Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PAK REBO

 PAK REBO



Ini adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi dalam perjalanan hidup Pak Rebo, kisah yang hanya menjadi rahasia dalam hidupnya.

Namanya Siman Rebo. Orang-orang di kampungnya ada yang memanggil Pak Siman dan sebagian besar memanggilnya dengan sebutan Pak Rebo.

Ia sendiri lebih suka dipanggil Pak Rebo, karena itu memang panggilannya sejak kecil.

Pak Rebo terlahir dari sebuah keluarga yang cukup sederhana di kampungnya. Dulu bapaknya adalah pedagang gerabah, sedangkan ibunya berjualan capar. Akan tetapi, keduanya telah berpulang sejak Pak Rebo dewasa.

 

****

 

Pak Rebo memiliki tiga orang anak yaitu Senen, Setu, dan Kemis dari mendiang istri. Ia sudah menduda kurang lebih 10 tahun sejak istrinya meninggal karena sakit.

Sejak itu Pak Rebo menghidupi ketiga anak-anaknya sendirian dengan berjualan pakaian keliling secara kredit dari desa ke desa.

Walaupun begitu, Pak Rebo bisa menyekolahkan ketiga anaknya di sebuah kampus dengan latar belakang Islam, mengambil jurusan agama Islam, dan tentu saja itu semua atas keinginannya.

Kini ketiga anak-anaknya sudah berkeluarga dan memilih hidup terpisah dengan alasan pekerjaan, Pak Rebo hidup merana seorang diri.

“Nopo Bapak mboten purun mados gentine ibu?” (Apa Bapak tidak ingin mencari pengganti ibu?). Anak-anaknya selalu bilang begitu saat berkunjung bila melihat Pak Rebo duduk menyendiri.

“Bapak lo taseh gagah kok. Pesti wonten rondo kang purun kaleh Panjenengan, Pak.” (Bapak masih gagah kok. Pasti ada janda yang mau sama Panjenengan, Pak).

“Opo awakmu kabeh pancen gak gelem tak ngengeri, he?” (Apa kalian memang tak mau merawatku lagi, he?), tanya Pak Rebo balik.

“Nggeh mboten ngoten, Pak. Menawi Bapak omah-omah maleh pesti wonten kang disanding, ngrumat, lan kito sedanten mboten saget nyekapi butuhe Bapak, to?” (Bukan begitu, Pak. Kalau Bapak menikah lagi tentu akan ada yang mendampingi Bapak, merawat, dan tentu kami tidak bisa mencukupi kebutuhan biologisnya Bapak to?).

Sebagai seseorang yang setia terhadap mendiang istrinya, itu semua yang membuat Pak Rebo masih belum mau mendekati janda mana pun. Semua ia lakukan untuk menjaga kesetiaannya sebagai suami.

“Menawi Bapak bade mbojo maleh nggeh Setu mboten nopo-nopo, Pak. Kito sedanten ngrestui kok.” (Kalau Bapak mau menikah lagi ya, Setu tidak apa-apa, Pak. Kami merestui kok).

Karena ketiga anak-anak Pak Rebo sudah berumah tangga dan sudah punya pekerjaan masing-masing, mereka sepakat agar Pak Rebo menikah saja. Mungkin dengan begitu Pak Rebo tidak kesepian.

 

****

 

Itu juga terucap saat Pak Rebo keliling desa untuk menawarkan pakaian.

“Pak Rebo, Pak Rebo, apa lagi yang Sampean tunggu, ha? Masak iya Sampean kalah sama Mbah Suro. Biar sudah tidak tegak lagi anunya, Mbah Suro buktinya bisa menikahi janda penjual getuk itu. Ha ha ha,” ledek teman-temannya saat Pak Rebo singgah seraya menawarkan pakaian kredit yang ia bawa.

 

Pertanyaan itu hampir selalu muncul saat Pak Rebo duduk di depan ibu-ibu yang mengacak-acak pakaian kreditnya. Tidak sedikit ibu-ibu menanyakan perkara itu. “Iya loh, Pak Rebo. Yuk Jumilah itu juga janda. Anaknya juga baru empat. Kalau Sampean mau ‘kan bisa tambah momongan lagi.”

