DUKUN 5 JUTA
“Bayar 5 juta dalam sekali kunjungan, penyakit Anda saya
jamin sembuh.”
DUKUN 5 JUTA
Di era sekarang, apa pun bisa viral. Ya, to, Lur.
Bahkan seorang tabib yang dulu cuma tukang cetak batako bisa punya
klinik pengobatan. Tak tanggung-tanggung ruangan praktiknya dihias dengan
interior estetik, lampu gantung bohlam Industrial, rak kayu berisi botol jamu,
dan kursi rotan Instagramable. Pokoknya sungguh meyakinkanlah, Lur.
Namanya aslinya Dicky
Bulin, usia 58 tahun, di Bangorejo, Banyuwangi akhir-akhir ini ia sering
dipanggil Ki Bulin. Ya, semenjak instal TikTok.
Dulu ia bekerja sebagai tukang cetak batako. Kegemarannya skrol
TikTok menjadikannya berubah profesi menjadi tabib. Keputusan luar biasa sih
ini. Ya, to, Lur?
Sungguh TikTok adalah aplikasi berguna bagi nusa dan bangsa,
bisa mengubah harapan seseorang ya, Lur. Beda dengan FB, isinya konten gaje
kreator yang berburu Dolar. Ya, mosok kehidupan sehari-hari dijadikan konten.
Biar apa? Biar dunia tahu kesibukanmu, he?
****
Di TikTok Ki Bulin pakai username @SehatMendadak. Hampir tiap
malam Live, menyapa penonton dengan suara berat nan menenangkan.
“Salam sehat untuk semua yang hadir malam ini. Ingat,
penyakit apa pun, medis maupun non-medis bisa saya sembuhkan,” sapanya dalam
memulai Live.
“Masalah Biaya? Hanya Rp 5 juta sekali terapi. Saya jamin
tiga hari sembuh,” imbuhnya.
Alhasil, kolom komentar penuh dengan emosi ... eh, emoji 🙏🔥💯.
Ada yang benar-benar percaya, ada juga yang datang demi konten.
****
Nah! Ini lagi tukang rusuh, namanya Kuswanoto atau acap
dipanggil Pakde To, seorang penulis berkumis di aplikasi oranye yang kini
nyambi nulis di FB.
Tahun depan usianya 55 tahun, tetapi sejak tiga tahun
terakhir ia sering mengeluh akibat asam urat.
Dua minggu terakhir ia melihat video Ki Bulin di beranda akun
FB-nya yang diambil dari rekaman layar Live TikTok.
Kebetulan sekali, jarak rumahnya tak seberapa jauh dari rumah
Ki Bulin yang namanya mulai kondang berkat videonya viral di TikTok.
“Mau ke mana, Pak? Kok klimis tenan?” tanya Mbokde Warsinah
istri Pakde To.
“Marani dukun seng jek viral, menowo asam uratku iso mari,”
jawab Pakde To.
Mbokde Warsinah maklum akan niat suaminya, bahkan ia sering
membuat ramuan dari si A, kata si B, pengakuan si C, pokoknya berbagai ramuan
ia buat demi kesembuhan suaminya yang kerap kambuh.
“Mak, aku mangkat, yo.” Langsung keluar menuju motor bebek
kepala geter.
“Seng ati-ati loh, Pak. Mata dijaga kalau naik motor.”
Pakde To seketika membalikkan badan. “Mabur ngono keneng
angin?”
“Jangan jelalatan!” balas Mbokde Warsinah melotot.
“Oalah ....” Kumis Pakde To seketika mengembang saat ia
tersenyum.
****
Singkat cerita.
Setelah mendaftar, kira-kira sebatang rokok, nama Pakde To
akhirnya dipanggil untuk masuk. “Bapak Kuswanoto!”
Pakde To lantas masuk dan dipersilakan menuju ruangan oleh
seorang perempuan.
“Silakan, Pak,” ucap perempuan dengan bemper atas begitu
bohai.
“Oh, enggeh,” balas Kuswanoto seraya menatap bember yang
masih terlihat kencang.
Sang perempuana tersenyum saat Pakde To melangkah, tetapi ...
Duk!
“Matane suwek! Jane sopo seng ndeleh lawang neng kene, ha!”
ucapnya geram sambil mengusap-usap jidatnya.
“Pintunya sejak dulu memang di situ, Pak. Harus dibuka dulu.”
Seraya menahan tawa.
