RONGGENG KAMULYAN
Masih ingat jelas bagaimana suara gamelan selalu datang bersama malam. Kendang ditabuh, gong menggelegar, suara sinden melengking, seolah memanggil seluruh orang-orang kampung untuk berkumpul.
Sementara itu, di panggung bambu yang dihias janur tubuh
ibuku melenting, mengalun, menari dalam cahaya puluhan obor. Setiap langkahnya
bagai pusaran yang menawan mata banyak lelaki.
Inilah aku, anak perempuannya yang duduk di sudut gelap, di
bawah pohon randu, hanya bisa menunduk malu.
****
RONGGENG KAMULYAN
Namaku Anjani, umurku belum genap 15 tahun, anak ronggeng Sulastri.
Sungguh ini baru pertama kali mengikuti ibu secara diam-diam sebab aku sering mendengar ibu keluar rumah kala malam datang.
Dulu ibu sering bilang kalau ia bekerja di rumah Ndoro Karso,
mengurus Kakung Atmojo yang lumpuh itu, tetapi selama ini ibu ternyata bohong,
ia tak lebih hanya penari ronggeng yang berharap saweran dari para lelaki
mabuk.
****
Ibuku itu selalu pergi dengan cara mengendap-endap setelah pintu berderit.
Kreeet.
Sungguh aku malu punya ibu ronggeng.
Pantas saja banyak cibiran yang aku dengar dari orang-orang, tetapi hatiku selalu membantah karena yang aku tahu ibu tidak seperti omongan mereka.
“Ibunya ronggeng, sering tidur dengan banyak lelaki,” Begitu bisik orang-orang.
“Kasihan anaknya, ya. Dihidupi dari uang haram.”
Mendengar kalimat itu bagai duri, menusuk telingaku.
Aku ingin menolak, ingin membantah, tetapi kenyataannya
memang begitu, sekarang baru aku tahu kalau ibuku seorang ronggeng.
****
Sejak bapak pergi bertahun-tahun lalu, hanya Pakde Giman yang
selalu ada.
“Pakde Giman itu kakaknya bapakmu, Nduk. Ya, cuma dia dulur
kita,” kata ibu saat aku menanyakan siapa Pakde Giman itu.
“Dulu ia punya paguyuban ronggeng, sekarang dia sudah
berhenti mengelu-elukan budaya itu,” imbuhnya.
“Istrinya pakde ke mana, Bu?” tanyaku karena penasaran sebab
sejak dulu tak sekalipun aku melihat mbokde, istrinya pakde.
“Bukan urusanmu!” balas ibu seperti tak suka saat aku
menanyakan itu.
****
Pakde Giman itu kumisnya tebal, masih gagah, ia pula yang
sering menepuk bahuku, menenangkanku, dan sering mengajakku duduk di balen
bambu depan rumah. Dari mulutnya sering keluar kata-kata yang menenangkan.
“Gak usah mbok pikirno omongan wong-wong kae, Nduk,” katanya.
“Ronggeng iku warisan budoyo, ibumu hanya melanjutkannya, dan
itu bukan aib. Menjadi ronggeng itu sebuah kemuliaan,” katanya seolah tahu perasaanku.
Aku hanya mengangguk.
Akan tetapi, di dadaku rasa malu tak bisa sepenuhnya hilang.
Aku benci setiap kali mendengar laki-laki mabuk menjerit di depan panggung,
menyawer ibuku dengan lembaran uang yang diremas-remas, menyelipkannya di balik
kebaya ibu lalu menarik tangannya untuk menari bersama.
Pakde seperti selalu tahu isi hatiku. Ia menepuk punggungku
pelan. “Nduk, jangan kau salahkan ibumu. Hidup itu berat. Sejak bapakmu
minggat, siapa lagi yang bisa nyambung urip kalian, he? Kalau bukan menari, mau
makan apa?”
“Pakde, kenapa bapak minggat?” tanyaku dengan suara bergetar.
Pakde diam cukup lama. Matanya menatap gelap ke arah jalan ujung
desa yang ada di depan rumahku. Baru kemudian ia bergumam, “Ah ... kadang
lelaki hanya bisa dikalahkan oleh hidup. Gak kuat lalu memilih pergi.”
