Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

DUH NDORO 2

 

DUH, NDORO 2




“Won, Bawon!”

“Kulo, Ndoro,” (Saya, Tuan), jawab Bawon yang bekerja sebagai sopir pribadi Ndoro Kuswanoto.

“Wes oleh gung wong seng tak jalok, he?” (Sudah dapat belum orang yang saya minta, he?”

“Anu, Ndoro. Mbenjing bade kulo pastiaken riyen.” (Anu, Ndoro. Besok akan saya pastikan dulu).

“Pokoke golek seng rodok nom, ben iso ngewangi resik-resik omah, yo.” (Pokoknya cari yang masih muda, biar bisa bantu bersih-bersih rumah, ya.”

“Nggeh, Ndoro,” (Ya, Tuan), jawab Bawon.

“Wes, saiki terno aku, terno neng omahe Turaji.” (Sedah, sekarang antar aku, antar ke rumahnya Turaji).

“Sendiko dawuh, Ndoro.” (Siap melaksanakan perintah, Tuan).

 

****

 

"Ndoro Kuswanoto butuh satu orang yang bisa beres-beres, Nduk. Makanya aku datang ke sini bermaksud menawarkan padamu. Itu kalau kamu mau," ucap Paklik Bawon. “Piye? Mau to kamu?” imbuhnya.

"Tapi, Paklik ...." Aku masih ragu menerima tawaran itu.

"Halah! Wes to. Bayarannya besar lo, Nduk. Ya, kalau kamu ndak mau aku bisa mengajak yang lain."

"Piye?” (Bagaimana?), imbuhnya.

"Yo, wes to, Dik. Daripada kamu jauh-jauh ke kota. Bekerja di rumah Ndoro Kuswanoto juga sama saja to?" timpal Kang Dasim suamiku.

"Kalau kamu mau, besok biar paklik yang antar. Piye?" tanya Paklik Bawon lagi.

Aku itu memang bermaksud cari kerja, tetapi di kota. Namun, Kang Dasim selalu melarangku. Katanya, biar upahnya kecil, tapi masih bisa kumpul dengan keluarga meski cari upahan tandur dan ngampung.

"Piye, Nduk?" (Bagaimana, Sri?), kejar Paklik Bawon minta keputusanku.

Aku mengangguk tanda setuju. Kupikir tidak ada salahnya dicoba meski kerja di rumah Ndoro Kuswanoto, orang terkaya di desa ini.

“Yo, wes, kalau begitu besok paklik datang ke sini lagi untuk menjemputmu.”

Tak lama kemudian Paklik Bawon pamit.

Aku dan Kang Dasim mengantarnya sampai depan pintu.

 

****

 

Malam harinya.

Kami membicarakan masalah keberangkatanku besok di tempat tidur.

“Ora opo-opo to Kang nek aku kerjo neng omahe Ndoro Kuswanoto?” (Tidak apa-apa ‘kan Kang kalau aku kerja di rumah Tuan Kuswanoto?).

“La memangnya kenapa?” tanya Kang Dasim.

“Aku takut, Kang.”

“Wedi opo, he? Takut apa?” tanya suamiku.

“La memangnya Sampean belum tahu siapa Ndoro Kuswanoto itu?”

“Wong sugeh to, Dik?” (Orang kaya ‘kan, Dik?).

“Ora gur sugih, Kang. Ndoro Kuswanoto itu terkenal doyan perempuan,” jelasku.

“Weh! Yo, ra mungkin to kowe bakal dikapak-kapakne?” (Wah! Ya, tidak mungkin ‘kan kamu mau diapa-apakan?)

“Tapi, terserah kowelah, Dik. Kowe seng arep nglakoni.” (Akan tetapi, terserah kamu, Dik. Kamu yang akan menjalani).

“Kang?”

“Hem,” jawab Kang Dasim.

“Kalau aku kerja di rumah Ndoro Kuswanoto, apa Sampean tidak kesepian?”

Kang Dasim lantas memeluk dan mengecupku.

Cup!

“Kalau kamu keberatan, yo tidak usah berangkat. Aku masih bisa kerja meski serabutan, Dik.”

“Bukan .. bukan itu maksudku, Kang.”

“La opo?” (Lalu apa?), tanya Kang Dasim.

“Setahuku, para parewang Ndoro Kuswanoto harus tinggal di situ. Mereka boleh pulang kalau memang ada urusan serius yang penting sekali.”