 

****

 

Malam datang seperti yang sudah-sudah. Pak Rebo selalu gigit jari bila sudah begini karena tidak ada lagi sang istri yang menemani.

Di pembaringan Pak Rebo tidak bisa tidur bila mengingat betapa banyak pelanggan kreditannya yang meminta agar ia menikah. Bahkan ketiga anak-anaknya juga ngotot agar segera dicarikan ibu baru yang bisa menemani malam-malam bapaknya.

“Ah!” kesal Pak Rebo lalu memukul bantalnya sendiri.

Buk!

Tak mau dicecar terus dengan pertanyaan itu, Pak Rebo pun mulai meraih HP, mencoba mencari pasangan hidup yang cocok untuknya.

“Yo, aku kudu nggolek gentine ruwahe bojoku,” (Ya, aku harus mencari pengganti mendiang istriku), batinnya mantap!

 

 

****

 

Singkatnya Pak Rebo mulai berkelana di dunia maya, mencoba mencari janda baik-baik melalui Facebook karena desakan orang-orang dan anak-anaknya yang sangat ingin agar ia segera menikah.

Namun, untuk urusan jodoh, ketiga anaknya serahkan sepenuhnya kepada Pak Rebo tanpa minta syarat harus begini, harus begitu.

Pokoknya ketiga anak-anaknya bilang, “Yang penting gemati dengan Njenengan, Pak.”

“Seng penting nggo kito niku Bapak mbojo maleh supados mboten kesepian, Pak.” (Yang paling penting bagi kami adalah Bapak segera menikah agar tidak kesepian, Pak). Begitu alasan anak-anaknya.

 

 

****

 

Setelah beberapa hari Pak Rebo mencoba berselancar di Facebook.

Akhirnya Pak Rebo menemukan sebuah akun di Facebook. Pemilik akun itu adalah seorang perempuan berhijab. Sebut saja nama akunnya Tita.

Sudah berkali-kali Pak Rebo gulir foto-fotonya di setiap foto-foto yang Tita unggah, dan Pak Rebo yakin kalau Tita perempuan baik-baik, sebab tidak ada satu pun foto yang menurutku hanya pamer kekayaan dan pamer duit hasil monetisasi.

Awalnya Pak Rebo ragu sebab Tita memiliki pengikut yang lumayan banyak. Foto-foto yang Tita unggah selalu mendapat like serta komen yang banyak.

“Kok kabeh komene nglem-mgelem. Opo Tita artis Facebook?” (Semua komentar memuji kecantikannya. Apakah Tita artis Facebook?), gumam Pak Rebo.

Meski ragu, Pak Rebo pun memberanikan diri untuk memulai pembicaraan dengan Tita melalui pesan Messenger pada akunnya.

“Assalamualaikum.” Pesan Pak Rebo terkirim.

Tak lama kemudian Tita membalas. “Alaikumsalam.”

Di dalam chat Tita mengaku bernama Manohara setelah Pak Rebo menanyakan nama aslinya.

Meskipun Pak Rebo tidak dapat melihat wajah Manohara secara langsung, tetapi dari tatapan matanya yang Pak Rebo perhatikan dari foto profil Manohara, Pak Rebo dapat melihat kalau Manohara adalah perempuan yang cantik, dan yang pasti ia juga perempuan yang soleha.

 

****

Pada akhirnya Pak Rebo dan Manohara jadi sering chatingan melalui Messenger dan mereka mulai saling berkenalan malam itu.

Berawal dari sana Pak Rebo makin yakin kalau Manohara juga punya perasaan sama sebab ia selalu membalas pesan-pesan Pak Rebo yang sudah kepala lima. Tumben ada perempuan cantik mau berkenalan dengan bapak-bapak seperti Pak Rebo.

Ah! Pak Rebo makin nyaman dengannya. Hampir setiap malam mereka ngobrol meski hanya lewat Messenger. Jiwa muda Pak Rebo bergolak bangkit terlebih ia bisa berkenalan dengan perempuan muda yang kira-kira umurnya masih kepala tiga. “Pesti jek pulen,” (Pasti masih pulen), pikir Pak Rebo.

Jarang-jarang ‘kan perempuan mau membalas pesan lelaki seperti Pak Rebo yang dalam beberapa tahun ke depan masuk kategori lansia.

