Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERKAK NYUMBANG PERKORO BAB 8

 

BAB 8

“Pak Kuswanoto! Silakan masuk!” suara dari dalam ruangan yang berpintu kaca.

Dengan di tuntun oleh Warsinah, Kuswanoto langsung diarahkan untuk berbaring oleh dokter yang bertugas di Puskesmas.

“Adohhh Yoongg,” rintih Kuswanoto membuat kumisnya bergerak-gerak.

“Kenapa Pak, apa yang di rasakan,” tanya dokter muda itu.

“Anu dok ….” Warsinah tak melanjutkan omongannya.

“Sebelah mana yang sakit,” kata dokter seraya meletakan stetoskop di dada Kuswanoto.

“Ini yang sakit dok,” kata Kuswanoto seraya membuka sarungnya.

“Huss! Mbok ya jangan di buka to pak, ndak sopan sama pak Dokter!” ucap Warsinah lalu kembali menutupi bagian bawah, dengan menarik ujung sarung.

“Kenapa burungnya?” tanya Dokter itu tersenyum geli.

“Gini lo Pak dokter, suami saya kalau kencing itu katanya anu-nya sakit,” ujar Warsinah yang berdiri di samping ranjang pasien.

“Detak jantungnya bagus, tekanan darahnya juga bagus, Njenengan itu ndak apa-apa Pak,” kata dokter seraya melepas alat pengukur tekankan darah dari lengan Kuswanoto.

Dokter yang berdiri di ujung kaki Kuswanoto membuka sarung itu. Sejenak dia tersenyum, “Perih Pak kalau untuk kencing?”

“Iya pak dokter, adohh yongg,” jawab Kuswanoto.

“Sakit apa ya pak dokter suami saya? Kata Warsinah terlihat cemas.

“Tidak usah panik bu, Pak Kuswanoto hanya terkena disuria saja, hanya ada sedikit gangguan di kemih, jadi kalau buat kencing akan terasa nyeri dan sedikit sakit.”

“Tapi bukan spilis to pak Dokter.”

“Hahahaha, bukan bu, ibu tidak usah khawatir.”

Dokter itu menuju lemari yang berisi penuh obat-obatan. “Disuria itu bukan penyakit yang perlu di khawatirkan kalau segera untuk diobati.”

“Disuria itu opo Pak dokter.” Kuswanoto berusaha bangkit setelah dia mendengar nama penyakit yang baru didengarnya.

“Kalau bahasa Jawa itu sama dengan anyang-anyangen.” Dokter itu kembali duduk seraya meraih spidol.

“Ini flavoxate dan hydrochloride, diminum sampai habis tiga kali sehari ya Pak.”

“Wes oleh mudun iki Pak dokter?”

Sang dokter mengangguk dengan senyum ramah yang tak pernah lepas dari bibirnya.

****

“Darai mana lo Yu, kok kayaknya Kang Noto sakit gitu?” tanya seorang perempuan yang sedang menyapu guguran daun jambu.

“Iya Yu, ini baru pulang dari Puskesmas,” jawab Warsinah dengan terus menuntun Kuswanoto dengan sayangnya.

“Kecapekan paling Kang Noto itu Yu?”

“Iya paling Yu, ya sudah kami permisi ya Yu.” Warsinah terus berlalu dan tak mau terlibat pembicaraan terlalu panjang dengan perempuan ini. 

Dari belaKang terdengar suara motor, roda itu berhenti tepat di sebelah Kuswanoto yang berjalan memegangi perut.

“Dari mana Kang.”

“Ko Puskes.”

“Sakit Njenengan?”

“Hok oh.”

“Ya sudah ayo saya bonceng pulang,” tawar lelaki itu.

“Lah gak usah malah ngrepotno awakmu.”

“Alah! Kayak sama siapa saja, sudah ayo naik!”

****

“Pak RT iki kok yo kebangetan tenan to yo? Wes pirang minggu kok gak di terno duite,” gumam Kuswanoto yang berbaring di tempat tidur.

“Ini tehnya? Di minum sudah itu minum obatnya, Pak?” Warsinah meletakan satu gelas beling.

“Sejak kapan awakku ngeteh, gah!” tolak Kuswanoto yang tak pernah ngeteh.

“Lho kalau mau minum obat itu ndak boleh ngopi, nanti bisa tawar obatnya,” ucap Warsinah mencoba memberi penjelasan.

“Jare sopo!”

“Ya kata orang-orang begitu kok, wes Njenengan ndak usah ngeyel, mau sembuh ndak.”

Kali ini Kuswanoto terpaksa menuruti apa kata Warsinah.

“Awak nek kadung suwek yon gene iki, wes gaak gablek duwek sisan di tambahi loro!” gerutunya lalu berbaring lagi.

“Makne!”

“Apa lagi? Mau masak bening buat Njenengan aku,” ucap Warsinah menoleh ke belaKang.

“Nek wes ngeneki kudune awakku seng di sumbang.”

“Maksudnya gimana to iki,” ujar Warsinah tak mengerti apa yang di maksud suaminya.

“Gini lo Makne, kalau sudah begini, itu pantesnya aku ini di sumbang, lha aku ini sakit to?”

