KUTANG Episode 4
KUTANG EPISODE 4 (Terakhir)
Saat kerumunan mulai bergerak menyerang, Kuswanoto
mengeluarkan kuda-kuda.
Seketika semua kaki bergerak mundur.
“Titenono nek sampek awakku kalah! Bakal tak santet siji-siji
awakmu! Tak santet ngaceng!” (Lihat saja sampai saya kalah! Bakal saya santet
kalian semua! Saya santet!).
“Hajar!”
“Hajar!”
Buk!
Duk!
Des!
“Aduh, Yong!” (Aduh, Mak!), pekik Kuswanoto saat satu bogem
telak menghajar hidungnya.
Des!
“E! Sudah-sudah! Jangan! E!” Warsinah mencoba melerai
perkelahian yang tak seimbang itu.
Duk!
Satu tendangan!
Buk!
Satu gebukan.
Wuing!
Satu lemparan sandal.
Des!
Plok!
“E! Sudah! Hentikan! Sudah! E!” teriak Warsinah tenggelam
dalam keras hantaman demi hantaman yang menghujani suaminya.
Byok!
Sarung Kuswanoto terlepas.
Srutt!
Des!
“Aduh!”
Kuswanoto sibuk mengurusi sarungnya, menyelamatkan burung
yang bisa saja terbang ketakutan oleh suara ramai yang diamuk murka.
Des!
“Aduh!”
Buk!
“Doh, Yong!” (Duh, Mak!).
Dak!
Bruk!
“Cukup! Hentikan! Astagfirullah ....” Ustaz Sopyan yang
selalu datang terlambat seperti polisi film Mega Bollywood di saat-saat genting
seperti ini segera menyibak kerumunan untuk menghentikan aksi main pukul.
“Bubar!”
“Bubar!”
“Astagfirullah! Bubar!”
Kerumunan itu seketika membubarkan diri hingga terlihat
Kuswanoto yang berdiri seraya membekap bagian selangkangan. Kedua pipi,
pelipis, dagu, semua terlihat lebam, berdiri mematung seperti orang yang
kehilangan jimat kesaktian.
****
Setelah kejadian
pengeroyokan itu.
“Aduh, Mak ‘e,” rintih Kuswanoto di dalam kamar. Satu wadah
dengan air hangat di samping Warsinah. Tampak kain kompres di dahi, plester di
ujung hidung, dan wajahnya lebam-lebam.
“Ngombe, Mak. Adoh ... adoh, ngombe, Mak’e.” (Minum, Mak.
Aduh ... aduh, minum, Mak).
Warsinah berkali-kali menghembuskan napas panjang, sesak
dadanya melihat keadaan suaminya seperti itu. Hari ulang tahun pernikahan harus
diberi hadiah dengan aksi main pukul.
“Ini, minum ... minum dulu, Pak.” Warsinah mencoba membantu
Kuswanoto untuk bersandar, membetulkan letak sarung yang nyaris melorot.
“Adoh ... adoh ... teh opo iku, Mak ‘e.” (Aduh ... aduh ...
teh apa itu, Mak).
“Kopi ae lah. Adoh ... adoh.” (Kopi saja. Aduh ... aduh).
“Ini teh uwuh secang. Kesukaan Njenengan toh, Pak.”
“Adoh ... adoh ... iki goro-goro kutang, Mak ‘e. Goro-goro
kutang.” (Aduh ... aduh ... ini gara-gara kutang, Mak. Gara-gara kutang).
“Sudah tidak usah dipikirin. Diminum tehnya.” Penuh sayang.
Srup!
“Adoh ... benter ... lambeku ngopo iki, Mak. Sendoki ...
disendoki. Adoh ....” (Aduh ... panas ... bibirku kenapa ini, Mak. Suap ...
disuap. Aduh ....).
Warsinah meraih sendok, dengan telaten menyendoki teh uwuh,
bukan tanpa sebab Kuswanoto meminta itu, bibirnya jontor, merekah seperti jambu
bandar.
“Aduh, Mak ‘e.” Kembali merintih.