Pakde To lantas membuka pintu kaca dengan mulut terus
menggerutu.
****
Setelah duduk di hadapan Tabib Ki Bulin.
“Begitulah ceritanya, Ki. Asam urat ini tak kunjung sembuh.
Samapek mumet sirahku, Ki. Nek kate turu jane wes rutin ngombe teh tumbar,”
terang Pakde To setelah ditanya-tanya ihwal penyakitnya.
“Itu perkara sepele, Kang. Jangankan asam urat, pilek
menahun, encok, serta penyakit lain bisa saya sembuhkan,” ucap Ki Bulin seraya
bangkit dari tempat duduknya.
“Sampean duduk di situ.” Menunjuk ke arah tempat tidur.
Pakde To menurut saja demi kesembuhan penyakitnya.
“Buka celananya,”pinta Ki Bulin lagi.
“Heh!” balas Pakde To terkejut.
“Kakinya to yang sakit?” tanya Ki Bulin.
Pakde To mengangguk dengan tatapan songong.
“Ya, sudah buka. Biar bisa saya tangani.”
“Lha, tapi?”
“Itu ada sarung. Sampean pakai kalau malu,” balas Ki Bulin.
“Oalah.” Kuswanoto lantas membuka celana dan meraih sarung yang
sudah disiapkan.
****
“Kita buka aura pernapasan dulu, lalu minum jamu khusus dari
saya, nggeh,” kata Ki Bulin.
Pakde To oke saja.
Pertama adalah pijatan di atas hidung. “Tarik napas,” kata Ki
Bulin.
“Tahan,” imbuhnya.
Yang katanya buka aura pernapasan berlangsung tak lebih dari dua
menit.
“Setelah ini, Sampean harus meminum jamu khusus dari saya.” Ki
Bulin lantas menuju rak yang penuh botol beling, berisi berbagai jenis jamu.
Ya, kontan saja Pakde To bingung dengan tatapan bengong. “La
kon bukak suwal gunane nggo opo? Sikilku, asam uratku?” gulat hati Pakde To saat
ia merasa tak nyambung dengan apa yang dilakukan oleh Ki Bulin.
“Minum,” kata Ki Bulin mengejutkan Pakde To yang masih duduk
dengan penuh tanda tanya.
Ki Bulin menyerahkan segelas jamu.
Pakde To menerima gelas dan memperhatikan jamu yang ia terima.
Jamu khusus itu ternyata berwarna hijau pekat, aromanya
seperti campuran daun pepaya, karet sandal, dan kenangan pahit bersama janda
yang bernama Sri.
“Loh! Sampean minum saja. Itu obat asam urat. Setelah pulang
dari sini, asam urat Sampean saya jamin hilang.”
Pakde To lantas menutup matanya, memencet hidung, dan
langsung ....
Glek! Glek! Glek.
“Huekkkk! Jamu opo kiiiiii.”
“Jamu asam urat,” balas Ki Bulin.
Setelah selesai minum jamu, Pakde To dipersilakan memakai
celananya lagi.
****
“Sampean sudah tahu to tarifnya?” tanya Ki Bulin saat Pakde
To sudah kembali duduk di hadapannya.
“Limang yuto, nggeh?”
Ki Bulin mengangguk. “Segitu tidak mahal. Yang penting asam
uratnya Sampean sembuh dan normal kembali.”
Pakde To lantas membayar sejumlah uang seperti yang ia tahu,
5 juta sekali berobat.
Ki Bulin menerimanya, “Pitulungi Gusti. Semoga asam uratnya
Sampean benar-benar total dan tidak kambuh lagi.”
“Lha nek kumat neh?” tanya Pakde To polos tanpa dosa.
“Apa bila dalam tiga hari masih kambuh, Sampean bisa datang
lagi ke sini.”
****
Tiga hari berlalu.
Pakde To datang lagi, mengeluhkan kakinya yang masih dirasa
nyeri saat berjalan.
Ritual buka celana, aura pernapasan, dan minum jamu,
metodenya masih sama. Hanya saja warna jamu kali ini berwarna merah muda ...
diakhiri dengan menyerahkan uang 5 juta sesuai tarif.
****
“Njenengan ini bagaimana to, he! Sudah bayar 10 juta kok
masih saja mau berobat ke sana!” Mbokde Warsinah mencak-mencak saat tahu kalau
suaminya sudah menghabiskan uang sebanyak itu.
“Awakku kip ingin mari loh, Mak.”
