Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

CERPEN GURU KELIK

GURU KELIK



Pagi itu lingkungan RT 01 Desa Bangorejo mendadak gempar oleh kedatangan Guru Kelik, lelaki gondrong yang selalu memakai kaca mata hitam serta belangkon.


Persoalannya bukan pada orangnya, melainkan Guru Kelik ini tidak mempercayai adanya Tuhan dan sering beradu argumen dengan warga perihal adanya Tuhan.

Bukan hanya itu, Guru Kelik juga menantang orang-orang Muslim di lingkungan RT untuk berdebat mengenai adanya Tuhan.

"Kalau tuhan itu ada, mana, coba buktikan!" ucapnya kala itu.

****

Kabar ini pun sampai ke telinga Ketua RT atau acap dipanggil Pak Rete karena dianggap bikin resah warga.

Guru Kelik  lantas dipanggil ke balai pertemuan oleh Pak Rete.

"Din, cepat kau temui Guru Kelik itu. Sampaikan bahwa aku memintanya datang menghadap."

"Kulo, Pak Rete," jawab Samsudin lantas bergegas menggeber motor untuk menemui Guru Kelik.

Bruummmm ....

****


Sesampainya di balai pertemuan.

“Apa tujuan Sampean membuat onar di lingkungan kami, ha?” tanya Pak Rete.

Guru Kelik menjawab, “Untuk apa mendirikan Masjid di lingkungan ini, mengaku bertuhan, kalau orang-orang di dusun ini tidak bisa menjawab 3 pertanyaan saya.”

Kemudian Pak Rete bertanya kembali. "Memangnya Sampean tidak percaya adanya Tuhan?”

Dengan tegas Guru Kelik menjawab, “Tentu saja saya tidak percaya adanya Tuhan. Saya juga tidak percaya adanya akhirat.”

Mendengar itu Pak Rete sempat terkejut. “Tapi aku dan warga di lingkungan ini percaya adanya Tuhan. Berarti keyakinan kita saja yang berbeda. Jadi, jangan ganggu warga di lingkungan ini!” tegas Pak Rete.

“Kalau Sampean percaya adanya Tuhan, bisakah Sampean menjawab 3 pertanyaan saya?” tanya Guru Kelik.

“Monggo,” (Silakan), balas Pak Rete yang sudah tak mau basa-basi.

“Pertanyaan pertama. Orang Islam meyakini bahwa dunia dan seisinya adalah ciptaan Allah. Lalu siapakah yang menciptakan Allah? Bukankah sesuatu yang ada pasti ada penciptanya? Nggeh nopo nggeh?”

“Pertanyaan yang kedua. Katanya di dalam surga manusia tidak akan berak ataupun kencing. Sedangkan mereka makan dan minum tiap hari. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Padahal segala sesuatu yang akan dimasukkan pasti akan keluar, entah itu dengan bentuk yang lain. Leres nopo mboten?”

“Pertanyaan yang ketiga. Orang Islam meyakini kalau setan terbuat dari api, tapi katanya setan akan disiksa dengan api neraka. Mana mungkin api bisa menyakiti api. Nggeh to, Pak Rete?”

Mendengar pertanyaan Guru Kelik, Pak Rete hanya terdiam. "Hemm ... bisa saja aku menjawab berdasarkan Hadits dan Alquran, tapi karena yang kuhadapi adalah orang yang tidak percaya Tuhan maka jawabnya juga harus dengan logika," batin Pak Rete.

Kemudian Samsudin membisikkan sesuatu kepada Pak Rete. “Ngapunten, Pak Rete. Perkawis tiyang mboten waras niki mang percayaaken kaleh Pakde Noto mawon." (Maaf, Pak Rete. Perkara orang yang kurang waras ini lebih baik percayakan kepada Pakde Noto saja).

Pak Rete menyetujui usulan Samsudin meski enggan bertemu dengan Pakde Noto sebab pertikaian asmara dengan salah satu warganya yang janda. Ehem ...!

"Panggil Kang Noto sekarang."