“Sudah toh? Jangan merintih terus. Penuh hatiku ini kalau
melihat Njenengan merintih begitu, sedih.
“Adoh ... manukku isek gak, Mak ‘e.” (Aduh ... burungku masih
tidak, Mak ‘e).
Warsinah membuka sarung. “Masih itu lo? Melotot. La ‘kan, utuh
‘kan? Tidak usah khawatir.”
“Aduh, Ma ‘e. Aduh ....”
****
Petang menjelang.
Tok! Tok! Tok!
“Kulanuwun!” (Permisi!).
Warsinah bergegas meninggalkan dapur. Tak mau kejadian
terulang tempo hari, kecerobohannya menyebabkan tempe menjadi gosong.
Dia mematikan kompor sejenak, membiarkan peyek udang kesukaan
suaminya, dia tiris di atas wajan.
“Kulanuwun!” (Permisi!).
“Monggo!” (Silakan!), sahut Warsinah.
Krek.
“Kang Saimun?”
“Iya, Yuk War. Kang Noto ana?” (Iya, yuk. Kang Noto ada?).
“Ada. Silakan masuk dulu.”
Warsinah menuju kamar dengan pintu ditutup tirai biru. “Ada
Kang Saimun, Pak.”
“Kon mlebu rene ae.” (Suruh saja ke sini).
Warsinah membalikkan badan. “Kang, disuruh masuk saja,
silakan. Saya mau melanjutkan masak.”
Saimun langsung menuju kamar dengan dinding papan yang
menyatu sebagai pemisah ruang tamu.
“Lapo, Mun? Awakmu gak ngisan melok njotosi raiku iki, ha.”
(Kenapa, Mun? Kamu tidak sekalian ikut menghajar mukaku ini, ha).
Saimun menundukkan kepala, tangannya saling remas, ada rasa
dia bawa ke hadapan Kuswanoto yang tergeletak di atas tempat tidur.
“Tak bialang gelas ngko nek ngadek ae neng kono. Onok opo!” (Saya
lempar gelas nanti kalau hanya berdiri di situ. Ada apa!). Bagai macan ompong,
Kuswanoto tak terlihat galak, bibir bawahnya makin jontor.
“Lungguh.” (Duduk). Kuswanoto mempersilakan Saimun untuk
duduk di tepi tempat tidur.
“Sepurane yak, Kang.” (Maafkan saya ya, Kang).
“Nyong temenan njaluk sepura ambi Rika.” (Saya sungguh minta
maaf dengan Anda).
“Awakku gak butuh sepuromu. Seng tak butuhno saiki gek ndang
mari.” (Aku tidak butuh maaf. Yang aku butuh sekarang cepat sembuh).
“Nyong krungu saka batire ....” (Saya dengar dari teman-teman
....).
“Koncomu tah iko, he? Koncomu do biajingan kiabeh, Mun!”
(Temanmu, he? Temanmu semua bangsat semua, Mun!).
Saimun tertunduk. Matanya sesekali melirik ke arah Kuswanoto,
makin ke sini terlihat bagai singa jantan yang kalah bertarung memperebutkan
sang betina, begitu tak berdaya dengan pelipis bengkak lebam.
“Ngowo opo awakmu rene, ha? Nek nggowo opo-opo gek ndang
muleho kono, wes roh to kahananku.” (Bawa apa kamu ke sini, ha? Kalau tak bawa
apa-apa pulang sana, sudah tahu keadaanku).
“Babak bunyak, Mun, Saimun. Adoh ... adoh.” (Babak belur,
Mun, Saimun. Aduh ... aduh).
“Aja kayak kuwe lah, Kang. Nyong melu nelangsa weruh kahanane
Rika kaya kiye.” (Jangan seperti itu, Kang. Saya ikut meratap tahu keadaan Anda
ini).
“Kang?”
“Nyong njaluk sepura tenan kiye. Nyong seng salah.” (Saya
minta maaf. Saya yang salah).
Kuswanoto yang terus meringis kesakitan seketika menatap
Saimun. Segera dia bersandar dengan mengandalkan dua tangan untuk menyangga
tubuhnya.
“Kulonuwun!” (Permisi!).
