MBOKDE GATI
MBOKDE GATI
Namanya Sugati atau sering dipanggil Mbokde Gati, seorang
janda, dan umurnya di tahun ini sudah menginjak sekitar 50-an tahun.
Ia baru saja menutup buku tabungan miliknya yang menunjukkan
saldo angka enam puluh juta rupiah.
Senyumnya mengembang seraya menyimpan lagi buku tabungan
berwarna biru tersebut di bawah tumpukan baju yang ada di dalam lemari kayu
jati.
Siapa yang tak kenal Mbokde Gati, ha? Ia memiliki satu gigi
emas, apabila ia bicara atau tertawa akan kelihatan jelas oleh para pelanggan
warung nasinya. Ting!
Ya, Mbokde Gati pemilik warung di perempatan jalan ujung kota
Pedotan, Banyuwangi, tepat di ujung samping seberang jalan dengan rumah besar
nan megah milik lelaki homo yang sering dipanggil Juragan Ngadiman. Konon
katanya sih begitu. Untuk kebenarannya entah. Jangan-jangan kata homo hanya
untuk menjatuhkan pamornya saja. Bisa jadi ya ‘kan?
****
Warung Mbokde Gati terlihat ramai, mulai dari siang hingga
sore hari. Itulah kenapa jumlah tabungannya jauh lebih besar dari para kreator FB
yang sibuk mengejar dolar dari konten videonya. Hiks.
Ya, jelas kalahlah dengan Mbokde Gati, la wong gigi emasnya
saja ia pesan khusus di toko perhiasan Sepakat yang sangat terkenal di Pedotan.
Mbokde Gati sendiri sudah bercerai dengan suaminya ketika dua
putrinya menginjak usia dewasa.
Kini kedua putrinya sudah hidup mandiri bersama keluarganya
masing-masing. Tinggallah Mbokde Gati seorang diri yang hari-hari-harinya ia
habiskan di warung nasinya.
****
Eh, kalau mendengar dari nada bicaranya, orang-orang menilai Mbokde
Gati sebagai janda yang sopan dan baik hati, tetapi kenapa banyak laki-laki
tampan malah berani menikahi para janda pirang, ya meskipun perilakunya tidak
lebih baik daripada Mbokde Gati.
“Opo mero aku wes umur?” (Apa karena aku telah berumur?). Begitu
anggapannya, sebab belum ada seorang lelaki pun yang mengutarakan isi hati
kepadanya.
Dulu pernah ada duda begajulan, tetapi Mbokde Gati
terang-terangan menolak karena duda itu hanya modal abab.
Entah! Apa lagi kurangnya Mbokde Gati coba? Saldo tabungannya
banyak, ada rumah, juga beberapa petak sawah, dan semua itu hasil dari usaha
warung nasinya, tetapi sampai kini belum ada lagi seorang lelaki pun yang
mendekatinya untuk serius. Apakah mereka minder?
Sebagai janda yang belum kering, Mbokde Gati kadang merasakan
kesepian yang amat tatkala malam datang. Selama ini ia kerap menahan haus akan
belaian seorang suami.
Oalah? Apakah ada yang janda? Coba komen, apakah benar begitu.
****
“WARUNG NASI MBOKDE GATI.” Begitu tulisan yang ada di etalase warung itu.
Sebenarnya ada seorang pelanggan laki-laki yang menjadi pusat
perhatian Mbokde Gati, seorang lelaki sekitar 58-an tahun, berkumis tebal,
rahangnya kokoh meski sedikit berkulit cokelat.
Seperti biasa, lelaki itu minta dibungkuskan nasi yang
dilengkapi sayur buncis dan telur dadar. Lelaki itu hanya mengenakan kaus salur
berkerah serta celana sedikit longgar, seperti celana gombroh berwarna hitam.
Lelaki itu sering dipanggil Pakde Mukiran, kelihatan baik, dan bicaranya santun. Begitulah
Mbokde Gati mengenal pelanggannya yang satu ini.
Seperti biasa, siang itu Pakde Mukiran membayar dengan uang
sepuluh ribuan setelah menerima bungkusan nasi dalam plastik bening.
