KUTANG EPISODE 3
TRIO MBAJUK: KUTANG (Episode 3)
Pukul 06.15.08.
Puluhan warga sudah berkumpul di depan gardu ronda. Mereka
saling menunjukkan layar HP, bertuliskan pesan yang saling diteruskan.
“Aku baru buka WA dan mendapat kiriman dari Birin.”
“Sama. Aku juga dapat WA dari Sugiono.”
“La, ini. Aku juga dapat WA dari Beno.”
“Lalu siapa yang kirim pesan pertama kali, ha?”
Semua masih terlibat bisik dan saling duga akan siapa pelaku
pengirim pesan berantai saling meneruskan.
Samamudin dan Sugito hadir dengan satu motor.
“Ayo, Bapak-bapak! Kita langsung saja ke sana!”
“Ke mana? Sebenarnya siapa pelakunya!”
“Pokoknya kalian ikuti kami!” seru Samamudin tanpa turun dari
motor dan langsung berbelok arah diikuti puluhan warga yang sudah tumbuh tanduk di kepalanya.
****
“Pak Rete, keluar sekarang juga!”
“Keluar!”
“Keluar!”
“Keluar! Ayo, keluar sekarang juga!”
“Iya. Ayo keluar, Pak Rete!”
Puluhan orang terus berteriak meminta sang pemilik rumah
untuk segera keluar.
“Pak Rete, keluar sekarang juga!”
“Keluar!”
“Keluar!”
“Keluar! Ayo, keluar sekarang juga!”
“Iya, ayo. Keluar, Pak Rete!”
Krek!
Pak RT keluar dengan wajah terlihat masih mengantuk.
“Ada apa ini. Kalian pagi-pagi sudah berteriak di depan
rumahku?”
“Jangan banyak basa-basi! Geledah rumahnya!” Samamudin yang
sudah geram sejak mendengar penuturan Sugito langsung membakar tiap kepala
dengan perintah.
“Ayo!”
“Ayo!”
“Ayo!”
Beberapa warga mencoba mendesak masuk.
“Tunggu! Ada apa ini sebenarnya.” Pak RT mencoba menghadang
warga yang berniat masuk.
“Semua sudah jelas kalau Pak RT adalah pelaku yang meresahkan
lingkungan!” Samamudin berbicara, sebagai orang yang berdiri paling depan.
“Pelaku apa!” balas Pak RT.
“Pencurian dalaman istri-istri kita semua! Iya, tidak Sedulur-sedulur!”
“Iya!”
“Iya!”
“Betul itu!”
“Tunggu ... tunggu dulu! Kamu, Samamudin. Jangan bicara ngawur
kamu, ya!”
“Semu sudah jelas! Saksi ada!” bantah Samamudin.
“Geledah rumahnya! Sekarang juga!” Entah suara siapa, datang
dari tengah kerumunan warga.
“Tenang! Tenang! Kita bisa bicarakan kesalahpahaman ini!”
“Geledah!”
“Geledah!”
“Ayo, geledah!”
“Tunggu! Tunggu! Sebagai warga Bangorejo, bukankah kita
selalu membiasakan untuk berembuk! Sekarang saya mohon semuanya untuk tenang!
Silakan!” Pak RT mempersilakan perwakilan dari beberapa warga untuk duduk di
teras. Tampak Sugito ikut duduk di samping Samamudin.
“Ini ada apa sebenarnya, he?”
“Begini, Pak RT ....”
Samamudin lalu menceritakan apa yang dia dengar dari
penuturan Sugito, juga pesan WA yang terdengar dari tiap sudut kampung,
mengundang geram tiap warga.
“... Begitu ceritanya, Pak Rete.”
“Oalah? Yang semalam itu kamu, Git?”
“Iya, Pak RT. Saya pikir Pak RT adalah pencuri yang
berkeliaran untuk mengambil kutang-kutang warga.”
“Lalu kenapa Pak RT juga berlari kalau memang Pak RT tak
melakukannya?” imbuh Sugito.
“Pokoke digeledah sek! Ojok gampang percoyo opo omongane!”
