CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 8
BAB 8
“Pak Kuswanoto! Silakan
masuk!” suara dari dalam ruangan yang berpintu kaca.
Dengan di tuntun oleh Warsinah,
Kuswanoto langsung diarahkan untuk berbaring oleh dokter yang bertugas di
Puskesmas.
“Adohhh Yoongg,” rintih
Kuswanoto membuat kumisnya bergerak-gerak.
“Kenapa Pak, apa yang di
rasakan,” tanya dokter muda itu.
“Anu dok ….” Warsinah tak
melanjutkan omongannya.
“Sebelah mana yang sakit,”
kata dokter seraya meletakan stetoskop di dada Kuswanoto.
“Ini yang sakit dok,” kata
Kuswanoto seraya membuka sarungnya.
“Huss! Mbok ya jangan di
buka to pak, ndak sopan sama pak Dokter!” ucap Warsinah lalu kembali menutupi
bagian bawah, dengan menarik ujung sarung.
“Kenapa burungnya?” tanya
Dokter itu tersenyum geli.
“Gini lo Pak dokter, suami
saya kalau kencing itu katanya anu-nya sakit,” ujar Warsinah yang berdiri di samping
ranjang pasien.
“Detak jantungnya bagus,
tekanan darahnya juga bagus, Njenengan itu ndak apa-apa Pak,” kata dokter
seraya melepas alat pengukur tekankan darah dari lengan Kuswanoto.
Dokter yang berdiri di
ujung kaki Kuswanoto membuka sarung itu. Sejenak dia tersenyum, “Perih Pak
kalau untuk kencing?”
“Iya pak dokter, adohh
yongg,” jawab Kuswanoto.
“Sakit apa ya pak dokter
suami saya? Kata Warsinah terlihat cemas.
“Tidak usah panik bu, Pak
Kuswanoto hanya terkena disuria saja, hanya ada sedikit gangguan di kemih, jadi
kalau buat kencing akan terasa nyeri dan sedikit sakit.”
“Tapi bukan spilis to pak
Dokter.”
“Hahahaha, bukan bu, ibu
tidak usah khawatir.”
Dokter itu menuju lemari
yang berisi penuh obat-obatan. “Disuria itu bukan penyakit yang perlu di
khawatirkan kalau segera untuk diobati.”
“Disuria itu opo Pak
dokter.” Kuswanoto berusaha bangkit setelah dia mendengar nama penyakit yang
baru didengarnya.
“Kalau bahasa Jawa itu
sama dengan anyang-anyangen.” Dokter itu kembali duduk seraya meraih spidol.
“Ini flavoxate dan hydrochloride,
diminum sampai habis tiga kali sehari ya Pak.”
“Wes oleh mudun iki Pak
dokter?”
Sang dokter mengangguk
dengan senyum ramah yang tak pernah lepas dari bibirnya.
****
“Darai mana lo Yu, kok
kayaknya Kang Noto sakit gitu?” tanya seorang perempuan yang sedang menyapu
guguran daun jambu.
“Iya Yu, ini baru pulang
dari Puskesmas,” jawab Warsinah dengan terus menuntun Kuswanoto dengan
sayangnya.
“Kecapekan paling Kang
Noto itu Yu?”
“Iya paling Yu, ya sudah
kami permisi ya Yu.” Warsinah terus berlalu dan tak mau terlibat pembicaraan
terlalu panjang dengan perempuan ini.
Dari belaKang terdengar
suara motor, roda itu berhenti tepat di sebelah Kuswanoto yang berjalan
memegangi perut.
“Dari mana Kang.”
“Ko Puskes.”
“Sakit Njenengan?”
“Hok oh.”
“Ya sudah ayo saya bonceng
pulang,” tawar lelaki itu.
“Lah gak usah malah
ngrepotno awakmu.”
“Alah! Kayak sama siapa
saja, sudah ayo naik!”
****
“Pak RT iki kok yo
kebangetan tenan to yo? Wes pirang minggu kok gak di terno duite,” gumam
Kuswanoto yang berbaring di tempat tidur.
“Ini tehnya? Di minum
sudah itu minum obatnya, Pak?” Warsinah meletakan satu gelas beling.
“Sejak kapan awakku
ngeteh, gah!” tolak Kuswanoto yang tak pernah ngeteh.
“Lho kalau mau minum obat
itu ndak boleh ngopi, nanti bisa tawar obatnya,” ucap Warsinah mencoba memberi
penjelasan.
“Jare sopo!”
“Ya kata orang-orang
begitu kok, wes Njenengan ndak usah ngeyel, mau sembuh ndak.”
Kali ini Kuswanoto
terpaksa menuruti apa kata Warsinah.
“Awak nek kadung suwek yon
gene iki, wes gaak gablek duwek sisan di tambahi loro!” gerutunya lalu
berbaring lagi.
“Makne!”
“Apa lagi? Mau masak
bening buat Njenengan aku,” ucap Warsinah menoleh ke belaKang.
“Nek wes ngeneki kudune
awakku seng di sumbang.”
“Maksudnya gimana to iki,”
ujar Warsinah tak mengerti apa yang di maksud suaminya.
“Gini lo Makne, kalau
sudah begini, itu pantesnya aku ini di sumbang, lha aku ini sakit to?”