Sebagai laki-laki yang sudah 10 tahun tak mau mendekati secara serius seorang perempuan membuat Pak Rebo memang terbilang sangat lugu, sampai akhirnya Manohara sendiri yang mengajaknya untuk bertemu langsung.

“Bagaimana kalau kita kopi darat?” tanya Manohara di dalam pesan.

Segera Pak Rebo mengetik, “Yo, wes ayo! Di mana?”

Kemudian Manohara mengetikan sebuah tempat, yaitu sebuah kafe yang kebetulan Pak Rebo tahu tempatnya karena Manohara ternyata hanya beda kecamatan dengan Pak Rebo. Astaga! Pak Rebo kurang beruntung apa lagi coba? Semoga keinginannya untuk segera menikah akan segera terwujud karena jujur Pak Rebo sudah jatuh hati saat melihat foto-foto Manohara di akun Facebooknya.

Ya, tentu saja Pak Rebo sangat menyetujui hal itu karena ia ingin segera mengenal Manohara secara langsung dan lebih dekat. Yang pasti, tentu saja Pak Rebo ingin segera menjadikan Manohara pasangan hidup karena orang-orang dan ketiga anaknya sudah tidak sabar untuk segera melihatnya menikah lagi.

 

****

 

Akhirnya Pak Rebo dan Manohara pun bertemu.

Mereka bertemu di sebuah warung tenda seperti yang sama-sama sudah mereka sepakati berdua melalui Messenger dua hari lalu.

Meskipun memakai himar, Pak Rebo dapat melihat betapa Manohara memiliki wajah yang cantik dan kesan pertama dari pertemuan ini saja sudah membuat Pak Rebo merasa kelepek-kelepek, kian jatuh cinta padanya.

Di warung tenda itu mereka saling ngobrol dan berbagi cerita. Manohara pun bercerita kalau ia adalah ... “Saya seorang janda kembang, masih rapet, belum tersentuh, karena suamiku meninggal saat baru mau melakukan tusuk malam pertama.”

“Weladalah!” Pak Rebo terkejut mendengarnya.

“Bapak dan ibumu?” tanya Pak Rebo lagi yang duduk berseberang meja dengan Manohara.

Dengan mengenakan batik serta peci, tak lupa pula arloji kerepyak merek Rolex, Pak Rebo memang masih terlihat gagah di mata Manohara.

“Bapak dan ibu sudah lama meninggal karena kecelakaan,” balas Manohara malu-malu.

“Jadi, kamu sekarang tinggal sama siapa, Dik?” tanya Pak Rebo lagi.

“Saya hanya tinggal berdua bersama Mas Nur yang juga masih lajang, Pakde,” jawab Manohara gugup.

“Pakde, pakde ... kamu sudah sepakat toh kalau panggil aku ini Pak Rebo. Kumis juga sudah disemir melipis begini juga kok. Piye to, Dik?”

“I .. i ... iya, Pak Rebo. Manohara lupa.”

Menurut pengakuan Manohara juga, ia dulu adalah lulusan sebuah pondok pesantren, tetapi ia tidak bisa lanjut kuliah karena orang tuanya telah tiada, dan sekarang ia bekerja di sebuah butik temannya, sementara masnya bekerja sebagai karyawan di sebuah SPBU.

Pantas saja, Pak Rebo pernah melihat Manohara mengunggah banyak foto yang ternyata promosi pakaian khusus muslimah.

Cocok, sangat cocok dengan wajahnya yang cantik dan mulus bila Manohara unggah foto di Facebook mengenakan pakaian muslimah seperti itu.

Ah, beruntung sekali Pak Rebo mengenalnya, sebab ia yakin kalau Pak Rebo adalah pemenang dari banyaknya pengikut akunnya. Bisa saja Manohara sering digoda lelaki lain di Messenger, mengingat Manohara memang begitu cantik tanpa cela. Serius!

“Saya hanya bekerja menjadi pelayan di butik itu.” Manohara kemudian tertunduk malu.

“Lalu salahnya di mana, he?” tanya Pak Rebo.

Manohara tersipu dan kian tertunduk malu.