(Pokoknya digeledah dulu! Jangan percaya apa katanya!).
“Iyo!” (Iya!).
“Iya!”
“Iya. Setuju!”
“Pesti Pak Rete iku ngapusi, Kang!” (Pasti Pak Rete itu
berbohong, Kang!).
“Tunggu! Tung ....”
Dua warga segera masuk. Pak RT tak bisa lagi mencegahnya.
Tiap-tipa wajah berharap cemas selama menunggu rekannya untuk
kembali keluar, berharap ada bukti yang bisa menguatkan dugaan mereka.
Benar, itu terjadi. Dua warga yang tadi masuk sudah kembali
ke hadapan mereka dengan sebuah plastik besar berwarna hitam.
“Buka!”
“Untuk apa?” jawab Pak Rete.
“Buka! Untuk apa takut kalau memang Pak RT terbukti bukan pelakunya.”
“Buka!”
Dengan terpaksa, Pak RT membuka plastik hitam yang dia bawa
tadi malam.
Betapa terkejutnya warga saat mengetahui begitu banyak kutang
ada di dalamnya.
“Sudah terbukti kalau Pak Rete adalah pelaku pencurian
kutang-kutang warga!”
“Kita bawa saja ke kantor polisi, Kang Din!”
“Iya! Bawa! Bawa ke kantor polisi sekarang juga!”
“Iya!”
“Iya!”
“Bawa ... bawa ... sekarang juga.”
“Bawa Pak Rete sekarang juga.” Dengan lirik menanam jagung.
“Aku ... aku ....”
“Halah apa lagi yang akan Sampean katakan. Beruntung aku
sempat memergokinya di jalan malam tadi.” Sugito berdiri jemawa, merasa warga
berhutang budi atas jasanya sebagai orang pertama yang mengungkap tragedi hilangnya
kutang selama ini.
“Seret dia! Gelandang saja ke polsek!”
“Hajar!”
Puluhan warga yang telah disulut amarah segera menghajar Pak
RT beramai-ramai.
Buk!
Duk!
Des!
Plok!
Buk!
“Modar ora, ha!” (Mampus tidak, ha!).
Duk!
Buk!
Des!
“Aduh!”
Dek!
Plek!
“Aduh!”
Pyok!
Dik!
Bruk!
Buk!
Pak RT terjatuh dari bangku. Sontak warga menghentikan aksi
main hakim sendiri. Berjalan mundur, membuka kerumunan.
Tampak Pak RT terkapar dengan lidah menjulur, terlihat pula
bintang-bintang yang terus berputar mengelilingi kepalanya.
“Aku ... aku ... bisa jelaskan kepada kalian semua.” Pak RT
mencoba bangkit. Pusing teramat dengan wajah lebam membiru oleh bogem yang
mendarat.
“Jelaskan semua di kantor polisi!”
“Hajar lagi! Ayo!”
“Tunggu!”
Sontak semua menoleh saat Ustaz Sopyan hadir dengan
tergopoh-gopoh.
“Ada apa ini! Redam emosi kalian! Masa Allah. Semua bisa
dibicarakan baik-baik!” Ustaz Sopyan segera mengambil tempat di tengah, tepat
di sisi Pak RT.
“Apa masalah sesungguhnya! Masa Allah.”
Samamudin kembali bercerita dari awal sampai akhir,
menceritakan kembali apa yang dialami Sugito tadi malam.
****
“Astagfirullah Al Azim? Benar itu, Pak Rete?”
“Tidak, Ustaz. Sungguh bukan saya pelakunya.”
“Kalian semua, dengar! Kalau ingin mengadili seseorang,
jangan pernah mendengar satu pihak saja. Pertemukan, dengarkan dua pihak, lalu
bisa kalian simpulkan sendiri akar permasalahannya. Jangan seperti netizen
urakan yang sudah tak lagi memegang rasa saling menghormati!”
“Jangan dibiasakan menyebar hoak! Astagfirullah Al Azim.
Hanya karena pesan di media sosial kalian mudah sekali terpancing tanpa mau
mencari kebenaran dari berita tersebut! Astagfirullah Al Azim.”