“Rong ewu, nggeh,” (Dua ribu, ya), kata Mbokde Gati segera
mengambil uang kembalian dari laci. Ya, karena nasi bungkus yang dipesan Pakde
Mukiran memang hanya seharga delapan ribu di warungnya.
Seingat Mbokde Gati, Pakde Mukiran belum pernah memesan nasi
dengan lauk lain selain telur dadar di warungnya. Pokoknya hanya telur dadar,
padahal banyak loh jenis pilihan lauk di warung nasi Mbokde Gati ini.
Mbokde Gati hanya bisa memendam rasa saat Pakde Mukiran
berlalu dengan menenteng nasi bungkus yang ia pesan tadi.
Mbokde Gati lantas duduk di bangku kayu panjang. Ia mengenang
siapa Pakde Mukiran, menjadi pelanggan di warungnya dua bulan lalu meski selalu
memesan nasi berlauk telur dadar saat jam makan siang.
Mbokde Gati jadi ingat, pernah sekali waktu Pakde Mukiran
mengenakan sarung keluar dari rumah megah Juragan Ngadiman yang pagar rumahnya saja
dipenuhi ukiran relung. Serius!
Entah kenapa anggan Mbokde Gati lebih tertuju sesuatu di
dalam sarung kala itu.
Mbokde Gati sendiri berkeyakinan kalau Pakde Mukiran hanya pelayan
atau kerja sebagai bersih-bersih rumah Juragan Ngadiman. Hanya itu yang ia
tahu, selebihnya Mbokde Gati hanya menduga-duga sebab ia tak tahu persis apa
pekerjaan Pakde Mukiran di rumah itu.
Karena seorang pelayan, pasti Pakde Mukiran sering
disuruh-suruh Juragan Ngadiman untuk membersihkan lantai, menyirami tanaman,
termasuk merawat kuda poni milik juragan sugeh itu.
Boleh jadi Pakde Mukiran yang berkumis tebal itu tinggal di
kamar belakang samping kandang kuda atau gudang sendirian sambil memakan nasi sayur
buncis dan telur dadar yang biasa dipesannya sendirian. Begitu yang ada di
pikiran Mbokde Gati.
Mbokde Gati menarik napas panjang saat menerka-nerka hidup
Pakde Mukiran yang diam-diam ia taksir.
****
Semakin lama menjadi pelanggan warungnya, semakin akrablah Mbokde
Gati dengan Pakde Mukiran yang konon seorang duda.
Sesekali terbersit dalam pikiran Mbokde Gati, ingin berbagi
dengan Pakde Mukiran pujaannya itu, mengirim sambal bandeng yang dilengkapi
emping karena memang Mbokde Gati mahir sekali memasaknya hingga terasa empuk
dan gurih, tetapi seperti yang sudah dikatakan tadi, karena sifatnya baik hati,
Mbokde Gati tak berani melakukan hal-hal nekat seperti itu tanpa suatu alasan
yang masuk akal kepada Pakde Mukiran.
Ingin sekali sebenarnya Mbokde Gati mengetes tebakannya
mengenai pekerjaan lelaki pujaannya itu karena sangat kepincut paras gagah
Pakde Mukiran, tetapi ia masih sungkan untuk bertanya lebih banyak sebab sikap
Pakde Mukiran edikit pendiam. Meskipun begitu, cinta yang Mbokde Gati pendam kian
bulat, sebulat telur sambal balado yang biasa ia sajikan di etalase bersanding
dengan beberapa ayam opor.
Namanya juga orang kesengsem bagaimana to. Ya, ingin serba
tahu semua hal tentang orang yang itu. Iya toh, Lur? Kamu juga begitu gak? Coba
komen.
****
Karena tresnonya dan untuk mengingat Pakde Mukiran setiap
saat karena memang lelaki berkumis menggoda itu jarang keluar, andai keluar pun
hanya saat jam makan siang begini, maka Mbokde Gati mencoba memasang kalender
tahun 2024 bergambar Juragan Ngadiman. Kalender itu dipampang Mbokde Gati di
tembok yang bersebelahan dengan peti uangnya.
