Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
Budaya
cerbung
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
Terlarang
thriller

Labels

MEMBUNUH NAFSU

 

Bicara syahwat memang bikin gawat! Gak ada habisnya ya, Lur! Namanya juga manusia, pasti punya nafsu. Iya, to?

Eh, Lur. Lelaki kok tambah umur syahwatnya makin susah dikendalikan kenapa ya, Lur? Nafsunya besar, tetapi durasinya kecil. He he he. Kebanyakan sih begitu. 2 menit juga pakde pernah ngalamin. Seriusan ini!

Astagfirullah tulisanku! Kok malah buka kartu.

Pakde sering kok sharing masalah ranjang dengan teman-teman pakde yang juga pakde-pakde. “Faktor umur itu, Kang. Makin tambah umur makin punya masalah dengan vitalitas,” katanya.

Iya, juga, ya ... ada benarnya juga. He he he.

Pantas mbokdemu pernah bilang, “Tak gawekne jamu po piye?”

Akan tetapi, kalau main sama si dia, kok durasinya bisa panjang, ya? Sama mbokdemu malah sakcrit. Heran!




 

****

 


Kita gak bahas masalah vitalitas pria berumur yang menurun, tetapi pakde datang dengan sebuah cerita.

“Cerita tentang lelaki gaek yang keluarnya sakcrit karena masalah vitalitas, Pakde?”

Huss cangkemmu! Anak kecil gak boleh tanya-tanya begituan! Sakcrit, sakcrit! Ya, iya sih. Emang sedikit keluarnya ... masih banyak isi sampo kemasan sachet! Jiaaa.

Dah, ah!

 

****

Ini tentang keluarga miskin perantauan dari Jawa dan menetap di sebuah daerah di Sumatra, Lur. Di sana banyak perkebunan sawit.

Nah! Dari luasnya perkebunan sawit ini tumbuhlah jamur sawit ... kalau masih muda (Maksudnya belum mekar), jamur ini bentuknya kayak anunya pakde pada bagian ujung. Mulai deh travelling otakmu. Ya to? He he he.

Singkatnya, ada sebuah keluarga yang terdiri dari bapak, istrinya, dan satu anak perempuan (Anak tiri sang bapak). Paham ya sampai sini, Lur.

Bapaknya bernama ... sebut saja Pak Ngatiman ... ia menikahi Ibu Maimunah tujuh belas tahun lalu.

Maimunah sendiri sudah punya anak saat dinikahi oleh Pak Ngatiman ini, Lur. Anaknya perempuan, bernama Jannah ... dari pernikahan sebelumnya.

Paham gak sih sampai sini, ha?

Kalau sudah paham pakde lanjut nih!

Janah kini sudah berumur 19 tahun. Namun, Jannah kurang beruntung ... ia tidak bisa melihat loh, Lur.

“Buta dari lahir, Pakde?”

Bukan buta dari lahir, tetapi waktu kecil kedua matanya pernah tertusuk ujung alang-alang sewaktu bermain di halaman belakang rumah tetangganya. Halaman tetangganya ini masih belukar alang-alang waktu itu.

Sudah berobat ke orang pintar dan dukun, tetapi kedua penglihatan Jannah tak pernah kembali lagi, Lur.

Hari-hari yang dilalaui Jannah hanya di rumah saja.

Itu tentang Jannah yang buta.

“Kalau ibunya, Pakde?”

Nape? Jatuh cinta lo ame ibunye, ha!

“Cuma tanya kok. Dih sewot!”

 

****

 

Ibunya hanya perempuan baya biasa kok, Lur. Ia hanya membantu suaminya dengan mencari jamur sawit.

Jamur sawit yang ia dapat akan dijual ke perumahan yang ada di tepian kota. Satu kilo hanya Rp.15.000.

Kadang dapat dua kilo, kadang-kadang harus ia masak sendiri karena ya memang tidak banyak dapatnya.

Jamur itu tumbuh di antara jangkos sawit ya, Lur. Menjelang sore, biasanya jamur ini mulai mekar.

Sudah pernah makan jamur sawit belum, Lur? Enak kok. Pakde sendiri sudah pernah makan ... pernah pakde posting juga. Bisa menurunkan kolesterol katanya sih begitu.

Untungnya jamur yang dikasih Slamet (Kuli peladen pakde) benar-benar jamur sawit, coba saja jamur beracun, pakde nulis ini pasti beda alam denganmu.

Oh, iya. Jamur ini ada tiga macam ... maksudnya punya tiga varian.