“Kulonuwun!” (Permisi!).
“Kulonuwun!” (Permisi!). Gaduh suara di halaman rumah,
membuat Saimun dan Kuswanoto saling tatap.
Kembali Warsinah dibuat harus mematikan kompor saat suara
gaduh menegaskan kalau rumah mereka kedatangan tamu dalam jumlah banyak.
Krek.
“Mau apa lagi kalian ke sini, ha.” Warsinah jelas pasang
wajah tak suka atas beberapa orang yang datang. Muka-muka yang dia kenal.
“Kami mau menemui Kang Noto.”
“Untuk apa lagi! Belum cukup kalian menyakitinya, ha!”
Warsinah mengusap sudut mata, ada yang jatuh menetes.
“Kami ingin bicara dengan Kang Noto, Yuk War.”
Warsinah tak mengiyakan. Ditatapnya satu persatu wajah-wajah
yang tertunduk dalam pendar lampu teras, nyaris menyentuh jumlah tiga puluh.
“Bila kedatangan kalian dengan niat baik, aku persilakan,
tetapi bila kalian bukan orang yang aku kenal, maka silakan pulang!”
“Kami ... kami hanya ingin menyampaikan permintaan maaf,
Yuk.” Samamudin orang yang tadi terus membakar murka untuk mencuat tertunduk
sesaat.
“Masuk.” Luluh hati Warsinah.
Samamudin berbalik, menatap satu persatu warga yang dia bawa.
Sugito maju diikuti dua warga lainnya.
“Ayo, Kang Git,” ajak Samamudin.
****
Sesampainya di dalam
kamar.
“Lapo neh awakmu rene, ha!” (Kenapa kamu ke sini lagi, ha!).
Kuswanoto berusaha bangkit untuk membalaskan dendam atas luka yang dia derita.
“Tunggu ... tunggu dulu, Kang. Kami datang tak bermaksud
ingin memperpanjang masalah. Justru kedatangan kami ingin meminta maaf.”
Samamudin mengangkat kedua tangan berharap Kuswanoto tenang.
“Penak teman lambemu do ngomong ngono! Gak mikir opo, ha! Gak
roh kahanananku seng koyok ngene! Biajingan kabeh awakmu!” (Enak benar bibirmu
bicara begitu! Tidak berpikir apa, ha! Tidak tahu keadaanku jadi seperti ini!
Bangsat kalian semua!).
“Iya, Kang. Saya minta maaf, juga atas nama warga yang ada di
luar. Kami semua meminta maaf atas kejadian tadi sore. Semua berawal dari
cerita Kang Gito.”
“Setelah mendengar kejadian itu. Kang Gito menemui saya,
bahwa kutang yang Kang Noto berikan kepada Sri, murni dari usaha Njenengan
sendiri.”
“Iya, Kang. Saya minta maaf. Penyebab semua ini adalah saya,
Kang. Saya minta maaf, Kang. Hu hu hu.” Sugito mengambur ke tepi tempat tidur,
membenamkan wajah dengan menarik paksa tangan Kuswanoto.
“Maafkan saya, Kang. Sungguh saya tak menyangka kalau akan
seperti ini kejadiannya. Hu hu hu.”
Kuswanoto tak bisa berkata apa-apa. Sugito, satu nama yang
akan selalu di hati, teman baik, teman tempat dia bercerita, teman yang akan
siap menemaninya kala dia susah.
“Di Masjid, kami semua membicarakan masalah ini, itu setelah
Kang Saimun mengakui semua perbuatannya.”
“Saimun? Iki opo maksute?” (Saimun? Ini apa maksudnya?).
Kuswanoto bingung kini.
“Iya, Kang. Peristiwa hilangnya kutang di kampung kita bukan
karena ada orang yang menganut ilmu tertentu atau buat sarat pemujaan
tertentu.” Samamudin mencoba menjelaskan.
“Sebaiknya biar Kang Saimun sendiri yang menjelaskan,” imbuh
Samamudin.
“Cerita, Kang,” kata Sugito kepada Saimun lalu duduk di
samping Kuswanoto dengan terus memegangi tangan sahabatnya.
