MEMBUNUH NAFSU
Bicara
syahwat memang bikin gawat! Gak ada habisnya ya, Lur! Namanya juga manusia,
pasti punya nafsu. Iya, to?
Eh, Lur. Lelaki
kok tambah umur syahwatnya makin susah dikendalikan kenapa ya, Lur? Nafsunya
besar, tetapi durasinya kecil. He he he. Kebanyakan sih begitu. 2 menit juga
pakde pernah ngalamin. Seriusan ini!
Astagfirullah
tulisanku! Kok malah buka kartu.
Pakde sering
kok sharing masalah ranjang dengan teman-teman pakde yang juga pakde-pakde. “Faktor
umur itu, Kang. Makin tambah umur makin punya masalah dengan vitalitas,”
katanya.
Iya, juga,
ya ... ada benarnya juga. He he he.
Pantas
mbokdemu pernah bilang, “Tak gawekne jamu po piye?”
Akan tetapi,
kalau main sama si dia, kok durasinya bisa panjang, ya? Sama mbokdemu malah
sakcrit. Heran!
****
Kita gak
bahas masalah vitalitas pria berumur yang menurun, tetapi pakde datang dengan
sebuah cerita.
“Cerita
tentang lelaki gaek yang keluarnya sakcrit karena masalah vitalitas, Pakde?”
Huss cangkemmu!
Anak kecil gak boleh tanya-tanya begituan! Sakcrit, sakcrit! Ya, iya sih. Emang
sedikit keluarnya ... masih banyak isi sampo kemasan sachet! Jiaaa.
Dah, ah!
****
Ini tentang
keluarga miskin perantauan dari Jawa dan menetap di sebuah daerah di Sumatra,
Lur. Di sana banyak perkebunan sawit.
Nah! Dari
luasnya perkebunan sawit ini tumbuhlah jamur sawit ... kalau masih muda
(Maksudnya belum mekar), jamur ini bentuknya kayak anunya pakde pada bagian
ujung. Mulai deh travelling otakmu. Ya to? He he he.
Singkatnya,
ada sebuah keluarga yang terdiri dari bapak, istrinya, dan satu anak perempuan
(Anak tiri sang bapak). Paham ya sampai sini, Lur.
Bapaknya
bernama ... sebut saja Pak Ngatiman ... ia menikahi Ibu Maimunah tujuh belas
tahun lalu.
Maimunah
sendiri sudah punya anak saat dinikahi oleh Pak Ngatiman ini, Lur. Anaknya
perempuan, bernama Jannah ... dari pernikahan sebelumnya.
Paham gak
sih sampai sini, ha?
Kalau sudah
paham pakde lanjut nih!
Janah kini
sudah berumur 19 tahun. Namun, Jannah kurang beruntung ... ia tidak bisa
melihat loh, Lur.
“Buta dari
lahir, Pakde?”
Bukan buta dari
lahir, tetapi waktu kecil kedua matanya pernah tertusuk ujung alang-alang
sewaktu bermain di halaman belakang rumah tetangganya. Halaman tetangganya ini
masih belukar alang-alang waktu itu.
Sudah berobat
ke orang pintar dan dukun, tetapi kedua penglihatan Jannah tak pernah kembali
lagi, Lur.
Hari-hari
yang dilalaui Jannah hanya di rumah saja.
Itu tentang
Jannah yang buta.
“Kalau
ibunya, Pakde?”
Nape? Jatuh
cinta lo ame ibunye, ha!
“Cuma tanya
kok. Dih sewot!”
****
Ibunya hanya
perempuan baya biasa kok, Lur. Ia hanya membantu suaminya dengan mencari jamur
sawit.
Jamur sawit
yang ia dapat akan dijual ke perumahan yang ada di tepian kota. Satu kilo hanya
Rp.15.000.
Kadang dapat
dua kilo, kadang-kadang harus ia masak sendiri karena ya memang tidak banyak
dapatnya.
Jamur itu
tumbuh di antara jangkos sawit ya, Lur. Menjelang sore, biasanya jamur ini mulai
mekar.
Sudah pernah
makan jamur sawit belum, Lur? Enak kok. Pakde sendiri sudah pernah makan ...
pernah pakde posting juga. Bisa menurunkan kolesterol katanya sih begitu.
Untungnya
jamur yang dikasih Slamet (Kuli peladen pakde) benar-benar jamur sawit, coba
saja jamur beracun, pakde nulis ini pasti beda alam denganmu.
Oh, iya. Jamur
ini ada tiga macam ... maksudnya punya tiga varian.