Aku percaya saja ucapannya. Karena siapa lagi yang bisa aku
percayai selain pakdeku itu.
****
Anak ronggeng.
Tidak ada yang berubah, malam ini aku mendengar suara pintu
kayu rumahku berderit.
Krekkk.
Aku mendengar langkah ibu, seperti mengendap-endap
seakan-akan tak mau membangunkan tidurku.
Aku tak berniat mengikutinya karena aku memang tak mau
melihatnya menari di hadapan banyak para lelaki mabuk seperti yang sudah-sudah
... itu yang pernah aku saksikan kala itu.
Aku lebih rela kalau ibu benar-benar mengurus Kakung Atmojo
daripada jadi ronggeng. Setidaknya ia pulang dengan uang halal, bukan
menjajakan diri dengan menari.
Aku tak peduli kalau ibu hanya menjalankan warisan budaya,
aku tak peduli! Aku hanya mau ibu jangan menjadi ronggeng. Apa aku salah?
Aku mau ... aku ia hidupi dengan uang halal, bukan uang
haram.
Di kampung banyak kok ibu-ibu kerja buruh matun, aku bahkan
bisa membantu ibu, tetapi kalau jadi ronggeng, jelas aku tak mau mengikuti
jejaknya!
Bagiku uang dari ng’ronggeng itu haram, pekerjaan itu juga
haram. Titik!
****
Setelah senja, aku benar-benar tak kuat lagi. Aku lari ke
rumah pakde yang jaraknya tak jauh dari rumahku.
Rumah pakde sederhana, berdinding gedek pipil, dengan lampu
sentir menggantung redup. Pakde sedang duduk sambil menyeruput wedang.
“Pakde, kulo capek!” kataku tiba-tiba.
Pakde menoleh, matanya teduh. “Capek opo neh, Nduk?”
“Dicap anak ronggeng, dicibir orang kampung. Kulo malu,
Pakde. Kulo benci ningali bu ‘e njoget kados niku. Seperti … seperti perempuan
murahan!”
Pakde menarik napas panjang lalu menyuruhku duduk, “Lungguh
sek kene.”
“Nduk, jangan kamu hina ibumu. Dia kuat. Tanpa dia kamu gak
bakal iso urip.”
“Pokoke kulo pun mboten tahan maleh, Pakde!” Suaraku
meninggi.
Kudengar pakde menghela napas panjang.
Air mataku mulai jatuh. “Kenapa ibu harus begitu, Pakde.
Kenapa bapak tidak pernah pulang. Hu hu hu.” Tangisku pecah akhirnya, jatuh
menetes mewakili perasaanku, mewakili kebencianku terhadap pekerjaan ibu.
Pakde beranjak dari duduknya dan menghampiriku. Ia lantas mendekapku
erat.
“Sabar yo, Nduk. Seng sareh,” bisiknya seraya mengelus
pundakku.
“Suatu hari nanti kamu bakal ngerti alasannya,” imbuh pakde
masih mendekapku hangat, dekapannya kurasakan seperti dekapan bapakku sendiri.
****
Gerimis masih turun setelah senja tadi muram oleh hujan,
membuat malam ini benar-benar dingin.
Di dalam kamar aku belum juga memejamkan mata. Pikiranku
melayang-layang membayangkan ibu menari di antara berisik gamelan dan riuh tawa
para lelaki yang di ujung tangannya ada selembar uang.
“Ternyata benar kata orang-orang kalau ibuku tak lebih hanya ronggeng
murahan.”
Aku menyeka sudut mata yang mulai kurasakan hangat.
“Tidak bisakah ibu mencari makan dari cara halal?”
Perasaanku tiba-tiba marah bila teringat cibiran orang-orang
kampung, marah ternyata ibuku ronggeng, marah karena bapak yang tak pernah
pulang, dan kini aku kecewa!
Tiba-tiba aku mendengar derit pintu itu lagi.
Kreeet.
Pasti ibu pergi dengan cara mengendap-endap dan pulang ketika
langit mulai menjatuhkan embun pagi.
Entah kenapa aku mulai jijik membayangkan apa yang dilakukan
ibu bersama para lelaki itu.