“Kita baru mendengar cerita dari satu pihak dan sudah barang
tentu satu pihak tertuduh juga mempunyai hak untuk satu pembelaan, apalagi ini
hanya kabar desas-desus! Ini bukan tindak kriminal. Kenapa kalian ini urakan
seperti ini, ha? Astagfirullah Al Azim.”
“Sekarang kalian tenang, duduk. Silakan duduk!” Ustaz Sopyan
ambil kendali kini.
“Benar yang mereka tuduhkan itu?”
“Demi Allah, Ustaz. Bukan saya pelakunya.” Pak RT terus
memegangi pipi yang lebam, bahkan bibir juga sudah terlihat dubur ayam yang
akan bertelur.
“Lalu itu semua, apa!” Satu warga menunjuk plastik hitam.
“Astagfirullah Al Azim, Pak RT?”
“Demi Allah, Ustaz. Saya bisa jelaskan itu,” bela Pak RT dari
prasangka Ustaz Sopyan.
“Lalu itu semua untuk apa? Sudah jelas itu isinya
kutang-kutang istri kami. Masih saja mungkir!”
“Sudah! Sudah! Beri kesempatan RT kalian untuk menjelaskan,”
lerai Ustaz Sopyan.
“Kutang-kutang itu saya beli di pasar, Ustaz. Saya sangat malu dengan kejadian di kampung
kita ini, saya malu kalau berita ini menyebar sampai ke Kantor Desa.”
“Saya sudah sepakat dengan istri saya. Rencananya nanti di
acara Majelis Taklim, istri saya akan membagikan ini. Itu wujud rasa peduli
kami kepada warga, khususnya ibu-ibu.”
“Saya sangat mengerti, harganya tidaklah seberapa, tetapi di
zaman seperti sekarang ini, mungkin satu atau dua kutang sangat berarti bagi
ibu-ibu yang kesehariannya sebagai buruh unduh.”
“Saya pulang dari pasar, mengambil pesanan, dan sesampainya
di tikungan menuju kampung kita, bensin motor saya habis. Keadaan masih gelap,
mana mungkin ada warung yang sudah buka.”
“Saya memutuskan untuk menitipkan motor saya dulu di rumah
Sembodo, mantunya Pak Bambang.”
“Mengambil jalan pintas untuk segera sampai rumah. Saya
memilih untuk ambil terobosan, tak jauh dari gardu ronda.”
“Saya berlari ketakutan setelah yakin kalau di belakang saya
ada yang terus mengikuti.”
“Saya pikir itu adalah orang jahat yang bisa saja mencelakai
saya.”
“Oalah ....” Terdengar kompak dari semua mulut warga.
“Sudah jelas, toh?”
“Saya minta maaf, Pak Rete,” ucap Sugito menjabat tangan Pak
RT.
“Aduh, duh ... duh.” Pak RT mengerang saat dirasa tangannya
juga sakit.
“Saya juga minta maaf, Pak Rete.” Samamudin berjiwa ksatria,
meminta maaf akan segala tindak dan ucapannya.
“Maafkan kami, Pak RT.” Kompak, bahkan terdengar seperti anak
TK yang memberikan salam selamat pagi pada Pak Guru.
“Saya juga meminta maaf kepada semua warga, karena telah
menyebarkan pesan di WA.” Sugito merapatkan tangan, tanda dia sungguh meminta
maaf kepada segenap warga yang hadir.
“Sama-sama, Pak Gito.” Kali ini terdengar seperti anak TK
yang berucap salam ketika akan meninggalkan kelas.
“Lalu? Kutang yang diberikan Kang Noto kepada Sri. Itu milik
siapa? Kang Sugito yang menceritakannya tadi.”
Plok!
Sugito menepuk jidat.
“Aduh, kenapa aku lupa menceritakannya, padahal Kang Noto
semalam sudah menceritakan perkara hadiah kutang untuk Sri,” sesal Sugito dalam
hati.
“Berarti pelaku selama ini adalah Kang Noto! Itu buktinya dia
memberikan kutang itu kepada ibunya Aji,” sulut Samamudin lagi.