Di sebelah kanan foto Juragan Ngadiman ada seorang wanita
cantik dan jelita, meskipun ia selalu menggelengkan kepala apabila ada
pelanggan yang bertanya siapakah wanita di samping foto Juragan Ngadiman itu
karena selama ini orang-orang sekitar tahu kalau Juragan Ngadiman homo karena
pernah viral di medsos. Mbokde Gati juga
tidak berhasrat untuk mencari tahu siapakah foto wanita itu. Buat apa? Justru
ia ingin tahu isi hati Pakde Mukiran, apakah sama warnanya dengan hati Mbokde
Gati yang kini berwarna merah jambu?
****
Keesokan harinya.
La ndilalah datanglah pelanggan yang ditunggu-tunggu.
“Tulong bungkusno sego jangan buncis kambek ndog dadar koyok
biosone.” (Tolong bungkuskan nasi sayur buncis dan telur dadar seperti biasa).
Pakde Mukiran tiba-tiba terkesiap memandang foto kalender
yang terpampang di dinding. Itu foto junjungannya.
Mbokde Gati melirik Pakde Mukiran yang berkumis tebal nan menggoda
malam-malamnya itu sambil meracik sayur dan telur ke atas kertas asko, lalu
menanggapinya dengan senyum merekah sambil berujar, “Nek meurut kulo, Juragan
Ngadiman niku wantun, merakyat, pidatone nggeh sae. Pilkada mangke kulo pesti
milih Juragan Ngadiman.” (Kalau menurut saya, Juragan Ngadiman itu orangnya
berani, merakyat, pidatonya bagus. Pada Pilkada nanti pasti saya akan pilih Juragan
Ngadiman).
Dalam hati Mbokde Gati berkata, “Raupane gagah, brengose ketel,
sakwetoro urepe gur cukup sego sayur buncis, lan endog dadar. Oh, pesti bahagia
urepku oleh bojo koyok dekne, prasojo tenan.” (Wajahnya gagah, kumisnya tebal,
sementara ia menyambung hidup hanya dengan nasi sayur buncis, dan telur dadar.
Oh, alangkah bahagia hidupku mendapat suami seperti dia, sangat sederhana).
Akan tetapi, bagaimanapun, sepertinya Mbokde Gati memang
harus berjuang keras agar dirinya mendapat pengakuan dan perhatian khusus dari
Pakde Mukiran itu.
Mbokde Gati berpikir, alangkah bagusnya jika kesantunan dan
ketampanan Pakde Mukiran didukung dengan tabungan sebesar enam puluh juta
rupiah miliknya, ditambah warung nasi yang dapat membuatnya bebas memilih
masakan apa saja yang diinginkannya dan tak melulu sayur buncis dan telur dadar
saat menjadi suaminya, tetapi, ah ....
Kau jangan ngelantur dan berkhayal berlebihan ya, Mbokde Gati!
Gila kali kau inilah. Heran awak sama kau, ya.
****
Mbokde Gati akan sebisa mungkin menahan Pakde Mukiran lebih
lama di warungnya untuk sekadar ngobrol-ngobrol ringan serta menikmati kumis
yang terlihat kasar itu.
Alhasil, ya, kadang-kadang Pakde Mukiran itu agak lama di
warungnya, membicarakan beberapa hal perihal sanitasi air di belakang rumah
Juragan Ngdiman yang kadang mampet kalau hujan.
Keduanya lantas merembet menggunjingkan peran pemerintah
daerah yang perlu ditingkatkan, sebagainya ... dan seterusnya. (Sensor! Obrolan
politik.)
****
Sepertinya Mbokde Gati cukup pintar juga memanfaatkan situasi
dengan topik politik, terbukti Pakde Mukiran menyukai kata-kata janda pemilik
warung nasi langganannya yang kadang diselingi dengan sedikit kelakar serta
canda menjurus sedikit mesum. Aih kau, ya!
Mbokde Gati paham kalau Pakde Mukiran memang terlihat
berwawasan luas, tetapi hatinya membatin, “Ning, ngopo seng dituku gur sayur
buncis karo endog dadar. Ngopo ora tau milih sayur tahu, iwak pitek kecap,
sambel kerang, utowo iwak bandeng, yo?” (Tapi, kenapa yang ia beli selalu saja
hanya nasi sayur buncis dan telur dadar. Kenapa tidak pilih sayur tahu, ayam
kecap, sambal kerang, atau ikan bandeng goreng?).