Hari itu Pak Rebo benar-benar melihat perempuan pujaan hatinya. Manohara tak banyak bicara, malah ia cenderung menunduk saat menjawab pertanyaan Pak Rebo.

 

****

 

Begitulah. Setidaknya Pak Rebo jadi tahu lebih banyak siapa Manohara secara langsung lewat kopi darat.

Sejak pertemuan pertama mereka tersebut, Pak Rebo semakin sering mengajak Manohara untuk bertemu di warung tenda itu setelah pulang keliling menawarkan pakaian yang bisa diangsur tiap minggu

Pak Rebo benar-benar ingin mengenal Manohara lebih dekat, Pak Rebo benar-benar telah jatuh hati padanya.

 

****

 

Setelah berminggu-minggu.

Akhirnya Pak Rebo pun memperkenalkan Manohara pada ketiga anak-anaknya, sebagai bukti kalau Pak Rebo memang berniat untuk serius bersama Manohara, dan juga sebagai bukti kepada pelanggan pakaiannya kalau ia juga serius akan menikah.

Untuk memenuhi keinginan ketiga anaknya dan keseriusannya sendiri, hari itu Pak Rebo buktikan dengan datang menemui masnya Manohara untuk menyampaikan niatnya, Pak Rebo akan melamar Manohara.

“Kalau saya tidak bisa kasih keputusan, Pak. Semua terserah Manohara saja,” ucapnya seraya melirik Manohara.

Mendengar ucapan itu, Pak Rebo pun utarakan langsung pada Manohara akan niatnya.

“Bagaimana? Apakah kamu mau menjadi istriku, Dik?” tanyanya kepada Manohara.

“Saya bukannya tidak mau, tetapi bukankah kita baru saja saling kenal. Apa ini tidak terlalu cepat?” Manohara balik bertanya.

“Walau beberapa minggu, aku merasa sudah cukup mengenalmu, Dik. Aku memang sedang mencari calon istri, bukan calon pacar. Lagi pula ketiga anak-anakku sudah sangat ingin untuk aku segera menikah, dan aku merasa kamu adalah pasangan yang cocok untuk kujadikan pendamping hidupku loh, Dik” balas Pak Rebo serius.

“Akan tetapi, bagaimana kalau ternyata saya tidak seperti yang Njenengan harapkan?” tanya Manohara lagi.

“Saya hanya orang miskin. Saya takut Njenengan kecewa.”  

“Hilih! Aku tidak peduli siapa kamu, Dik. Di mataku kamu adalah perempuan yang sempurna dan kamu juga soleha. Jadi, tidak ada keraguan lagi di dalam hatiku untuk menjadikanmu sebagai istriku.”

“Akan tetapi, kalau andainya Njenengan tahu siapa saya sebenarnya apa Njenengan masih tetap ingin menjadikan saya istri?” Manohara kembali bertanya.

“Weleh-weleh. Memangnya siapa kamu sebenarnya? Aku sudah tahu semua dari kedekatan kita selama ini. Memangnya apa yang belum aku ketahui tentangmu, he?” Pak Rebo balas bertanya kali ini.

Manohara terlihat terdiam, ia seolah ragu untuk mengatakan sesuatu pada Pak Rebo.

“Jika kamu punya masa lalu yang kelam, aku tidak akan peduli, Dik. Masa lalu biarkanlah berlalu, aku tidak ingin mengetahuinya, yang penting saat ini kamu harus siap menjalani masa depan bersamaku, Dik. Pak Rebo berucap juga akhirnya karena melihat Manohara masih terdiam.

“Aku sangat mencintai loh kamu, Dik. Aku berjanji akan selalu membuatmu bahagia,” lanjut Pak Rebo kemudian.

“Saya juga sangat mencintai Njenengan. Saya merasa bahagia karena Njenengan melamar saya. Saat ini juga saya sangat ingin menjadi istri Njenengan, tetapi ....”  Manohara seperti sengaja menggantung kalimatnya.

“Wes to! Sudahlah, Dik. Sudah tak perlu kamu ragukan lagi. Hal ini kita memang ditakdirkan untuk berjodoh. Iyo, to?” balas Pak Rebo berusaha meyakinkan Manohara dan akan keseriusannya.