“Anu ... eh, anu ....”
“Sudahlah, Kang Gito. Kami tahu kalau Sampean berteman baik
dengan Kang Noto, tetapi kalau masalah ini tidak selesai juga, akan sampai
kapan kampung menjadi resah, ha!”
“Iya!”
“Geledah saja rumah Kang Noto! Setuju tidak, Sedulur-Sedulur!”
“Setuju!”
“Setuju!”
“Setuju!”
“Setuju!”
“Tunggu, jangan main hakim sendiri. Kita datang untuk mencari
kebenaran, bukan serta merta menuduh Kang Noto adalah pelakunya.”
“Halah! Wes ora usah kokean muni! Ayo! Moro neng omahe Kang
Noto!” (Halah! Sudah tidak usah banyak bunyi! Ayo! Berangkat ke rumahnya Kang
Noto!).
“Ayo!”
“Ayo!”
“Ayo!”
“Tunggu!” Terlambat bagi Sugito untuk menceritakannya, warga
yang kembali disulut amarah sudah bergerak menuju rumah Kuswanoto.
“Bagaimana ini, Ustaz?”
“Sebaiknya Pak Rete tidak usah ikut. Lihat keadaan Pak Rete
sekarang. Biar saya yang akan menenangkan mereka,” jawab Ustaz Sopyan.
“Ayo!” ajak Ustaz Sopyan kepada Sugito.
****
Di rumah papan sederhana, kediaman Kuswanoto.
“Uwes ugung toh, Mak?” (Sudah belum, Mak?)
“Barang tumpul, tapi tajamnya minta ampun!” rutuk Warsinah
terus memasukkan jarum dengan benang di bagian selangkang celana suaminya,
sobek sejengkal.
“Semua barang jadi sobek! Sudah tahu saya ini mau buruh
unduh! Jadi kesiangan!” terdengar sedikit kesal.
“Tidak celana, tidak ....”
“Kok ngomong malah ngalor ngidul,” (Kok bicara malah ke utara
ke selatan), potong Kuswanoto seraya
jegang dengan menjepit rokok.
“Wong dasare wes suwek kok nyalahno wong lanang,” imbuhnya
dengan memasukkan ujung keretek ke mulut.
“Makanya itu dijaga!”
“Lo ... lo ... lo. Kok malah ngomongno manuk toh iki.” (Lo
... lo ... lo. Kok malah membicarakan itu).
“Halah. Aku sudah tahu semua.”
“Roh opo? Mben bengi yo roh to? La wong sering mbok
unyel-unyel kok, yo.” (Tahu apa? Tiap malam juga tahu? Kamu sering memeganginya
kok, ya).
“Bukan itu!”
“La terus opo?” (Lalu apa?)
“Sri!”
“Sri?” Raut wajah Kuswanoto berubah saat nama itu disebut.
“Tidak usah pura-pura, ya, Pak ‘e! Aku tahu kalau itu
Njenengan sering terbang ke sana.” Warsinah terus mencoba sabar memasukkan dan
menarik benang.
“Jare sopo! Hawong anuku angkrem, gak trunyukan sampek kono!”
(Kata siapa! ituku tidak ke mana. Tidak keluyuran sampek sana!).
“Aku dengar sendiri dari ibu-ibu yang rumahnya tak jauh dari
rumah Sri. Njenengan sering menemui janda itu malam-malam. Iya, ‘kan?”
“Ah, ngawor!” (Ah, mengawur!).
“Dari dulu kok tidak berubah-ubah, masih saja suka melirik
janda. Aku ini kurang apa toh? Tak bantu bekerja untuk mencukupi semua
kebutuhan, selalu mendoakan ....”
“Rondo yo ndugakno.” (Janda juga mendoakan). Enteng sambar
Kuswanoto.
“Mendoakan apa? Mendoakan semoga datang lagi? Iya? Iya, toh?”
“Iki kok malah ngomongno janda-jandaan toh, Mak.” (Ini kok
malah membicarakan para janda toh, Mak).
