NGATINEM
UTANG SIMBOK
Malam sudah menunjukkan pukul 23.00. Mataku masih enggan terpejam, pikiranku masih terus mengingat kejadian-kejadian menyakitkan yang menimpa hidupku akhir-akhir ini.
Berawal dari bapakku yang harus masuk rumah sakit karena serangan jantung lalu seminggu kemudian ia pun meninggal dunia.
“Bapak! Bapak. Hu hu hu.”
“Sudah, Nduk. Sudah. Ikhlaskan kepergian bapakmu, ya.”
“Tapi, Mbok. Hu hu hu.”
“Semua sudah menjadi ketentuan-Nya, Nduk. Tugas kita selanjutnya hanya mendoakan mendiang bapakmu.”
Kematian bapak sebenarnya sudah cukup membuatku berduka, ditambah pula selama bapak dirawat di rumah sakit, simbok harus meminjam uang kepada rentenir untuk biaya berobat bapak.
Kini utang itu harus segera kami lunasi, sementara aku dan simbok sudah tidak punya uang lagi.
Simbok hanya seorang pedagang sayur gendong keliling yang pendapatannya tidak seberapa. Dulu semasa hidup, bapak juga hanya seorang buruh macul.
Kehidupan kami secara ekonomi sejak dulu memang hanya pas-pasan.
****
Seminggu kemudian.
Aku tidak bisa melanjutkan sekolah karena mengingat ekonomi keluarga kami yang tidak memungkinkan untuk aku bisa lanjut.
“Simbokmu ini masih mampu kalau kamu benar-benar mau sekolah, Nduk.”
Aku membalasnya dengan menggeleng. Aku tahu ucapan itu hanya kembang lambe meski aku juga tahu kalau simbok harus pontang-panting untuk mencari biaya sekolahku.
“Ngatinem sudah memutuskan akan berhenti mawon, Mbok,” ucapku akhirnya kala itu.
Kulihat simbok menyerah untuk membujukku.
****
Kini setelah bapak meninggal, kehidupan kami semakin berantakan, ditambah pula kami harus melunasi utang kepada Pakde Taji, rentenir yang hampir setiap hari datang menagih dengan empat anak buahnya yang medeni, sangar-sangar.
Aku kian merasa kalau hidupku benar-benar kacau.
Sebagai anak, aku merasa punya tanggung jawab untuk melunasi utang tersebut, tapi apa yang bisa aku lakukan? Lha wong aku saja belum bekerja, apalagi punya pekerjaan yang tetap. Ah mboh ... kepalaku jadi mumet.
“Piye carane, yo?” Aku mulai berpikir untuk membantu simbok melunasi utang-utangnya pada Pakde Taji yang terkenal punya banyak istri.
Sekelebat terlintas bagaimana pagi tadi Pakde Taji yang berperawakan tinggi besar serta memiliki kumis lebat itu marah-marah di depan pintu rumahku.
“Pokoknya jika sampai besok pagi kalian belum juga melunasi utang kalian, saya akan sita rumah ini!” Begitu ucap Pakde Taji waktu itu ketika untuk sekian kalinya datang menagih dengan dikawal empat anak buahnya.
Aku dan simbok hanya bisa terdiam di depan pintu.
****
Kami sudah berusaha semampu kami untuk bisa melunasi utang tersebut, tapi tetap saja kami tidak bisa mendapatkan uang untuk melunasi utang itu.
Jika rumah yang kami tempati ini disita, tentu saja aku dan simbok tidak akan punya tempat tinggal lagi, hanya rumah ini satu-satunya yang kami punya saat ini.
“Mohon beri kami waktu lebih lama lagi, Pakde. Kami pasti akan bayar utang tersebut, tapi mohon beri kami waktu,” ucapku akhirnya dengan suara berat.
“Gombal amoh! He, Nduk! Ini sudah yang kedua aku menagih sejak bapakmu meninggal. Bukankah perjanjiannya hanya sampai sebulan? Jadi, sekarang sudah tidak ada waktu lagi! Kalian bayar besok pagi atau rumah ini aku sita!” Suara Pakde Taji itu sangat sengit, ditambah matanya melotot marah.
“Tapi, Pakde. Apa ... apa ... ndak ada cara lain?” tanyaku terbata-bata.
“Cara lain? Cara lain piye maksudmu, ha?” Pakde Taji balik bertanya.
