Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

MBOKDE GATI

 MBOKDE GATI



Namanya Sugati atau sering dipanggil Mbokde Gati, seorang janda, dan umurnya di tahun ini sudah menginjak sekitar 50-an tahun.

Ia baru saja menutup buku tabungan miliknya yang menunjukkan saldo angka enam puluh juta rupiah.

Senyumnya mengembang seraya menyimpan lagi buku tabungan berwarna biru tersebut di bawah tumpukan baju yang ada di dalam lemari kayu jati.

Siapa yang tak kenal Mbokde Gati, ha? Ia memiliki satu gigi emas, apabila ia bicara atau tertawa akan kelihatan jelas oleh para pelanggan warung nasinya. Ting!

Ya, Mbokde Gati pemilik warung di perempatan jalan ujung kota Pedotan, Banyuwangi, tepat di ujung samping seberang jalan dengan rumah besar nan megah milik lelaki homo yang sering dipanggil Juragan Ngadiman. Konon katanya sih begitu. Untuk kebenarannya entah. Jangan-jangan kata homo hanya untuk menjatuhkan pamornya saja. Bisa jadi ya ‘kan?

 

****

 

Warung Mbokde Gati terlihat ramai, mulai dari siang hingga sore hari. Itulah kenapa jumlah tabungannya jauh lebih besar dari para kreator FB yang sibuk mengejar dolar dari konten videonya. Hiks.

Ya, jelas kalahlah dengan Mbokde Gati, la wong gigi emasnya saja ia pesan khusus di toko perhiasan Sepakat yang sangat terkenal di Pedotan.

Mbokde Gati sendiri sudah bercerai dengan suaminya ketika dua putrinya menginjak usia dewasa.

Kini kedua putrinya sudah hidup mandiri bersama keluarganya masing-masing. Tinggallah Mbokde Gati seorang diri yang hari-hari-harinya ia habiskan di warung nasinya.

 

****

 

Eh, kalau mendengar dari nada bicaranya, orang-orang menilai Mbokde Gati sebagai janda yang sopan dan baik hati, tetapi kenapa banyak laki-laki tampan malah berani menikahi para janda pirang, ya meskipun perilakunya tidak lebih baik daripada Mbokde Gati.

“Opo mero aku wes umur?” (Apa karena aku telah berumur?). Begitu anggapannya, sebab belum ada seorang lelaki pun yang mengutarakan isi hati kepadanya.

Dulu pernah ada duda begajulan, tetapi Mbokde Gati terang-terangan menolak karena duda itu hanya modal abab.

Entah! Apa lagi kurangnya Mbokde Gati coba? Saldo tabungannya banyak, ada rumah, juga beberapa petak sawah, dan semua itu hasil dari usaha warung nasinya, tetapi sampai kini belum ada lagi seorang lelaki pun yang mendekatinya untuk serius. Apakah mereka minder?

Sebagai janda yang belum kering, Mbokde Gati kadang merasakan kesepian yang amat tatkala malam datang. Selama ini ia kerap menahan haus akan belaian seorang suami.

Oalah? Apakah ada yang janda? Coba komen, apakah benar begitu.

 

****

 

 

“WARUNG NASI MBOKDE GATI.” Begitu tulisan yang ada di etalase warung itu.

Sebenarnya ada seorang pelanggan laki-laki yang menjadi pusat perhatian Mbokde Gati, seorang lelaki sekitar 58-an tahun, berkumis tebal, rahangnya kokoh meski sedikit berkulit cokelat.

Seperti biasa, lelaki itu minta dibungkuskan nasi yang dilengkapi sayur buncis dan telur dadar. Lelaki itu hanya mengenakan kaus salur berkerah serta celana sedikit longgar, seperti celana gombroh berwarna hitam.

Lelaki itu sering dipanggil Pakde Mukiran,  kelihatan baik, dan bicaranya santun. Begitulah Mbokde Gati mengenal pelanggannya yang satu ini.

Seperti biasa, siang itu Pakde Mukiran membayar dengan uang sepuluh ribuan setelah menerima bungkusan nasi dalam plastik bening.