“Saya takut Njenengan kecewa nantinya.” Pelan suara Manohara. Ia seperti berbicara dengan dirinya sendiri.

“Aku akan terima kamu apa adanya, Dik. Jadi, aku mohon kamu mau ya, jadi istriku. Piye?” ucap Pak Rebo penuh harap, terkesan kebelet nikah.

“Baiklah. Saya terima lamaran Njenengan,” balas Manohara akhirnya.

“Yes!” Pak Rebo berdiri girang.

Pak Rebo pun tersenyum bahagia mendengar hal tersebut. Akhirnya ia bisa menikahi perempuan yang ia inginkan.

“Akhirnya aku bisa memenuhi keinginan ketiga anak-anakku.”

 

****

 

Singkat cerita.

Setelah semua persiapan, Pak Rebo dan Manohara akhirnya resmi menikah dengan diwalikan oleh lelaki yang diakui Manohara sebagai masnya.

“Saya terima nikah dan kawinnya Manohara dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai!”

Manohara pun akhirnya resmi menjadi istri Pak Rebo.

Pesta pernikahan mereka berlangsung sangat sederhana, tidak banyak tamu yang diundang, hal itu atas permintaan Manohara sendiri.

Ketiga anak Pak Rebo juga tidak ingin melangsungkan pernikahan bapaknya itu dengan pesta yang berlebihan, untuk itu tamu yang diundang hanyalah keluarga dekat mereka saja.

 

****

 

Setelah pesta pernikahan usai, setelah semua tamu pulang, Pak Rebo dan Manohara segera masuk ke dalam kamar pengantin.

“Ayo, Dik. Ayo to ....” Pak Rebo lantas menggiring istrinya ke dalam kamar.

Malam pun sudah mulai larut, saatnya mereka beristirahat dari segala kelelahan selama beberapa hari mempersiapkan pernikahan, dan juga kelelahan karena seharian harus duduk serta berdiri di atas pelaminan.

“Terima kasih ya, Dik. Kamu sudah mau menjadi istriku,” ucap Pak Rebo lembut saat mereka sudah berada di dalam kamar, hanya berdua.

Pak Rebo berbaring dengan mengenakan sarung lasem di dekat Manohara yang masih duduk di sisi ranjang.

“Apa kamu tak mau melakukan malam pertama denganku, he? Gurih lo, Dik.”

Tiba-tiba Pak Rebo melihat wajah Manohara menjadi murung.

Awalnya Pak Rebo mengira kalau  Manohara mungkin sangat kelelahan, tetapi tak lama kemudian Pak Rebo melihat beberapa bulir air mata jatuh membasahi pipinya.

“Loh! Kamu kenapa to, Dik?” tanya Pak Rebo masih dengan suara lembut, sambil mulai duduk di dekat istrinya.

“Maafkan saya, Pak Rebo,” ucap Manohara dengan diiringi suara isak tangisnya yang kian menjadi.

“Kamu ini kenapa to, he? Kalau kamu tidak cerita bagaimana aku bisa memaafkanmu!” Kali ini suara Pak Rebo sedikit tinggi karena merasa bingung kenapa istrinya jadi terlihat begitu sedih dan merasa bersalah.

“Awalnya saya kira kalau Njenengan mendekati saya hanya karena iseng semata, karena itu saya pun membuka diri untuk menerima kehadiran Njenengan dalam hidup saya, tapi semakin lama Njenengan terlihat semakin serius, dan saya mulai merasa takut.” Manohara memulai cerita dengan masih meneteskan air mata.

“Sampai akhirnya Njenengan melamar saya dan hal itu semakin membuat saya merasa takut. Saya mulai ragu, saya ingin menceritakan saja sebenarnya pada Njenengan, tetapi jujur saja saya juga takut kehilangan Njenengan jika mengatakan yang sebenarnya.”

“Njenengan pasti akan pergi meninggalkan saya,” lanjut Manohara dengan suara serak.

“Kamu ini ngomong apa to, Dik? Aku semakin tidak mengerti,” ucap Pak Rebo tiba-tiba menggaruk kepalanya.

“Sebenarnya saya ingin menolak lamaran Njenengan, tapi saya takut Njenengan kecewa,” ucap Manohara lagi.