“Nggeh, Pakde. Saya akan melakukan apa saja untuk bisa melunasi utang tersebut, tapi saat ini kami benar-benar tidak punya uang. Kami juga tidak ingin rumah ini disita, rumah ini satu-satunya yang kami punya, Pakde.”
“Gak urusan! Utang ya utang dan itu harus segera kalian bayar!” balas Pakde Taji.
Pakde Taji yang berusia lebih tua dari mendiang bapak, kira-kira berumur 58 tahun lebih itu menatapku dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Ia memperhatikanku dengan saksama.
Jujur aku merasa risi diperhatikan seperti itu.
Tak lama kemudian aku melihat kumisnya yang lebat itu bergerak-gerak seiring senyum yang membuat kumisnya kian melintang.
“Yo, wes. Akan aku pertimbangkan hal tersebut. Jika besok pagi kalian belum juga bisa melunasi utangnya mungkin saya akan gunakan cara lain selain menyita rumah ini tentunya,” ucap Pakde Taji akhirnya.
Untuk sesaat aku merasa lega mendengar hal tersebut meski aku tidak tahu pasti cara apa yang dimaksud.
Beberapa saat kemudian Pakde Taji dan anak buahnya pergi meninggalkan kami yang masih berdiri.
“Ayo!” ajaknya lalu diikuti oleh empat anak buahnya.
“Maafkan simbok, Nduk,” kata simbok setelah rombongan Pakde Taji tak terlihat di ujung halaman.
“Sampun toh, Mbok. Simbok tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Ngatinem tahu kalau simbok terpaksa meminjam uang dengan Pakde Taji kala itu demi pengobatan bapak,” balasku pelan.
Jujur aku memang merasa kecewa terhadap simbok karena telah meminjam uang kepada Pakde Taji, rentenir yang banyak istri, dan itu simbok lakukan tanpa sepengetahuanku, tapi aku juga mengerti, itu simbok lakukan hanya terpaksa.
Simbok meminjam uang kepada Pakde Taji yang sugeh itu demi pengobatan bapak karena memang harus menjalani perawatan yang intensif waktu itu dan hal itu tentu saja butuh biaya yang banyak.
Satu-satunya cara yang simbok tahu hanyalah meminjam uang, tetapi sayangnya simbok meminjam uang kepada orang yang salah.
Siapa yang tahu Pakde Taji? Ia akan senang hati meminjamkan uangnya kepada orang-orang susah seperti kami, tentu saja dengan bunga yang sangat tinggi.
“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Nduk?” tanya simbok tiba-tiba.
“Apa simbok pinjam uang saja sama pihak bank dengan menggadaikan surat tanah ini?” lanjutnya.
“Pinjam uang sama pihak bank itu prosesnya lama Mbok, sementara kita butuh uangnya besok. Lagi pula jika Simbok pinjam sama bank, pasti jumlahnya tidak akan cukup untuk melunasi utang kita pada Pakde Taji,” balasku.
“Terus piye, Nduk? Jadi, simbok harus bagaimana, Nduk?” Simbok bertanya lagi.
“Simbok tenang saja, nggeh. Simbok ndak usah terlalu memikirkan hal tersebut. Nanti Simbok sakit lagi loh. Biar Ngatinem saja yang memikirkannya, Mbok.”
Simbok lantas memelukku. “Maafkan simbok ya, Nduk.”
Kubalas pelukan simbok lalu mengelus dadanya.
Simbok satu-satunya orang yang kupunya kini, aku tak mau membuatnya jatuh sakit dengan memikirkan utang-utangnya kepada Pakde Taji.
****
Malam harinya.
Kondisi keluarga kami sedang tidak baik-baik saja, keluarga kami sedang kacau, kami baru saja kehilangan sosok seorang bapak, dan sekarang kami harus dihadapi dengan persoalan keuangan yang sangat sulit.
Berkali-kali aku mencoba memejamkan mata, tetapi pikiranku benar-benar kacau saat ini.
Besok Pakde Taji itu akan datang lagi dan aku belum punya sedikit pun uang untuk melunasi utang simbok.
Entah apa yang akan terjadi besok. Aku juga tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah pasrah.
Aku berkali-kali mendesah, “Ah.”
Angin berhembus dingin dari celah jendela kamar sering serangga malam terus berkidung di malam yang kian hening.
****
Keesokan harinya.
“Piye? Jadi, bagaimana, ha! Kalian sudah punya uangnya?" tanya Pakde Taji dengan tatap tajam saat pagi harinya ia datang lagi untuk menagih.