“Rong ewu, nggeh,” (Dua ribu, ya), kata Mbokde Gati segera mengambil uang kembalian dari laci. Ya, karena nasi bungkus yang dipesan Pakde Mukiran memang hanya seharga delapan ribu di warungnya.

Seingat Mbokde Gati, Pakde Mukiran belum pernah memesan nasi dengan lauk lain selain telur dadar di warungnya. Pokoknya hanya telur dadar, padahal banyak loh jenis pilihan lauk di warung nasi Mbokde Gati ini.

Mbokde Gati hanya bisa memendam rasa saat Pakde Mukiran berlalu dengan menenteng nasi bungkus yang ia pesan tadi.

Mbokde Gati lantas duduk di bangku kayu panjang. Ia mengenang siapa Pakde Mukiran, menjadi pelanggan di warungnya dua bulan lalu meski selalu memesan nasi berlauk telur dadar saat jam makan siang.

Mbokde Gati jadi ingat, pernah sekali waktu Pakde Mukiran mengenakan sarung keluar dari rumah megah Juragan Ngadiman yang pagar rumahnya saja dipenuhi ukiran relung. Serius!

Entah kenapa anggan Mbokde Gati lebih tertuju sesuatu di dalam sarung kala itu.

Mbokde Gati sendiri berkeyakinan kalau Pakde Mukiran hanya pelayan atau kerja sebagai bersih-bersih rumah Juragan Ngadiman. Hanya itu yang ia tahu, selebihnya Mbokde Gati hanya menduga-duga sebab ia tak tahu persis apa pekerjaan Pakde Mukiran di rumah itu.

Karena seorang pelayan, pasti Pakde Mukiran sering disuruh-suruh Juragan Ngadiman untuk membersihkan lantai, menyirami tanaman, termasuk merawat kuda poni milik juragan sugeh itu.

Boleh jadi Pakde Mukiran yang berkumis tebal itu tinggal di kamar belakang samping kandang kuda atau gudang sendirian sambil memakan nasi sayur buncis dan telur dadar yang biasa dipesannya sendirian. Begitu yang ada di pikiran Mbokde Gati.

Mbokde Gati menarik napas panjang saat menerka-nerka hidup Pakde Mukiran yang diam-diam ia taksir.

 

****

 

Semakin lama menjadi pelanggan warungnya, semakin akrablah Mbokde Gati dengan Pakde Mukiran yang konon seorang duda.

 

Sesekali terbersit dalam pikiran Mbokde Gati, ingin berbagi dengan Pakde Mukiran pujaannya itu, mengirim sambal bandeng yang dilengkapi emping karena memang Mbokde Gati mahir sekali memasaknya hingga terasa empuk dan gurih, tetapi seperti yang sudah dikatakan tadi, karena sifatnya baik hati, Mbokde Gati tak berani melakukan hal-hal nekat seperti itu tanpa suatu alasan yang masuk akal kepada Pakde Mukiran.

Ingin sekali sebenarnya Mbokde Gati mengetes tebakannya mengenai pekerjaan lelaki pujaannya itu karena sangat kepincut paras gagah Pakde Mukiran, tetapi ia masih sungkan untuk bertanya lebih banyak sebab sikap Pakde Mukiran edikit pendiam. Meskipun begitu, cinta yang Mbokde Gati pendam kian bulat, sebulat telur sambal balado yang biasa ia sajikan di etalase bersanding dengan beberapa ayam opor.

Namanya juga orang kesengsem bagaimana to. Ya, ingin serba tahu semua hal tentang orang yang itu. Iya toh, Lur? Kamu juga begitu gak? Coba komen.

 

****

 

Karena tresnonya dan untuk mengingat Pakde Mukiran setiap saat karena memang lelaki berkumis menggoda itu jarang keluar, andai keluar pun hanya saat jam makan siang begini, maka Mbokde Gati mencoba memasang kalender tahun 2024 bergambar Juragan Ngadiman. Kalender itu dipampang Mbokde Gati di tembok yang bersebelahan dengan peti uangnya.