“Nyong seng salah, Kang. Nyong seng nyolongi kutang-kutange
wong wadon reng kampunge dewek.” (Saya yang salah, Kang. saya yang mencuri
kutang-kutang perempuan di kampung kita).
“Mauatamu picek!” (Matamu buta!), seru Kuswanoto.
“Nyong terima, arep ngunek-ngunekne nyong terima, dipisuhi
nyong tampa. Nyong temenan njaluk sepura ambi Rika, Kang.” (Saya terima, mau
berkata apa saya terima, sumpah serapah saya terima. Saya sungguh minta maaf
dengan Anda, Kang).
“Asu kowe, Mun!” (Anjing kamu, Mun!), Kesal Kuswanoto lalu
meludahinya.
Cuh!
“Sudah, Kang. Bagaimana pun dia teman kita, ada baiknya
Njenengan mendengarkan dulu apa penyebabnya,” redam Sugito saat dia merasa
tangan Kuswanoto mulai bergetar karena amarah.
“Gak selamet pitung turunan awakmu, Mun! Gawe molo! Gawe
dahuru taker awakku babak bunyak!” (Tidak akan selamat tujuh turunan kamu, Mun.
Buat petaka sampai badanku babak belur!).
“Sudah, Kang. Kami semua sudah meminta maaf, juga Kang Saimun.”
Sugito mencoba meredam amarah Kuswanoto.
“Nyong kepepet temenan. Anake inyong seng reng Cilacap lara.
Nyong bingung ... nyong bingung arep sambat reng sapa maning. Sambat reng Rika
terus-terusan nyong wes kadung isin.” (Saya sungguh terjepit. Anak saya yang
ada di Cilacap sakit. Saya bingung ... saya bingung mau mengeluh dengan siapa lagi.
Mengeluh dengan Anda terus saya terlanjur malu). Saimun menahan air matanya supaya
tak tumpah.
“Nyong njaluk sepura, arep dipateni nyong iklas ... iklas,
Kang. Hu hu hu.” (Saya minta maaf, mau dibunuh juga saya ikhlas ... ikhlas,
Kang. Hu hu hu). Pecah kini tangis Saimun.
“Kabeh dadi peteng. Nyong ura bisa mikir maning. Golet
utangan kiwa tengen pada bae.” (Semua menjadi gelap. Saya tidak bisa berpikir
lagi. Cari utangan ke tetangga sama saja).
“Nyong mung pingin bisa kirim duit. Hu hu hu.” (Saya hanya
berkeinginan untuk kirim uang. Hu hu hu).
“Biasane Rika seng sok aweh. Nyong wis ura wani maning tembung
utang. Hu hu hu.” (Biasanya Anda yang sering memberi. Saya sudah tidak berani
mengatakannya untuk hutang. Hu hu hu).
“Nyong Rika pateni saiki be iklas. Hu hu hu.” (Saya Anda bunuh
sekarang saja sudah ikhlas. Hu hu hu).
Semua larut dengan cerita Saimun.
Yang ada di kamar menundukkan wajah, kecuali Kuswanoto yang
masih terlihat marah.
“Begini, Kang.” Samamudin mencoba meneruskan cerita Saimun
yang tadi dia ceritakan sewaktu di Masjid, itu dia lakukan karena melihat
kondisi Saimun yang terus menangis karena sesal.
“Dia mencuri kutang-kutang perempuan. Kang Saimun menjualnya,
berharap uang yang dia dapat bisa dikirimkan buat anaknya yang sedang sakit.”
“Tidak ada orang yang laku pesugihan, tidak ada itu semua.
Ini murni perbuatan Kang Saimun,” jelas Samamudin.
“Kami semua sudah sepakat untuk memaafkan Kang Saimun, juga
meminta dia untuk meminta maaf kepada Njenengan, Kang.” Samamudin mengakhiri
ucapannya.