Kalau jangkosnya masih baru, biasanya akan ditumbuhi jamur yang kecil dan bulat seujung kelingking. Nah kalau sudah lama akan banyak tumbuh jamur yang lumayan sedang, tetapi sedikit berlendir ... lama-lama jangkos akan membusuk dan pada tahapan ini biasanya jamur akan tumbuh besar dan berbentuk kayak anunya pakde-pakde.

Pokoknya begitulah, Lur. Tiap hari Maimunah akan pergi ke kebun sawit milik orang untuk mencari jamur.

“Si Pak Ngatiman sendiri latar belakangnya bagaimana, Pakde?”

Nape? Demen lu, ha!

“Dih, dia sewot lagi!”

 


****

Pak Ngatiman ini juga duda sewaktu menikahi Maimunah, Lur. Duda anak satu kala itu dan anaknya dibawa mantan istrinya.

“Perkara penyebab perceraiannya serius Pakde gak tahu?”
Entah gara-gara sakcrit atau kurang mendekati ideal durasinya. Pokoknya cerai gitu aja deh! Ribet jawab pertanyaan lu, Bocah!

Dah, ah lanjut!

Karena sama-sama pernah gagal membina rumah tangga akhirnya Pak Ngatiman dan Ibu Maimunah ini sepakat untuk menikah dan memperbaiki semua dari kegagalan masa lalu masing-masing dan memulainya dari nol lagi. Cakep amat dah, ah. Mulia banget.

Jadi, hitung-hitungannya ... sudah tujuh belas tahun mereka membina rumah tangga, meski kehidupan mereka belum sesuai harapan, Lur.

Hidup tuh kadang gitu, apa yang kita mau ... eh apa yang kehidupan kasih beda jauh!

Lanjut!

Pak Ngatiman sendiri hanya kerja buruh sebagai pemanen sawit. Upahnya tidak seberapa.

Dua belas tahun lalu rumah tangga mereka bahagia dan harmonis seraya terus membesarkan Jannah yang punya kekurangan, tetapi lima tahun terakhir ... Pak Ngatiman sering mengumbar emosi sejak Maimunah divonis mengalami infeksi saluran kencing.

Boro-boro dipakai oleh Pak Ngatiman, buat kencing saja kadang-kadang Maimunah mengeluh perih, belum lagi pinggang juga kena imbasnya.

Dari situ Pak Ngatiman ini akhirnya tidak dapat jatah lagi ... Maimunah selalu menolak dengan alasan sakit anunya.

Efeknya ... Pak Ngatiman jadi gemar berjudi. Kalau dapat uang dari upah memanen, pasti akan ia habiskan di gelanggang judi.

Untuk menyalurkan hasrat, Pak Ngatiman sering sewa semalam perempuan di lokalisasi murahan yang ada di sudut kota loh, Lur. Daripada meler keluar lewat hidung ya, ‘kan?

“Kalau gak punya uang bagaimana coba, Pakde?”

Nah ini masalahnya, Lur. Namanya orang, kadang ada kalanya rezeki seret juga. Pak Ngatiman ya gak sewa ... lha wong gak punya uang. Emang ada barang begitu yang gratis, ha? Ya kali sama kayak Pak RT yang menjadi rival pakde dalam memperebutkan takhta tertinggi di hati janda kidul kali itu. Pak RT itu Mokondo ... modal iming-iming bansos doang! Ya bedalah sama pakdemu ini ... modal kumis doang! Ha ha ha.

Lanjut, Lur!

Pokoknya begitulah, Lur, Pak Ngatiman jadi tidak bisa enak-enak kalau gak punya uang. Di rumah gak dijatah, mau sewa perempuan di lokalisasi murah, tetapi ... ah sudahlah pasrah!

“Coli dong, Pakde. Coli, Woi! Coli.”

Hus! Itu ‘kan kamu! Pak Ngatiman ini beda! Dia gak mau ngabisin sabun, Bambang!




 

****

Lupakan masalah coli, fokus ke cerita pakde coba.

Hari itu hujan dari malam, tetapi Maimunah tetap lanjut cari jamur. Pokoknya gak mager kayak kamu ... skrol HP mulu.

Sementara itu, Pak Ngatiman yang gak punya uang masih melungker di tempat tidur, mancal sarung.

Lah kayak pakde ya, Lur. Suka males ngapa-ngapa kalau gerimis. Bawaanya membungkus diri di dalam sarung di atas tempat tidur.

Yuk lanjut lagi ceritanya!