Di sebelah kanan foto Juragan Ngadiman ada seorang wanita cantik dan jelita, meskipun ia selalu menggelengkan kepala apabila ada pelanggan yang bertanya siapakah wanita di samping foto Juragan Ngadiman itu karena selama ini orang-orang sekitar tahu kalau Juragan Ngadiman homo karena pernah viral di medsos.  Mbokde Gati juga tidak berhasrat untuk mencari tahu siapakah foto wanita itu. Buat apa? Justru ia ingin tahu isi hati Pakde Mukiran, apakah sama warnanya dengan hati Mbokde Gati yang kini berwarna merah jambu?

 

****

 

Keesokan harinya.

 

La ndilalah datanglah pelanggan yang ditunggu-tunggu.

“Tulong bungkusno sego jangan buncis kambek ndog dadar koyok biosone.” (Tolong bungkuskan nasi sayur buncis  dan telur dadar seperti biasa).

Pakde Mukiran tiba-tiba terkesiap memandang foto kalender yang terpampang di dinding. Itu foto junjungannya.

Mbokde Gati melirik Pakde Mukiran yang berkumis tebal nan menggoda malam-malamnya itu sambil meracik sayur dan telur ke atas kertas asko, lalu menanggapinya dengan senyum merekah sambil berujar, “Nek meurut kulo, Juragan Ngadiman niku wantun, merakyat, pidatone nggeh sae. Pilkada mangke kulo pesti milih Juragan Ngadiman.” (Kalau menurut saya, Juragan Ngadiman itu orangnya berani, merakyat, pidatonya bagus. Pada Pilkada nanti pasti saya akan pilih Juragan Ngadiman).

Dalam hati Mbokde Gati berkata, “Raupane gagah, brengose ketel, sakwetoro urepe gur cukup sego sayur buncis, lan endog dadar. Oh, pesti bahagia urepku oleh bojo koyok dekne, prasojo tenan.” (Wajahnya gagah, kumisnya tebal, sementara ia menyambung hidup hanya dengan nasi sayur buncis, dan telur dadar. Oh, alangkah bahagia hidupku mendapat suami seperti dia, sangat sederhana).

Akan tetapi, bagaimanapun, sepertinya Mbokde Gati memang harus berjuang keras agar dirinya mendapat pengakuan dan perhatian khusus dari Pakde Mukiran itu.

Mbokde Gati berpikir, alangkah bagusnya jika kesantunan dan ketampanan Pakde Mukiran didukung dengan tabungan sebesar enam puluh juta rupiah miliknya, ditambah warung nasi yang dapat membuatnya bebas memilih masakan apa saja yang diinginkannya dan tak melulu sayur buncis dan telur dadar saat menjadi suaminya, tetapi, ah ....

Kau jangan ngelantur dan berkhayal berlebihan ya, Mbokde Gati! Gila kali kau inilah. Heran awak sama kau, ya.

 

****

 

Mbokde Gati akan sebisa mungkin menahan Pakde Mukiran lebih lama di warungnya untuk sekadar ngobrol-ngobrol ringan serta menikmati kumis yang terlihat kasar itu.

Alhasil, ya, kadang-kadang Pakde Mukiran itu agak lama di warungnya, membicarakan beberapa hal perihal sanitasi air di belakang rumah Juragan Ngdiman yang kadang mampet kalau hujan.

Keduanya lantas merembet menggunjingkan peran pemerintah daerah yang perlu ditingkatkan, sebagainya ... dan seterusnya. (Sensor! Obrolan politik.)

 

****

 

Sepertinya Mbokde Gati cukup pintar juga memanfaatkan situasi dengan topik politik, terbukti Pakde Mukiran menyukai kata-kata janda pemilik warung nasi langganannya yang kadang diselingi dengan sedikit kelakar serta canda menjurus sedikit mesum. Aih kau, ya!

Mbokde Gati paham kalau Pakde Mukiran memang terlihat berwawasan luas, tetapi hatinya membatin, “Ning, ngopo seng dituku gur sayur buncis karo endog dadar. Ngopo ora tau milih sayur tahu, iwak pitek kecap, sambel kerang, utowo iwak bandeng, yo?” (Tapi, kenapa yang ia beli selalu saja hanya nasi sayur buncis dan telur dadar. Kenapa tidak pilih sayur tahu, ayam kecap, sambal kerang, atau ikan bandeng goreng?).