Kalau
jangkosnya masih baru, biasanya akan ditumbuhi jamur yang kecil dan bulat
seujung kelingking. Nah kalau sudah lama akan banyak tumbuh jamur yang lumayan sedang,
tetapi sedikit berlendir ... lama-lama jangkos akan membusuk dan pada tahapan
ini biasanya jamur akan tumbuh besar dan berbentuk kayak anunya pakde-pakde.
Pokoknya
begitulah, Lur. Tiap hari Maimunah akan pergi ke kebun sawit milik orang untuk
mencari jamur.
“Si Pak
Ngatiman sendiri latar belakangnya bagaimana, Pakde?”
Nape? Demen lu,
ha!
“Dih, dia
sewot lagi!”
****
Pak Ngatiman
ini juga duda sewaktu menikahi Maimunah, Lur. Duda anak satu kala itu dan
anaknya dibawa mantan istrinya.
“Perkara
penyebab perceraiannya serius Pakde gak tahu?”
Entah gara-gara sakcrit atau kurang mendekati ideal durasinya. Pokoknya cerai gitu
aja deh! Ribet jawab pertanyaan lu, Bocah!
Dah, ah
lanjut!
Karena sama-sama
pernah gagal membina rumah tangga akhirnya Pak Ngatiman dan Ibu Maimunah ini
sepakat untuk menikah dan memperbaiki semua dari kegagalan masa lalu
masing-masing dan memulainya dari nol lagi. Cakep amat dah, ah. Mulia banget.
Jadi,
hitung-hitungannya ... sudah tujuh belas tahun mereka membina rumah tangga,
meski kehidupan mereka belum sesuai harapan, Lur.
Hidup tuh
kadang gitu, apa yang kita mau ... eh apa yang kehidupan kasih beda jauh!
Lanjut!
Pak Ngatiman
sendiri hanya kerja buruh sebagai pemanen sawit. Upahnya tidak seberapa.
Dua belas
tahun lalu rumah tangga mereka bahagia dan harmonis seraya terus membesarkan
Jannah yang punya kekurangan, tetapi lima tahun terakhir ... Pak Ngatiman
sering mengumbar emosi sejak Maimunah divonis mengalami infeksi saluran
kencing.
Boro-boro
dipakai oleh Pak Ngatiman, buat kencing saja kadang-kadang Maimunah mengeluh
perih, belum lagi pinggang juga kena imbasnya.
Dari situ
Pak Ngatiman ini akhirnya tidak dapat jatah lagi ... Maimunah selalu menolak
dengan alasan sakit anunya.
Efeknya ...
Pak Ngatiman jadi gemar berjudi. Kalau dapat uang dari upah memanen, pasti akan
ia habiskan di gelanggang judi.
Untuk
menyalurkan hasrat, Pak Ngatiman sering sewa semalam perempuan di lokalisasi
murahan yang ada di sudut kota loh, Lur. Daripada meler keluar lewat hidung ya,
‘kan?
“Kalau gak
punya uang bagaimana coba, Pakde?”
Nah ini
masalahnya, Lur. Namanya orang, kadang ada kalanya rezeki seret juga. Pak
Ngatiman ya gak sewa ... lha wong gak punya uang. Emang ada barang begitu yang
gratis, ha? Ya kali sama kayak Pak RT yang menjadi rival pakde dalam memperebutkan
takhta tertinggi di hati janda kidul kali itu. Pak RT itu Mokondo ... modal
iming-iming bansos doang! Ya bedalah sama pakdemu ini ... modal kumis doang! Ha
ha ha.
Lanjut, Lur!
Pokoknya
begitulah, Lur, Pak Ngatiman jadi tidak bisa enak-enak kalau gak punya uang. Di
rumah gak dijatah, mau sewa perempuan di lokalisasi murah, tetapi ... ah
sudahlah pasrah!
“Coli dong,
Pakde. Coli, Woi! Coli.”
Hus! Itu ‘kan
kamu! Pak Ngatiman ini beda! Dia gak mau ngabisin sabun, Bambang!
****
Lupakan
masalah coli, fokus ke cerita pakde coba.
Hari itu
hujan dari malam, tetapi Maimunah tetap lanjut cari jamur. Pokoknya gak mager kayak
kamu ... skrol HP mulu.
Sementara
itu, Pak Ngatiman yang gak punya uang masih melungker di tempat tidur, mancal
sarung.
Lah kayak
pakde ya, Lur. Suka males ngapa-ngapa kalau gerimis. Bawaanya membungkus diri
di dalam sarung di atas tempat tidur.
Yuk lanjut
lagi ceritanya!
Pak Ngatiman
ini dengar kok sewaktu istrinya pamit dan mendengar pintu depan ditutup. “Pak,
aku mangkat.”