“Maaf, Pakde. Kami belum dapat uangnya,” balasku terdengar pasrah.
“Kalau begitu sesuai janji, bukankah kamu akan melakukan apa saja untuk bisa melunasi utang tersebut. Iyo, to?”
Aku tertunduk seketika.
“Sekarang kamu ikut aku,” ucap Pakde Taji lagi.
“Saya mau dibawa ke mana, Pakde?” tanyaku ragu.
“Gak usah kokean takon. Kamu ikut saja atau kamu mau aku sita rumah ini sekarang, ha!” balas Pakde Taji.
“Baiklah, Pakde,” ucapku benar-benar pasrah.
“Ngapunten, Ndoro. Tolong jangan bawa Ngatinem. Lebih baik bawa saya mawon,” ucap simbok tiba-tiba dengan nada memohon.
“Aku gak butuh kamu ya, Mbok! Aku hanya butuh anakmu ini!” balas Pakde Taji kasar diiringi gelak tawa para anak buahnya yang berdiri petentengan.
“Kersane, Mbok. Simbok tenang saja, nggeh,” ucapku pelan.
“Ngatinem pasti bisa mengatasi hal ini. Simbok tunggu saja di rumah,” lanjutku.
“Tapi, Nduk. Ini semua salah simbok. Jadi, simbok yang harus bertanggung jawab,” lanjutnya.
“Sudah gak usah banyak drama! Kamu mau ikut aku atau rumah ini aku sita!” bentak Pakde Taji dengan nada kasar.
“Saya akan ikut, Pakde,” balasku cepat.
Aku pun melangkah di samping Pakde Taji dengan dikawal empat anak buahnya.
Aku melihat simbok pun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menangis melihat kepergianku bersama rombongan Pakde Taji.
Aku sendiri tak tahu akan dibawa ke mana, tapi pikiranku, aku akan dibawa ke aparat untuk dipenjara karena mungkin Pakde Taji telah melaporkan masalah utang-utang simbok.
Sudah tidak ada pilihan, aku terus melangkah mengikuti kemauan Pakde Taji.
Aku terus melangkah pelan mengikuti langkah Pakde Taji, menuju mobilnya yang terparkir di ujung jalan setapak yang menuju rumah kami.
Aku melihat sebuah mobil mewah terparkir di sana.
“Masuk!” kata satu anak buah Pakde Taji setelah membukakan pintu untukku.
Tak lama kemudian Pakde Taji masuk dan duduk di sampingku.
“Won, Bawon. Antar kami ke rumah biasa,” ucap Pakde Taji kepada sopirnya.
Aku duduk di mobil tersebut dengan perasaan yang tak karuan.
Aku sempatkan menoleh ke belakang saat perlahan roda mobil bergerak. Aku melihat empat anak buah Pakde Taji hanya berdiri melepas kepergian kami.
Mobil kemudian berjalan pelan meninggalkan jalan setapak dan terus melaju membelah lebatnya hutan jati.
Seribu tanya berkecamuk di kepalaku. Mungkinkah akhir hidupku akan mendekap di balik penjara?
****
Setelah melewati luas hamparan persawahan, memasuki kebun bambu, mobil kemudian membawa kami ke sebuah rumah besar.
Tampak satu lelaki tua tergopoh-gopoh membuka pintu gerbang.
“Won, jemput aku besok saja,” ucap Pakde Taji kepada sopirnya.
“Sendiko dawuh, Ndoro,” (Siap menjalankan perintah, Tuan), balas sopir itu menganggukkan kepala.
“Sekarang mari kita turun,” ucap Pakde Taji kepadaku.
“Kita mau ke mana?” tanyaku.
“Sudah kamu ikut saja. Gak usah banyak tanya,” balas Pakde Taji.
Dengan perasaan berat aku turun dari mobil lalu mengikuti langkah Pakde Taji yang menuju pintu di mana lelaki tua yang membukakan gerbang tadi juga membuka pintu rumah buat kami.
****
Sesampai di dalam.
Aku mendengar kalau Pakde Taji menyuruh menyiapkan sebuah kamar. Entah kamar apa yang dimaksud.
“Sampun, Ndoro,” (Sudah, Tuan), balas lelaki tua itu dengan menjura hormat.
“Ayo!” ajak Pakde Taji kepadaku.