Ah, sesekali muncul ide di pikiran Mbokde Gati untuk menambahkan ayam kecap pada nasi bungkus yang dipesan Pakde Mukiran, tapi ia tidak berani melakukannya. Ia takut, khawatir, dan ia paham betul tentang harga dirinya sebagai perempuan baik.

Tidak, tidak! Mbokde Gati tidak boleh melakukan itu meskipun ia bisa menambahkan lauk di nasi bungkus yang dipesan oleh Pakde Mukiran!

 

****

 

Singkatnya cerita.

Mbokde Gati makin kesengsem oleh Pakde Mukiran terlebih kali ini lelaki pujaan hatinya berkenan lebih lama di warung.

Mbokde Gati lantas memutuskan untuk menutup warung nasinya lebih cepat saat Pakde Mukiran bergegas pergi karena ia harus segera menemui Mbah Suro untuk satu tujuan hatinya.

Ladalah! Roman-romannya kok .... Wah! Ini gawat, Lur!

 

 

****

 

 

Pagi harinya.

Akhirnya  Mbokde Gati memutuskan mengenakan gaun warna hitam yang ada motif bintik-bintik kutil saat akan berangkat menuju warung nasinya, gaun itu diberikan oleh Mbah Suro, seorang dukun kondang kaloko yang tinggal di Ringin Telu.

 

Siapa juga yang tak kenal Mbah Suro? Njenengan kenal tidak, Lur? Komen, nggeh.

 

****

 

Di dapur warungnya.

Mbokde Gati segera membuat ramuan rahasia berupa rempah-rempah.

Hari ini ia terlihat berbeda dengan gaun bintik-bintik kutil. Anjay!

Rempah-rempah yang sudah dihaluskan itu kemudian dijadikan sebagai pupur untuk mempersolek wajahnya, biar terlihat cantik dan gemoy, terutama bagi kaum pria yang memandangnya bila singgah ke warung nasi miliknya.

Astaga, Mbokde Gati! Apa yang kamu lakukan, ha. Gawat!

 

****

 

Setelah selesai dengan rempah-rempah rahasia, kini lihatlah wajah Mbokde Gati, begitu glowing, terlihat lebih putih, dan terlebih kali ini ia oleskan gincu tipis-tipis di bibirnya. Good job, Mbokde!

 

****

 

Pucuk dicinta ulam tiba, jam makan siang!

Duda pujaannya datang sambil memesan nasi, sayur buncis, dan telur dadar seperti biasa.

Tentu dengan senang hati Mbokde Gati meracik pesanan lelaki berkumis tebal yang ingin rasanya ia bungkus untuk dibawa pulang lalu menelanjanginya begitu sampai di kamar. Astaga, Mbokde!

 

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan semarak para pendukung calon kepala daerah yang melintas.

“Hidup Juragan Ngadiman!”

“Coblos Juragan Ngadiman!”

Buru-buru Pakde Mukiran bergegas menuju pintu untuk mencari tahu apakah gerangan yang terjadi.

“Hidup Juragan Ngadiman!”

“Coblos Juragan Ngadiman!”

Begitu bangganya Pakde Mukiran saat simpatisan juragannya mengibarkan bendera partai serta spanduk bergambar junjungannya berikut nomor urutnya.

“Hidup Juragan Ngadiman!”

“Coblos Juragan Ngadiman!”

Pakde Mukiran masih berdiri di ambang pintu warung, sementara Mbokde Gati mengambil kesempatan itu dengan memasukkan ramuan rahasia dari wadah yang ia sembunyikan sejak tadi lalu mencampurkannya pada bungkusan nasi dan telur dadar yang dipesan Pakde Mukiran.

 

****

 

Setelah mengajak bercakap-cakap sebentar mengenai keramaian yang lewat barusan, Pakde Mukiran pun pamit.