Ah, sesekali muncul ide di pikiran Mbokde Gati untuk
menambahkan ayam kecap pada nasi bungkus yang dipesan Pakde Mukiran, tapi ia
tidak berani melakukannya. Ia takut, khawatir, dan ia paham betul tentang harga
dirinya sebagai perempuan baik.
Tidak, tidak! Mbokde Gati tidak boleh melakukan itu meskipun ia
bisa menambahkan lauk di nasi bungkus yang dipesan oleh Pakde Mukiran!
****
Singkatnya cerita.
Mbokde Gati makin kesengsem oleh Pakde Mukiran terlebih kali
ini lelaki pujaan hatinya berkenan lebih lama di warung.
Mbokde Gati lantas memutuskan untuk menutup warung nasinya
lebih cepat saat Pakde Mukiran bergegas pergi karena ia harus segera menemui
Mbah Suro untuk satu tujuan hatinya.
Ladalah! Roman-romannya kok .... Wah! Ini gawat, Lur!
****
Pagi harinya.
Akhirnya Mbokde Gati memutuskan
mengenakan gaun warna hitam yang ada motif bintik-bintik kutil saat akan
berangkat menuju warung nasinya, gaun itu diberikan oleh Mbah Suro, seorang
dukun kondang kaloko yang tinggal di Ringin Telu.
Siapa juga yang tak kenal Mbah Suro? Njenengan kenal tidak,
Lur? Komen, nggeh.
****
Di dapur warungnya.
Mbokde Gati segera membuat ramuan rahasia berupa
rempah-rempah.
Hari ini ia terlihat berbeda dengan gaun bintik-bintik kutil.
Anjay!
Rempah-rempah yang sudah dihaluskan itu kemudian dijadikan sebagai
pupur untuk mempersolek wajahnya, biar terlihat cantik dan gemoy, terutama bagi
kaum pria yang memandangnya bila singgah ke warung nasi miliknya.
Astaga, Mbokde Gati! Apa yang kamu lakukan, ha. Gawat!
****
Setelah selesai dengan rempah-rempah rahasia, kini lihatlah
wajah Mbokde Gati, begitu glowing, terlihat lebih putih, dan terlebih kali ini
ia oleskan gincu tipis-tipis di bibirnya. Good job, Mbokde!
****
Pucuk dicinta ulam tiba, jam makan siang!
Duda pujaannya datang sambil memesan nasi, sayur buncis, dan
telur dadar seperti biasa.
Tentu dengan senang hati Mbokde Gati meracik pesanan lelaki
berkumis tebal yang ingin rasanya ia bungkus untuk dibawa pulang lalu
menelanjanginya begitu sampai di kamar. Astaga, Mbokde!
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan semarak para pendukung calon
kepala daerah yang melintas.
“Hidup Juragan Ngadiman!”
“Coblos Juragan Ngadiman!”
Buru-buru Pakde Mukiran bergegas menuju pintu untuk mencari
tahu apakah gerangan yang terjadi.
“Hidup Juragan Ngadiman!”
“Coblos Juragan Ngadiman!”
Begitu bangganya Pakde Mukiran saat simpatisan juragannya
mengibarkan bendera partai serta spanduk bergambar junjungannya berikut nomor
urutnya.
“Hidup Juragan Ngadiman!”
“Coblos Juragan Ngadiman!”
Pakde Mukiran masih berdiri di ambang pintu warung, sementara
Mbokde Gati mengambil kesempatan itu dengan memasukkan ramuan rahasia dari
wadah yang ia sembunyikan sejak tadi lalu mencampurkannya pada bungkusan nasi
dan telur dadar yang dipesan Pakde Mukiran.
****
Setelah mengajak bercakap-cakap sebentar mengenai keramaian
yang lewat barusan, Pakde Mukiran pun pamit.