Samsudin lantas meninggalkan balai lalu menggeber motornya.


Bruummmm ....

****

Singkat cerita.

Samsudin terus mengeber motornya melewati jerambah sawah, membawa amanat untuk menjemput Pakde Noto.

Bruuummm ....

Melewati gang sempit.

Bruuummm ....

Melewati jalan pintas dengan menerobos rumpun bambu apus dan nyaris menyenggol Mbah Kromo yang kebiasaan buang hajat di sekitar teduh rumpun bambu.

Bruuummm ....

Seketika Mbah Kromo berdiri terkejut seraya berkata, "Arek gendeng! Lapo lewat kene, ha! Iso-isone blakrakan lewat kene!" (Anak gila! Kenapa lewat sini, ha! Bisa-bisanya menerabas lewat sini!). Seraya menarik kolornya, menutupi jimat tua yang tergantung bak terong rebus.

Brummm ....

Melewati rumah bencong Sapulina.

Brummm ....

Hingga akhirnya sampai di halaman sebuah rumah papan tumpang sirih, terlihat sederhana, tetapi rapi.

Tuas rem segera ia injak.

Cittttt ....

****

Setelah menyampaikan pesan Pak Rete kepada Mbokde Warsinah.

"Sakniki, Mbokde. Pokoke niki penting." (Sekarang, Mbokde. Pokoknya ini penting).

"Sek yo, Le. Tak gugahe pakdemu," (Sebentar ya, Nak. Saya bangunkan dulu pakdemu), balas Warsinah lalu melangkah masuk ke kamar.

"Pak ... Pak, enek Samsudin nggoleki." (Pak ... Pak, ada Samsudin datang mencari."

"Hem," jawab Pakde Noto menarik sarung lalu meringkuk di dalamnya.

"Penting jare, diundang Pak Rete." (Penting katanya, diundang oleh Pak Rete."

Pakde Noto tak membalasnya, melanjutkan mimpi bertemu mantan yang tertunda.

"Pak! Tangio sediluk ngopo. Kae lo Samsudin enek perlu. Penting ...!" "(Pak! Bangun sebentar kenapa. Itu loh Samsudin ada perlu. Penting ...!).

Masih tak terdengar jawab dari Pakde Noto.

"Betah eram nek bengi keluyuran! Enek Samsudin kae lo." (Betah sekali kalau malam keluyuran. Ada Samsudin itu lo).

Pakde Noto malah mendengkur.

"Pakkkkkk ...!" Sekeras Toa Masjid.

*****

Pakde Noto yang masih mengenakan sarung serta kaus singlet pun datang dengan dibonceng Samsudin, wajahnya masih kuyu bangun tidur, rambutnya masih acak-acakan bak dijambak janda semalam.

Sepanjang jalan tadi ia menggerutu kesal sebab sang istri memaksanya bangun dengan menarik-narik sarungnya karena Samsudin berkata bahwa Pak Rete meminta untuk segera menghadap.

Pak Rete lalu mempersilakan Pakde Noto duduk di sampingnya.

Andai bukan masalah  yang penting, Pakde Noto tentu tak sudi duduk di samping Pak Rete, rival abadi dalam skandal menempatkan nama tertinggi di hati janda ujung sungai itu.

"Onok nopo jane. Lapo ngundang awakku mruput ngeneki, ha,"  (Ada apa sebenarnya. Kenapa tiba-tiba memanggilku pagi-pagi begini, ha), tanya Pakde Noto.

Sebagian warga yang turut hadir tertawa mendengarnya.

"Isuk priwe sih, Kang. Pitik-pitik wis pada saba mbok. Mula aja mayeng bae nek bengi." (Pagi bagaimana, Kang. Ayam-ayam sudah keluyuran cari makan. Makanya jangan keluyuran kalau malam), celetuk Saimun.

"Sudah-sudah!" Pak Rete mencoba meredam suasana.

“Begini, Kang. Guru Kelik ini tidak percaya adanya Tuhan dan dia mengajukan 3 pertanyaan, tapi jawabannya harus masuk akal,” ujar Pak Rete kepada Pakde Noto yang ada di sampingnya.