“Iya tapi kan cuma
anyang-anyangen saja, bukan sakit berat.”
Kuswanoto lalu menyuruh
Warsinah duduk di sisinya, sejurus kemudian dia membisikkan sesuatu ke telinga
istrinya.
“Lah ndak mau lah Pak,
dosa! Mosok iya pura-pura Njenengan sakit berat, aku ndak mau! Nanti bisa
kualat, terus Njenengan sakit beneran bagaimana hah!”
“Gak ogak! Iki gur nggo
ngapusi uwong-uwong ae!”
“Ndak! Pokoknya saya ndak mau!
Bener di kampung kita ini kalau ada yang sakit biasanya yang datang itu
nyumbang, tetapi jangan di manfaatkan begitu, kualat nanti Njenengan!”
“Halah! Nek gak ngono ko
endi dewe oleh duwek hah! Ko endi jal! Mikir-mikir!”
“Tok! Tok! Tok! Kulonuwun, Yu … Yu War!”
Mendadak terdengar suara
seorang perempuan dari luar setelah mengetuk pintu berkali-kali.
“Nggeh, Monggo!” jawab
Warsinah berlalu meninggalkan kamar.
“Ealah, Yu Bariah, ada apa
lo Yu?” sambut Warsinah di depan pintu.
“Tadi kata Yu Kinem, pas
saya pulang dari warung ke temu dia nyapu, katanya Kang Noto Sakit, apa bener
itu Yu?”
“Iya Yu, cuma sakit ….”
“Adohhh yongggg,” rintih
Kuswanoto tiba-tiba.
“Olah Yu, lha itu
kelihatannya Kang Noto sakitnya parah gitu kedengarannya.”
Dengan diantar Warsinah,
perempuan ini masuk ke kamar, “Gerah to Kang?”
“Iyo, loro tenan iki
wetengku, iku … ku obate nek gak percoyo, adohh yongg.’
Perempuan itu melirik arah
yang ditunjuk Kuswanoto.
“Oalah Yu, saya ndak bisa
lama-lama, soalnya baaknya Genduk sebentar lagi pulang, ini ... ini ambil
buat tambah-tambah beli obat.”
“Apa to Yu, ndak usah,”
kata Warsinah menolak uang pemberian Bariah.
“Sudahlah Yu, ambil saja,
memang jumlahnya tak banyak.”
“Sampean ini gimana to
Yu?”
“Ndak apa-apa Yu War, saya
permisi dulu, Kang ... cepat sembuh nggeh.” Bariah pun pamit setelah Warsinah
akhirnya menerima uang pemberiannya.
“Diwei piro Makne?”
“Seket ewu Pak, saya kok merasa
bersalah to,” ucap Warsinah dengan mendengus.
“Salah kepiye, yo gak
salah! Wong di sumbang uwong kok salah!”
“Tetapi apa kata tetangga
nanti kalau tahu Njenengan pura-pura sakit.”
“Lha kok etok-etok, wes
genah lo yo, iku obate, mosok jek diomong ngapusi!”
“lha masih sakit ndak
anu-ne Njenengan.”
“Wes rodok ora, mujarab
tenan obate dokter iko.”
“Ya sudah, bilang saja
sudah sembuh.”
“O yo ojo! Lha seng
nyumbang yo rung do teko, bayangno to mak bayangno, nek siji uwong nyumbang
seket ewu, lha nek ping sepuluh uwong ae wes limang atus ewu.”
“Iya tapi aku merasa ndak
enak lo Pak.”
“Halah! Buwang roso gaak
kepenakmu iku, pokok langsung diobo nek enek uwang kate keto ngendaki awakku,
ben aku tak mapan, trus etok-etok loro wetenge, beres to!”
“Tapi Pak.”
“Wes to manuto,
beres-beres pokoke!”
Tak lama terdengar suara
langkah seseorang di depan pintu rumah mereka. Tampak di tangannya menenteng plastik
hitam.
“Kulanuwun.”
“Monggo Kang, ealah Kang
Saimun, ko ngomah opo ko ndi iki.” Sudah diduga, Warsinah akan terus menyambut
tamu yang datang menjenguk suaminya.
“Kang Noto apa iya lara,
nyong krungu saka Yu Bariah miki jare teka kene, temenan lara KaKange,” kata
Saimun yang kental ngapaknya.
“Lihat sendiri sana di
kamar,” jawab Warsinah seraya menyuruh teman dekat suaminya untuk langsung
masuk ke kamar.
“Lara apa sih Rika, wingi jarku sih temu neng kundangan ra
ngapa-ngapa, deneng siki lara.”
“Lha iku lo obate nek gak
percoyo, adohhh yonggg, nggowo opo awakmu Mun ... adohh yongg,” rintih
Kuswanoto pura-pura.
“Kiye nyong nggawa tape
budin, mbok Rika seneng kiye.” Saimun meletakan tape singkong yang dia bawa.
“Mbok yo duwek ngono seng
di gowo to Mun!”
“Sih wong yumbang mbok
sakgeleme rep ngawa apa, nengapa Rika ngarani, Rika ruh dewe mbok duit saka Pak
Rete, rung cair, Rika lara tuli asih ngarani.”
No comments:
Post a Comment