DUH NDORO 2
DUH, NDORO 2
“Won, Bawon!”
“Kulo, Ndoro,” (Saya, Tuan), jawab Bawon yang bekerja sebagai
sopir pribadi Ndoro Kuswanoto.
“Wes oleh gung wong seng tak jalok, he?” (Sudah dapat belum
orang yang saya minta, he?”
“Anu, Ndoro. Mbenjing bade kulo pastiaken riyen.” (Anu,
Ndoro. Besok akan saya pastikan dulu).
“Pokoke golek seng rodok nom, ben iso ngewangi resik-resik
omah, yo.” (Pokoknya cari yang masih muda, biar bisa bantu bersih-bersih rumah,
ya.”
“Nggeh, Ndoro,” (Ya, Tuan), jawab Bawon.
“Wes, saiki terno aku, terno neng omahe Turaji.” (Sedah,
sekarang antar aku, antar ke rumahnya Turaji).
“Sendiko dawuh, Ndoro.” (Siap melaksanakan perintah, Tuan).
****
"Ndoro Kuswanoto butuh satu orang yang bisa beres-beres,
Nduk. Makanya aku datang ke sini bermaksud menawarkan padamu. Itu kalau kamu
mau," ucap Paklik Bawon. “Piye? Mau to kamu?” imbuhnya.
"Tapi, Paklik ...." Aku masih ragu menerima tawaran
itu.
"Halah! Wes to. Bayarannya besar lo, Nduk. Ya, kalau
kamu ndak mau aku bisa mengajak yang lain."
"Piye?” (Bagaimana?), imbuhnya.
"Yo, wes to, Dik. Daripada kamu jauh-jauh ke kota.
Bekerja di rumah Ndoro Kuswanoto juga sama saja to?" timpal Kang Dasim
suamiku.
"Kalau kamu mau, besok biar paklik yang antar.
Piye?" tanya Paklik Bawon lagi.
Aku itu memang bermaksud cari kerja, tetapi di kota. Namun,
Kang Dasim selalu melarangku. Katanya, biar upahnya kecil, tapi masih bisa
kumpul dengan keluarga meski cari upahan tandur dan ngampung.
"Piye, Nduk?" (Bagaimana, Sri?), kejar Paklik Bawon
minta keputusanku.
Aku mengangguk tanda setuju. Kupikir tidak ada salahnya
dicoba meski kerja di rumah Ndoro Kuswanoto, orang terkaya di desa ini.
“Yo, wes, kalau begitu besok paklik datang ke sini lagi untuk
menjemputmu.”
Tak lama kemudian Paklik Bawon pamit.
Aku dan Kang Dasim mengantarnya sampai depan pintu.
****
Malam harinya.
Kami membicarakan masalah keberangkatanku besok di tempat
tidur.
“Ora opo-opo to Kang nek aku kerjo neng omahe Ndoro
Kuswanoto?” (Tidak apa-apa ‘kan Kang kalau aku kerja di rumah Tuan Kuswanoto?).
“La memangnya kenapa?” tanya Kang Dasim.
“Aku takut, Kang.”
“Wedi opo, he? Takut apa?” tanya suamiku.
“La memangnya Sampean belum tahu siapa Ndoro Kuswanoto itu?”
“Wong sugeh to, Dik?” (Orang kaya ‘kan, Dik?).
“Ora gur sugih, Kang. Ndoro Kuswanoto itu terkenal doyan
perempuan,” jelasku.
“Weh! Yo, ra mungkin to kowe bakal dikapak-kapakne?” (Wah!
Ya, tidak mungkin ‘kan kamu mau diapa-apakan?)
“Tapi, terserah kowelah, Dik. Kowe seng arep nglakoni.” (Akan
tetapi, terserah kamu, Dik. Kamu yang akan menjalani).
“Kang?”
“Hem,” jawab Kang Dasim.
“Kalau aku kerja di rumah Ndoro Kuswanoto, apa Sampean tidak
kesepian?”
Kang Dasim lantas memeluk dan mengecupku.
Cup!
“Kalau kamu keberatan, yo tidak usah berangkat. Aku masih
bisa kerja meski serabutan, Dik.”
“Bukan .. bukan itu maksudku, Kang.”
“La opo?” (Lalu apa?), tanya Kang Dasim.
“Setahuku, para parewang Ndoro Kuswanoto harus tinggal di
situ. Mereka boleh pulang kalau memang ada urusan serius yang penting sekali.”