“Aku sudah tidak peduli dengan pertanyaanku barusan. Sudah lama aku menunggu malam ini, Dik. Sepuluh tahun aku menduda, dan aku ingin kamu layani sebagai suami. Semua rasanya sudah di ubun-ubun loh, Dik.”

“Eh, tapi kenapa kamu ingin menolak lamaranku kalau kamu juga mencintaiku, he?” Pak Rebo bertanya dengan mengerutkan dahi.

“Saya ... saya ... saya ini ....” Manohara tak kuasa melanjutkan kalimatnya.

“Ah, sudahlah! Aku bahkan sudah siap melakukan tugasku. Apa kamu tidak ingin menikmatinya, he?” Pak Rebo lantas memeluk istrinya.

Manohara berusaha berontak, tetapi ia tak berdaya saat Pak Rebo sengaja memancing berahinya dengan mengusap-usapkan kumis di lehernya.

“Biar sudah tua, tetapi aku bisa membuatmu melek merem kok, Dik,” bisik Pak Rebo saat Manohara menepis tangan Pak Rebo yang mulai menyasar bagian bawah.

“Loh! Kenapa? Kamu sedang datang bulan?”

Manohara menggeleng.

“Lalu kenapa kamu tak mau melakukannya denganku, he? Tidak ada siapa-siapa lagi di rumah ini kok, Dik.”

Manohara diam.

“Dik, ayolah! Aku sudah tak tahan lagi,” renggek Pak Rebo.

“Atau kamu mau aku matikan saja lampunya, iya? Kamu masih malu to. Yo wes aku matikan lampunya biar gelap, ya?”

Manohara menggeleng lagi.

“Eladalah. La terus kenapa to iki, he? Kita ini sudah sah menjadi suami istri loh, Dik!”

“Saya ... saya ....” Tertahan ucapan Manohara.

“Iya, kenapa?” desak Pak Rebo, terbakar gelora, dan tak bisa menahan sesuatu yang terlanjur bangkit di balik sarungnya.

“Saya seorang transgender.” Pelan suara Manohara, tetapi mampu membuat Pak Rebo merasa syok dan seketika redup berahinya.

“Mak ... maksudmu?” tanya Pak Rebo tak percaya.

“Iya. Sebenarnya saya ini seorang laki-laki, tetapi sejak kedua orang tua saya meninggal, saya memutuskan untuk menjadi seorang wanita melalui sebuah operasi. Kini sebagian dari diri saya adalah perempuan, tapi sebagian besarnya masih laki-laki,” jelas Manohara kemudian.

“Yongalah.”  Bagai mendengar suara petir di siang hari Pak Rebo mendengar itu semua. Tubuhnya lemas seketika, seperti miliknya yang sudah lemas karena kembali pulas.

“Oh. Aku tidak percaya, Dik. Kamu pasti sekadar mengujiku. Iya, kamu pasti sedang mengerjaiku to?” batin Pak Rebo merantap.

“Kamu tidak lagi bercanda to, Dik?” Suara Pak Rebo tertahan, meyakinkan dirinya sendiri.

“Serius, Pak. Mungkin saya terlihat sempurna di mata Njenengan, tetapi sebenarnya masih ada bagian dari diri saya yang belum Njenengan ketahui.”

“Saya bisa membuktikannya sekarang kalau Njenengan ingin melihatnya,” ucap Manohara kemudian.

Manohara lantas melucuti pakaiannya satu demi satu hingga terlihat ‘gantungan kunci’ miliknya.

“E, Wedos! Kamu jangan gila ya, Dik. Kalau kamu memang bukan perempuan tulen aku tidak sudi melanjutkan pernikahan ini!” Terdengar suara Pak Rebo antara marah dan kecewa.

“Saya ingin Njenengan bisa menerima saya apa adanya.” Suara Manohara terisak kembali.

“Tidak! Mana sudi aku punya istri seorang laki-laki! Mau main anggar apa, ha!”

“Biangsat! Biajingan!”  Itu muncul tiba-tiba dari mulut Pak Rebo.

Pak Rebo kecewa, marah, dan tak tahu lagi harus berkata apa mendapati istrinya ternyata seorang laki-laki.