“Tahu dari mana?”

“Ealah, Kang. Siapa yang tak tahu dengan Ndoro Kuswanoto yang sugih lan kondang ngaloko itu.”
Kang Dasim lantas melepaskan pelukannya. Kedua tangannya ia gunakan sebagai alas kepalanya.

“Artinya, aku jarang pulang,” imbuhku.

Aku mendengar kalau Kang Dasim menghembuskan napas panjang nan berat.

“Apa tidak boleh pulang pergi to, Dik?” Kang Disan memiringkan kepala menghadapku.

“Ya, aku tidak tahu, Kang. Setahuku begitu. Itu juga dari yang aku dengar dari orang-orang.”

“Pite yo, Dik.” (Bagaimana ya, Dik).

Aku menangkap kegelisahannya kini.

“La terus renconone dewe piye?” (lantas bagaimana dengan rencana kita?), tanya Kang Dasim.

“Emboh, Kang,” (Entah, Kang), jawabku dengan memandang langit-langit kamar.

“Sudah setahun lo, Dik kita belum punya momongan.”

“Kalau kamu kerja di rumah Ndoro Kuswanoto, berati kita harus menunggu lagi untuk punya anak.”

Benar apa yang dikatakan oleh Kang Dasim kalau kami masih sabar menunggu untuk dikarunia momongan. Namun, aku harus membantu Kang Dasim bekerja untuk kehidupan yang lebih baik. Jadi buruh tandur tidak begitu mengubah kehidupan kami yang baru saja pisah dari keluarga.

Tujuh bulan terakhir kami memutuskan untuk pisah rumah dari mertuaku. Kami lakukan itu tak lebih ingin belajar punya keluarga sendiri, hidup mandiri tanpa tergantung dengan orang tua.

“Kalau aku kangen piye?”

Kontan aku menoleh ke arah Kang Dasim yang masih menatapku.

“Nanti aku bisa alasan dengan Ndoro Kuswanoto. Aku akan meminta izin untuk pulang seminggu sekali dengan alasan ... alasan opo yo, Kang?” Aku jadi bingung memikirkan alasan apa yang tepat agar aku diizinkan pulang untuk mengobati rasa kangen Kang Dasim.

“Opo bilang saja kalau kamu punya suami,” usul Kang Dasim.

“Tidak, Kang. Itu bukan alasan yang tepat. Setahuku para parewang benar-benar mengabdi dengan Ndoro Kuswanoto.”

“Atau bilang saja kalau kamu punya anak. Piye?” usul Kang Dasim lagi.

“Punya anak bagaimana? La wong aku belum pernah hamil,” tolakku.

“Bagaimana kalau kamu hamil dulu?” Kang Dasim lantas beranjak dari baringnya.

“Hamil dulu piye?”

Tak lama kemudian Kang Dasim menuju lampu minyak yang ada di atas meja lalu meniupnya.

Bush!

 

****

 

Pagi harinya.

“Sampean sungguh tidak apa-apa to, Kang?” tanyaku memastikan sekali lagi sebelum Paklik Bawon datang menjemputku.

Kang Dasim tak menjawab, tetapi ia mengangguk.

Tak lama kemudian aku mendengar suara mobil berhenti di depan rumah.

“Itu pasti Paklik Bawon,” kataku lalu melangkah menuju pintu.

Benar saja, aku melihat Paklik Bawon bergegas menuju aku yang masih berdiri di depan pintu.

“Piye? Jadi berangkat?” tanya begitu sampai di teras.

“Sios, Paklik,” (Jadi, Paklik), jawabku.

“Yo, wes ayo!” (Ya, sudah ayo!), ajak Paklik Bawon.

“Kang, aku berangkat dulu,” pamitku kepada Kang Dasim.

“Ati-ati lek megawe, Dik,” (Hati-hati kalau bekerja, Dik), ucap Kang Dasim lalu memelukku.

Perasaanku jadi sedih, seakan aku akan pergi jauh meninggalkan Kang Dasim.

“Wes ayo, Nduk.”

Aku segera meraih buntalan sarung yang berisi pakaianku.

“Kang, aku pamit?”

Aku melihat Kang Dasim sekali lagi hanya mengangguk.

****

Rumah Ndoro Kuswanoto memang terletak paling ujung.

Kedatanganku disambut oleh lelaki tua yang mengenakan surjan serta udeng hitam.