Seketika senyum Mbokde Gati begitu semringah meski terbersit dalam hatinya seakan-akan ia telah berbuat lancang. Namun, Mbokde Gati pun berkesimpulan tidak ada salahnya menambah sedikit rempah-rempah yang tak mungkin mencelakakan siapa pun, apalagi buat lelaki pujaan hatinya. Iya ‘kan? Cuma rempah-rempah kok.

 

****

 

Mulai sejak itu, sepanjang malam Mbokde Gati tak dapat melepaskan diri dari bayangan akan memiliki calon suami yang baik dan tampan. Siapa lagi coba kalau bukan Pakde Mukiran.

Mbokde Gati membayangkan kejadian ketika lelaki idamannya itu kepanasan dan merasakan kedutan demi kedutan diiringi berahi yang meledak-ledak dari hasil racikan rempah-rempahnya setelah memakan habis nasi itu.

“Ora suwe neh pasti bakal nguyak-nguyak aku. He he he.” (Tidak lama lagi pasti akan mengejar-ngejar aku. He he he).

Mbokde Gati lantas tersipu lalu menutupi wajahnya dengan bantal kapuk saat membayangkan kalau Pakde Mukiran pasti akan merindukannya setelah makan nasi sayur buncis dan telur dadar yang sudah ia tambahi rempah-rempah rahasia.

“Kiro-kiro bengi iki wes ngefek rung, yo?” (Kira-kira malam ini sudah ada efeknya belum, ya?).

Mbokde Gati terus tersipu malu sendiri saat membayangkan kalau Pakde Mukiran akan datang menemuinya malam ini juga dan berkata akan menginap di rumahnya yang hanya memiliki satu kamar.

Mbokde Gati mulai menggeliat gatal sepertinya.

 

***

 

Hari kembali berganti.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, Juragan Ngadiman datang ke warung Mbokde Gati sambil marah-marah tak karuan.

Juragan Ngadiman menyeret tangan Pakde Mukiran lalu menghadapkannya kepada Mbokde Gati.

“Benarkah ini warung nasinya!” tanya Juragan Ngadiman kepada Pakde Mukiran dengan ketus penuh amarah.

“Leres, Juragan,” (Benar, Juragan), jawab Pakde Mukiran.

Mbokde Gati kontan tersentak kaget. Kedua lelaki itu sudah tak asing lagi baginya. Yang berkulit bersih serta berpakaian rapi adalah Juragan Ngadiman, calon kepala daerah yang sebentar lagi fotonya bakal ada di surat suara, sedangkan satunya lagi adalah duda berkumis tebal yang merupakan lelaki idamannya.

Mbokde Gati melihat wajahnya lelaki pujaan hatinya memerah karena ketakutan, rambutnya kusut masai.

Seketika Juragan Ngadiman menggebrak meja hingga beberapa pelanggan yang sedang makan siang memilih undur diri keluar dari warung nasi itu.

Brak!

“Bangsat! Kurang ajar! Jadi, rupanya di sini warung itu, ya?”

Mbokde Gati lantas mendesak agar Juragan Ngadiman menjelaskan duduk perkaranya. “Wonten menopo niki, Juragan?” (Ada apa sebenarnya ini, Juragan?).

“Kamu inilah biang keroknya! Dasar perempuan tua bangka!” Jari telunjuk Juragan Ngadiman menjorok ke muka Mbokde Gati. Matanya yang gelap semakin berkobar murka.

Dituding begitu, Mbokde Gati kontan bersandar pada tembok di sebelah peti uangnya. Punggungnya menutupi kalender yang beberapa hari lalu ia pasang.

Pakde Mukiran hanya bisa berusaha menahan Juragan Ngadiman agar jangan marah-marah secara berlebihan seperti itu kepada Mbokde Gati.

“He, perempuan tua bangka! Nama laki-laki ini Kuswanoto, sengaja saya pekerjakan di kandang kuda di belakang rumahku! Aku pekerjakan ia supaya merawat dan memberi makan kuda poniku yang harganya dua miliar rupiah! Sekali lagi, dua miliar. Tahu?”