Sekilas Pakde Noto menatap Guru Kelik. “Oh, iki wonge seng ganggu turuku!" (Oh, ini orangnya yang ganggu tidurku!" bentak Pakde Noto masih menyisakan kesal.

Pakde Noto segera berdiri, menggulung sarung, lalu melangkah meraih kursi plastik, dan duduk tepat di hadapan Guru Kelik.

“Wes monggo opo seng kate Sampean takokno,"  (Silakan apa yang ingin Anda tanyakan), ucap Pakde Noto.

Dengan penuh percaya diri Guru Kelik memulai pertanyaannya. “Njenengan sebagai orang Muslim tentu percaya bahwa segala sesuatu baik yang terlihat maupun tidak terlihat pasti ada yang menciptakan.”

“Iyo. Tentu saja aku percaya,” timpal Pakde Noto.

“Sekarang saya mau bertanya kepada Njenengan. Siapakah yang menciptakan alam semesta dan seisinya?” tanya Guru Kelik.

“Yang menciptakan alam semesta dan seisinya adalah Allah, Pengeran Kang Moho Agung,” jawab Pakde Noto.

“Oh, baiklah. Lalu siapakah yang menciptakan Allah? Bukankah tadi Njenengan mengakui bahwa segala sesuatu baik yang terlihat maupun tidak terlihat pasti ada yang menciptakan?” tanya Guru Kelik lagi.

Sejenak Pakde Noto terdiam. Ia pun berkata. “Sampean pasti tahu kalau selaku orang Islam mengakui hanya ada satu Tuhan. Kita istilahkan saja Tuhan dengan angka 1. Karena ya, memang Tuhan hanya ada 1. Yo, to?"

"Saiki gentian awakku seng takok mbek Sampean," (Sekarang gantian aku yang bertanya kepada Anda), kata Pakde Noto.

"Silakan," jawab Guru Kelik.

"Angka 3 berasal dari angka berapa?” tanya Pakde Noto dengan menunjukkan tiga jarinya.

“Angka 3 berasal dari angka 2 ditambah 1,” jawab Guru Kelik.

“Kalau angka 2 berasal dari angka berapa?” tanya Pakde Noto kembali dengan menekuk satu jarinya.

“Angka 2 berasal dari angka 1 ditambah 1,” jawab Guru Kelik dengan mudahnya.

“Sekarang kalau angka 1 sendiri berasal dari angka berapa?” tanya Pakde Noto menunjukkan jari telunjuknya..

Guru Kelik kaget dengan pertanyaan tersebut. Ia hanya terdiam tak bisa menjawabnya.

"Ko ndi jal, ha?" (Dari mana, ha?), ulang Pakde Noto.

Guru Kelik masih bungkam, tak mampu menjawab pertanyaan sepele itu.

Pakde Noto kemudian  berkata kembali. “Pada intinya semua angka pasti ada awalnya, entah itu angka 5, angka 4, ataupun angka 10, dan angka-angka tersebut diibaratkan alam semesta ciptaan Allah. Apabila Sampean bertanya siapa yang menciptakan Allah, sama halnya aku bertanya dari mana angka 1 itu ada. Sampean pasti tidak akan bisa menjawabnya. Iyo, to!" jelas Pakde Noto.

Guru Kelik pun terdiam merenungi ucapan Pakde Noto.

"Untuk jawaban Njenengan atas pertanyaan saya yang pertama masuk akal juga." Guru Kelik manggut-manggut. "Sekarang pertanyaan yang kedua," ujarnya kemudian.

"Njenengan sebagai Muslim pasti meyakini kelak hidup di surga tidak akan berak dan kencing, padahal di sana makan dan minum setiap hari. Mana mungkin itu bisa terjadi? Coba Njenengan jelaskan pada saya." Pertanyaan kedua dari Guru Kelik.