Seketika senyum Mbokde Gati begitu semringah meski terbersit
dalam hatinya seakan-akan ia telah berbuat lancang. Namun, Mbokde Gati pun
berkesimpulan tidak ada salahnya menambah sedikit rempah-rempah yang tak
mungkin mencelakakan siapa pun, apalagi buat lelaki pujaan hatinya. Iya ‘kan?
Cuma rempah-rempah kok.
****
Mulai sejak itu, sepanjang malam Mbokde Gati tak dapat
melepaskan diri dari bayangan akan memiliki calon suami yang baik dan tampan. Siapa
lagi coba kalau bukan Pakde Mukiran.
Mbokde Gati membayangkan kejadian ketika lelaki idamannya itu
kepanasan dan merasakan kedutan demi kedutan diiringi berahi yang meledak-ledak
dari hasil racikan rempah-rempahnya setelah memakan habis nasi itu.
“Ora suwe neh pasti bakal nguyak-nguyak aku. He he he.”
(Tidak lama lagi pasti akan mengejar-ngejar aku. He he he).
Mbokde Gati lantas tersipu lalu menutupi wajahnya dengan
bantal kapuk saat membayangkan kalau Pakde Mukiran pasti akan merindukannya
setelah makan nasi sayur buncis dan telur dadar yang sudah ia tambahi
rempah-rempah rahasia.
“Kiro-kiro bengi iki wes ngefek rung, yo?” (Kira-kira malam
ini sudah ada efeknya belum, ya?).
Mbokde Gati terus tersipu malu sendiri saat membayangkan
kalau Pakde Mukiran akan datang menemuinya malam ini juga dan berkata akan
menginap di rumahnya yang hanya memiliki satu kamar.
Mbokde Gati mulai menggeliat gatal sepertinya.
***
Hari kembali berganti.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, Juragan Ngadiman datang ke
warung Mbokde Gati sambil marah-marah tak karuan.
Juragan Ngadiman menyeret tangan Pakde Mukiran lalu
menghadapkannya kepada Mbokde Gati.
“Benarkah ini warung nasinya!” tanya Juragan Ngadiman kepada
Pakde Mukiran dengan ketus penuh amarah.
“Leres, Juragan,” (Benar, Juragan), jawab Pakde Mukiran.
Mbokde Gati kontan tersentak kaget. Kedua lelaki itu sudah
tak asing lagi baginya. Yang berkulit bersih serta berpakaian rapi adalah
Juragan Ngadiman, calon kepala daerah yang sebentar lagi fotonya bakal ada di
surat suara, sedangkan satunya lagi adalah duda berkumis tebal yang merupakan lelaki
idamannya.
Mbokde Gati melihat wajahnya lelaki pujaan hatinya memerah
karena ketakutan, rambutnya kusut masai.
Seketika Juragan Ngadiman menggebrak meja hingga beberapa
pelanggan yang sedang makan siang memilih undur diri keluar dari warung nasi
itu.
Brak!
“Bangsat! Kurang ajar! Jadi, rupanya di sini warung itu, ya?”
Mbokde Gati lantas mendesak agar Juragan Ngadiman menjelaskan
duduk perkaranya. “Wonten menopo niki, Juragan?” (Ada apa sebenarnya ini,
Juragan?).
“Kamu inilah biang keroknya! Dasar perempuan tua bangka!”
Jari telunjuk Juragan Ngadiman menjorok ke muka Mbokde Gati. Matanya yang gelap
semakin berkobar murka.
Dituding begitu, Mbokde Gati kontan bersandar pada tembok di
sebelah peti uangnya. Punggungnya menutupi kalender yang beberapa hari lalu ia
pasang.
Pakde Mukiran hanya bisa berusaha menahan Juragan Ngadiman
agar jangan marah-marah secara berlebihan seperti itu kepada Mbokde Gati.
“He, perempuan tua bangka! Nama laki-laki ini Kuswanoto,
sengaja saya pekerjakan di kandang kuda di belakang rumahku! Aku pekerjakan ia
supaya merawat dan memberi makan kuda poniku yang harganya dua miliar rupiah!
Sekali lagi, dua miliar. Tahu?”
