, sedikit kok Kang ndak banyak,”
kata tetangga Kuswanoto ini seraya menyerahkan amplop ke tangan Kuswanoto.
“Halah gak usah, adohh
yongg.’
“Ini rezeki lo Kang, ndak
baik nolak rezeki.”
“Adohh yonggg ... yo wes
nek no, delehen neng mejo ae,” ujar Kuswanoto seraya menarik sarungnya sebatas
leher.
“Sakit apa kata dokter?”
“Anu ... eh opo yo lali,
anu ... anuku loro nek nggo nguyoh.”
“Jal ndelok.” sugito itu
lalu membuka sarung Kuswanoto.
“Lha ndak apa-apa gitu
kok, masih utuh, anu ne Njenengan yo besar juga yo Kang, hehehe,” katanya lalu
menutup kembali sarung.
“Lha mbok kiro potol ngono
ta ndase!”
“Hahahaha, yo ndak gitu Kang,
yang namanya laki-laki kalau sakit burungnya ya bahaya, jangan-jangan ....”
“Opo! Spilis ta maksudmu!”
“Lha saya kan ndak bilang
gitu.”
“Adohhh yonggg.”
“Ya sudah Njenengan
istirahat saja, kalau begitu aku pamit Kang.”
“Yo ternuwun yo, To.”
****
Hampir semua warga datang
ke rumah Kuswanoto, dari tomat, terung hingga pepaya matang, ada di meja dapur
Warsinah. Sedangkan isi amplop sudah masuk ke bawah bantal yang ditiduri
Kuswanoto. Mereka semua sangat menghargai
Kuswanoto sebagai orang yang ringan tangan dalam membantu orang, terlepas omongannya
yang kadang ceplas-ceplos terkesan kasar.
Warsinah yang tadi pamit,
ikut dengan Sumiyati untuk mencarikan obat tradisional di rumah Mbah Ali,
tampak belum kembali. Kuswanoto sebenarnya menolak kalau Warsinah harus mencari
tumbuhan yang di sebut suaminya Sumiati.
“Coba tak lihat,” kata Pak Sabeni yang mencoba ingin membuka sarung Kuswanoto.
“Lah yo ojo! Isin!”
“Cuma pingin tahu bagian
aman yang sakit.”
“Nek nggo nguyoh iku metune
loro, terus weteng yo mules, di tambah sirah mumet, boyok loro dengkul pating krejot.”
“Lha kok merembet-rembet
ke mana-mana, sebenarnya yang sakit yang mana?”
“Yo iki,” kata Kuswanoto
seraya menunjuk burungnya.
Lelaki itu lalu
garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Ya sudahlah Kang, aku pamit pulang dulu,
sebentar lagi mau jemput anakku.”
“Yo ternuwun yo wes
ngendangi rene.”
“Ini sekadar untuk beli
jamu, lha tadi awalnya burungnya sampean yang sakit terus merembet ke kepala,
pinggang dan ... hes pokoknya cepat sembuh ae lah.” Ucapnya seraya menyerahkan
amplop ke tangan Kuswanoto yang terus berbaring.
“Yo, weladalah, malah dadi
ngrepotno awakmu.”
“Ndak apa-apa Kang, ya
sudah Kang aku permisi.”
Kuswanoto lalu beranjak
dan mengikuti lelaki tadi. Mengintipnya melalui celah lubang papan, memastikan
kalau dia sudah meninggalkan halaman rumah.
“Jal piro isi jal,”
batinya.
Sontak senyumnya
mengembang, membawa kumis tebalnya semakin melintang di atas bibir, mata
keruhnya mendadak bening setelah mengetahui jumlah isi amplop yang ada di
tangannya, dua lembar ratusan merah segera dia keluarkan dari amplop lalu segera
dia masuk kembali ke kamar setelah mendengar ada orang berbicara menuju
rumahnya.
****
“Ini sekali lagi saya dan
Pak RT mohon maaf, atas keterlambatan pembayaran Sampean Kang,” kata Ustaz Sopyan
menyerahkan amplop yang lumayan tebal ke tangan Kuswanoto yang dia
pegang.
“Kalau untuk Saimun sudah
saya serahkan langsung tadi, jadi ini semua adalah upah sampean untuk empat
belas hari kerja.”
“Yo lah, ternuwun,” jawab
Kuswanoto ingin. Dua orang di depannya memang tak pernah dia sukai, sang Ustaz
yang memiliki masa lalu dengan Warsinah, sementara Pak RT adalah orang yang
menjadi selalu menjegal untuk tak mendekati Sri, janda pujaannya.
“Sudah berobat Kang?”
tanya Pak RT.
“Wes.”
“Sebaiknya di rumah saja,
ndak usah keluyuran kalau malam.”
“Lha terus opo hubungane,
awakku yo jogo bengi, trus gak oleh nggone ....” Kuswanoto tak melanjutkan
ucapannya mengingat ada Ustaz Sopyan di depan mereka.
“Ya sudah, sebentar lagi
mau masuk fardu Asar, kalau begitu kami berdua pamit ya Kang, sekali lagi saya
ucapkan terima kasih.”
“Yo Podo-podo.” Kuswanoto
masih bersikap dingin.
“Pamit Kang,” ujar Pak RT
mengulurkan tangan.
Kuswanoto tak
menyambutnya, kesalnya seakan masih melekat mengingat kalau Pak RT juga sering
mendatangi Sri.
No comments:
Post a Comment