Aku beranjak dari balen galar bambu, tempat tidurku. Bulat
hatiku untuk bergegas kembali mengikuti ibu.
****
Sesampainya di bawah pohon keranji pinggir jalan.
Aku melihat pakde membukakan pintu dan ibu masuk setelah
sebelumnya celingak-celinguk seakan mencari tahu keberadaanku. Apakah ibu tahu
kalau aku membuntutinya? Semoga saja tidak.
“Kenapa ibu ke rumah pakde malam-malam begini? Mungkinkah
pakde akan menyampaikan kepada ibu tentang perasaanku?” gulatku penuh tanya.
Aku makin penasaran. “Mungkinkah benar kalau pakde telah
meminta ibu untuk datang dan menceritakan kalau aku malu punya ibu ronggeng?”
****
Aku melangkah dengan mengendap-endap, mendekat diam-diam.
Di balik celah gedek pipil tak kulihat keberadaan ibu dan
pakde di ruangan itu.
Aku bergeser untuk mengintai ke kamar pakde.
Leherku bagai dicekik, kakiku bagai dipaku ke bumi, tubuhku
bergetar! Kulihat pakde sedang memeluk ibu.
Aku kian tercekat, napasku berhenti. Kudengar pakde berkata, “Anak
kita malu kalau punya ibu sebagai ronggeng, Lastri.”
Hah! Ap ... apa! Jadi ... jadi, selama ini aku ternyata anak
....
“Ah, biar saja, Kang. Anjani masih kecil, ndak bakal ngerti.”
Suara ibu.
Justru dibalas oleh pakde dengan menempelkan bibirnya yang
kumisan itu ke bibir ibu.
“Bengi iki howone atis, Lastri.” Suara pakde terdengar
mendesah ditelingaku.
Bola mataku sulit kupejamkan saat pakde kemudian merebahkan
tubuh ibu di atas tempat tidurnya.
Ada yang mengalir deras di kedua mataku kini, tetapi sungguh
mataku sulit untuk aku pejamkan, dan kakiku bagai terus tertancap kian dalam
seakan-akan harus menyaksikan perbuatan mereka.
Setelahnya kulihat ibu sungguh-sungguh “menari” di atas
tempat tidur bersama pakde.
Aku mundur perlahan, hampir jatuh saking lemahnya kaki. Air
mataku kian mengalir bersamaan hujan yang turun mengguyur dengar deras.
Jadi, selama ini aku ternyata anak pakde! Kini aku tahu
alasan kenapa bapak minggat dan tak pernah mau menemuiku lagi.
“Aku anak haram. Hu hu hu.” Aku yang selama ini
mempermasalahkan pekerjaan dan hasil dari ibu menari justru melekat di diriku.
****
5 tahun kemudian.
Kini, ketika malam tiba dan gamelan berbunyi, aku sudah bukan
lagi bocah yang bersembunyi di bawah pohon randu. Aku mulai menari, dengan
selendang di tangan.
Puluhan obor menyinari wajahku. Orang-orang bersorak,
sebagian mencibir, sebagian terpana.
Aku menari. Tubuhku mengikuti irama kendang, tetapi hatiku
menari dalam amarah dan luka.
Di sudut panggung bambu yang dihias janur, kulihat ibuku
tersenyum bangga. Di balik kerumunan jelas aku melihat pakde menatapku dengan
mata sendu.
Aku tahu siapa diriku sekarang, aku tahu dari rahim siapa aku
lahir, dan dari lelaki mana darahku mengalir.
Meski dunia menyebutku anak haram, anak ronggeng, aku tetap
menari karena inilah aku, inilah takdirku, dan setelah ini aku akan tidur
dengan pakde-pakde yang telah memberikan uang panjar kepada ibu.
Aku tak peduli meski menjijikkan, aku tak peduli apa itu uang
haram, inilah keinginan ibu dan pakde yang ternyata bapakku, meski air mataku tumpah
saat berada dalam tindihan orang yang telah membayarku.
Ini ‘kan budaya yang mereka wariskan? Ini ‘kan kemuliaan yang
mereka inginkan? END
Dukung Pakde Noto di Trakteer

No comments:
Post a Comment