“Payu piro siji ne kutang iko, ha! Payu piro jane sampek
awakmu ngorbanke konco! Lapo gak terus terang ambek awakku nek awakmu butuh
duit!” (Laku berapa satunya, ha! Laku
berapa sebenarnya sampai kamu mengorbankan teman! Kenapa tidak terus terang
kepadaku kalau kamu membutuhkan uang!). Kuswanoto kembali meradang, secepat
kilat dia menyambar gelas yang berisi teh uwuh, menyiramkannya ke wajah Saimun.
Byur!
Gelas pecah terjatuh ke lantai kamar.
Prang!
“Awakku iki mbok anggep opo, ha!” (Saya ini kamu anggap apa,
ha!). Merah padam wajah Kuswanoto dengan melotot ke arah Saimun.
“Mun, bener awakku wong gak duwe! Ning nek perkoro nulung
konco kesusahan, awakkmu koyok nembe kenal awakku, ha! Biajingan!” (Mun, benar
saya ini juga orang yang punya uang! Tetapi kalau masalah menolong teman
kesusahan, kamu seperti baru mengenalku, ha! Bangsat!).
“Awakku iso nggolekno utangan duwek sek nek pancen awakmu
mbutuhno tenanan! Asu!” (Saya bisa mencarikan uang utangan dulu kalau memang
sungguh membutuhkannya! Anjing!).
“Opo awakku gak mbok anggep konco! Ha!” (Apa aku tidak kamu
anggap teman! Ha!).
Saimun dengan wajah kuyup oleh siraman teh uwuh segera
berlutut di bawah Kuswanoto dengan derai air mata.
“Nyong ngaku salah, Kang! Nyong seng salah! Hu hu hu.” (Saya
mengaku salah, Kang! saya yang salah! Hu hu hu).
“Nyong temenan ura tegel! Nyong ura bisa ngomong reng Rika.
Rika wis kadung apik temenan reng nyonge. Hu hu hu.” (Saya sungguh tak tega!
Saya tidak bisa bicara kepada Anda. Anda sudah terlanjur baik kepada saya. Hu
hu hu).
“Nyong ngangur, Rika sengi kerja.” (Saya tidak bekerja, Anda
ajak kerja).
“Nyong sambat, Rika wis ura itungan. Hu hu hu.” (Saya
berkeluh kesah, Anda sudah tak pernah hitung-hitungan. Hu hu hu).
“Nyong temenan njaluk sepura. Hu hu hu.” (Saya sungguh minta
maaf. Hu hu hu).
“Tak dugang cangkemu kene ngko.” (Saya tendang mulutmu nanti).
“Sudah, Kang. Sudah.” Sugito kembali mencoba meredam emosi Kuswanoto
yang masih membuncah.
“Patenono nyong bae lah. Nyong wis ura guna, ura guna! Hu hu
hu. Anakke inyong lara be ura bisa kirim, ura bisa tilik, pateni bae lah nyonge
kiye, pateni bae. Hu hu hu.” (Bunuh saja saya. Saya sudah tak berguna! Hu hu hu.
Anak saya sakit saja tidak bisa kirim uang, tidak bisa menjenguk, bunuh saja
saya ini, bunuh saja. Hu hu hu).
Kuswanoto mengembuskan napas berat.
“Mun, awakmu koncoku, wes tak anggep koyok sedulur lanang,
tapi nek ngene carane, polahmu iso nyelakakno uwong!” (Mun, kamu temanku, sudah
seperti saudara sendiri buatku, tetapi tidak seperti ini, tindakanmu bisa
mencelakakan orang!).
“Opo gunanane konco, awakku kadang ugo sambat mbek awakmu!
Iyo, to?” (Apa gunanya berteman, aku juga sering mengeluh denganmu! Iya, ‘kan?).
“Sawangen aku, sawang awakku, Asu!” (Lihat aku, lihat aku, Anjing!).
Saimun yang berlutut di bawah Kuswanoto mendongak, matanya
merah oleh tangis, makin deras begitu melihat keadaan sahabatnya yang babak
belur.
“Hu hu hu.” Saimun bangkit lalu memeluk Kuswanoto.
“Nyong janji ura bakal kaya kiye maning, Kang. Hu hu hu.”
(Saya berjanji tak akan seperti ini lagi, Kang. Hu hu hu).