“Masak iya aku menikah dengan laki-laki. Hih!” Buru-buru Pak Rebo menggulung sarungnya dan beranjak turun dari ranjang pengantin.

“Dosa apa yang telah aku perbuat hingga harus terjebak dengan laki-laki!”

“Aku akan laporkan hal ini kepada pihak berwajib. Biar bagaimanapun aku merasa telah ditipu oleh kamu!” ucap Pak Rebo kemudian dengan nada tinggi seraya menuding Manohara.

“Saya mohon! Maafkan saya. Jangan ceritakan hal ini pada siapa pun.” Suara Manohara terdengar sangat mengiba.

“saya .. saya ... tahu saya salah. Semua telah saya katakan hal ini dari awal, tapi Njenengan tidak pernah memberikan saya kesempatan, Pak,” lanjut Manohara masih dengan nada penuh iba.

“Terus terang aku kecewa, marah, malu, dan berbagai perasaan menghantuiku saat ini, tapi hidup selalu mengajarkanku untuk selalu memaafkan, dan tidak membalas kelakuan jahat orang lain dengan kejahatan pula. Oke! Aku tidak akan menceritakan hal ini pada siapa pun, aku juga tidak mau memperpanjang persoalan ini, aku juga tidak mau membuat ketiga anak-anakku malu, tapi aku ingin mulai malam ini kita bercerai! Aku ingin kamu segera pergi dari rumah ini!” ucap Pak Rebo akhirnya.

“Lalu bagaimana dengan ketiga anak Njenengan? Mereka pasti akan bertanya-tanya kenapa saya tiba-tiba pergi?” balas Manohara.

“Gak urus! Itu urusanku, tapi yang pasti aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu pergi dan jangan pernah bermimpi untuk kembali lagi padaku!” ucap Pak Rebo dengan nada sedikit tinggi.

“Apa Njenengan tidak ingin mencoba menjalani pernikahan kita? Setidaknya untuk membuat ketiga anak-anak Njenengan merasa senang?” ucap Manohara.

“E, Tungku menyan! Kamu jangan mimpi, ya! Aku tidak sudi punya istri seorang laki-laki! Aku Tidak sudi menjalani pernikahan palsu seperti ini! Sudah untung aku tidak memperkarakan hal ini. Jadi, sebelum aku berubah pikiran, lebih baik kamu segera angkat kaki dari rumahku!” balas Pak Rebo dengan cukup kasar.

“Akan tetapi, Pak Rebo. Apa kita coba dulu untuk ....”

“Tidaaakkk! Pergi dari rumahku sekarang!”

 

****

 

Malam itu juga Manohara pergi diam-diam dari rumah Pak Rebo.

Pak Rebo memang tak sudi lagi melihat wajahnya. Sungguh ia merasa sangat menyesal dengan keputusannya untuk menikahi Manohara. Namun, semua sudah terjadi.

Kini Pak Rebo harus memikirkan alasan apa yang akan ia berikan pada anak-anaknya jika mereka bertanya kenapa ibunya pergi.

Pak Rebo yang gagal melakukan malam pertama untuk mengakhiri masa dudanya.

Sungguh tidak ia sangka akan menikah dengan seorang laki-laki! Sungguh tidak ia sangka pernikahanku hanya bertahan selama satu malam saja.

Ternyata bukan kebahagiaan yang Pak Rebo dapatkan, tetapi kepahitan yang sangat luar biasa, terasa sakit, begitu perih rasanya.

“Kenapa Manohara tega berbuat seperti itu padaku?”

 “Kalau saja aku tidak dilatih untuk memaafkan sejak kecil mungkin aku akan membuat Manohara merasa menyesal telah melakukan semua itu padaku!”

“Aku pasti akan memperkarakannya, tapi ya, sudahlah. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Piye meneh.”

Pak Rebo hanya berharap semoga kejadian ini bisa memberikan pelajaran berharga dalam hidupnya agar lebih berhati-hati lagi dalam mengenal wanita, terutama di Facebook.

Pak Rebo hanya berharap semoga bisa menemukan perempuan yang pantas untuknya, dan bisa membuat bahagia nantinya. Semoga perempuan itu adalah perempuan yang utuh, bukan hanya setengah matang.

 

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search