Aku mengikutinya tanpa berani bertanya lagi. Aku tak ingin bertanya apa pun saat ini karena sudah pasti tidak akan mendapatkan jawabannya.
****
Pakde Taji mengajakku masuk ke sebuah kamar, cukup bagus dengan perabotan yang lengkap dan juga mewah.
Sebuah ranjang besar berada di tengah-tengah kamar, lemari pakaian berada di bagian sudut ruangan, ada sebuah meja dan kursi di ujung ranjang, televisi berada tepat di atas meja, di bagian lain ada sebuah kamar mandi. Semua adalah barang langka dan hanya wong sugeh saja yang bisa memilikinya termasuk Pakde Taji.
Aku masih merasa bingung kenapa Pakde Taji mengajakku masuk ke kamar. Apa sebenarnya yang ia inginkan dariku?
“Nem, kamu duduk di sini, Nduk. Jangan bengong saja,” ucap Pakde Taji. Kali ini suaranya benar-benar ramah dan jauh dari marah.
Dengan perasaan heran aku pun duduk di sisi ranjang, sedikit agak jauh, tapi Pakde Taji justru menggeser duduknya untuk mendekat.
“Maaf, Pakde. Kita ... kita mau apa di sini?” tanyaku dengan nada terbata-bata oleh perasaan waswas.
Untuk sesaat Pakde Taji hanya menarik napas kemudian berdiri lalu melepas bajunya.
“Memangnya kamu belum tahu?” tanyanya makin membuatku sungguh tak tahu.
“Belum,” balasku ringan.
“Kamu mau memanggilku pakde atau bapak,” ucapnya lagi dengan melepas celananya kini.
Jantungku berdegup, berdebar-debar oleh rasa takut yang mendadak menyergap begitu Pakde Taji melontarkan pertanyaan itu.
“Lalu untuk apa kita di sini?” tanyaku mengulang pertanyaan yang tadi dan tak menjawab pertanyaannya. Jujur aku mulai kian waswas berdua dalam satu kamar seperti ini.
“Bukankah kamu sudah berjanji melunasi utang simbokmu, ha. Jadi, sekarang saatnya kamu membuktikan hal tersebut,” balas Pakde Taji.
“Mak ... maksudnya?” tanyaku benar-benar tidak mengerti.
“Berapa usiamu, Nduk?”
“19 tahun, Pakde,” jawabku jujur.
“Kamu pernah dengar tentang pergumulan lawan jenis?”
“Iya. Saya pernah dengar,” balasku terdengar polos.
“Jujur aku suka denganmu. Kamu cukup ayu dan menarik.”
“Nduk, aku sangat menginginkanmu,” lanjut Pakde Taji lagi.
Tiba-tiba aku merasa mual, aku merasa jijik seketika.
Aku memang pernah mendengar cerita-cerita tentang hubungan begitu dari teman-temanku di sekolah dulu. Namun, selama ini aku tidak terlalu peduli akan hal tersebut karena itu memang tabu, gak ilok kalau dibahas kata simbok.
“Jadi, apa kamu mau melayani pakde, ha?” tanya Pakde Taji yang sudah tanpa pakaian melangkah mendekatiku.
"Saya ... saya ... saya ... saya tidak bisa, Pakde. Saya bukan pelacur,” balasku ingin menangis.
“Iya aku tahu, tapi sekarang ini kamu punya pilihan,” balasnya mengingatkanku pada utang-utang simbok.
Pakde Taji lalu meraih kedua tanganku.
“Tapi jika saya mengikuti keinginan Pakde, apa itu berarti utang-utang simbok akan lunas semuanya?” tanyaku akhirnya.
“Utang simbokmu sangat banyak, Nduk. Jadi, gak bisa langsung lunas hanya dengan kamu mengikuti keinginanku kali ini,” balas Pakde Taji.
“Jadi, saya harus bagaimana agar semua utang simbok lunas?” tanyaku. Sungguh aku takut meski aku mengerti arah ucapan Pakde Taji terlebih bila melihat keadaannya yang berdiri di depanku.
“Dengan kamu mengikuti keinginanku sekarang, bukan berarti utang simbokmu lunas ataupun berkurang. Untuk melunasi semua utang-utang simbokmu, kamu harus menuruti semua kemauanku kapan pun.”
“Satu lagi. Kamu jangan coba-coba menceritakan hal ini kepada siapa pun karena aku tak menjamin keselamatanmu dan simbokmu yang sepuh itu,” imbuhnya lagi.