“Nyong njaluk sepura seng gede reng Rika, Kang. Hu hu hu.”
(Saya minta maaf yang besar dengan Anda. Hu hu hu). Suara Saimun bergetar oleh
penyesalan.
Semua makin dalam tertunduk. Rasa persahabatan yang terbentuk
dari sikap saling bantu selama ini, kejujuran yang terucap, serta pengakuan
yang sebenarnya dari Saimun membuat Sugito juga meneteskan air mata.
“Ngesok nyong pamit. Nyong arep reng Cilacap. Nyong arep
niliki anake nyong. Hu hu hu.” (Besok saya pamit. Saya mau ke Cilacap. Saya mau
menjenguk anak saya. Hu hu hu). Erat, Saimun tak melepaskan peluk, Kuswanoto
tak bisa menolaknya, betapa Saimun sudah lebih dari seorang sahabat.
“Oleh piro nggomu adol kutang sak suwene ki.” (Dapat berapa
kamu menjual kutang selama ini).
“Rong puluh ewu, Kang. Hu hu hu.” (Dua puluh ribu, Kang. Hu
hu hu).
Kuswanoto mendorong perlahan tubuh Saimun. Bukan hanya mata,
bahkan rambut Saimun basah oleh teh uwuh secang yang dia siram.
“Git, jupukno peciku iko.” (Git, ambilkan peci itu). Kuswanoto
menunjuk peci hitam yang tak jauh dari pintu.
Sugito mengambilnya.
“Ini, Kang.” Sugito menyerahkan peci hitam lusuh.
Kuswanoto membukanya, tampak dua lembar rupiah berwarna merah
sudah di tangannya.
“Ki, nggo sangu. Awakku gak iso nyangoni okeh. Iki duwek
simpenanku.” (Ini, buat bekal. Aku tak bisa memberimu banyak. Ini uang
simpananku).
“Hu hu hu.” Saimun menggeleng. Air matanya kian deras mengalir
oleh haru. “Hu hu hu.”
“Loh. Tampanono!” (Loh.
Terima!).
“Ura usah, Kang. Hu hu hu. Rika wis ....” (Tidak usah, Kang.
Hu hu hu. Anda sudah ....).
“Mun, awakmu koncoku duk, ha! Awakmu nganggep aku koncomu
gak!” (Mun, aku temanmu bukan, ha! Kamu menganggap aku temanmu tidak!).
Saimun mengangguk.
“Tampanono. Tak roso cukup nek gur sampek neng Cilacap. Ncen
gak okeh, tapi iki wujud roso kekancanan mbek awakmu.” (Terima. Saya rasa cukup kalau hanya sampai Cilacap. Memang
tak banyak, tetapi ini wujud rasa pertemanan denganmu).
“Sudah, Kang. Terima saja,” kata Sugito.
“Hu hu hu. Maturnuwun, Kang. Maturnuwun ... hu hu hu.” (Hu hu
hu. Terima kasih, Kang. Terima kasih ... hu hu hu). Saimun lalu mengambur
dengan memeluk kembali Kuswanoto. “Hu hu hu.”
“Aku ada rezeki sedikit,” ucap Samamudin, meletakkan uang di atas
meja.
Pluk!
Diikuti dua lainya.
Pluk!
Pluk!
Samamudin lalu memilih keluar, menyampaikan kejujuran Saimun
untuk bisa berangkat menjenguk anaknya yang ada di Cilacap dan dalam kondisi
sakit.
Kasak-kusuk serentak saat masing-masing yang mendengar
pengakuan itu dari luar, mengeluarkan uang dari saku-saku mereka oleh rasa iba.
“Wes gak usah nangis, kesok nek kate mangkat, yo mangkato,” (Sudah
tidak usah menangis, besok kalau mau berangkat, berangkatlah), bisik Kuswanoto,
membuat Saimun makin tak bisa menahan kesedihan dalam peluk Kuswanoto.
“Oh, Kang Noto. Hu hu hu.”
Sugito juga memeluk dua sahabatnya. Tangisnya turut pecah
oleh haru. END
No comments:
Post a Comment