“Tahu dari mana?”
“Ealah, Kang. Siapa yang tak tahu dengan Ndoro Kuswanoto yang
sugih lan kondang ngaloko itu.”
Kang Dasim lantas melepaskan pelukannya. Kedua tangannya ia gunakan sebagai
alas kepalanya.
“Artinya, aku jarang pulang,” imbuhku.
Aku mendengar kalau Kang Dasim menghembuskan napas panjang
nan berat.
“Apa tidak boleh pulang pergi to, Dik?” Kang Disan
memiringkan kepala menghadapku.
“Ya, aku tidak tahu, Kang. Setahuku begitu. Itu juga dari
yang aku dengar dari orang-orang.”
“Pite yo, Dik.” (Bagaimana ya, Dik).
Aku menangkap kegelisahannya kini.
“La terus renconone dewe piye?” (lantas bagaimana dengan
rencana kita?), tanya Kang Dasim.
“Emboh, Kang,” (Entah, Kang), jawabku dengan memandang
langit-langit kamar.
“Sudah setahun lo, Dik kita belum punya momongan.”
“Kalau kamu kerja di rumah Ndoro Kuswanoto, berati kita harus
menunggu lagi untuk punya anak.”
Benar apa yang dikatakan oleh Kang Dasim kalau kami masih
sabar menunggu untuk dikarunia momongan. Namun, aku harus membantu Kang Dasim
bekerja untuk kehidupan yang lebih baik. Jadi buruh tandur tidak begitu
mengubah kehidupan kami yang baru saja pisah dari keluarga.
Tujuh bulan terakhir kami memutuskan untuk pisah rumah dari
mertuaku. Kami lakukan itu tak lebih ingin belajar punya keluarga sendiri,
hidup mandiri tanpa tergantung dengan orang tua.
“Kalau aku kangen piye?”
Kontan aku menoleh ke arah Kang Dasim yang masih menatapku.
“Nanti aku bisa alasan dengan Ndoro Kuswanoto. Aku akan
meminta izin untuk pulang seminggu sekali dengan alasan ... alasan opo yo,
Kang?” Aku jadi bingung memikirkan alasan apa yang tepat agar aku diizinkan
pulang untuk mengobati rasa kangen Kang Dasim.
“Opo bilang saja kalau kamu punya suami,” usul Kang Dasim.
“Tidak, Kang. Itu bukan alasan yang tepat. Setahuku para
parewang benar-benar mengabdi dengan Ndoro Kuswanoto.”
“Atau bilang saja kalau kamu punya anak. Piye?” usul Kang
Dasim lagi.
“Punya anak bagaimana? La wong aku belum pernah hamil,”
tolakku.
“Bagaimana kalau kamu hamil dulu?” Kang Dasim lantas beranjak
dari baringnya.
“Hamil dulu piye?”
Tak lama kemudian Kang Dasim menuju lampu minyak yang ada di
atas meja lalu meniupnya.
Bush!
****
Pagi harinya.
“Sampean sungguh tidak apa-apa to, Kang?” tanyaku memastikan
sekali lagi sebelum Paklik Bawon datang menjemputku.
Kang Dasim tak menjawab, tetapi ia mengangguk.
Tak lama kemudian aku mendengar suara mobil berhenti di depan
rumah.
“Itu pasti Paklik Bawon,” kataku lalu melangkah menuju pintu.
Benar saja, aku melihat Paklik Bawon bergegas menuju aku yang
masih berdiri di depan pintu.
“Piye? Jadi berangkat?” tanya begitu sampai di teras.
“Sios, Paklik,” (Jadi, Paklik), jawabku.
“Yo, wes ayo!” (Ya, sudah ayo!), ajak Paklik Bawon.
“Kang, aku berangkat dulu,” pamitku kepada Kang Dasim.
“Ati-ati lek megawe, Dik,” (Hati-hati kalau bekerja, Dik),
ucap Kang Dasim lalu memelukku.
Perasaanku jadi sedih, seakan aku akan pergi jauh
meninggalkan Kang Dasim.
“Wes ayo, Nduk.”
Aku segera meraih buntalan sarung yang berisi pakaianku.
“Kang, aku pamit?”
Aku melihat Kang Dasim sekali lagi hanya mengangguk.
****
Rumah Ndoro Kuswanoto memang terletak paling ujung.
Kedatanganku disambut oleh lelaki tua yang mengenakan surjan
serta udeng hitam.