Kali ini aku kembali terdiam. Sungguh tak kusangka sama sekali kalau Pakde Taji akan melakukan semua ini terhadapku.
Namun, sekali lagi aku memang tidak punya pilihan lain selain mengikuti semua keinginannya.
Dari mana aku dan simbok mendapatkan uang untuk melunasi utang? Dengan mengikuti kemauan Pakde Taji aku jadi punya banyak waktu, bisa mencari uang untuk melunasi utang simbok padanya. Begitu yang kini ada di pikiranku.
“Jadi, bagaimana, he?” tanya Pakde Taji sempat mengagetkanku.
“Bagaimana apanya?” tanyaku tanpa sadar.
“Apa kamu mau mengikuti kemauanku saat ini?” tanyanya lagi.
“Jika kamu menolak, itu artinya kamu harus siap kehilangan rumah kalian.”
“Pilihannya terlalu sulit bagi saya Pakde, tapi saya memang harus memilih. Namun, sebelum saya memutuskan hal ini, saya punya permohonan.”
“Permohonan? Permohonan apa?” tanya Pakde Taji sedikit heran.
“Saya ... saya baru berhenti sekolah seminggu yang lalu, artinya saya belum punya pekerjaan. Karena belum bekerja, saya pasti akan sulit untuk bisa mengumpulkan uang membayar utang simbok pada, Pakde.”
“Pastinya tidak akan mudah bagi saya untuk bisa mendapatkan pekerjaan.”
“Jadi, saya mohon sama Pakde agar saya diberi kesempatan untuk bisa bekerja saja dengan Pakde.”
“Kerja apa saja, yang penting saya bisa menghasilkan uang dan mengumpulkannya untuk bisa membayar utang simbok sama Pakde,” ceritaku menjelaskan.
Pakde Taji tampak terdiam beberapa saat. Ia terlihat sedang berpikir. Mungkin ia sedang mempertimbangkan permintaanku barusan.
“Aku gak yakin bisa memberimu pekerjaan saat ini, Nduk.”
“Bukan karena aku tidak menghargai permintaanmu tersebut, tapi memang saat ini aku tidak sedang butuh pekerja baru. Namun, aku pasti akan memikirkan hal ini bila kamu mau bersedia tidur denganku.”
Tak lama kemudian Pakde Taji menarik kedua tanganku hingga aku berdiri dan jatuh ke dalam pelukannya.
Berkali-kali Pakde Taji mencoba menghujaniku dengan ciuman, tetapi berkali-kali aku berontak menghindar.
“Jangan, Pakde! Jangan.”
Aku sudah lupa dengan kesepakatan kami. Aku hanya tak mau menuruti permintaannya, permintaan seorang Pakde Taji yang sudah berumur.
Tubuhku tiba-tiba didorong hingga terbanting di atas ranjang.
Bruk!
Aku hanya bisa menangis saat Pakde Taji melucuti pakaianku satu persatu dengan kasar.
Bret!
Bret!
“Hu hu hu. Ampun, Pakde.”
Bret!
Bret!
“Bukankah kamu sudah berjanji mau melakukan apa saja demi utang simbokmu, ha!”
Dengan memejamkan mata, aku menggeleng, memohon untuk ia tak meneruskan aksinya, tetapi aku yang sudah seperti bayi tanpa popok hanya bisa menangis.
****
Semua sudah terjadi meski aku berusaha untuk mempertahankannya.
“Hu hu hu.” Aku terus menangis.
Selebihnya hanya hening kamar yang terusik oleh deru napas penuh golak berahi dari Pakde Taji. “Ohhh.”
Aku tak bisa melawannya meski berkali-kali berusaha meronta. “Hu hu hu.”
Di ujung perlawanan aku pasrah saat Pakde Taji terus menggempurku tanpa ampun. “Ohhh, Nduk.”
Derit ranjang kian menjerit seakan mewakili jerit hatiku.
Kret.
Krot.
Kret.
Krot.
Aku memejamkan mata kuat-kuat. Terbayang wajah simbok, terbayang wajah mendiang bapak. Aku bagai melihat di pelupuk mata kalau mereka menangis sedih karena tidak bisa menolongku.
Tanpa sadar aku meratap pilu. “Hu hu hu. Pak, Mbok. Hu hu hu.”
Aku merasakan air mataku mengalir deras dalam tindihan Pakde Taji. BERSAMBUNG KE PART 2
No comments:
Post a Comment