****
Beberapa
waktu kemudian.
Langit masih
gelap dan hujan masih turun sewaktu Pak Ngatiman beranjak dari tempat tidur.
Dengan menggulung sarungnya ia berjalan menuju dapur untuk minum kopi yang
sudah disiapkan oleh Maimunah tadi.
Akan tetapi,
Pak Ngatiman ini melihat Jannah yang baru saja selesai mandi, Lur.
Kan gini ...
kalau mau ke dapur otomatis melewati kamar Jannah. Jadi, gak sengaja Pak
Ngatiman melihat Jannah yang mengenakan kemban dari handuk, Lur.
Kebayang ‘kan
perempuan kalau pakai handuk gimana?
Dasarnya
sudah gak pernah dijatah sama istri, mau ke lokalisasi gak punya uang ... melihat
betis Jannah, anunya Pak Ngatiman langsung kongat, Lur.
Kan sudah
dibilang kalau berdua yang ketiga itu setan. Darah Pak Ngatiman berdesir, yang
di dalam sarung kontan meronta-ronta.
Dengan
perlahan dan mengendap-endap Pak Ngatiman masuk ke kamar Jannah.
“Pak?” kata
Jannah yang peka terhadap suara.
“Bapak?”
Sst! Pak
Ngatiman ini tidak bersuara dan hanya berdiri tak jauh dari anak tirinya, Lur.
Entah apa
yang merasukimu, eh, merasukinya, Pak Ngatiman langsung membekap mulut anak
tirinya itu.
“Empft!”
Jannah berontak.
“Empft!”
Tubuh Jannah
ia banting ke atas tempat tidur dan langsung menindihnya.
Jannah yang terus
berontak saat handuknya dilepas paksa oleh Pak Ngatiman.
Dengan buru-buru
Pak Ngatiman yang sudah berahi menyingkap sarungnya dan ... makjleb!
Semua telah terjadi,
Lur.
“Awas nek
sampek awakmu ngomong karo mamakmu!” ancam Pak Ngatiman setelah usai menyalurkan
... kemudian berlalu seraya membetulkan sarungnya.
Jannah hanya
menangis di atas tempat tidur, tergolek, tanpa bisa berbuat apa-apa, Lur.
****
Petang datang,
sementara di luar masih gerimis.
Maimunah baru
saja kembali dan hendak bergegas memasak untuk makan malam suami dan anaknya.
Akan tetapi,
betapa ia terkejut saat melihat suaminya itu sudah duduk di meja makan dengan
mengenakan peci hitam dan bersarung.
Di atas meja
sudah tersedia nasi di bakul, satu mangkuk berisi jamur yang kelihatannya sudah
dikecapi, Lur.
“Sampean
seng masak, Pak?” tanya Maimunah heran.
Dengan wajah
pucat Pak Ngatiman mengangguk ... hanya mengangguk.
“Celok anakmu
... kon mangan sekaliyan,” balas Pak Ngatiman setelahnya dengan suara lemah.
Buru-buru
Maimunah berjalan ke kamar Jannah dan tak lama kemudian ia kembali dengan
menuntun anaknya yang murung itu.
“Lungguh,”
kata Maimunah setelah membetulkan posisi bangku kayu untuk anaknya duduk.
Jannah
seharian gak makan, Maimunah pun begitu ... dia seharian gak makan karena
mencari jamur ... otomatis nafsu makannya naik melihat isi mangkuk yang mirip
jamur begitu menggugah selera, terlebih dikecapin. Mirip semur ya lan, Lur.
“Jamur opo
iki, Pak?” tanya Maimunah sesaat setelah meletakkan nasi ke piring Jannah.
“Wes
panganen bareng anakmu ae,” balas Pak Ngatiman.
“Loh?
Sampean gak nyisan?” ucap Maimunah saat hendak mengambilkan nasi buat suaminya.
“Awakku tas
ae ... iku aku seng masak. Wes panganen kambek anakmu,” balas Pak Ngatiman
lagi.
Saat
kebingungan karena jamur yang ada di mangkuk suma satu, Pak Ngatiman mengeluarkan
pisau. Ia tahu Maimunah harus memotongnya .... membagi dua untuk Jannah.
“Ki ladinge,”
kata Pak Ngatiman dengan wajah kian pucat.
Maimunah
menerima pisau yang masih menyisakan noda mirip kecap gitu, lantas ....
Maimunah
meletakkan bagian ujung yang mirip anunya lelaki itu ke piring Jannah, ia
sendiri memilih batang jamur itu.