“Iya tapi kan cuma anyang-anyangen saja, bukan sakit berat.”

Kuswanoto lalu menyuruh Warsinah duduk di sisinya, sejurus kemudian dia membisikkan sesuatu ke telinga istrinya.

“Lah ndak mau lah Pak, dosa! Mosok iya pura-pura Njenengan sakit berat, aku ndak mau! Nanti bisa kualat, terus Njenengan sakit beneran bagaimana hah!”

“Gak ogak! Iki gur nggo ngapusi uwong-uwong ae!”

“Ndak! Pokoknya saya ndak mau! Bener di kampung kita ini kalau ada yang sakit biasanya yang datang itu nyumbang, tetapi jangan di manfaatkan begitu, kualat nanti Njenengan!”

“Halah! Nek gak ngono ko endi dewe oleh duwek hah! Ko endi jal! Mikir-mikir!”

“Tok! Tok! Tok!  Kulonuwun, Yu … Yu War!”

Mendadak terdengar suara seorang perempuan dari luar setelah mengetuk pintu berkali-kali.

“Nggeh, Monggo!” jawab Warsinah berlalu meninggalkan kamar.

“Ealah, Yu Bariah, ada apa lo Yu?” sambut Warsinah di depan pintu.

“Tadi kata Yu Kinem, pas saya pulang dari warung ke temu dia nyapu, katanya Kang Noto Sakit, apa bener itu Yu?”

“Iya Yu, cuma sakit ….”

“Adohhh yongggg,” rintih Kuswanoto tiba-tiba.

“Olah Yu, lha itu kelihatannya Kang Noto sakitnya parah gitu kedengarannya.”

Dengan diantar Warsinah, perempuan ini masuk ke kamar, “Gerah to Kang?”

“Iyo, loro tenan iki wetengku, iku … ku obate nek gak percoyo, adohh yongg.’

Perempuan itu melirik arah yang ditunjuk Kuswanoto.

“Oalah Yu, saya ndak bisa lama-lama, soalnya baaknya Genduk sebentar lagi pulang, ini ... ini ambil buat tambah-tambah beli obat.”

“Apa to Yu, ndak usah,” kata Warsinah menolak uang pemberian Bariah.

“Sudahlah Yu, ambil saja, memang jumlahnya tak banyak.”

“Sampean ini gimana to Yu?”

“Ndak apa-apa Yu War, saya permisi dulu, Kang ... cepat sembuh nggeh.” Bariah pun pamit setelah Warsinah akhirnya menerima uang pemberiannya.

“Diwei piro Makne?”

“Seket ewu Pak, saya kok merasa bersalah to,” ucap Warsinah dengan mendengus.

“Salah kepiye, yo gak salah! Wong di sumbang uwong kok salah!”

“Tetapi apa kata tetangga nanti kalau tahu Njenengan pura-pura sakit.”

“Lha kok etok-etok, wes genah lo yo, iku obate, mosok jek diomong ngapusi!”

“lha masih sakit ndak anu-ne Njenengan.”

“Wes rodok ora, mujarab tenan obate dokter iko.”

“Ya sudah, bilang saja sudah sembuh.”

“O yo ojo! Lha seng nyumbang yo rung do teko, bayangno to mak bayangno, nek siji uwong nyumbang seket ewu, lha nek ping sepuluh uwong ae wes limang atus ewu.”

“Iya tapi aku merasa ndak enak lo Pak.”

“Halah! Buwang roso gaak kepenakmu iku, pokok langsung diobo nek enek uwang kate keto ngendaki awakku, ben aku tak mapan, trus etok-etok loro wetenge, beres to!”

“Tapi Pak.”

“Wes to manuto, beres-beres pokoke!”

Tak lama terdengar suara langkah seseorang di depan pintu rumah mereka. Tampak di tangannya menenteng plastik hitam.

“Kulanuwun.”

“Monggo Kang, ealah Kang Saimun, ko ngomah opo ko ndi iki.” Sudah diduga, Warsinah akan terus menyambut tamu yang datang menjenguk suaminya.

“Kang Noto apa iya lara, nyong krungu saka Yu Bariah miki jare teka kene, temenan lara KaKange,” kata Saimun yang kental ngapaknya.

“Lihat sendiri sana di kamar,” jawab Warsinah seraya menyuruh teman dekat suaminya untuk langsung masuk ke kamar.

“Lara apa sih Rika, wingi jarku sih temu neng kundangan ra ngapa-ngapa, deneng siki lara.”

“Lha iku lo obate nek gak percoyo, adohhh yonggg, nggowo opo awakmu Mun ... adohh yongg,” rintih Kuswanoto pura-pura.

“Kiye nyong nggawa tape budin, mbok Rika seneng kiye.” Saimun meletakan tape singkong yang dia bawa.

“Mbok yo duwek ngono seng di gowo to Mun!”

“Sih wong yumbang mbok sakgeleme rep ngawa apa, nengapa Rika ngarani, Rika ruh dewe mbok duit saka Pak Rete, rung cair, Rika lara tuli asih ngarani.”


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search