“Mbah Joyo, tolong Njenengan antar Sri ke dalam. Ndoro kakung yang memintanya untuk bekerja di sini.”

Aku melihat lelaki yang panggil Mbah Joyo itu tersenyum ramah, terlihat giginya sudah ompong.

“Ayo, Nduk,” ajaknya seraya meraih buntalan yang kubawa.

“Jenengmu sopo, Cah ayu?” (Namamu siapa, Anak cantik?), tanya Mbah Joyo sebelum aku sempat melangkah.

“Sri, Mbah ... Srintil.” Aku menyebut nama lengkapku.

“Wes, ayo! Lewat kene,” (Sudah, ayo! Lewat sini). Mbah Joyo mengajakku masuk.

 

****

Aku dibawa oleh Mbah Joyo menuju ke sebuah ruangan paling belakang, melewati satu koridor di mana banyak puring dan hanjuang yang mengapit kedua sisinya.

Koridor berlantai ubin marmer ini begitu sepi, bahkan terlihat gelap hanya dengan disinari oleh cahaya matahari dari jendela.

“Lewat kene, Nduk,” (Lewat sini, Nduk).

Aku terus mengikuti langah Mbah Joyo hingga akhirnya sampailah aku di sebuah rumah berukuran sedang yang terpisah-pisah.

“La iki omah khusus kanggo parewang Ndoro Kuswanoto. Kabeh manggon neng kene lan ora oleh balik.” (Ini adalah rumah khusus bagi pekerja Ndoro Kuswanoto. Semua tinggal di sini dan tidak boleh pulang).

“Nopo mboten angsal wangsul sekedap, Mbah?” (Apa tidak boleh pulang sebentar, Mbah?), tanyaku tak lebih untuk memastikan diriku sendiri apakah aku boleh pulang setiap akhir pekan.

“Kudu ngomong dewe karo ndoro, Nduk,” (Harus bicara sendiri dengan tuan, Nduk).

“Yo, wes. Awakmu ngso sek. Mari iku resik-resik omah, yo.” (Ya, sudah. Kamu istirahat dulu. Setelah itu bersih-bersih rumah, ya).

“Nggeh, Mbah.” (Baik, Mbah), jawabku.

Setelahnya Mbah Joyo bergegas meninggalkanku, tetapi ia sempat berbalik lalu kembali melangkah mendekatiku. “Opo kowe wes nduwe bojo?” (Apa kamu sudah punya suami?).

“Sampun, Mbah,” (Sudah, Mbah), jawabku terus terang.

“La neng omah bojomu karo sopo?” (Lalu suamimu di rumah dengan siapa?).

“Nggeh, kiyambak to, Mbah,” (Ya, sendiri to, Mbah), jawabku heran.

“La pripun?” (Memangnya kenapa?) Aku balik bertanya. Kupikir apa aku tidak layak bekerja bila sudah bersuami.

“O, yo ora. Ora popo. Gur takon wae.” (O, ya tidak. Tidak apa-apa. Hanya bertanya saja).

Aku melihat Mbah Joyo tersenyum lebar hingga gusi tanpa giginya terlihat.

“Ko nek bojomu digudo uwong piye?” (Nanti kalau suamimu digoda orang bagaimana?).

“Ampun meden-medeni to, Mbah. Kulo percoyo kaleh bojo kulo. Bojo kulo niku mboten gampang digudo.” (Jangan menakut-nakuti, Mbah. Saya percaya dengan suami saya. Suami saya itu tidak mudah digoda).

“Eh, Nduk. Wong lanang nek dewean ki gampang menggok.” (Eh, Nduk. Lelaki itu kalau sendiri gampang belok).

“Saestu nopo niku, Mbah?” (Sungguh itu, Mbah?), tanyaku basa-basi karena aku yakin kami sudah membahasnya tadi malam setelah melakukan yang kata Kang Dasim buat anak.

“La yo, wes, Nduk. Kowe ngaso ndisek, yo.” (Sudahlah, Nduk. Kamu istirahat sejenak, ya).

Aku masih berdiri mengiringi Mbah Joyo yang melangkah ke arah satu lelaki. Aku menduga kalau lelaki yang terus menyapu di ujung koridor itu juga bagian dari parewang Ndoro Kuswanoto.