“Mbah Joyo, tolong Njenengan antar Sri ke dalam. Ndoro kakung
yang memintanya untuk bekerja di sini.”
Aku melihat lelaki yang panggil Mbah Joyo itu tersenyum
ramah, terlihat giginya sudah ompong.
“Ayo, Nduk,” ajaknya seraya meraih buntalan yang kubawa.
“Jenengmu sopo, Cah ayu?” (Namamu siapa, Anak cantik?), tanya
Mbah Joyo sebelum aku sempat melangkah.
“Sri, Mbah ... Srintil.” Aku menyebut nama lengkapku.
“Wes, ayo! Lewat kene,” (Sudah, ayo! Lewat sini). Mbah Joyo
mengajakku masuk.
****
Aku dibawa oleh Mbah Joyo menuju ke sebuah ruangan paling
belakang, melewati satu koridor di mana banyak puring dan hanjuang yang
mengapit kedua sisinya.
Koridor berlantai ubin marmer ini begitu sepi, bahkan
terlihat gelap hanya dengan disinari oleh cahaya matahari dari jendela.
“Lewat kene, Nduk,” (Lewat sini, Nduk).
Aku terus mengikuti langah Mbah Joyo hingga akhirnya
sampailah aku di sebuah rumah berukuran sedang yang terpisah-pisah.
“La iki omah khusus kanggo parewang Ndoro Kuswanoto. Kabeh
manggon neng kene lan ora oleh balik.” (Ini adalah rumah khusus bagi pekerja
Ndoro Kuswanoto. Semua tinggal di sini dan tidak boleh pulang).
“Nopo mboten angsal wangsul sekedap, Mbah?” (Apa tidak boleh
pulang sebentar, Mbah?), tanyaku tak lebih untuk memastikan diriku sendiri
apakah aku boleh pulang setiap akhir pekan.
“Kudu ngomong dewe karo ndoro, Nduk,” (Harus bicara sendiri
dengan tuan, Nduk).
“Yo, wes. Awakmu ngso sek. Mari iku resik-resik omah, yo.”
(Ya, sudah. Kamu istirahat dulu. Setelah itu bersih-bersih rumah, ya).
“Nggeh, Mbah.” (Baik, Mbah), jawabku.
Setelahnya Mbah Joyo bergegas meninggalkanku, tetapi ia
sempat berbalik lalu kembali melangkah mendekatiku. “Opo kowe wes nduwe bojo?”
(Apa kamu sudah punya suami?).
“Sampun, Mbah,” (Sudah, Mbah), jawabku terus terang.
“La neng omah bojomu karo sopo?” (Lalu suamimu di rumah
dengan siapa?).
“Nggeh, kiyambak to, Mbah,” (Ya, sendiri to, Mbah), jawabku
heran.
“La pripun?” (Memangnya kenapa?) Aku balik bertanya. Kupikir
apa aku tidak layak bekerja bila sudah bersuami.
“O, yo ora. Ora popo. Gur takon wae.” (O, ya tidak. Tidak
apa-apa. Hanya bertanya saja).
Aku melihat Mbah Joyo tersenyum lebar hingga gusi tanpa
giginya terlihat.
“Ko nek bojomu digudo uwong piye?” (Nanti kalau suamimu
digoda orang bagaimana?).
“Ampun meden-medeni to, Mbah. Kulo percoyo kaleh bojo kulo.
Bojo kulo niku mboten gampang digudo.” (Jangan menakut-nakuti, Mbah. Saya
percaya dengan suami saya. Suami saya itu tidak mudah digoda).
“Eh, Nduk. Wong lanang nek dewean ki gampang menggok.” (Eh,
Nduk. Lelaki itu kalau sendiri gampang belok).
“Saestu nopo niku, Mbah?” (Sungguh itu, Mbah?), tanyaku
basa-basi karena aku yakin kami sudah membahasnya tadi malam setelah melakukan
yang kata Kang Dasim buat anak.
“La yo, wes, Nduk. Kowe ngaso ndisek, yo.” (Sudahlah, Nduk.
Kamu istirahat sejenak, ya).
Aku masih berdiri mengiringi Mbah Joyo yang melangkah ke arah
satu lelaki. Aku menduga kalau lelaki yang terus menyapu di ujung koridor itu
juga bagian dari parewang Ndoro Kuswanoto.