“Ya, saya tahu, Pak. Kalau habis 10 juta lalu mau ke sana
lagi, lama-lama uang kita habis! Penyakit Panjenengan juga tak kunjung sembuh!”
Mbokde Warsinah duduk dengan wajah cemberut.
“Kerja pontang-panting agar kita bisa punya simpanan
sedikit-sedikit ... kemarin sudah melayang 10 juta ... ini mau ke sana lagi.”
Menoleh ke arah Pakde To yang tertunduk lesu.
“Njenengan masih ingat to saran dokter? Pola makan yang harus
diubah, tidak boleh makan yang mengandung zat purin. Dasare ndableg kok eg!”
“Pokoknya saya tidak rela kalau tabungan kita habis ...
diakali sama dukun palsu itu! Tidak rela!”
“Lagian dukun dari TikTok dipercaya!”
“Pokoknya minta kembali uang 10 juta itu! Pengobatan apa
macam itu, ha!” Mbokde Warsinah yang sudah follow akun Instagram Pesulap Merah
terus ngomel-ngomel.
Bukannya sembuh ... uang sudah melayang 10 juta, diomeli
istri, Pakde To pun memikirkan cara agar uangnya bisa kembali.
Ting!
****
Alih-alih marah setelah sadar ditipu Ki Bulin, malah
menyiapkan strategi balasan. Ia sewa ruko kecil, bikin banner besar
bertuliskan: Klinik Pakde To - Sembuh Bayar Rp 5 Juta, Tidak Sembuh Dapat Rp
50 Juta!
Tidak perlu promo Live TikTok atau FB, tetapi orang-orang
langsung penasaran akibat banner yang memang dipasang di tempat strategis. Secara
Pakde To memang lihai dalam trik marketing.
Orang-orang datang karena ingin cepat sembuh, sebagian lagi
penasaran ingin dapat Rp 50 juta.
Yang datang rata-rata cuma pegal, seriawan, atau capek karena
habis ngejar diskon midnight sale. Hasilnya? Hampir semua sembuh setelah diberi
teh manis, pijatan ringan, dan kata-kata motivasi.
Berkat bantuan Mbokde Warsinah pula akhirnya Klinik Pakde To
viral di Instagram.
****
Viralnya klinik Pakde To sampai juga di layar ponsel Ki Bulin.
Ia merasa tersaingi.
“Ini harus dihentikan!” pikirnya.
Lantas memanggil asistennya, “Jah, Tijah!”
Tak lama berselang muncul perempuan bemper bohai buah olah
tangan Ki Bulin, pernah mengantarkan Pakde To kala itu. “Saya, Ki.”
“Tolong bilang sama Naryo, suruh dia antarkan aku ke tempat
praktik Pakde To itu.”
“Baik, Ki.”
****
Setelah sampai di tempat praktik Pakde To.
Ki Bulin menyamar dengan jaket hitam dan masker, datang
pura-pura sakit.
“Lidah saya nggak bisa merasakan apa-apa, Mbah.” Kepada Pakde
To yang duduk bersila dengan pakaian
dukun.
Kontan Pakde To terkejut mundur. “Engko ojo-ojo covid 19?”
“Bukan, Mbah. Sudah tidak ada lagi corona,” balas Ki Bulin
menyakinkan.
“To, wes, yo, wes. Sek yo,” ucap Pakde To lantas beranjak dan
bergegas masuk.
“Mampus koen, Dukun goblok! Ha ha ha,” batin Ki Bulin merasa niatnya
sudah di genggaman.
Tak lama berselang Pakde To keluar. Tampak di tangannya
sebuah gelas.
“Njenengan tadi bilang kalau lidahnya tidak bisa merasakan
apa-apa to?” tanya Pakde To.
“Betul, Mbah.”
“Iki jamune,” kata Pakde To lantas menyerahkan gelas yang ia
bawa tadi ... tanpa harus ritual buka celana dan buka aura pernapasan.
Ki Bulin sejenak mengendus aroma jamu yang ia terima. Merasa
aman, ia langsung menenggaknya. Akan tetapi ....
Ki Bulin langsung meringis, wajahnya mengerut seketika. “Asem
banget ini, Mbah!”
Pakde To tersenyum. “Weladalah! Berarti sudah sembuh. Bayar 5
juta.”
“Tapi, Mbah?”
“Lha itu lidah Njenengan bisa merasakan jamu perasaan jeruk
lemon murni yang aku buat. He he he.” Pakde To tertawa geli.