Akan tetapi, dahiku berkerut saat aku melihat kalau Mbah Joyo berbicara seraya menarik-narik tangan lelaki itu.

Tak lama kemudian lelaki itu berjalan dengan tangan ditarik dan mengikuti Mbah Joyo menuju rimbunnya hanjuang yang tumbuh rapat di sisi jendela.

 

****

Singkatnya aku sudah mulai bekerja membersihkan bagian rumah atas permintaan Mbah Joyo.

Jujur, aku belum pernah bertemu dengan Ndoro Kuswanoto meski namanya tidak asing di wilayah ini.

Taplak meja bermotif dadung baru saya kubersihkan, tetapi aku dikejutkan oleh seseorang yang keluar dari salah satu kamar dengan pintu dipenuhi ukiran tangkai relung.

“Ndoro,” sapaku lalu menjura hormat saat perempuan yang tebak adalah ndoro putri menoleh ke arahku.

Tidak ada sahut jawab, tetapi aku sempat melihat kalau perempuan itu memasang wajah penuh muram.

Diakah ndoro putri? Namun, kenapa sikapnya dan tatapannya begitu dingin?

 

****

 

Para parewang di rumah Ndoro Kuswanoto dapat dikatakan hidup harmonis, itu yang membuatku kerasan bekerja dan tinggal bersama mereka.

Menurut Mbok Wagiatun, ndoro putri adalah seorang perempuan yang baik, begitu pula dengan ndoro kakung.

Ndoro putri sering pergi ke kota sedangkan Ndoro Kuswanoto hanya sibuk mengatur serta mengawasi pekerja di beberapa kebun serta sawah yang menghampar luas.

“Mbak, kancani neng pasar, yo.” (Mbak, temani ke pasar, ya), ajak Tumini yang kenal tadi sewaktu ke dapur.

 

****

 

Keesokan harinya.

Aku merasa tidak enak badan karena kehujanan sewaktu pulang dari pasar dengan Tumini, padahal malam harinya aku sudah minum obat pemberian Mbak Wagiatun, tetapi hingga pagi hari ini aku merasa sakit di sekujur tubuh.

Walau begitu, tetap kupaksakan diri untuk bekerja karena sudah menjadi kewajibanku.

Setelah selesai menyapu aku bergegas ke rumah yang menjadi tempat tinggalku, merebahkan diri di kamar, tapi belum juga mataku terpejam, sayup-sayup kudengar sepertinya itu suaraNdoro Kuswanoto memanggilku meski aku belum pernah mendengar dan bertemu dengannya.

"Sri!"

"Sri!"

Kepalaku sungguh pusing dan badanku sedikit panas hingga aku tak sanggup untuk bangkit.

"Sri!"

"Sri!"

Aku berusaha bangkit, tapi badanku sungguh lemas.

Tak lama kemudian tiba-tiba pintu kamar terbuka.

Kreekk.

"Sri?"

Terlihat satu lelaki dengan kumis tebal, mengenakan belangkon serta pakaian beskap jangan. Mungkinkah ia Ndoro Kuswanoto? Sepertinya ia memang ndoroku melihat cara berpakaiannya yang seperti kawulo ageng.

 

"Ginio, ha!" (Kenapa, ha!).

Ia menghampiri lalu duduk di tepi ranjang.

Aku berusaha untuk bangkit, tapi tiba-tiba tangannya menyentuh dahiku seraya merengkuh bahu untuk memintaku tiduran kembali.

"Wes turuo ae nek awakmu gak kepenak." (Sudah tidur saja kalau tidak enak badan). Ah! Aku merasa kalau ndoroku ini sungguh perhatian dengan parewang sepertiku yang hanya orang kecil.

Ndoro Kuswanoto juga bilang kalau tubuhku demam, "Awakmu meriang." (Kamu demam).

Kemudian ia memijit keningku.

“Ampun, Ndoro,” (Jangan, Ndoro), ucapku berusaha untuk menepis tangannya yang kekar.

Akan tetapi, Ndoro Kuswanoto malah menyuruhku untuk tengkurap, "Murep." (tengkurap).

Aku pun menurutinya karena aku tak mau lancang membantah perintah ndoroku.

"La gegermu yo panas kok.”  (Punggungmu juga panas).

Kurasakan jarit yang kukenakan disingkap ke atas oleh Ndoro Kuswanoto, kemudian tali pengait kutangku dicopotnya. Bersambung ....

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search