Akan tetapi, dahiku berkerut saat aku melihat kalau Mbah Joyo
berbicara seraya menarik-narik tangan lelaki itu.
Tak lama kemudian lelaki itu berjalan dengan tangan ditarik
dan mengikuti Mbah Joyo menuju rimbunnya hanjuang yang tumbuh rapat di sisi
jendela.
****
Singkatnya aku sudah mulai bekerja membersihkan bagian rumah atas
permintaan Mbah Joyo.
Jujur, aku belum pernah bertemu dengan Ndoro Kuswanoto meski
namanya tidak asing di wilayah ini.
Taplak meja bermotif dadung baru saya kubersihkan, tetapi aku
dikejutkan oleh seseorang yang keluar dari salah satu kamar dengan pintu
dipenuhi ukiran tangkai relung.
“Ndoro,” sapaku lalu menjura hormat saat perempuan yang tebak
adalah ndoro putri menoleh ke arahku.
Tidak ada sahut jawab, tetapi aku sempat melihat kalau
perempuan itu memasang wajah penuh muram.
Diakah ndoro putri? Namun, kenapa sikapnya dan tatapannya
begitu dingin?
****
Para parewang di rumah Ndoro Kuswanoto dapat dikatakan hidup harmonis,
itu yang membuatku kerasan bekerja dan tinggal bersama mereka.
Menurut Mbok Wagiatun, ndoro putri adalah seorang perempuan
yang baik, begitu pula dengan ndoro kakung.
Ndoro putri sering pergi ke kota sedangkan Ndoro Kuswanoto
hanya sibuk mengatur serta mengawasi pekerja di beberapa kebun serta sawah yang
menghampar luas.
“Mbak, kancani neng pasar, yo.” (Mbak, temani ke pasar, ya),
ajak Tumini yang kenal tadi sewaktu ke dapur.
****
Keesokan harinya.
Aku merasa tidak enak badan karena kehujanan sewaktu pulang
dari pasar dengan Tumini, padahal malam harinya aku sudah minum obat pemberian
Mbak Wagiatun, tetapi hingga pagi hari ini aku merasa sakit di sekujur tubuh.
Walau begitu, tetap kupaksakan diri untuk bekerja karena
sudah menjadi kewajibanku.
Setelah selesai menyapu aku bergegas ke rumah yang menjadi
tempat tinggalku, merebahkan diri di kamar, tapi belum juga mataku terpejam,
sayup-sayup kudengar sepertinya itu suaraNdoro Kuswanoto memanggilku meski aku
belum pernah mendengar dan bertemu dengannya.
"Sri!"
"Sri!"
Kepalaku sungguh pusing dan badanku sedikit panas hingga aku
tak sanggup untuk bangkit.
"Sri!"
"Sri!"
Aku berusaha bangkit, tapi badanku sungguh lemas.
Tak lama kemudian tiba-tiba pintu kamar terbuka.
Kreekk.
"Sri?"
Terlihat satu lelaki dengan kumis tebal, mengenakan belangkon
serta pakaian beskap jangan. Mungkinkah ia Ndoro Kuswanoto? Sepertinya ia
memang ndoroku melihat cara berpakaiannya yang seperti kawulo ageng.
"Ginio, ha!" (Kenapa, ha!).
Ia menghampiri lalu duduk di tepi ranjang.
Aku berusaha untuk bangkit, tapi tiba-tiba tangannya
menyentuh dahiku seraya merengkuh bahu untuk memintaku tiduran kembali.
"Wes turuo ae nek awakmu gak kepenak." (Sudah tidur
saja kalau tidak enak badan). Ah! Aku merasa kalau ndoroku ini sungguh
perhatian dengan parewang sepertiku yang hanya orang kecil.
Ndoro Kuswanoto juga bilang kalau tubuhku demam, "Awakmu
meriang." (Kamu demam).
Kemudian ia memijit keningku.
“Ampun, Ndoro,” (Jangan, Ndoro), ucapku berusaha untuk
menepis tangannya yang kekar.
Akan tetapi, Ndoro Kuswanoto malah menyuruhku untuk
tengkurap, "Murep." (tengkurap).
Aku pun menurutinya karena aku tak mau lancang membantah
perintah ndoroku.
"La gegermu yo panas kok.” (Punggungmu juga panas).
Kurasakan jarit yang kukenakan disingkap ke atas oleh Ndoro
Kuswanoto, kemudian tali pengait kutangku dicopotnya. Bersambung ....
No comments:
Post a Comment