“Akan kujelaskan. Selama Sampean dalam kandungan rahim ibu, tentunya Sampean makan dan minum to? Karena seorang janin memakan sesuatu yang dimakan ibunya. Lalu ketika Sampean dalam kandungan selama 9 bulan, apakah pernah berak atau pun kencing? Begitulah nanti di surga,” jawab Pakde Noto.

Untuk kedua kalinya pertanyaan Guru Kelik bisa dijawab oleh  Pakde Noto.

“Baik. Jawaban Njenengan masuk akal. Sekarang pertanyaan terakhir.”

“Sebagai Muslim pasti meyakini kalau setan terbuat dari api dan neraka juga terbuat dari api, tapi yang membuat saya heran, katanya setan akan disiksa dengan api neraka. Mana mungkin api bisa menyakiti api? Itu hal konyol yang pernah saya dengar,” ujar Guru Kelik.

“Bisakah Njenengan menjelaskannya?”

“Sebelum aku jawab pertanyaan yang terakhir. Aku ingin kita saling berjanji. Apa pun jawabannya Sampean gak boleh marah,” pinta Pakde Noto.

“Tentu saja saya tidak akan marah sama Panjenengan, apalagi kalau jawabannya masuk akal,” balas Guru Kelik.

Tiba-tiba Pakde Noto menampar pipi Guru Kelik dengan sangat keras.

Plak!

"Aduh!" pekik Guru Kelik. Tubuhnya limbung lalu jatuh dari kursi oleh tamparan Pakde Noto.

Bruk!

Pak Rete dan warga yang hadir terkejut dibuatnya.

Warga yang hadir buru-buru membantunya berdiri.

“Goblok! Apa-apaan Njenengan ini, ha! Kalau tidak bisa menjawab jangan main tampar saja!" kesal Guru Kelik memegangi pipi dengan gambar lima jari Pakde Noto.

“Siapa yang goblok, ha! Itu tadi adalah jawabanku. Apakah tadi Sampean merasakan sakit? Loro ta gak, he?” tanya Pakde Noto.

“Tentu saja sakit, Goblok!” jawab Guru Kelik meradang, tetapi warga segera melerai dengan menahan tubuhnya.

“Coba kamu perhatikan tanganku," ucap Pakde Noto membolak-balik tepak tangan yang ia gunakan untuk menampar Guru Kelik.

"Bukankah tanganku terbuat dari tulang dan daging? Begitu juga dengan pipi Sampean, tapi ketika tanganku ini ditamparkan ke pipi Sampean, Sampean langsung kesakitan. Itulah gambaran sederhana kalau api neraka bisa menyakiti setan. Setan pasti akan merasa kesakitan meskipun ia sama-sama terbuat dari api,” kata Pakde Noto lalu menyingkap sarung sedikit, bermaksut meraih keretek abang klangenannya.

"Lo! Wah! Udutku keri, Din. Wes ayo terno pakde balek!" (Loh! Wah! rokokku ketinggalan, Din. Sudah ayo antar pakde pulang!). Kepada Samsudin yang berdiri di belakang Pak Rete.

Samsudin mengangguk lalu melangkah menuju motor diikuti Pakde Noto yang meninggalkan Guru Kelik, masih mengaduh sakit dan dikerubungi warga.

Setelah menyingsingkan sarung, Pakde Noto duduk diboncengan. "Wes, ayo!" ( Sudah, ayo!).

Samsudin memutar tuas gas, motor bergerak, tapi perlahan.

Ndang to, Din!" (Cepatlah, Din!), bentak Pakde Noto.

"Lapo neh, ha! Ngebut po 'o!" ( Kenapa lagi, ha! Ngebut kenapa!).

"Kadose bane kempos, Pakde," ( Sepertinya banya kempis, Pakde).

Pakde Noto turun lalu mengecek ban motor dengan mijat untuk menyakinkan ucapan Samsudin, tapi naas, tangannya tak sengaja memegang sesuatu yang menempel di ban, dikerubungi lalat, berwarna cokelat kekuningan.

"Diancok! Tai ...!" (Sialan! Tai ...!) END


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search