“Diamput!” gerutu Ki Bulin lalu menyerahkan uang 5 juta.
“Nek telung dino gung mari utowo ilate gak iso ngrasakno,
moro rene neh,” ujar Pakde To seraya menerima uang dari Ki Bulin.
****
Tiga hari berikutnya.
Ki Bulin datang lagi, tetapi kali ini penyakit yang
dikeluhkan berbeda. “Mbah, saya kayaknya lupa ingatan.”
“Waduh!” kata Pakde To.
“Se, sek. Tak jupukno jamune. Sek, yo.” Pakde To lantas masuk
ke dalam untuk segera meracik jamu.
“Modar cocot koen! Ha ha ha,” gelak tawa hati Ki Bulin karena
ia yakin kalau kali ini Pakde To tak akan bisa menyembuhkan penyakitnya, secara
lupa ingatan tentu tak akan bisa diobati dengan racikan jamu.
Tak lama berselang Pakde To datang dengan membwa gelas yang
sama, gelas tiga hari lalu yang isinya juga sama, perasan jeruk lemon.
“Iki jamune. Njennegan unjuk, nggeh,” kata Pakde To
menyerahkan gelas.
“Lho, Mbah! Ini ‘kan minuman kemarin yang aku datang ke sini!”
Ki Bulin jelas terkejut dan masih terasa betapa asamnya.
“Weladalah! Alhamdulillah, ingat lagi. Bayar 5 juta,” Pakde
To tersenyum seraya tangannya meminta bayaran sesuai tarif.
“Diancokkk!” maki Ki Bulin dalam hati.
“Nek gang telung din ojek lali, Njenengan moro rene neh,
nggeh,” kata Pakde To saat Ki Bulin beranjak karena kesal.
****
Eh, datang lagi Ki Bulin.
“Loro opo neh, he?” tanya Pakde To saat mengenali Ki Bulin
yang masuk dengan dituntun sopirnya.
“Sejak pulang dari sini, aku benar-benar ingat semuanya Mbah,
tetapi tiba-tiba mata saya buta,” balas Ki Bulin yang kali ini datang dengan
mengenakan kacamata.
“Nggak bisa lihat apa-apa,” tambahnya.
“Waduh! Penyakit ini tidak bisa aku sembuhkan,” kata Pakde
To.
Dalam hati Ki Bulin, “Yes!”
“Lalu?” tanya Ki Bulin.
“Yo, kate kepiye neh. Sesuai janji, aku kasih Rp 50 juta,”
balas Pakde To.
Segera Pakde To masuk untuk menunaikan janjinya sesuai
banner.
“Ha ha ha. Kamu pikir bisa menipuku, Dukun goblok!” Betapa
bahagia hati Ki Bulin karena akhirnya dia berhasil mendapatkan uang 50 juta.
Tak lama berselang Pakde To kembali dengan ransel kecil.
“Iki.” Pakde To menyodorkan ransel yang berisi uang.
Ki Bulin bergegas membukanya dengan penuh semangat.
Begitu ransel dibuka, isinya 50 lembar uang pecahan Rp 1.000.
Total 50 ribu.
Ki Bulin jelas protes karena jumlahnya tak sesuai. “Lho! Ini
cuma lima puluh ribu! Mana Rp 50 jutanya, ha?”
Pakde To menjawab, “Weladalah! Mata Panjenengan sudah sembuh!
Bisa bedain nominal. Wes kene bayar Rp 5 juta lagi.”
****
Ki Bulin akhirnya pulang dengan muka merah padam, bersumpah
tidak akan balik lagi.
Pakde To lantas menulis semua kejadian itu ke akun FBnya. Kolom
komentar penuh dukungan.
“Akhirnya ada yang mengerjai penipu!” Isi sebuah komentar.
“Ini konten lebih sehat daripada jamu Ki Bulin.😁” Isi komentar dari penggemar berat Pakde To.
****
Selain uangnya sudah kembali, bahkan mendapat lebih 5 juta, Klinik
Pakde To terus ramai, tetapi hanya melayani penyakit ringan.
Slogan barunya di banner sudah ia ganti: KALAU SAKIT
BERAT, DATANG KE DOKTER. KALAU SAKIT HATI, DATANG KE SINI.
Semoga terhibur. Dukung pakde untuk selalu berkarya nggeh,
Lur.
Dukung Pakde Noto di Trakteer

No comments:
Post a Comment