Pak Ngatiman ini dengar kok sewaktu istrinya pamit dan mendengar pintu depan ditutup. “Pak, aku mangkat.”

 

****

Beberapa waktu kemudian.

Langit masih gelap dan hujan masih turun sewaktu Pak Ngatiman beranjak dari tempat tidur. Dengan menggulung sarungnya ia berjalan menuju dapur untuk minum kopi yang sudah disiapkan oleh Maimunah tadi.

Akan tetapi, Pak Ngatiman ini melihat Jannah yang baru saja selesai mandi, Lur.

Kan gini ... kalau mau ke dapur otomatis melewati kamar Jannah. Jadi, gak sengaja Pak Ngatiman melihat Jannah yang mengenakan kemban dari handuk, Lur.

Kebayang ‘kan perempuan kalau pakai handuk gimana?

Dasarnya sudah gak pernah dijatah sama istri, mau ke lokalisasi gak punya uang ... melihat betis Jannah, anunya Pak Ngatiman langsung kongat, Lur.

Kan sudah dibilang kalau berdua yang ketiga itu setan. Darah Pak Ngatiman berdesir, yang di dalam sarung kontan meronta-ronta.

Dengan perlahan dan mengendap-endap Pak Ngatiman masuk ke kamar Jannah.

“Pak?” kata Jannah yang peka terhadap suara.

“Bapak?”

Sst! Pak Ngatiman ini tidak bersuara dan hanya berdiri tak jauh dari anak tirinya, Lur.

Entah apa yang merasukimu, eh, merasukinya, Pak Ngatiman langsung membekap mulut anak tirinya itu.

“Empft!” Jannah berontak.

“Empft!”

Tubuh Jannah ia banting ke atas tempat tidur dan langsung menindihnya.

Jannah yang terus berontak saat handuknya dilepas paksa oleh Pak Ngatiman.

Dengan buru-buru Pak Ngatiman yang sudah berahi menyingkap sarungnya dan ... makjleb!

Semua telah terjadi, Lur.

“Awas nek sampek awakmu ngomong karo mamakmu!” ancam Pak Ngatiman setelah usai menyalurkan ... kemudian berlalu seraya membetulkan sarungnya.

Jannah hanya menangis di atas tempat tidur, tergolek, tanpa bisa berbuat apa-apa, Lur.

 

****

Petang datang, sementara di luar masih gerimis.

Maimunah baru saja kembali dan hendak bergegas memasak untuk makan malam suami dan anaknya.

Akan tetapi, betapa ia terkejut saat melihat suaminya itu sudah duduk di meja makan dengan mengenakan peci hitam dan bersarung.

Di atas meja sudah tersedia nasi di bakul, satu mangkuk berisi jamur yang kelihatannya sudah dikecapi, Lur.

“Sampean seng masak, Pak?” tanya Maimunah heran.

Dengan wajah pucat Pak Ngatiman mengangguk ... hanya mengangguk.

“Celok anakmu ... kon mangan sekaliyan,” balas Pak Ngatiman setelahnya dengan suara lemah.

Buru-buru Maimunah berjalan ke kamar Jannah dan tak lama kemudian ia kembali dengan menuntun anaknya yang murung itu.

“Lungguh,” kata Maimunah setelah membetulkan posisi bangku kayu untuk anaknya duduk.

Jannah seharian gak makan, Maimunah pun begitu ... dia seharian gak makan karena mencari jamur ... otomatis nafsu makannya naik melihat isi mangkuk yang mirip jamur begitu menggugah selera, terlebih dikecapin. Mirip semur ya lan, Lur.

“Jamur opo iki, Pak?” tanya Maimunah sesaat setelah meletakkan nasi ke piring Jannah.

“Wes panganen bareng anakmu ae,” balas Pak Ngatiman.

“Loh? Sampean gak nyisan?” ucap Maimunah saat hendak mengambilkan nasi buat suaminya.

“Awakku tas ae ... iku aku seng masak. Wes panganen kambek anakmu,” balas Pak Ngatiman lagi.

Saat kebingungan karena jamur yang ada di mangkuk suma satu, Pak Ngatiman mengeluarkan pisau. Ia tahu Maimunah harus memotongnya .... membagi dua untuk Jannah.

“Ki ladinge,” kata Pak Ngatiman dengan wajah kian pucat.

Maimunah menerima pisau yang masih menyisakan noda mirip kecap gitu, lantas ....

Maimunah meletakkan bagian ujung yang mirip anunya lelaki itu ke piring Jannah, ia sendiri memilih batang jamur itu.