Jantung Mbokde Gati tak berhenti berdebar-debar. “Kuswanoto?
Sakweruhku jenenge Mukiran. Piye to ki!”
(Kuswanoto? Sepengetahuanku namanya Mukiran. Bagaimana toh ini!).
Sementara itu, Juragan
Ngadiman menghela napas berkali-kali, matanya semakin nanar.
“Selama berbulan-bulan Kuswanoto melakukan
pekerjaannya dengan baik dan aku yakin tidak akan ada orang lain yang bisa
menggantikannya!” ucap Juragan Ngadiman.
“Dia begitu rajin dan tekun mengurusi kuda poniku, merawat,
dan memberinya pakan rumput khusus dengan harga yang amat mahal!” sambungnya.
“Bahkan ada makanan tambahan yang diberikan untuk kuda-kudaku.
Akan tetapi kemarin … si Kuswanoto bangsat ini memesan nasi sayur buncis dan telur
dadar yang penuh rempah-rempah dari warung ini lalu memberikan pada kuda poniku!”
imbuhnya lagi.
Kembali napas Juragan Ngadiman tersengal-sengal dengan sorot
mata yang garang. “Lalu kenapa hari ini kudaku ngamuk-ngamuk tak karuan, ha!”
“Kandang dan dindingnya ambrol karena diseruduk!”
“Ketika kutengok ke kandangnya tiba-tiba dia melompat dan
mengejar-ngejarku! Ada apa dengan warung nasi ini, ha? Lalu yang membuat kutak
habis pikir… tapi ah, saya tidak malu menceritakannya!” Juragan Ngadiman
mengakhiri ceritanya.
“Cerios mawon terus terang, Juragan,” (Ceritakan saja terus
terang, Juragan), desak Mbokde Gati.
Juragan Ngadiman melanjutkan ceritanya dengan napas
tersengal-sengal, “Kemaluan kuda poniku bengkak dan membesar! Matanya memerah
waktu melihatku … ada apa ini?” Cerita Juragan Ngadiman.
“Aku tidak mau kuda poni itu menyukai majikannya, menyukaiku!
Kenapa kuda poniku seperti anak remaja yang lagi ngebet dan kesengsem sama
pacarnya, ha!” sambungnya.
Juragan Ngadiman jujur menceritakan apa yang ia alami kalau
kudanya mulai terangsang saat melihatnya.
“Sekarang pulang! Jangan pernah lagi kamu berani-berani beli
nasi di warung sialan ini!” perintah Juragan Ngadiman.
Kuswanoto pun berlalu pergi mengikuti langkah junjungannya
yang merupakan calon kepala daerah.
****
Sepeninggal Juragan Ngadiman dan lelaki pujaannya, seketika Mbokde
Gati berlari ke belakang warungnya. Ia muntah-muntah.
Huek!
Huek!
Kemudian melepas baju hitam bintik-bintik kutil yang
dipakainya, menggantinya dengan kebaya serta jarit yang biasa dikenakannya
selama ini.
Setelah itu, ia melempar semua rempah-rempah pemberian Mbah
Suro yang sudah mencicipi ‘tempe bacem’ miliknya begitu datang ke rumah dukun
itu saat menyampaikan maksud agar Pakde Mukiran kepincut dengannya.
Wer!
Rempah-rempah berhamburan.
Wuing!
Ternyata Kuswanoto yang mengaku bernama Pakde Mukiran tidak
suka dengan sayur yang banyak rempah, karena sudah terlanjur dibeli, makanya ia
berikan kepada kuda poni milik Juragan Ngadiman yang biasa ia rawat selama ini.
Ternyata sebegitu hebatnya rempah-rempah rahasia milik Mbokde
Gati sampai-sampai kuda poni itu mengejar-ngejar Juragan Ngadiman karena
berahinya naik dan menuntut pelampiasan kepada pemiliknya.
“Kok malah jarane seng kerangsang. Piye to ki?” (Kok malah
kudanya yang terangsang. Bagaimana toh ini?), batin Mbokde Gati setelah gagal
membuat Kuswanoto teng-tengan karena khasiat rempah-rempah yang diraciknya. END
***
No comments:
Post a Comment