“Malas aku sama Njenengan.” Warsinah terlihat merengut.
“Ayune rek nek mbesengut ngono iku. He he he.” (Cantiknya
kalau merengut seperti itu. He he he).
“Jengkel, mangkel atiku.”
“Hawong jare, gur jare kok. Iku padune wong iku ngesir bojomu
iki, Mak ‘e. Dadi wadul seng gak ogak. Ko nek dewe bubar omah-omah pesti wong
wedok seng wadul mau terus nembak bojomu seng bagus iki, iyo to, Mak ‘e.”
(Hanya katanya, cuma katanya. Itu orang hanya menaksir suamimu ini, Mak ‘e. Jadi,
menyampaikan yang tidak-tidak. Nanti kalau sudah pisah rumah tangga pasti
perempuan itu menyatakan cinta pada suamimu yang ganteng ini, Mak ‘e).
“Iya? Mintanya Njenengan, ‘kan begitu. Mentang-mentang aku
ini sudah tidak langsing lagi.”
“Lo, angel ... angel wes ngomong mbek wong wedok nek wes
mbesengut ngene iki.” (Lo, payah ... payah sudah kalau bicara dengan perempuan
kalau sudah merengut seperti ini).
“Wes ugung to iku. Selak sumuk sarungan ae kat mau kok.”
(Sudah belum itu. Gerah pakai sarung dari tadi).
“Biar. Biar tidak usah pakai celana sekalian. Senang toh
Njenengan. Terus biar bisa pamer sama janda-janda basah itu toh. Iya, toh?”
“Waladalah, angel ... angel wes.” (Waladalah, payah ... payah).
Kuswanoto bangkit lalu, pindah mendekat di sisi istrinya.
“Mak ‘e. Kelingan gak tanggal iki? Saiki tanggal 20 Oktober
2024. Gak keroso wes telong puluh limo dewe omah-omah.” (Mak ‘e. Ingat tidak
tanggal berapa sekarang? Sekarang tanggal 20 Oktober 2024. Tidak terasa sudah
tiga puluh lima kita membina rumah tangga).
Warsinah yang masih diselubung kesal hanya menoleh, menatap
Kuswanoto yang melebarkan senyum dengan kumis tebal melintangnya.
“Ini sudah siang. Jangan merayu.”
“Lo? Gak merayu. Ning awakku duwe hadiah minongko ambal warso
polokromo.” (Lo? Bukannya merayu. Tapi saya punya hadiah sebagai ulang tahun
perkawinan).
“Ki.” (Ini). Kuswanoto menyodorkan kotak yang sudah
dibungkus, sebesar kotak sepatu.
“Apa ini, Pak?”
“Bukaen toh?” (Buka saja).
“Tidak mau. Sudah siang.”
“Lo? Rak kurang ajar toh, malah njarak. Ko tak bukak ngisan
gek tak gotong neng kamar lo.” (Lo? Malah kurang ajar toh. Malah menggoda,
nanti saya buka sekalian lalu saya gotong ke kamar loh).
Warsinah tersipu, gurat kesal hilang seketika setelah
menerima hadiah untuk pertama kalinya seumur hidup setelah tiga puluh lima
tahun diperistri Kuswanoto.
“Kok tumben toh, Pak. Baru kali ini Njenengan kasih istrimu
ini hadiah, apalagi ini hadiah perkawinan.”
“Lo? Kok ngenyek. Ngene-ngene ritek yo iso dijak romantis. Ngawor
ae.” (Lo? Kok menghina. Biar begini bisa diajak romantis. Mengawur saja).
“Bukaen.” (Buka).
Warsinah membuka kertas tipis yang diikat pita. Dahinya
berkerut seketika.
“Kutang?”
“Iyo. Ncen kutang.” (Iya. Memang kutang).
Warsinah melempar tanda bingung ke arah suaminya.
“E, Mak ‘e. Kutang iki nek dipencet pucuke iso muni, koyok
boneka Barbie iko lo.” (E, Mak ‘e. Kutang ini kalau dipencet pucuknya bisa
bunyi, seperti boneka Barbie itu).