Niatnya mau makan lahap, tetapi eh, tetapi, Maimunah kerepotan setelah menggigit jamur yang dimasak oleh Pak Ngatiman, Lur. Wualot!

Ya, jamur itu terasa alot.

Maimunah terus mencoba untuk mengambil sedikit bagian jamur dengan gigitannya, tetapi gagal karena memang alot.

Jannah pun demikian, tampak ia kesulitan mengunyah, meski kepala jamur itu sudah berada di dalam mulutnya.

Tiba-tiba kepala Pak Ngatiman tertunduk hingga terantuk ke meja.

Duk!

“Pak?” Maimunah heran, mungkinkah suaminya mengantuk.

“Bapak?” Maimunah beranjak dan melangkah menuju bangku Pak Ngatiman ini, Lur.

Kan meja makannya dari kayu ... meja makan segi empat. Maimunah duduk berseberang meja dengan Pak Ngatiman, sementara Jannah ada di sebelah kanan ibunya. Sudah kebayang posisi mereka?

Lanjut, Lur!

Maimunah segera mengguncang-guncang tubuh Pak Ngatiman yang diam tak bergerak, Lur.

Sementara itu, Jannah mengunyah nasi dan jamur yang tak tercerna oleh giginya karena alot, bodo amat saat ia mendengar ibunya panik dengan menyebut, “Pak, Bapak!”

Akhirnya Maimunah mengangkat kepala Pak Ngatiman, kepala itu terkulai di pelukannya

“Bapak!” Panik, waswas, semua membaur saat Maimunah menyadari kalau tubuh suaminya begitu dingin bak mayat.

Dengan susah payah Maimunah mengangkat tubuh Pak Ngatiman ke kamar, tetapi karena berat justru Maimunah terjatuh bersamaan tubuh suaminya.

Bruk!

“Nduk, bapakmu, Nduk! Hu hu hu.” Maimunah menangis cemas, benaknya dipenuhi praduga.

Akan tetapi, Jannah hanya duduk manis tanpa menggubris ibunya yang kini kian histeris dan menangis.

“Pak! Tangi, Pak! Tangi. Hu hu hu.”

Dalam remang lampu yang tergantung, Maimunah dapat melihat kalau di bawah bangku yang diduduki suaminya banyak menggenang darah.

“Getih?” Maimunah langsung merangkak untuk meyakinkan itu.

Kian histeris dong Ibu Maimunah ini setelah mengetahu kalau itu benar-benar darah, Lur.

Setelah menyeka air matanya, pandangan Maimunah ia arahkan pada sarung yang dikenakan oleh suaminya yang tergeletak kaku ... banyak darah pula di sarung itu, Lur!

Karena tak kuat kaki untuk menopang tubuhnya yang lemas oleh kenyataan, Maimunah kembali merangkak lalu membuka sarung yang dikenakan oleh suaminya.

Makin menjerit Maimunah setelah mengetahui kalau ....

“Akhhhhhhh!”

Maimunah kini sadar ... pantas jamur yang ia makan begitu alot, Ternyata suaminya telah memotong anunya sendiri dan dalam keadaan tanpa dimasak, ia menyuguhkan potongan itu ke dalam mangkuk ... menambahkan garam dan sedikit penyedap rasa lalu menuangkan kecap sachet untuk menyamarkan warna darahnya.

Maimunah masih menangis dan terus berteriak histeris. “Bapakkkk!”

Sementara itu, Jannah terus mengunyah kenyataan kalau bagian milik bapak tirinya tadi pagi telah menyatu dengan tubuhnya ... dan kini masih menyatu di mulutnya.

Jannah terus mencoba mengunyah dan menelan kenyataan! Namun, ada yang mengalir di sudut matanya.

 

****

 

Begitulah ceritanya, Lur. Pak Ngatiman memilih memotong miliknya sendiri. Ia merasa berdosa setelah melakukan itu dengan anak tirinya yang nasibnya tak seberuntung dia.

Karena didera rasa penyesalan, segala dosa kini seakan-akan nyata di depan mata saat-saat di mana ia enak-enak dengan perempuan sewaan di lokalisasi, menggarap Jannah demi kepuasannya, dan akhirnya Pak Ngatiman ‘membunuh’ nafsunya sendiri, meski ia tahu risikonya ... pendarahan hebat!

Itu tadi hanya cerita ya, Lur. Jangan kamu praktikkan dengan memotong pipa saluran kencingmu loh! Yang begitu-begitu hanya ada di dalam cerita pakde saja kok. END



 

 

 

 

 

 

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search