Niatnya mau
makan lahap, tetapi eh, tetapi, Maimunah kerepotan setelah menggigit jamur yang
dimasak oleh Pak Ngatiman, Lur. Wualot!
Ya, jamur itu
terasa alot.
Maimunah
terus mencoba untuk mengambil sedikit bagian jamur dengan gigitannya, tetapi
gagal karena memang alot.
Jannah pun
demikian, tampak ia kesulitan mengunyah, meski kepala jamur itu sudah berada di
dalam mulutnya.
Tiba-tiba
kepala Pak Ngatiman tertunduk hingga terantuk ke meja.
Duk!
“Pak?”
Maimunah heran, mungkinkah suaminya mengantuk.
“Bapak?” Maimunah
beranjak dan melangkah menuju bangku Pak Ngatiman ini, Lur.
Kan meja
makannya dari kayu ... meja makan segi empat. Maimunah duduk berseberang meja
dengan Pak Ngatiman, sementara Jannah ada di sebelah kanan ibunya. Sudah
kebayang posisi mereka?
Lanjut, Lur!
Maimunah
segera mengguncang-guncang tubuh Pak Ngatiman yang diam tak bergerak, Lur.
Sementara
itu, Jannah mengunyah nasi dan jamur yang tak tercerna oleh giginya karena
alot, bodo amat saat ia mendengar ibunya panik dengan menyebut, “Pak, Bapak!”
Akhirnya Maimunah
mengangkat kepala Pak Ngatiman, kepala itu terkulai di pelukannya
“Bapak!”
Panik, waswas, semua membaur saat Maimunah menyadari kalau tubuh suaminya
begitu dingin bak mayat.
Dengan susah
payah Maimunah mengangkat tubuh Pak Ngatiman ke kamar, tetapi karena berat
justru Maimunah terjatuh bersamaan tubuh suaminya.
Bruk!
“Nduk,
bapakmu, Nduk! Hu hu hu.” Maimunah menangis cemas, benaknya dipenuhi praduga.
Akan tetapi,
Jannah hanya duduk manis tanpa menggubris ibunya yang kini kian histeris dan menangis.
“Pak! Tangi,
Pak! Tangi. Hu hu hu.”
Dalam remang
lampu yang tergantung, Maimunah dapat melihat kalau di bawah bangku yang diduduki
suaminya banyak menggenang darah.
“Getih?” Maimunah
langsung merangkak untuk meyakinkan itu.
Kian
histeris dong Ibu Maimunah ini setelah mengetahu kalau itu benar-benar darah,
Lur.
Setelah menyeka
air matanya, pandangan Maimunah ia arahkan pada sarung yang dikenakan oleh
suaminya yang tergeletak kaku ... banyak darah pula di sarung itu, Lur!
Karena tak
kuat kaki untuk menopang tubuhnya yang lemas oleh kenyataan, Maimunah kembali
merangkak lalu membuka sarung yang dikenakan oleh suaminya.
Makin menjerit
Maimunah setelah mengetahui kalau ....
“Akhhhhhhh!”
Maimunah kini
sadar ... pantas jamur yang ia makan begitu alot, Ternyata suaminya telah memotong
anunya sendiri dan dalam keadaan tanpa dimasak, ia menyuguhkan potongan itu ke
dalam mangkuk ... menambahkan garam dan sedikit penyedap rasa lalu menuangkan
kecap sachet untuk menyamarkan warna darahnya.
Maimunah
masih menangis dan terus berteriak histeris. “Bapakkkk!”
Sementara
itu, Jannah terus mengunyah kenyataan kalau bagian milik bapak tirinya tadi
pagi telah menyatu dengan tubuhnya ... dan kini masih menyatu di mulutnya.
Jannah terus
mencoba mengunyah dan menelan kenyataan! Namun, ada yang mengalir di sudut
matanya.
****
Begitulah
ceritanya, Lur. Pak Ngatiman memilih memotong miliknya sendiri. Ia merasa
berdosa setelah melakukan itu dengan anak tirinya yang nasibnya tak seberuntung
dia.
Karena
didera rasa penyesalan, segala dosa kini seakan-akan nyata di depan mata
saat-saat di mana ia enak-enak dengan perempuan sewaan di lokalisasi, menggarap
Jannah demi kepuasannya, dan akhirnya Pak Ngatiman ‘membunuh’ nafsunya sendiri,
meski ia tahu risikonya ... pendarahan hebat!
Itu tadi hanya
cerita ya, Lur. Jangan kamu praktikkan dengan memotong pipa saluran kencingmu
loh! Yang begitu-begitu hanya ada di dalam cerita pakde saja kok. END
Dukung Pakde Noto di Trakteer
.jpg)
No comments:
Post a Comment