“Aduh!” Kuswanoto mencoba mengelak saat Warsinah mencoba
mencubit pahanya.
“Ko tak perkosa neng kene ngisan lo awakmu, Mak.” (Nanti saya
perkosa sekalian di sini kamu, Mak).
“KDRT, tidak boleh memperkosa istri.”
“Walah? Wes koyok netizen ae. Tau dolanan medsos yo gak kok
yo.” (Walah? Sudah seperti warga net saja. Pernah mainan media sosial juga
tidak).
“Seneng ta gak kutange? Dipencet pucuke ta piye ben ono
musike. He he he.” (Suka tidak kutangnya? Dipencet pucuknya apa bagaimana biar
ada lagunya. He he he).
“Ah uh, ah uh. Paling ya begitu. Hi hi hi.”
“Iku to nek awakmu, ah uh ah uh tok, koyok wong gelagepen.”
(Itu kalau kamu, ah uh ah uh saja, seperti orang tenggelam).
“La, keenakan kok. Hi hi hi. Terima kasih yo, Pak ‘e.”
“Iyo? Itung-itung kenek nggo ngganti kutangmu seng wes do
pedot. Mosok kutang ditaleni karet gelang.” (Iya? Hitung-hitung bisa buat ganti
kutangmu yang sudah putus. Masak kutang diikat karet gelang).
“Yang mutusin juga Njenengan, kok. Main tarik, kasar!”
“La cantolane lo wokeh, selak mengkeret gur ngutaki kutang
tok.” (La pengaitnya banyak, keburu menyusut dibuat sibuk membuka kutang saja).
“Mbok orang laki itu yang sabar, tidak grasah-grusuh.”
“Halah! Gak srantan, Mak. Nek wes kadung pingin yo wes kudu
nylundang ae.” (Halah! Tidak sabar, Mak. Kalau sudah ingin ya harus menyeruduk).
“Sudah. Ini celana dipakai. Sarungnya dilepas.”
“Ben isis, ben gelis ... garek nyincing, rak iyo to.” (Biar
sejuk, biar cepat ... tinggal menyingkap, bukannya begitu).
“Aduh!” kembali Kuswanoto menggeliat geli saat cubitan
Warsinah mencoba mengarah ke bagian selangkangan.
Tiba-tiba terdengar suara dari halaman rumah. “Kang! Kang
Noto, keluar sekarang juga!”
“Keluar sekarang juga!” Teriak suara dari luar.
“Ungaken, Mak. Koyok sworone wong gemberah.” (Lihat, Mak.
Seperti suara orang gaduh).
Warsinah menuju depan. Sama, gayut rasa penasaran di benaknya
akan suara gaduh di depan pintu.
Krek!
“Mana Kang Noto, Yuk War!”
“Ada apa? Kenapa ramai-ramai seperti ini,” balas Warsinah
dengan tangan gemetar terus memegangi kotak berisi kutang.
“Lihat! Kalian lihat sendiri! Itu kutang yang ada di tangan
Yuk War! Pasti pemberian Kang Noto dari hasil mencuri kutang-kutang istri
kita!”
“Eh! Tunggu dulu, kalian ini ngomong apa toh?”
“Sudahlah, Yuk War. Semua orang juga tahu kalau Kang Noto itu
pelakunya!”
“Hilangnya kutang-kutang di kampung ini itu ulah Kang Noto!”
“Hem!” Kuswanoto muncul dengan berkacak pinggang, telanjang
dada dengan mengenakan sarung.
“Tertangkap basah sudah Njenengan, Kang!”
“O? Dadi wes do wani yo ngarani uwong tanpo bukti, ha!” (O?
Jadi, sudah berani menuduh orang tanpa bukti, ha!).
“Sudah, Pak. Sudah, jangan dituruti. Semua harus dibicarakan
dulu ....”
“Wes ngaleho! Iki urusane wong lanang!” (Sudah sana
menyingkir! Ini urusan laki-laki!).
“Sopo seng ngarani awakku nyolong kutang, ha! Sopo! Munio!