Jantung Mbokde Gati tak berhenti berdebar-debar. “Kuswanoto? Sakweruhku jenenge Mukiran. Piye to  ki!” (Kuswanoto? Sepengetahuanku namanya Mukiran. Bagaimana toh ini!).

 Sementara itu, Juragan Ngadiman menghela napas berkali-kali, matanya semakin nanar.

 “Selama  berbulan-bulan Kuswanoto melakukan pekerjaannya dengan baik dan aku yakin tidak akan ada orang lain yang bisa menggantikannya!” ucap Juragan Ngadiman.

“Dia begitu rajin dan tekun mengurusi kuda poniku, merawat, dan memberinya pakan rumput khusus dengan harga yang amat mahal!” sambungnya.

“Bahkan ada makanan tambahan yang diberikan untuk kuda-kudaku. Akan tetapi kemarin … si Kuswanoto bangsat ini memesan nasi sayur buncis dan telur dadar yang penuh rempah-rempah dari warung ini lalu memberikan pada kuda poniku!” imbuhnya lagi.

Kembali napas Juragan Ngadiman tersengal-sengal dengan sorot mata yang garang. “Lalu kenapa hari ini kudaku ngamuk-ngamuk tak karuan, ha!”

“Kandang dan dindingnya ambrol karena diseruduk!”

“Ketika kutengok ke kandangnya tiba-tiba dia melompat dan mengejar-ngejarku! Ada apa dengan warung nasi ini, ha? Lalu yang membuat kutak habis pikir… tapi ah, saya tidak malu menceritakannya!” Juragan Ngadiman mengakhiri ceritanya.

“Cerios mawon terus terang, Juragan,” (Ceritakan saja terus terang, Juragan), desak Mbokde Gati.

Juragan Ngadiman melanjutkan ceritanya dengan napas tersengal-sengal, “Kemaluan kuda poniku bengkak dan membesar! Matanya memerah waktu melihatku … ada apa ini?” Cerita Juragan Ngadiman.

“Aku tidak mau kuda poni itu menyukai majikannya, menyukaiku! Kenapa kuda poniku seperti anak remaja yang lagi ngebet dan kesengsem sama pacarnya, ha!” sambungnya.

Juragan Ngadiman jujur menceritakan apa yang ia alami kalau kudanya mulai terangsang saat melihatnya.

“Sekarang pulang! Jangan pernah lagi kamu berani-berani beli nasi di warung sialan ini!” perintah Juragan Ngadiman.

Kuswanoto pun berlalu pergi mengikuti langkah junjungannya yang merupakan calon kepala daerah.

 

****

 

Sepeninggal Juragan Ngadiman dan lelaki pujaannya, seketika Mbokde Gati berlari ke belakang warungnya. Ia muntah-muntah.

Huek!

Huek!

Kemudian melepas baju hitam bintik-bintik kutil yang dipakainya, menggantinya dengan kebaya serta jarit yang biasa dikenakannya selama ini.

 

Setelah itu, ia melempar semua rempah-rempah pemberian Mbah Suro yang sudah mencicipi ‘tempe bacem’ miliknya begitu datang ke rumah dukun itu saat menyampaikan maksud agar Pakde Mukiran kepincut dengannya.

Wer!

Rempah-rempah berhamburan.

Wuing!

Ternyata Kuswanoto yang mengaku bernama Pakde Mukiran tidak suka dengan sayur yang banyak rempah, karena sudah terlanjur dibeli, makanya ia berikan kepada kuda poni milik Juragan Ngadiman yang biasa ia rawat selama ini.

Ternyata sebegitu hebatnya rempah-rempah rahasia milik Mbokde Gati sampai-sampai kuda poni itu mengejar-ngejar Juragan Ngadiman karena berahinya naik dan menuntut pelampiasan kepada pemiliknya.

“Kok malah jarane seng kerangsang. Piye to ki?” (Kok malah kudanya yang terangsang. Bagaimana toh ini?), batin Mbokde Gati setelah gagal membuat Kuswanoto teng-tengan karena khasiat rempah-rempah yang diraciknya. END

 

***

 


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search