Maju rene! Seng endi uwonge!” (Siapa yang menuduhku mencuri kutang, ha! Bicara!
Maju ke sini! Yang mana orangnya!). Dengan petenteng-petenteng Kuswanoto
melangkah ke hadapan kerumunan warga.
“Itu buktinya, di tangan Yuk War!”
“Iya!”
“Iya!”
“Sopo seng muni mau, ha! Rene! Njalok tak blekrek ta
cangkeme, ha!” (Siapa yang bicara tadi, ha! Sini! Minta saya sobek mulutnya, ha!).
“Tidak bisa, Kang! Njenengan harus bertanggung jawab atas
semua kegaduhan ini!”
“Iya, benar!”
“Iya!”
“Setuju!”
“He, Samamudin, seng seneng ngarani wong paling sugeh sak Bangorejo.
Kutang iko lek ku tuku.” (He, Samamudin, yang selalu suka menyebut dirinya
orang paling kaya di Bangorejo. Kutang itu aku beli).
“Iko soko jerih payahku ko tulis cerito! Duk oleh soko
nyolong!” (Itu dari jerih payahku dari menulis cerita! Bukan dari mencuri!).
“Halah, jangan dengarkan pencuri! Mana ada pencuri mau
mengaku!”
“Iya!”
“Iya!”
“Tangkap! Penjarakan saja!”
“Sudah kita tangkap ramai-ramai! Kita bawa ke Kantor Polisi!”
“Ayo!”
“Ayo!”
Kerumunan mulai bergerak menyerang.
Kuswanoto mengeluarkan kuda-kuda.
Seketika semua kaki bergerak mundur.
“Titenono nek sampek awakku kalah! Bakal tak santet siji-siji
awakmu! Tak santet ngaceng!” (Lihat saja sampai saya kalah! Bakal saya santet kalian
semua! Saya santet!).
“Hajar!”
“Hajar!”
Buk!
Duk!
Des!
“Aduh, Yong!” (Aduh, Mak!), pekik Kuswanoto saat satu bogem
telak menghajar hidungnya.
Des!
“E! Sudah-sudah! Jangan! E!” Warsinah mencoba melerai
perkelahian yang tak seimbang itu.
Duk!
Satu tendangan!
Buk!
Satu gebukan.
Wuing!
Satu lemparan sandal.
Des!
Plok!
“E! Sudah! Hentikan! Sudah! E!” teriak Warsinah tenggelam
dalam keras hantaman demi hantaman yang menghujani suaminya.
Byok!
Sarung Kuswanoto terlepas.
Srutt!
Des!
“Aduh!”
Kuswanoto sibuk mengurusi sarungnya, menyelamatkan burung
yang bisa saja terbang ketakutan oleh suara ramai yang diamuk murka.
Des!
“Aduh!”
Buk!
“Doh, Yong!” (Duh, Mak!).
Dak!
Bruk!
“Cukup! Hentikan! Astagfirullah ....” Ustaz Sopyan yang
selalu datang terlambat seperti polisi film Mega Bollywood di saat-saat genting
seperti ini segera menyibak kerumunan untuk menghentikan aksi main pukul.
“Bubar!”
“Bubar!”
“Astagfirullah! Bubar!”
Kerumunan itu seketika membubarkan diri hingga terlihat
Kuswanoto yang berdiri seraya membekap bagian selangkangan.
Kedua pipi, pelipis, dagu, semua terlihat lebam, berdiri
mematung seperti orang yang kehilangan jimat kesaktian.
Eladalah! Pak RT luput atas tuduhan warga dan Kuswanoto yang menjadi
bulan-bulanan akibat Sugito keceplosan di hadapan warga perihal sebuah kutang
yang diberikan kepada Sri, janda indehoy yang ia intai kala itu bersama Saimun.
Lalu bagaimana kelanjutannya? Apakah benar kutang yang ada ditangan Warsinah sebagai
bukti kalau dugaan warga benar?
Jangan lupa sawer atau tinggalkan jejak ya, Lur. Trio Mbajuk
segera kembali dengan episode 4.
No comments:
Post a Comment